21 Agustus 2012

"Yuuuk..BELAJAR MENGENAL : KERIS"

Belum tentu semua pemegang ageman KERIS sudah mau mempelajari tentang KERIS. Adakalanya mereka hanya suka atau bangga : 'yang penting punya pegangan'. Hehehe...Jadi... please : JANGAN NANGGUNG !!!
(yang lebih parah lagi adalah KERIS hanya sekedar jadi hiasan/pajangan) Next Step > Jangan selalu menempatkan KERIS di benak kita adalah sebuah benda yang menakutkan. Bagaimana mungkin mau kenal kalau kita sudah takut duluan, ya nggak?!Walaupun sakral tapi tetap kita harus mengenalnya. Kita hanya tunduk & takut pada Gusti Alloh !!! DEAL ?! OK...LET'S START !
Istilah Keris Dalam budaya perkerisan ada sejumlah istilah yang terdengar asing bagi orang awam.. Pemahaman akan istilah-istilah ini akan sangat berguna dalam proses mendalami pengetahuan mengenai keris. Istilah dalam dunia keris, khususnya di Pulau Jawa, yang sering dipakai: angsar, dapur, pamor, perabot, tangguh, tanjeg, dan lain sebagainya. Di bawah ini adalah uraian singkat yang disusun secara alfabetik mengenai istilah perkerisan. Istilah ini lazim digunakan di Pulau Jawa dan Madura, tetapi dimengerti dan kadang kala juga digunakan di daerah lainnya, seperti Sulawesi, Sumatra, dan bahkan di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. //Angsar adalah daya kesaktian yang dipercaya oleh sebagian orang terdapat pada sebilah keris. Daya kesaktian atau daya gaib itu tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan oleh orang yang percaya. Angsar dapat berpengaruh baik atau posistif, bisa pula sebaliknya. Pada dasarnya, semua keris ber-angsar baik. Tetapi kadang-kadang, angsar yang baik itu belum tentu cocok bagi setiap orang. Misalnya, keris yang angsar-nya baik untuk seorang prajurit, hampir pasti tidak cocok bila dimiliki oleh seorang pedagang. Keris yang angsar-nya baik untuk seorang pemimpin yang punya banyak anak buah, tidak sesuai bagi pegawai berpangkat rendah. Guna mengetahui angsar keris, diperlukan ilmu tanjeg. Sedangkan untuk mengetahui cocok dan tidaknya seseorang dengan angsar sebuah keris, diperlukan ilmu tayuh. //Dapur Adalah istilah yang digunakan untuk menyebut nama bentuk atau type bilah keris. Dengan menyebut nama dapur keris, orang yang telah paham akan langsung tahu, bentuk keris yang seperti apa yang dimaksud. Misalnya, seseorang mengatakan: "Keris itu ber-dapur Tilam Upih", maka yang mendengar langsung tahu, bahwa keris yang dimaksud adalah keris lurus, bukan keris yang memakai luk. Lain lagi kalau disebut dapur-nya Sabuk Inten, maka itu pasti keris yang ber-luk sebelas. Dunia perkerisan di masyarakat suku bangsa Jawa mengenal lebih dari 145 macam dapur keris. Namun dari jumlah itu, yang dianggap sebagai dapur keris yang baku atau mengikuti pakem hanya sekitar 120 macam saja. Serat Centini, salah satu sumber tertulis, yang dapat dianggap sebagai pedoman dapur keris yang pakem memuat rincian jumlah dapur keris sbb: Keris lurus ada 40 macam dapur. Keris luk tiga ada 11 macam. Keris luk lima ada 12 macam. Keris luk tujuh ada 8 macam. Keris luk sembilan ada 13 macam. Keris luk sebelas ada 10 macam. Keris luk tigabelas ada 11 macam. Keris luk limabelas ada 3 macam. Keris luk tujuhbelas ada 2 macam. Keris luk sembilan belas, sampai luk duapuluh sembilan masing-masing ada semacam. Namun, menurut manuskrip Sejarah Empu, karya Pangeran Wijil, jumlah dapur yang dianggap pakem lebih banyak lagi. Catatan itu menunjukkan dapur keris lurus ada 44 macam, yang luk tiga ada 13 macam, luk sebelas ada 10 macam, luk tigabelas ada11 macam, luk limabelas ada 6 macam, luk tujuhbelas ada 2 macam, luk sembilanbelas sampai luk duapuluh sembilan ada dua macam, dan luk tigapuluh lima ada semacam. Jumlah dapur yang dikenal sampai dengan dekade tahun 1990-an, lebih banyak lagi. //Luk Istilah ini digunakan untuk bilah keris yang tidak lurus, tetapi berkelok atau berlekuk. Luk pada keris selalu gasal, tidak pernah genap. Hitungannya mulai dari luk tiga, sampai luk tigabelas. Itu keris yang normal. Jika luknya lebih dari 13, dianggap sebagai keris yang tidak normal, dan disebut keris kalawijan atau palawijan. Jumlah luk pada keris selalu gasal, tidak pernah genap. Selain itu, irama luk keris dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, luk yang kemba atau samar. Kedua, luk yang sedeng atau sedang. Dan ketiga, luk yang rengkol -- yakni yang irama luknya tegas Mas kawin Dalam dunia perkerisan adalah pembayaran sejumlah uang atau barang lain, sebagai syarat transaksi atau pemindahan hak milik atas sebilah keris, pedang, atau tombak. Dengan kata yang sederhana, mas kawin atau mahar adalah harga. Istilah mas kawin atau mahar ini timbul karena dalam masyarakat perkerisan terdapat kepercayaan bahwa isi sebilah keris harus cocok atau jodoh dengan pemiliknya. Jika isi keris itu jodoh, si pemilik akan mendapat keberuntungan, sedangkan kalau tidak maka kesialan yang akan diperoleh. Dunia perkerisan juga mengenal istilah melamar, bilamana seseorang berminat hendak membeli sebuah keris. //Mendak adalah sebutan bagi cincin keris, yang berlaku di Pulau Jawa, Bali, dan Madura. Di daerah lain biasanya digunakan istilah cincin keris. Mendak hampir selalu dibuat dari bahan logam: emas, perak, kuningan, atau tembaga. Banyak di antaranya yang dipermewah dengan intan atau berlian. Pada zaman dulu ada juga mendak yang dibuat dari besi berpamor. Selain sebagai hiasan kemewahan, mendak juga berfungsi sebagai pembatas antara bagian hulu keris atau ukiran dengan bagian warangka. //Pamor Pamor dalam dunia perkerisan memiliki 3 (tiga) macam pengertian. Yang pertama menyangkut bahan pembuatannya; misalnya: pamor meteorit, pamor Luwu, pamor nikel, dan pamor sanak. Pengertian yang kedua menyangkut soal bentuk gambaran atau pola bentuknya. Misalnya: pamor Ngulit Semangka, Beras Wutah, Ri Wader, Adeg, dan sebagainya. Ketiga, menyangkut soal teknik pembuatannya, misalnya: pamor mlumah, pamor miring, dan pamor puntiran. Selain itu, ditinjau dari niat sang empu, pola pamor yang terjadi masih dibagi lagi menjadi dua golongan. Kalau sang empu membuat pamor keris tanpa merekayasa polanya, maka pola pamor yang terjadi disebut pamor tiban. Orang akan menganggap bentuk pola pamor itu terjadi karena anugerah Tuhan. Sebaliknya, jika sang empu lebih dulu membuat rekayasa pla pamornya, disebut pamor rekan [rékan berasal dari kata réka = rekayasa]. Contoh pamor tiban, misalnya: Beras wutah, Ngulit Semangka, Pulo Tirta. Contoh pamor rekan, misalnya: Udan Mas, Ron Genduru, Blarak Sinered, dan Untu Walang. Ada lagi yang disebut pamor titipan atau pamor ceblokan, yakni pamor yang disusulkan pembuatannya, setelah bilah keris selesai 90 persen. Pola pamor itu disusulkan pada akhir proses pembuatan keris. Contohnya, pamor Kul Buntet, Batu Lapak, dll. //Pendok berfungsi sebagai pelindung atau pelapis gandar, yaitu bagian warangka keris yang terbuat dari kayu lunak. Namun fungsi pelindung itu kemudian beralih menjadi sarana penampil kemewahan. Pendok yang sederhana biasanya terbuat dari kuningan atau tembaga, tetapi yang mewah terbuat dari perak atau emas bertatah intan berlian. Bentuk pendok ada beberapa macam, yakni pendok bunton, blewehan, slorok, dan topengan. //Perabot Dalam dunia perkerisan, asesoris bilah keris disebut perabot keris. Perlengkapan atau asesoris itu meliputi warangka atau sarung keris, ukiran atau hulu keris, mendak atau cincin keris, selut atau pedongkok, dan pendok atau logam pelapis warangka. //Ricikan Adalah bagian-bagian atau komponen bilah keris atau tombak. Masing-masing ricikan keris ada namanya. Dalam dunia perkerisan soal ricikan ini penting, karena sangat erat kaitannya dengan soal dapur dan tangguh keris. Sebilah keris ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng tanda-tandanya adalah berbilah lurus, memakai gandik polos, pejetan, sogokan rangkap, tikel alis, dan tingil. Gandik polos, pejetan, sogokan rangkap, tikel alis, dan tingil, adalah komponen keris yang disebut ricikan.. //Selut seperti mendak (cincin keris) terbuat dari emas atau perak, bertatahkan permata. Tetapi fungsi selut terbatas hanya sebagai hiasan yang menampilkan kemewahan. Dilihat dari bentuk dan ukurannya, selut terbagi menjadi dua jenis, yaitu selut njeruk pecel yang ukurannya kecil, dan selut njeruk keprok yang lebih besar. Sebagai catatan; pada tahun 2001, selut nyeruk keprok yang bermata berlian harganya dapat mencapai lebih dari Rp. 20 juta! Karena dianggap terlalu menampilkan kemewahan, tidak setiap orang mau mengenakan keris dengan hiasan selut. //Tangguh Tangguh arti harfiahnya adalah perkiraan atau taksiran. Dalam dunia perkerisan maksudnya adalah perkiraan zaman pembuatan bilah keris, perkiraan tempat pembuatan, atau gaya pembuatannya. Karena hanya merupakan perkiraan, me-nangguh keris bisa saja salah atau keliru. Kalau sebilah keris disebut tangguh Blambangan, padahal sebenarnya tangguh Majapahit, orang akan memaklumi kekeliruan tersebut, karena bentuk keris dari kedua tangguh itu memang mirip. Tetapi jika sebuah keris buatan baru di-tangguh keris Jenggala, maka jelas ia bukan seorang ahli tangguh yang baik. Walaupun sebuah perkiraan, tidak sembarang orang bisa menentukan tangguh keris. Untuk itu ia perlu belajar dari seorang ahli tangguh, dan mengamati secara cermat ribuan bilah keris. Ia juga harus memiliki photographic memory yang kuat. Mas Ngabehi Wirasoekadga, abdidalem Keraton Kasunanan Surakarta, dalam bukunya Panangguhing Duwung (Sadubudi, Solo, 1955) membagi tangguh keris menjadi 20 tangguh. Ia tidak menyebut tentang tangguh Yogyakarta, melainkan tangguh Ngenta-enta, yang terletak di dekat Yogya. Keduapuluh tangguh itu adalah: 1. Pajajaran 2. Tuban 3. Madura 4. Blambangan 5. Majapahit 6. Sedayu 7. Jenu 8. Tiris-dayu 9. Setra-banyu 10. Madiun 11. Demak 12. Kudus 13. Cirebon 14. Pajang 15. Pajang 16. Mataram 17. Ngenta-enta,Yogyakarta 18. Kartasura 19. Surakarta Keris Buda dan tangguh kabudan, walaupun di kenal masyarakat secara luas, tidak dimasukan dalam buku buku yang memuat soal tangguh. Mungkin, karena dapur keris yang di anggap masuk dalam tangguh Kabudan dan hanya sedikit, hanya dua macam bentuk, yakni jalak buda dan betok buda. Sementara itu Bambang Harsrinuksmo dalam Ensiklopedi Keris (Gramedia, Jakarta 2004) membagi periodisasi keris menjadi 22 tangguh, yaitu: 1. Tangguh Segaluh 2. Tangguh Pajajaran 3. Tangguh Kahuripan 4. Tangguh Jenggala 5. Tangguh Singasari 6. Tangguh Majapahit 7. Tangguh Madura 8. Tangguh Blambangan 9. Tangguh Sedayu 10. Tangguh Tuban 11. Tangguh Sendang 12. Tangguh Pengging 13. Tangguh Demak 14. Tangguh Panjang 15. Tangguh Madiun 16. Tangguh Koripan 17. Tangguh Mataram Senopaten 18. Mataram Sultan Agung 19. Mataram Amangkuratan 20. Tangguh Cirebon 21. Tangguh Surakarta 22. Tangguh Yogyakarta Ada lagi sebuah periode keris yang amat mudah di-tangguh, yakni tangguh Buda. Keris Buda mudah dikenali karena bilahnya selalu pendek, lebar, tebal, dan berat. Yang sulit membedakannya adalah antara yang aseli dan yang palsu. //Tanjeg adalah perkiraan manfaat atau tuah keris, tombak, atau tosan aji lainnya. Sebagian pecinta keris percaya bahwa keris memiliki 'isi' yang disebut angsar. Kegunaan atau manfaat angsar keris ini banyak macamnya. Ada yang menambah rasa percaya diri, ada yang membuat lebih luwes dalam pergaulan, ada yang membuat nasihatnya di dengar orang. Untuk mengetahui segala manfaat angsar itu, diperlukan ilmu tanjeg. Dalam dunia perkerisan, ilmu tanjeg termasuk esoteri keris. //Tayuh Merupakan perkiraan tentang cocok atau tidaknya, angsar sebilah keris dengan (calon) pemiliknya. Sebelum memutuskan, apakah keris itu akan dibeli (dibayar mas kawinnya), si peminat biasanya terlebih dulu akan me- tayuh atas keris itu. Tujuannya untuk mengetahui, apakah keris itu cocok atau berjodoh dengan dirinya. //Ukiran Kata ukiran dalam dunia perkerisan adalah gagang atau hilt. Berbeda artinya dari kata 'ukiran' dalam bahasa Indonesia yang padanannya ialah carved atau engraved. Gagang keris di Bali disebut danganan, di Madura disebut landheyan, di Surakarta disebut jejeran, di Yogyakarta disebut deder. Sedangkan daerah lain di Indonesia dan Malaysia, Singapura, serta Brunei Darussalam disebut hulu keris. Warangka Atau sarung keris kebanyakan terbuat dari kayu yang berserat dan bertekstur indah. Namun di beberapa daerah ada juga warangka keris yang dibuat dari gading, tanduk kerbau, dan bahkan dari fosil binatang purba. Warangka keris selalu dibuat indah dan sering kali juga mewah. Itulah sebabnya, warangka juga dapat digunakan untuk memperlihatkan status sosial ekonomi pemiliknya. Bentuk warangka keris berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Bahkan pada satu daerah seringkali terdapat beberapa macam bentuk warangka. Perbedaan bentuk warangka ini membuat orang mudah membedakan, sekaligus mengenali keris-keris yang berasal dari Bali, Palembang, Riau, Madura, Jawa, Bugis, Bima, atau Malaysia. //Warangka Surakarta Biasanya terbuat dari kayu cendana wangi atau cendana Sumbawa (sandalwood - Santalum Album L.) Pilihan kedua adalah kayu trembalo, setelah itu kayu timaha pelet. Warangka ladrang terbagi menjadi empat wanda utama, yaitu Ladrang Kasatriyan, Ladrang Kadipaten, Ladrang Capu, dan Ladrang Kacir. Dua wanda yang terakhir sudah jarang dibuat, sehingga kini menjadi langka. Warangka ladrang adalah jenis warangka yang dikenakan untuk menghadiri suatu upacara, pesta, dan si pemakai tidak sedang melaksanakan suatu tugas. Bila dibandingkan pada pakaian militer, warangka ladrang tergolong Pakaian Dinas Upacara (PDU). Selain ladrang, di Surakarta juga ada warangka gayaman, yang dikenakan pada saat orang sedang melakukan suatu tugas. Misalnya, sedang menjadi panitia pernikahan, sedang menabuh gamelan, atau sedang mendalang. Prajurit keraton yang sedang bertugas selalu mengenakan keris dengan warangka gayaman. Warangka gayaman Surakarta juga ada beberapa jenis, di antaranya: Gayaman Gandon, Gayaman Pelokan, Gayaman Ladrang, Gayaman Bancigan, Gayaman Wayang. Jenis warangka yang ketiga adalah warangka Sandang Walikat. Bentuknya sederhana dan tidak gampang rusak. Warangka jenis inilah yang digunakan manakala seseorang membawa (bukan mengenakan) sebilah keris dalam perjalanan Warangka Yogyakarta Bentuk warangka di Yogyakarta mirip dengan Surakarta, hanya ukurannya agak lebih kecil, gayanya lebih singset. Yang bentuknya serupa dengan warangka ladrang, di Yogyakarta disebut branggah. Kayu pembuat warangka branggah di Yogyakarta adalah kayu trembalo dan timaha. Sebenarnya penggunaan warangka branggah di Yogyakarta sama dengan warangka ladrang di Surakarta, tetapi beberapa dekade ini norma itu sudah tidak terlalu ketat di masyarakat. Jenis bentuk warangka Yogyakarta lainnya adalah gayaman. Dulu ada lebih kurang delapan jenis warangka gayaman, tetapi kini hanya dua jenis wanda warangka yang populer, yakni gayaman ngabehan dan gayaman banaran. Warangka gayaman dikenakan pada saat seseorang tidak sedang mengikuti suatu upacara. Jenis bentuk warangka yang ketiga adalah sandang walikat, yang boleh dibilang sama bentuknya dengan sandang walikat gaya Surakarta. //Pamor Keris
SALAH satu aspek penting dalam eksoteri keris selain dapur, tangguh, perabot, adalah pamor keris. Mengenai sebilah keris pada umumnya orang akan bertanya, apa dapurnya, apa pamornya, tangguh mana, dan bagaimana perabotnya. Sebagian orang bahkan menganggap pamor paling penting dari semua aspek keris yang ada. Kata pamor mengandung dua pengertian. Yang pertama, menunjuk gambaran tertentu berupa garis, lengkungan, lingkaran, noda, titik, atau belang-belang yang tampak pada permukaan bilah keris, tombak, dan tosan aji lainnya. Sedangkan yang kedua, dimaksudkan sebagai jenis bahan pembuat pamor itu. Motif atau pola gambaran pamor terbentuk pada permukaan bilah keris karena adanya perbedaan warna dan berbedaan nuansa dari bahab-bahan logam yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan keris, tombak, dan tosan aji lainnya. Dengan teknik tempa tertentu, logam bahan baku keris akan menyatu dalam bentuk lapisan-lapisan tipis, tetapi bukan bersenyawa atau lebur satu dengan lainnya. Karena adanya penyayatan pada permukaan bilah keris itu, gambaran pamor pun akan terbentuk. Gambaran pamor ini diperjelas dan diperindah dengan cara mewarangi keris, tombak, atau tosan aji itu. Setelah terkena larutan warangan, bagian keris yang terbuat dari baja akan menampilkan warna hitam keabu-abuan, yang dari besi menjadi berwarna hitam legam, sedangkan yang dari bahan pamor akan menampilkan warna putih atau abu-abu keperakan. Teknik tempa dalam pembuatan senjata berpamor ini merupakan ketrerampilan khas Indonesia, terutama Pulau Jawa. Bahkan seni pamor itu mungkin bisa dibilang penemuan orang Indonesia. Tidak ada bangsa lain selain Indonesia yang dalam catatan sejarah kebudayaannya mengenal seni tempa senjata berpamor, sebelum abad ke-10. //Asal Mula Pamor Tidak ada data tertulis yang pasti mengenai kapan orang Indonesia (Jawa) menemukan teknik tempa senjata berpamor. Namun jika dilihat bahwa sebagian bilah keris Jalak Buda sudah menampilkan gambaran pamor, bisa diperkirakan pamor dikenal bangsa Indonesia setidaknya pada abad ke-7. Pamor yang mereka kenal itu terjadi karena ketidaksengajaan, dengan mencampur beberapa macam bahan besi dari daerah galian yang berbeda. Perbedaan komposisi unsur logam pada senyawa besi yang mereka pakai sebagai bahan baku pembuatan keris itulah yang menimbulkan nuansa warna yang berbeda pada permukaan bilahnya, sehingga menampilkan gambaran pamor. Keris dan tombak tangguh Jenggala sudah menampilkan rekayasa pamor yang amat indah dan mengagumkan. Jelas pamor itu bukan berasal dari ketidaksengajaan, melainkan karena teknik tempa dan rekayasa si empu. Inilah yang menimbulkan tanda tanya, apakah Jenggala dalam perkerisan sama dengan Jenggala dalam ilmu sejarah? Mengapa budaya masyarakat di kerajaan yang berdiri pada abad ke-11 itu sudah terampil membuat rekayasa seni pamor? //Bahan Pamor Selain menunjuk pada pengertian tentang pola gambarannya, pamor juga dimaksudkan menunjuk pengertian mengenai bahan pembuat pamor itu. Ada empat macam bahan pamor yang acapkali digunakan dalam pembuatan keris, dan tosan aji lainnya. Dari yang empat itu, tiga di antaranya adalah bahan alami, sedangkan bahan pamor yang keempat adalah unsur logam nikel yang telah dimurnikan oleh pabrik. Bahan pamor yang tertua adalah bahan keris dari dua atau beberaoa senyawa besi yang berbeda. Senyawa besi yang berbeda komposisi unsur-unsurnya itu, tentunya didapat dari daerah yang berbeda pula. Dari bahan pamor ini, pamor yang terjadi dinamakan pamor sanak. Bahan pamor lainnya adalah batu bintang atau batu meteor. Penggunaan bahan meteorit untuk bahan pamor bukan hanya dilakukan oleh para empu di Pulau Jawa, juga di daerah lain di Indonesia. Badik batu dan mandau batu, misalnya, dibuat oleh orang Sulawesi dan Kalimantan. Di Sulawesi selain batu bintang atau batu meteor, ada bahan pamor lain yang banyak terdapat di daerah Luwu. Bahan pamor dari Luwu ini kemudian menjadi komoditi dagang antarpulau, bahkan juga dikenal dan diperdagangkan di Singapura, Semenanjung Malaya, dan Thailand. Mereka mengenalnya sebagai pamor Luwu atau bassi pamoro. Jenis bahan pamor yang terakhir adalah nikel. Dulu, beberapa puluh tahun yang lalu, nikel lebih sering dijumpai sudah bercampur dengan unsur logam lainnya, biasanya dengan besi. Tetapi kini, tahun 2000, mudah didapat nikel murni yang dijual kiloan. Dari empat macam bahan pamor itu, batu meteorlah yang terbaik, karena bahan itu mengandung titanium yang banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan pamor lainnya. Bahan baku pamor meteorit yang terkenal adalah yang berasal dari daerah Prambanan, Jawa Tengah, yang kemudian dinamakan Kanjeng Kyai Pamor dan disimpan di halaman Keraton Kasunanan Surakarta. //Jenis-jenis Pamor Keris Ditinjau dari teknik pembuatannya, dikenal adanya dua macam pamor, yakni pamor mlumah dan pamor miring. Dibandingkan dengan pamor miring, pamor mlumah relatif lebih mudah pembuatannya, dan resiko gagalnya lebih kecil. Itulah sebabnya rata-rata nilai mas kawin (harga) keris berpamor mlumah lebih rendah dibandingkan keris yang berpamor miring. Ditinjau dari bagaimana terjadinya pamor itu, macam-macam motif pamor dibagi dalam dua golongan besar, yakni pamor tiban atau pamor jwalana, dan pamor rekan atau pamor anukarta. Yang digolongkan pamor tiban adalah jenis motif atau pola gambaran pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan dahulu oleh si empu. Gambaran pola pamor yang terjadi bukan karena diatur atau direkayasa oleh Sang Empu, dianggap sebagai anugerah Tuhan. Pola pamor golongan ini di antaranya, Wos Wutah, Ngulit Semangka, Sumsum Buron, Mrutusewu, dan Tunggak Semi. Sedangkan yang digolongkan pamor rekan, adalah pamor yang pola gambarannya dirancang atau direkayasa lebih dahulu oleh Sang Empu. Termasuk jenis ini di antaranya, pamor Adeg, Lar Gangsir, Ron Genduru, Tambal, Blarak Ngirid, Ri Wader, dan Naga Rangsang. //Istilah-istilah Mengenai Pamor Dalam buku-buku lama mengenai keris sering dijumpai berbagai istilah untuk menggambarkan keadaan dan penampilan pamor. Bahasa Jawanya: Wujud semuning pamor. Istilah-istilah itu pada umumnya kurang begitu dikenal orang yang hidup pada masa kini. Di antaranya adalah: 1. Pamor yang mrambut, merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan rabaan (grayangan - Jw.) - yakni pamor yang jika diraba dengan ujung jari rasanya seperti meraba rambut, Munculnya pamor semacam itu pada permukaan bilah keris bagaikan susunan helaian rambut, atau seperti serat-serat yang halus dan lembut. 2. Pamor yang ngawat, juga berkaitan dengan kesan rabaan seperti di atas, tetapi rasa rabaannya tidak sehalus pramor yang mrambut, - melainkan seolah-olah seperi rabaan jajaran kawat yang lembut. 3. Pamor yang nggajih merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan, yakni pamor yang tampak seperti lemak beku menempel di permukaan bilah keris. Keris atau tosan aji yang pamornya nggajih biasanya adalah keris yang bermutu rendah atau yang sering disebut keris rucahan. Keris semacam itu jika dijentik (dithinthing - Jw.) biasanya tidak berdenting. 4. Pamor mbugisan adalah istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan dan rabaan. Permukaan bilah keris yang pamornya tergolong mbugisan rabaannya halus, sedangkan gradasi berbedaan warna antara besinya yang hitam dan pamornya yang putih keperakan tidak nyata terlihat, tidak kontras. 5. Pamor yang nyanak adalah istilah untuk pamor Sanak atau pamor peson, merupakan istilah penilaian pamor menurut kesan penglihatan dan rabaan. Alur-alur pola gambaran pamor ini tidak jelas, tak kontras, tetapi rabaannya sangat terasa, agak kasar. Keris berpamor sanak biasanya dibuat dari bahan pamor yang berupa mineral besi yang didapat dari daerah lain. Jika dijentik, keris dengan pamor sanak tidak berdenting nyaring. 6. Pamor yang kelem, yang yang penampillannya cukup jelas, cukup kontras, tetapi sedemikian rupa sehingga seolah yang terlihat ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan pamor. Seolah sebagian terbesar dari pamor itu 'tengelam' di dalam badan bilah. Pamor yang kelem itu jika diraba akan terasa lumer atau halus dan lembut. 7. Pamor yang kemambang adalah kebalikan dari pamor yang kelem. Pamor ini memberi kesan seolah bagian pamor yang tertanam di badan bilah hanya sedikit saja. Jika diraba, pamor kemambang juga memberikan kesan lumer dan halus. 8. Pamor yang ngintip adalah istilah penamaan pamor yang sangat kasar perabaannya, malahan kadang-kadang di beberapa bagian terasa tajam. Pamor yang ngintip ini bisa terjadi karena dua sebab. Pertama si empu boros atau dermawan (loma- Jw.) terhadap bahan pamor yang digunakannya, sehingga jumlah bahan pamor yang digunakan berlebihan. Bisa juga terjadi karena ketidaksengajaan, yakni untuk memberikan kesan wingit pada keris itu. Sebab yang kedua adalah si empu menggunakan bahan pamor bermutu tinggi, tetapi besi yang digunakan mutunya kurang baik, sehingga besi itu cepat aus. Sewaktu besinya sudah aus, sedangkan pamor tidak, maka pamor itu akan 'muncul' di permukaan bilah secara berlebihan. 9. Pamor yang mubyar yakni pamor yang tampak cerah, cemerlang, dan kontras dengan warna besinya. Walaupun warnanya kontras, namun jika diraba akan terasa lumer, halus. Selain istilah-istilah yang di atas, untuk menilai pamor orang juga mengamati kondisi tertanamnya pamor pada badan bilah keris atau tosan aji lainnya. Menurut istilah Jawa, kondisi itu disebut tancebing atau tumancebing pamor. Tancebing atau kondisi tertancapnya pamor pada badan bilah ada dua macam, yakni pandes (pandhes), yang tertanamnya pamor seolah dalam dan kokoh; dan kumambang, yaitu yang seolah-olah mengambang atau mengapung di permukaan bilah. //Tuah dan Perlambang Banyak penggemar keris yang mengkaitkan nama dan motif pamor dengan tuah keris atau tombaknya. Untuk mengetahui sebuah keris atau tombak itu baik atau tidak tuahnya, orang lebih dahulu akan mengamati jenis motif pamornya. Begitu pula jika orang ingin tahu apa tuah atau manfaat keris itu, yang pertama kali dilihat adalah pamornya. Itulah sebabnya, mengapa di kalangan penggemar keris timbul istilah ‘membaca pamor’. Mereka menganggap bahwa tuah keris dapat dibaca dari pamornya. Anggapan itu tidak bisa disalahkan. Soalnya, seandainya pamor itu termasuk jenis pamor tiban, gambaran yang muncul dianggap sebagai pratanda dari Tuhan mengenai isi dan tuah keris itu. Jadi, motif atau pola yang tergambar pada pamor itu dianggap sebagai petunjuk untuk memperkirakan baik buruknya keris itu, sekaligus juga memperkirakan tuah apa yang terkandung di dalamnya. Kalau motif pamor itu tergolong pamor rekan, maka pamor itu akan direka oleh Sang Empu sedemikian rupa sehingga bentuk gambarannya sesuai dengan niat empu, yang dirupakan dalam doa adan mantera yang diucapkannya. Misalnya, jika Sang Empu menginginkan keris buatannya mempermudah si pemilik untuk mencari rezeki, ia akan membuat pamor Udan Mas, Pancuran Mas, Tumpuk, atau Mrutu Sewu. Tetapi jika si empu ingin agar keris buatannya bisa menambah kewibawaan pemiliknya, empu itu akan membuat keris dengan pamor Naga Rangsang, Ri Wader, Raja Abala Raja, dan yang sejenis dengan itu. Gambaran motif pamor adalah perlambang harapan. Harapan Sang Empu, sekaligus juga harapan si pemilik keris. Kira-kira sama halnya dengan gambaran rajah penolak bala. Atau mungkin serupa pula dengan gambaran Patkwa yang oleh masyarakat keturunan Cina dipercayai memiliki tuah sebagai penolak bala. Mungkin mirip juga dengan kepercayaan sebagian orang Eropa yang menganggap bentuk ornamen ladam kuda (sepatu kuda) sebagai bentuk yang dianggap bisa mengusir setan dan roh jahat. Dalam budaya Jawa - mungkin juga dibilang budaya Indonesia, bentuk-bentuk tertentu membawa perlambang maksud dan harapan tertentu pula. Bentuk bulatan, lingkaran, garis lengkung, atau gambaran yang memberikan kesan lumer, kental, tidak kaku, melambangkan kadonyan atau kemakmuran duniawi, kekayaan, rejeki, keberuntungan, pangkat, dan yang semacam dengan itu. Bentuk gambaran garis yang menyudut, segi, patahan, seperti segi tiga, segi empat, dan yang serupa dengan itu, dianggap sebagai lambang harapan akan ketahanan atau daya tangkal terhadap godaan, gangguan, serangan, baik secara fisik maupun nonfisik. Jika gambaran itu dirupakan dalam bentuk pamor, itu melambangkan harapan akan kesaktian dan kadigdayan. Bentuk garis lurus yang membujur atau melintang, atau diagonal, dipercaya sebagai lambang harapan akan kemampuan untuk mengatasi atau menangkal segala sesuatu yang tidak diharapkan. Pamor yang serupa itu dianggap dapat diharapkan kegunaannya untuk menolak bala, menangkal guna-guna dan gangguan makhluk halus, menghindarkan bahaya angin ribut dan badai, terhindar dari gangguan binatang buas dan binatang berbisa. Misalnya, pamor Adeg. Karena itulah, seorang empu sebenarnya juga bisa dibilang seniman yang memahami bahasa perlambang, dan menggunakan gambaran pamor sebagai media komunikasi. Dimasa lalu, setiap pria Jawa terutama bangsawan dan priyayi, pada saat menjalankan tugasnya sehari-hari, selalu mengenakan busana tradisional lengkap dengan sebilah keris dipinggangnya. Setiap priyayi paling tidak memiliki dua buah, satu untuk dipakai harian, sedangkan yang lain untuk upacara resmi dan upacara di karaton. Tentu saja, keris yang kedua mempunyai kualitas dan penampilan yang lebih bagus. Dizaman kuno, keris dipergunakan sebagai senjata untuk berperang ataupun untuk bertarung satu lawan satu. Pada saat ini, fungsi keris adalah untuk pelengkap busana tradisional. Namun demikian, keris tetap dihargai, diperlakukan dengan baik. Orang tradisional menghargai keris sebagai pusaka yang berharga dan barang seni yang bernilai tinggi. Keris dinilai berkualitas tinggi, kalau mempunyai penampilan fisik yang anggun dan punya daya spiritual yang bagus. //TUAH Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuah antara lain berarti sakti, keramat; berkat (pengaruh) yang mendatangkan keuntungan (kebahagiaan, keselamatan, dsb). Secara umum, dalam dunia perkerisan tuah diartikan sebagai kesaktian, daya luwih, kekuatan magis, dan manfaat gaib yang terkandung dalam sebilah keris atau tosan aji lainnya. Bagi mereka yang percaya akan adanya tuah pada sebilah keris, daya gaib yang terpancar atau 'sesuatu' yang dirasakan itulah yang disebut angsar. Pada dasarnya tuah keris itu selalu baik dan untuk kebaikan. Tetapi tuah keris belum tentu akan cocok manfaatnya bagi seseorang. Ilmu untuk mengenal dan mengetahui jenis-jenis angsar disebut ilmu tanjeng. Untuk mengetahui cocok atau tidaknya sebilah keris bagi seseorang, digunakan ilmu tayuh. Kepercayaan akan adanya tuah, baik pada keris maupun pada benda lainnya, bukan hanya ada pada masyarakat Jawa, Indonesia, atau Asia saja juga pada banyak bangsa dari benua lainnya. Bagi sebagian orang, terutama pecinta keris yang masih tergolong pemula, tuah keris dianggap dapat dibuktikan secara fisik, misalnya, lilin menyala dapat padam dengan sendirinya bila diacungi sebuah keris tertentu. Atau, bila keris tertentu direndam dalam air, di bawah sinar terang matahari, tampak seperti ular hidup. Atau, keris tertentu yang bilamana dipegang, rambut orang itu tidak dapat dipotong dengan pisau silet. Dan, atraksi-atraksi mirip sulap lainnya. Namun sebagian besar pecinta keris menganggap bahwa tuah keris sebenarnya tidak bisa dilihat, namun dapat dirasakan. Misalnya, setelah mendapat sebilah keris, rumah tangga yang sebelumnya selalu ribut, jadi tenteram dan rukun. Atau, kariernya lebih lancar, atau usahanya lebih maju, dlsb. Yang jelas, pengertian tentang tuah keris ini terkadang bersifat subyektif, lain orang bias lain pendapatnya. Semua itu tergantung pada lingkungan dan pengalaman hidup masing-masing. Menayuh Keris //TAYUH Adalah sejenis ilmu tradisional yang digunakan untuk menentukan apakah sebilah keris akan cocok dipakai atau dimiliki oleh seseorang, atau tidak. Ilmu ini terutama bermanfaat untuk meningkatkan kepekaan seseorang agar dia dapat menangkap kesan karakter sebilah keris dan menyesuaikan dengan kesan karakter dari calon pemiliknya. Contohnya, keris yang menampilkan karakter keras, galak, tidak baik dipakai oleh seorang yang sifatnya keras dan kasar. Untuk orang semacam itu sebaiknya dipilihkan keris yang karakternya lembut, dingin. //Cara Me-nayuh Ada berbagai cara untuk me-nayuh sebilah keris atau tombak. Di Pulau Jawa dan dibeberapa daerah lainnya, yang terbanyak adalah dengan cara meletakkan keris atau tombak itu di bawah bantal, atau langsung dibawah tengkuk, sebelum tidur. Agar aman, keris atau tombak itu lebih dahulu diikat dengan sehelai kain dengan sarungnya. Dengan cara ini si Pemilik atau orang yang me-nayuh itu berharap dapat bertemu dengan 'isi' keris dalam mimpinya. Namun cara ini tidak senantiasa berhasil. Kadang-kadang mimpi yang dinantikan tidak muncul, atau seandainya mimpi, sesudah bangun lupa akan isi mimpinya. Jika malam pertama tidak berhasil biasanya akan diulangi pada malam berikutnya, dan seterusnya sampai mimpi yang diharapkan itu datang. Keris atau tombak itu dianggap cocok atau jodoh, bilamana pada saat ditayuh orang bermimpi bertemu dengan seorang bayi, anak, gadis, atau wanita, pemuda atau orang tua, yang menyatakan ingin ikut, ingin diangkat anak, atau ingin diperistri. Bisa jadi, yang ditemui dalam mimpi termasuk juga makhluk yang menakutkan. Mimpi yang serupa itu ditafsirkan sebagai isyarat dari 'isi' keris yang cocok atau tidak cocok untuk dimiliki. Bagi orang awan, cara me-nayuh lewat mimpi inilah yang sering dilakukan, juga sampai sekarang. Selain cara itu masih banyak lagi cara lainnya. Untuk dapat me-nayuh keris atau tosan aji lainnya, tidak harus lebih dulu menjadi seorang ahli. Orang awan pun bisa, asalkan tahu caranya. Dalam masyarakat perkerisan juga dikenal apa yang disebut keris tayuhan, yaitu keris yang dalam pembuatannya lebih mementingkan soal tuah daripada keindahan garap, pemilihan bahan besi, dan pembuatan pamornya. Keris semacam itu biasanya mempunyai kesan wingit, angker, memancarkan perbawa, dan ada kalanya menakutkan. Walaupun segi keindahan tidak dinomorsatukan, namun keris itu tetap indah karena pembuatnya adalah seorang empu. Padahal seorang empu, tentulah orang yang mempunyai kepekaan keindahan yang tinggi. Patut diketahui, keris-keris pusaka milik keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta, pada umumnya adalah jenis keris tayuhan. Dapur keris tayuhan, biasanya juga sederhana, biasanya juga sederhana, misalnya, Tilam Upih, Jalak Dinding, dan Mahesa Lajer. Bukan jenis dapur keris yang mewah semacam Nagasasra, Naga Salira, Naga Kikik, atau Singa Barong. Selain itu, keris tayuhan umumnya berpamor tiban. Bukan pamor rekan. Di kalangan peminat dan pecinta keris, keris tayuhan bukan keris yang mudah diperlihatkan pada orang lain, apalagi dengan tujuan untuk dipamerkan. Keris tayuhan biasanya disimpan dalam kamar pribadi dan hanya dibawa keluar kamar jika akan dibersihkan atau diwarangi. //Menanjeg Keris Ilmu tanjeg dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa -- terutama di Yogyakarta dan Surakarta, adalah ilmu untuk membuat penilaian mengenai karakteristik atau sifat tuah, serta manfaat gaib sebuah keris atau tosan aji lainnya. Dalam budaya perkerisan di Pulau Jawa dikenal adanya istilah angsar yang merupakan kekuatan gaib sebilah keris. Apa manfaat dan apa pula mudaratnya angsar itu, dapat di ketahui dengan manggunakan ilmu tanjeg. Dengan ilmu tradisional itu, bagi yang percaya, seseorang dapat mengetahui kegunaan gaib dari sebuah keris,tombak, atau tosan aji lainnya. Dengan ilmu tanjeg, misalnya, sebuah keris dikatakan mempunyai manfaat dapat melindungi pemiliknya dari gangguan mahluk halus, dapat menahan serangan guna-guna,menambah wibawa dan keberanian pemiliknya. Orang yang memahami ilmu tanjeg pada umumnya disabut ahli tanjeg. //Ilmu tanjeg ini ada dua macam. Yang pertama dengan melakukan pengamatan lahiriah sebuah keris, baik dari besinya, pamornya, cara pembuatannya, bentuknya, dan rabaannya. Cara ini juga di sebut nanjeg cara eksoteri. Misalnya, kalau keris itu ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng, bisa diduga manfaat atau tuah keris itu adalah baik untuk mencari rezeki dan cocok untuk para pedagang. Kalau keris itu pamornya Tunggaksemi, maka keris itu baik untuk mengembangkan modal. Jika penampilan keris itu berkesan penampilan wingit, maka tidak baik untuk dipakai para pedagang. Cara kedua adalah dengan mengandalkan kemampuan batiniah secara tradisional. Cara ini banyak macamnya,dan hanya dapat dipelajari dengan metode tradisional, antara lain dengan berpuasa, menghafalkan dan selalu mengulang-ngulang mantera dan doa tertentu, dengan bimbingan orang yang menguasai ilmu itu. Cara itu disebut cara esoteri. Banyak para ahli tanjeg yang menggunakan kedua cara itu untuk menilai angsar sebilah keris,atau tosan aji lainnya. Seorang ahli tanjeg, pada umumnya diminta pendapatnya, kalau seseorang ingin membeli atau akan mendapatkan keris. Sebab keris dulu yang dibuat sang empu untuk keperluan keprajuritan, tidak akan sesuai digunakan oleh seorang pedagang. Keris yang dulu dibuat khusus untuk orang yang berusia tua dan telah pensiun, tentu tidak baik digunakan oleh orang muda yang masih aktif bekerja. Ilmu tanjeg tidak hanya ada di Pulau Jawa dan di Indonesia saja. Walaupun cara cara dan metodenya tidak sama, di Brunei Darussalam pun ilmu yang semacam dengan ilmu tanjeg itu juga ada. Dan, hasil tanjeg pun tidak jauh berbeda. Misalnya, sebuah keris yang di tanjeg oleh ahli di Pulau Jawa di katakan bermanfaat baik untuk berdagang baik untuk berdagang, mengembankan usaha, dan memupuk kekayaan; dengan ilmu tanjeg ala Brunei, keris yang sama, dikatakan keris berisi besi bendahara. Eksoteri adalah telaah yang membahas hal-hal yang dapat terlihat, dapat diraba, dan bisa diukur. Dalam dunia perkerisan, eksoteri keris meliputi pembicaraan masalah dapur keris, pamor keris, warangka (sarung) keris, ukiran (hulu) keris, termasuk teknik pembuatan dan sejarah asal usulnya. Bentuk bilah keris terdiri atas ratusan dapur (lihat Istilah Keris). Dari yang ratusan itu bisa dibagi menjadi dua golongan besar, yakni bilah keris yang lurus, dan yang memakai luk.
ESOTERI KERIS Adalah semacam ilmu atau pemusatan perhatian terhadap apa yang tidak tampak dari luar, pada sebilah keris. Esoteri keris antara lain membicarakan soal tuah, tanjeng, tayuh, khasiat, daya magis, manfaat, pengaruh, isi, penunggu, dan yang semacam dengan itu. Terlepas soal percaya atau tidak, benar atau salah, maka esoterikeris merupakan salah satu dari banyak cabang budaya perkerisan. Ia selalu dibicarakan orang, baik yang percaya maupun tidak, bukan hanya dikalangan masyarakat pecinta keris di Indonesia, tetapi juga di negara lain, termasuk negara-negara barat. Biasanya, selain dibicarakan dari sudut budaya, esoteri keris juga sering dibahas dari sudut agama. Lawan kata dari esoteri keris adalah eksoteri keris atau exoteri keris. Berbeda dengan esoteri keris, maka eksoteri keris membicarakan soal-soal keris yang tampak dari luar. Antara lain yang dibicarakan soal dapur keris, pamor, jenis besi dan yang semacam dengan itu. Pembicaraan soal esoteri keris hampir selalu berkaitan dengan soal tuah atau kesaktian keris. Karena soal tuah amat erat kaitannya dengan pengalaman pribadi seseorang, sikap spiritual seseorang, maka soal esoteri itu tidak dapat diperdebatkan.
Pesona Mistis Dapur Keris Sabuk Inten Pamor Beras Wutah UNTUK SEBUAH KEMULIAAN DAN SPIRIT PANTANG MENYERAH Sekiranya tak berlebihan bila keris dikatakan sebagai fenomena. Pasalnya, jenis senjata yang sekaligus juga dianggap pusaka ini sarat dengan makna. Belum lagi model, gaya dan aura serta fungsinya yang sungguh sangat beraneka. Ditambah faktor mistis, yang membuat keris menjadi legendaris dan karenanya historis . Berkait sejarah atau nilai historisnya, jagat perkerisan di tanah Jawa mencatat banyak kisah keris pusaka ampuh yang legendaris. Mulai dari Keris Mpu Gandring di zaman Singosari hingga keris zaman peralihan Majapahit Hindhu ke Demak Islam. Misalnya Kiai Condong Campur, Nogososro dan Sabuk Inten serta Kiai Sengkelat. Belum lagi keris keris milik para Kanjeng Sunan penyebar Islam seperti keris Kiai Kala Munyeng, Kiai Carubuk dan banyak lagi. Di zaman itu, keris tak hanya dipandang sebagai pusaka saja. Tapi juga sasmita zaman. Pada tataran inilah sebenarnya, sejak itu keris sudah bertambah fungsinya menjadi semacam prasasti atau candra sengakala. Pada akhirnya keris diakui sebagai benda multi fungsi dan multi makna. Sebagai prasasti atau candra sengakala, keris sengaja dibuat dengan ricikan sedemikian rupa, sehingga merujuk pada sebuah angka tahun. Hal demikian setidaknya pernah dilakukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar Mataram Hadiningrat di Jogjakarta. Pewaris dinasti Kerajaan Islam terbesar dan paling kawentar itu membuat keris dengan ganja kinatah emas berelief Gajah-Singa. Keris itu diperuntukkan sebagai hadiah bagi para senopati perangnya, yang telah berjasa menaklukkan pemberontakan Raja Pragola, di Pati, Jawa Tengah. Ukiran ganja kinatah Gajah Singa itu lengkapnya berbunyi Gajah Singa Keris Siji. Gajah berarti 8, Singa berarti 5, Keris berarti 5, dan Siji berarti 1. Deretan angka itu kemudian dibaca dari belakang menjadi 1558. Angka ini adalah angka tahun Jawa. Tahun kemenangan Sultan Agung Hanyokrokusumo atas Kadipaten Pati yang hendak membangkang kepada Narendra Agung Mataram Hadiningrat, Sultan Agung. Sebagai pemberian, sebenarnya keris itu juga berfungsi sebagai tanda pernghargaan. Dengan berbagai bentuk atau dapur dan pamornya, dengan sendirinya tercipta adanya ciri khas tersendiri. Ciri khas ini kemudian merujuk pada sebuah identitas. Keris pun lalu menjadi simbol identitas dinasti atau derajat kepangkatan seseorang.
Bangsa Indonesia bangga bahwa karya pinisepuhnya yang berupa Keris telah diakui oleh UNESCO pada tahun 2005 sebagai Warisan Budaya Indonesia

20 Agustus 2012

HASTABRATA

Wahyu Makutha Rama yang dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA yang artinya HASTA adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi HASTABRATA adalah merupakan 8 guidance (pedoman) ilmu standard perilaku manusia dalam leadership & Manajemen.
Pertama ilmu HASTABRATA telah di-wejangkan oleh Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung). Yang kedua oleh Raden Regowo juga (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Sindelo bergelar Prabu Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko). Yang ketiga Sri Bathara Kresna (Juga Titisan Bhatara Wisnu) dari Dworowati mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita Wahyu Makutoromo) kepada Raden Arjuna, sebagai penengah Pendawa yang telah menjalani “Perilaku” prihatin dengan cara bertapa.
Dikatakan bahwa ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa dengan implementasi prinsip-prinsip hukum alamiah. Ajaran HASTABRATA berisi 8 ajaran perilaku yang harus dipunyai seorang pemimpin, yang terdiri dari sbb; 1. Watak Surya atau matahari diteladani oleh Bhatara Surya Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuh kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara dengan bekal lahir dan batin untuk dapat tetap berkarya. 2. Watak Candra atau Bulan diteladani oleh Bhatari Ratih Bulan memancarkan sinar kegelapan malam. Cahaya bulan yang lembut mampu menumbuhkan semangat dan harapan-harapan yang indah. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, dalam suasana suka dan duka. 3. Watak Kartika atau Bintang diteladani oleh Bhatara Ismoyo Bintang memancarkan sinar indah kemilau, mempunyai tempat yang tepat di langit hingga dapat menjadi pedoman arah. Seorang pemimpin hendaknya menjadi suri teladan (Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tutwuri Handayani). Tidak ragu lagi menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan. 4. Watak Angkasa yaitu Langit diteladani oleh Bhatara Indra Langit itu luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam. 5. Watak Maruta atau Angin diteladani oleh Bhatara Bayu Angin selalu ada di mana-mana, tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bisa mengetahui keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat. 6. Watak Samudra yaitu Laut atau Air diteladani oleh Bhatara Baruna Laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya. 7. Watak Dahana atau Api diteladani oleh Bhatara Brahma Api mempunya kemampuan untuk membakar habis dan menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu. 8. Watak Bumi yaitu Tanah diteladani oleh Bhatara Wisnu Bumi mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada siapa pun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Seorang pemimpin hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya.
A. LAKON “WAHYU MAKUTARAMA” 1. Pengantar Lakon “Wahyu Makutarama” adalah bukti kepiawaian para pujangga Nusantara dalam mengadopsi cerita wayang, yang aslinya dari India. Epos India terdiri dari “Ramayana” dan “Mahabharata”. Lakon “Wahyu Makutarama” adalah hasil karya leluhur Nusantara kita, merupakan “titik temu” atau “jembatan penghubung” antara kedua kisah tadi, Dalam lakon ini ada tokoh Gunawan Wibisana dan Anoman, tokoh dalam kisah Ramayana. 2. Ringkasan lakon “Wahyu Makutarama”. Syahdan, para dewa mengabarkan kepada para insan marcapada, bahwa telah ada Mahkota yang diberi nama Sri Batara Rama. Barangsiapa memiliki mahkota itu, akan menjadi sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di marcapada. Karena berkhasiat menurunkan raja-raja, kemudian sering disebut sebagai “Wahyu Makutarama”. Prabu Duryudana dari Astina mengutus Adipati Karna untuk memperoleh mahkota sekaligus wahyu tadi. Adipati Karna, dengan diiringi para senapati Kurawa, pergi menemui Begawan Kesawasidi di pertapaan Kutharunggu. Karna meminta wahyu itu, yang diyakininya berada di tangan Kesawasidi. Kesawasidi mengatakan dia tidak punya Makutarama. Adipati Karna marah, dan melepaskan panahnya, yang disambut oleh Anoman, pendamping Kesawasidi. Panah itu ditangkap Anoman, kemudian dipersembahkan kepada Kesawasidi. Bukannya dipuji, Anoman malah ditegur Kesawasidi, karena, dapat dipandang sebagai meragukan kepiawaian kanuragan gurunya. Setelah Karna pergi, datanglah Begawan Wibisana, adik Rahwana, yang sudah berusia lanjut dan ingin segera meninggalkan dunia, kembali ke alam asal. Tidak dilayani oleh Kesawasidi, hingga terjadi pertempuran. Kesawasidi “tiwikrama”, dan sadarlah WIbisana bahwa Kesawasidi titisan Rama, bekas junjungannya dulu. Kesawasidi memberi petunjuk cara kembali ke alam asal. Wibisana pamit, dan dalam perjalanan ke alam asal bertemu sukma Kumbakarna, kakaknya dulu, yang sedang gelisah. Wibisana menasehati Kumbakarna supaya menyatu dengan Bima, ksatria Pandawa. Sementara itu, Arjuna juga berupaya mendapatkan Makutarama.Dia pergi diam-diam dari istananya, kemudian menyamar sebagai pendeta. Selagi bersemedi, Arjuna mendapat “wangsit” untuk menemui Begawan Kesawasidi. Setelah Arjuna datang menghadap, tahulah Kesawasidi bahwa sudah tiba saatnya memberikan wahyu itu kepada orang yang tepat. Diwedarkannya rahasia bahwa Makutarama bukanlah berujud benda, tetapi berupa ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman dan dilakoni oleh manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Ajaran luhur ini dinamakan “Asta Brata”, yang intinya meneladan sifat-sifat alam dalam melakoni kehidupan. Asta Brata ini dulunya diajarkan Rama kepada Wibisana, sepeninggal Rahwana, sebagai bekal bagi Wibisana menjadi raja Alengka menggantikan Rahwana. Sepeninggal Arjuna, Bima mencarinya. Dalam pencarian itu, ketemu sukma Kumbakarna, yang kemudian merasuk ke paha kiri Bima. Istri Arjuna, Sumbadra, juga mencari Arjuna. Sumbadra dibantu Betara Narada, dan berubah rupa menjadi ksatria, yang kemudian pergi ke Kutharunnggu menantang perang Arjuna. Dalam perang tanding itu, Kesawasidi datang. dan “badar” lah semuanya. Kesawasidi kembali ke wujud Kresna, sang ksatria penantang kembali menjadi Sumbadra. Arjuna mewarisi wahyu Makutarama berupa ajaran “Asta Brata”, yang kelak diwariskan kepada puteranya, Abimanyu. Anak Abimanyu, Parikesit, belakangan mewarisi tahta kerajaan Hastina. B. “ASTA BRATA”.
1. Inti ajaran Asta Brata. Ajaran Astabrata pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan. Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata. Dalam lakon Wahyu Makutarama, Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja. Asta Brata adalah simbol alam semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta, maka selaraslah kehidupannya. Delapan simbol alam itu adalah: bumi, geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata, sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum sebagai: “Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.” 2. Beberapa versi rumusan Asta Brata a. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta: -Asta Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu: 1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi) Seperti halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh. 2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air) Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian. 3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin) Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan). 4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan) Seperti sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan. 5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari) Seperti sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi rakyatnya. 6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra) Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya. 7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung) Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan tanah. 8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api) Seperti sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya. b. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita. Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta berarti delapan, brata berarti laku atau watak. 1. Watak Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah. 2. Watak Candra atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika, prabawa sreping bawana. 3. Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola wali. 4. Watak Maruta atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus. 5. Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman. 6. Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan. 7. Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula. 8. Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah marang kawula. c. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut: 1. “kapisan bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung dumadi. 2. Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana. 3. Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating sagung dumadi. 4. Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha. 5. Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta. 6. Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara. 7. Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa. 8. Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah. C. NILAI DAN TELADAN a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia Internasional. Ada banyak rumusan Asta Brata. Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Apakah ajaran ini bersifat Universal, dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja? Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa apa sifat ajaran Universalnya? Yaitu, bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam. Di Negeri China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api. Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara (Angin) dan Ruang. Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap? Ternyata, tidak sesederhana itu. Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam ajaran Asta Brata? Tanpa ruang, di manakah ke unsur-unsur alam itu berada? Makna: Tidak semua yang terlihat berbeda itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada kesamaan di antara perbedaan. b. Esensi Makna Asta Brata Asta Brata bukan hanya berlaku bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti “hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga memberi manfaat bagi sesama”. Seorang pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata, berarti ia adalah rakyat jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya.

6 Agustus 2012

TUMBAK PINILIH

Menyelusuri sejarah secara detail memang sangatlah sulit untuk kita kaji, disamping perbedaan zaman yang kita alami saat ini jauh tertinggal dengan zaman mereka, namun secara maknawi, tidak semua sejarah musnah begitu saja dan tanpa bisa dibuktikan, karena fakta disini akan mengupasnya. Bercerita tentang tokoh yang satu ini sampai kapanpun terus menjadi prokontra kalayak rame, suatu mithos dan kenyataan sejarah, akan terus mewarnai pemahaman orang-orang yang belum paham sejatinya siapa Ibu Ratu Pantai Selatan, sesungguhnya. Mereka saling membenarkan pendapatnya masing-masing dengan mengatas namakan keluarga atau silsilah garis keturunannya. Wal hasil, dalam pemahaman sesungguhnya mereka masih dalam tarap katanya, inilah kisah selengkapnya yang disarikan dalam kitan kuno. Terboekanja Puelo Djawa / terbukanya pulau Jawa, karangan Habib Syeikh Muhammad Idrus, ditulis pada tahun 1845, yang dinukil dari Nabiyullah Hidir AS. Kisah perempuan yang semasa hidupnya ngahyang / raib, bermula dari Istri Nabiyullah Sulaiman AS, yang bernama Ratu Bilqis, setelah suaminya wafat kehadirat Allah SWT. Beliau ngahyang karena cintanya yang begitu besar terhadap suaminya, namun Allah berkehendak lain, beliau akhirnya ditempatkan menjadi ratu laut selatan dibawah perintah Nabiyullah Hidir AS, yang mengepalai seluruh Abdul Jumud, Ahmar, Abyad, Qorin dan Junu, di wilayah Timur Tengah. Juga Nyimas Ayu Nilam, atau Kencana wungu, atau Dewi Sekar Wangi atau Dewi Nawang Wulan, istri Jaka Tarub, yang kini menjadi ratu pantai selatan, bagian Cilacap. Siti Aisah atau Dewi Pembanyun atau Nyimas Rara Ayu, Pokeshi, keturunan Demak, yang ibunya dinikahi oleh Prabu Siliwangi, beliau pada akhirnya ngahyang dan menjadi Ratu Pantai Selatan, bagian Demak Yogyakarta dan Solo. Dewi Nawang dan Nawang Sari, putri dari Prabu Siliwangi yang menikah dengan Ratu Palaga Inggris, beliau juga ngahyang dan menjadi penguasa pantai selatan, setelah kerajaan ayahandanya raib akibat ditanam Lidi Lanang. Dewi Sekar Sari atau Dewi Andini, salah satu putri Dewi Nawang Wulan, beliau sejak lahir telah menempati salah satu wilayah pantai selatan, yang menguasai Abdul Jumud dan Ahmar, bagian Sukabumi, Garut dan sekitarnya. Dalam hal ini Misteri tidak membedarkan secara detail tentang sejati diri mereka, namun hanya menceritakan perjalanan 7 tombak yang pernah menjadi bagian dari hidup Dewi Nawang Wulan, putri dari Prabu Siliwangi, yang kini telah diwariskan pada manusia bumi. Secara rinci 7 tombak yang dimaksud dalam kisah kali ini punya nama dan gelar sebagai berikut : 1. Tombak Cakra Langit, bergelar, Tombak Kesyahidan. Motif, lurus dengan kinatah emas murni berbentuk jangkar melingkar, ditengah badan menjulang empat tombak kecil melingkari kepala, dengan kinatah berlian red diamond memutar. Tombak ini diberikan kepada Kanjeng Suanan KaliJaga, untuk melawan kesaktian Prabu Siliwangi, atas perintah Prabu Panatagama Tajuddin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran agama Islam, dan tombak ini sebagai cindra mata perkawinannya Dewi Nawang Wulan, dengan Sunan KaliJaga. Silsilah tombak Cakra Langit, akhirnya turun temurun diwariskan kepada ahlul Khosois, diantaranya, Quthbul Abdal, Syeikh Malaka Tajuddin, Makassar, Quthbul Muqoiyyad, Syeikh Hasyim bin Asy’ari, Aceh, yang diturunkan kepada muridnya Ahmad Suyuti bin Jamal, Kalimantan, Quthbul Autad Min Zumhur Ulama, Ki Tholkha Kalisapu, Mbah Hamid, KiPanjul dan kini berada ditangan Min ahlillah Qurbatul Wilayah Syareatul Khotam, namun sayang tidak boleh dipublikasikan. 2. Tombal Punjul Wilayah, bergelar, tombak Antakusuma. Tombak ini diberikan kepada putrinya Andini, sebagai lambang dari tahta istananya yang dikemudian hari diberikan kepada suaminya Dampu Awuk, gunung Sembung. Lalu diturunkan kepada putrandannya yang bernama, Raden Sa’id atau pangeran LungBenda Jaya Negara. Dari Raden Sa’id, akhirnya berpindah tangan karena dicuri oleh segerombolan aliran hitam yang mengatas namakan perguruan “Kijang Kencana” yang dikepalai oleh murid sakti Pangeran Ambusana, Weleri Jawa Tengah. Baru setelah 20 tahun ditangannya, tombal Punjul akhirnya dimiliki seorang pertapa sakti Buyut Ajigung Ajiguna, setelah adu kesaktian. Kisah tombak ini turun temurun dijaga oleh sebagian bangsa Hindu dan pada akhirnya raib dihutan Banyuwangi Jawa Timur, dan baru setelah seorang Waliyullah kamil, Mbah Hafidz, yang berasal dari Timur Tengah, menduduki wilayah tersebut, akhirnya tombak Punjuk Wilayah, tetap terjaga. Kini tombak Punjul, masih dijaga oleh muridnya yang bernama Ki Panjalu Pati Jawa Tengah. Bentuk tombak Punjul Wilayah. Motif lurus, urat air hujan (Majapahit) warna hitam kebiruan, dengan lima ujung mata tombak mengarah kedepan. Tombak ini sudah dirombak dari bentuk aslinya oleh Mbah Hafidz, sebagai suatu pengelabuan dimasa yang akan datang agar tidak disalah gunakan. 3. Tombak Panatagama, bergelar, Raja Maemun. Pemberian dari Sulthonul Jin Maemun Indramayu. Motif tiga cabang tombak kedepan, urat besi aji meteor legam, hitam bersisik tanpa pamor, dihiasi 7 batu merah delima, 3 zamrud Colombia dan 4 shapire Srilangka serta 11 batu biduri air. Silsilah tombak ini Misteri hanya kedapatan 4 orang dan lainnya tidak diketahui, yaitu, Syeikh Abdullah Al-Fanani Min Rijalullah, Syeikh Qosim Al-Jawi, Syeikh Mudaim, dan Ki Toha Tegal Gubug. 4. Tombak Cemeti Rosul, bergelar Tombak Alam Jagat Raya. Tombak ini bermula dari pemberian Rosulullah, berupa cemetipanjang (Besi panjang) yang diberikan kepada Nabiyullah Hidir AS, sewaktu dibaiat Maqomul A’dzom, di alamus Sama tingkat enam, yang kemudian diberikan kepada Dewi Nawang Wulan, sewaktu dibaiat Syahadatiyyah oleh Ahli Rijal bangsa Rububiyyah ahlul Barri. Lewat mandat Dewi Nawang Wulan, bahan tadi dibentuk oleh abdi dalem, Empu Jalaga Widesa, berupa tombak mata satu dengan urat bumi yang sangat indah. Baru disaat kota Cirebon diserang oleh pasukan tamtama Lewmunding, Tombak ini diserahkan kepada Syeikh Magelung Sakti, sebagai benteng pertahanan paling kuat kota Pesisir. Lalu tujuh tahun setelah itu, tombak tadi diserahkan kepada Andika Syeikh Muhyi Pamijahan, atas ilafat Syeikh Sanusi goa gunung Mujarrob, yang menyatakan sudah waktunya berpindah tempat. Dari Syeikh Sanusi, Tombak Cemeti Rosul, akhirnya dirubah bentuk menjadi sebatang keris Budho madya kuno dengan urat alami jagat raya yang selalu menitikkan air disela uratnya, cara perubahan keris ini menurut pandangan Syeikh sanusi, sebagai lambang penyatuan antara Islam dan Kejawen yang diajarkan bangsa Waliyullah, pada masa itu. Sarung kerisnya dibuat dari kayu Kaukah, dengan dihiasi 21 batu merah delima, 41 zamrud Colombia, 17 shapire Birna, 70 berlian putih, dan 4 pink shapire srilangka. Pada tahun 1961, keris ini diberikan kepada Habib Muhammad bin Khudhori, Magelang, atas hawatif yang diterimanya untuk mengambil secara langsung didalam goa gunung Mujarrob, Tasikmalaya Jawa Barat. Dan pada tahun 1998, sebelum beliau wafat, keris ini diberikan kepada Habib Syeikh Arba’atul ‘Amadu, atas mandat langsung dari Syeikh Sanusi. Kelebihan dari wujud keris ini tidak bisa di foto dengan kamera digital maupun otomatis lainnya. Kini Keris Cemeti Rosul, sedang dipinjam oleh Ahlullah Quthbul Muthlak Habib Ali bin Ja’far Alawi, Arab Saudi. 5. Tombak Karara Reksa, bergelar, Tombak Derajat. Motif bergerigi dengan cabang berantai lebih dari sepuluh. Warna putih gading dengan bentuk tumpul, memancarkan cahaya putih kehitaman. Tombak ini hasil riyadho Dewi Nawang Wulan Sendiri, sewaktu masih menjadi murid Ki Ageng Surya Pangeran Kuncung Anggah Buana (Ki Buyut Trusmi) Bahan yang dimilik tombak ini berasal dari kembang pinang yang sudah membatu. Kisah tombak Karara Reksa, selalu muncul sewaktu-waktu disaat menjelang pemilihan president, dan kini tombak tersebut masih terpelihara dialam istana ghoib laut selatan. 6. Tombak Karara Mulya, bergelar, Tombak Mangku Mulyo. Tombak ini tidak diketahui pembuatnya, hanya saja setelah dipegang Dewi Nawang Wulan, tombak ini dihadiahkan atas perkawinan putrinya yang bernama, Nyimas Anting Retno Wulan, untuk suaminya Pangeran Jaladara, putra Kyai Ageng Bintaro Kejuden. Dari Pangeran Jaladara, diturunkan kepada putranya, Pangeran Seto Bulakamba, dan kemudian diwariskan pada gurunya Ki Alam Jagat Bumi, Banten, lalu turun temurun diberikan kepada Syeikh Asnawi Banten, Syeikh Masduki Lasem, Syeikh Samber Nyawa Purwodadi, Mbah Hafidz Banyuwangi dan yang terakhir kepada Habib Husein bin Umar bin Yahya Pekalongan. Asli dari bentuk tombak Karara Mulya, disetiap ujung sampai pangkal bawah berjeruji sangat tajam seperti mata kail pancing, namun demi menjaga kelestarian dari keberadaan tombak fenomenal ini akhirnyaHabib Husein, merombaknya seperti yang anda lihat saat ini. 7. Tombak Tulungagung, bergelar Tombak Sapta Jati. Tombak ini diwariskan secara langsung dari tangan Dewi Nawang Wulan, sebagai tanda terima kasihnya, atas keluhuran derajat Habib Husein, yang mau menyelamatkan bumi Pekalongan, dari amukan tsunami hingga tidak sampai terjadi. Kisah ini terjadi pada tahun 1998, bulan Pebruari, tepatnya selasa kliwon. Kini tombak tersebut dirubah sedikit dari bentuk semula yang aslinya seperti segi tiga menjadi tombak lurus dengan pahatan panel bunga. Kisah ini sudah dapat restu dari beberapa orang terkait kecuali Habib Husein bin Umar, karena beliau kini sudah (Alm). Semoga dengan pembedaran kisah 7 tombak fenomenal , menjadikan kita sadar diri dengan apa yang selama ini banyak kita dengar. Karena apapun benda bertuah kelas wahid, tidak bakal jatuh pada manusia yang masih memegang, katanya, dan aku-aku sebagai pedoman hidup. Sebab pemahaman tentaang keluasan bangsa gaib bersumber dari pembelajaran Ilmu Islam, Iman, Solah, Ihsan, Syahadatul Kubro, Siddikiyyah dan Qurbah, secara dhaukiyyah (Merasakan langsung)

7 Satrio Piningit

Ronggowarsito adalah spiritualis indonesia yang sangat ternama karena ramalannya banyak yang sudah terbukti. Dipaparkan ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit (Negara Indonesia), yaitu :
Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.
Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut : SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998. SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999. SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong / dari menteri menjadi presiden) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam, disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil. SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu bersandar hanya kepada Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang sejati.