Dl MANDAILING Tapanuli Selatan sampai
ke Kabupaten Pasaman di Sumatera
Barat bagian Utara yang berbatasan
dengan Mandailing, sebutan manusia
harimau tidak aneh sama sekali. Karena
di daerah itu sejak dulu memang ada
manusia harimau. Manusia hidup yang
mempunyai harimau, yang dapat menjadi
harimau atau menjadi harimau setelah ia
meninggal dunia. Sampai kini manusia
harimau masih ada tetapi jumlahnya tidak
lagi sebanyak dulu. Semakin banyak
orang nekat melepaskan warisan
harimau yang seharusnya ia terima darl
ayahnya yang meninggal. Memang ada
resiko bagi, mereka yang berbuat
demikian, tetapi perubahan lingkungan
dan hidup menyebabkan banyak orang
malu menerima warisan harimau dengan
akibat bisa menjadi harimau setelah tutup
usia. Manusia harimau yang telah kita
ceritakan, adalah seorang pemuda cukup
terpelajar bernama Erwin anak Dja Lubuk
yang telah tiada dan cucu Raja Tigor
yang juga telah lama berpulang ke
rahmatullah. Baik Dja Lubuk maupun
Raja Tigor hidup kembali setelah dikubur
dalam bentuk "manusia harimau" yaitu setengah harimau dengan setengahnya lagi manusia. Hidup kembali
mereka tidak berarti hilang dari kuburannya lulu terus-menerus melata di mana-mana. Mereka hanya keluar
pada waktu-waktu tertentu dari kuburan.
Erwin yang mewarisi keharimauannya dari ayahnya, merantau ke Medan kemudian ke Jakarta dan
Surabaya. Sebenarnya hanya pekerjaan yang dicari, tetapi nasib menentukan lain. la berhadapan dengan
seorang sakti dan banyak ilmu bergelar Ki Ampuh den pernah pula jatuh cinta pada seorang wanita aneh yang
sudah punya umurseratus lima puluh tahun tetapi tetap kelihatan sebagai gadis remaja yang amat cantik,
bermukim di daerah Cikotok, Banten.
Permusuhan besar antara Erwin yang manusia harimau dengan Ki Ampuh akhirnya berubah menjadi suatu
persahabatan. Ki Ampuh sempat menuntut tambahan banyak ilmu di Tapanuli Selatan sebagai tamu Erwin dan
keluarganya serta orang-orang pandai ilmu di sana. Tetapi dasar manusia selalu tergoda dan rusak oleh
keserakahan harta dan nama; akhirnya Ki Ampuh mengkhianati Erwin supaya ia tidak mempunyai saingan lagi
di Jakarta. la sakit hati sekali karena Erwin dapat menyembuhkan seorang gadis anak orang kaya yang gagal
diobati oleh Ki Ampuh. Tuhan menghendaki Erwin masih meneruskan kehidupannya di dunia, sementara Ki
Ampuh yang mengkhianati sumpahnya akhirnya mati dan menjadi babi hutan. Perlu ditambahkan bagi
pembaca yang tadinya belum mengenal manusia harimau, bahwa Erwin, ayahnya dan kakeknya selalu
mempunyai sifat-sifat yang baik, walaupun mereka bisa menjadi harimau dan punya ilmu sakti yang amat
ampuh. Tidak pernah mengganggu atau menyusahkan orang lain. Sebaliknya selalu membantu manusia.
Tetapi manakala disakiti berulang kali, manusia harimau akan marah dan kalau membalas, maka balasan itu
tidak akan kepalang tanggung. Beberapa onggota yang mestinya menegakkan keamanan, tetapi dalam praktek
justeru menyiksa, telah menemui ajal dengan cara yang amat mengerikan.
KALAU ketika membakar Ki Ampuh, manusia harimau muda ini benar-benar dendam tak
terkendalikan lagi, maka kemanusiaan dalam dirinya menang kembali setelah beberapa
waktu peristiwa itu berlangsung. Ia telah banyak membinasakan musuhnya, tetapi
membunuh dengan jalan membakar barulah kali itu. Manakala Ki Ampuh yang telah
menjelma jadi babi hutan datang ke pekarangannya dan menangis oleh sesal dan kesedihan,
maka Erwin merasa iba juga. Tetapi bukanlah salahnya orang berilmu itu akhirnya menemui
nasib serupa itu setelah kematiannya. Ki Ampuh dimakan sumpahnya sendiri.
Pada suatu malam bulan penuh, babi hutan itu datang ke rumah Erwin. Kali ini ia
memanggil-mangggil dengan suara bagaikan dengkur. Manusia harimau yang sedang
berbaring dengan berbantalkan kedua belah tangannya, mengenang kembali masa-masa
lampaunya, terkejut mendengar panggilan aneh itu. Namun ia segera menduga, bahwa
makhluk itu tentu tak lain daripada Ki Ampuh yang semula jadi saingan dan musuh,
kemudian jadi sahabat akrab, tetapi akhirnya jadi musuh kembali oleh keserakahan yang
menguasai dirinya.
Erwin keluar rumah, pergi mendapatkan babi yang duduk dengan perutnya rapat ke
tanah. Oleh cahaya bulan tanpa rintangan awan, Erwin jelas melihat penjelmaan kembali
orang hebat itu mencucurkan air mata.
"Apa yang dapat kulakukan untukmu?" tanya Erwin bagaikan bicara dengan kawan.
Babi itu kelihatan terharu. Manusia harimau ini benar-benar jauh lebih baik dari
dugaannya. Ia tidak dendam berkepanjangan masa. Betapa beda dengan sifat-sifatnya yang
amat hina tatkala ia masih hidup sebagai manusia dan dukun yang berilmu tinggi.
"Kau masih mau menolong aku, Erwin?" tanya penjelmaan kembali Ki Ampuh itu.
"Kalau dapat," kata Erwin. Ia kembali jadi manusia penuh rasa kasih dan sayang.
Walaupun yang dihadapi itu hanya seekor babi yang semasa masih manusia berusaha
dengan segala daya untuk membinasakannya.
"Aku ingin hidup kembali," kata babi itu.
"Bukankah kau kini juga hidup?"
"Ini bukan hidup, Erwin. Ini penderitaan dan siksa. Dan ia takkan berhenti kalau tiada
orang sakti yang bermurah hati mau menolong."
"Aku tidak mengerti," jawab Erwin.
"Aku ingin hidup seperti dulu. Jadi manusia."
Erwin tidak segera menyahut. Mungkin semua manusia yang setelah mati jadi binatang,
mulai dari semut, sampai gajah ingin menjadi manusia kembali.
"Kau atau ayah dan ompungmu barangkali mau menolong aku."
"Aku tidak tahu apakah itu mungkin," kata Erwin.
Hati babi hutan itu mulai diisi harapan. Ia yakin, Erwin telah lemah dan mau
membantunya. Berkata babi itu selanjutnya: "Biar aku tidak punya ilmu biar aku tidak lagi
jadi dukun besar. Biarlah, asalkan jadi manusia kembali."
Erwin tidak memberi jawaban. Babi itu mau meyakinkan manusia harimau itu.
"Kalau aku dijadikan manusia kembali, aku mau jadi orang suruhanmu. Yang penting
bagiku hanya satu Erwin. Kasihan istri-istriku yang kini jadi janda. Mereka membutuhkan
aku," katanya.
"Aku tidak punya kesanggupan seperti itu Ki Ampuh," kata Erwin.
"Tapi ompungmu Raja Tigor, atau Datuk nan Kuniang kurasa sanggup."
"Entahlah!"
"Tetapi kau mau menolong aku? Kau masih punya secercah rasa kasihan padaku? Aku
teramat malu Erwin. Aku mengaku telah berbuat kejahatan dan pengkhianatan yang terlalu
besar terhadap sahabat-sahabat yang begitu baik kepadaku! Kau mau memaafkanku?"
"Telah kumaafkan. Tetapi kusangsikan apakah ompungku atau Datuk nan Kuniang
dapat menjadikan babi hidup kembali sebagai manusia. Aku rasa hanya Tuhan yang punya
kemampuan tak terbatas. Kami hanya makhluk-makhluk hina. Kau sendiri pernah
mengatakan betapa hina diriku yang bukan manusia sejati."
Ki Ampuh teringat akan penghinaan yang beberapa kali dilontarkannya terhadap Erwin.
Karena ia babi hutan jadi-jadian dan punya otak sebagai manusia, pada saat itu ia merasa
malu akan kesombongannya di masa silam. Kepada orang yang dihinanya itu pula kini dia
minta tolong. Tetapi keinginannya menjadi manusia kembali untuk dapat menikmati
keenakan hidup di samping wanita-wanita muda yang telah jadi korban guna-gunanya harus
dapat membuang rasa malu.
"Aku memang manusia tak tahu diri. Tak tahu pula membalas budi. Keserakahan akan
nama dan uang telah membuat aku jadi begini. Aku mohon diampuni Erwin." pinta Ki
Ampuh dengan nada amat merendahkan diri.
"Ampun dipinta kepada Tuhan. Manusia, apalagi yang manusia harimau semacam aku
yang hina ini hanya dapat memaafkan," sahut Erwin.
"Tolonglah aku Erwin. Selama hidupku dulu sampai kini setelah aku berubah rupa, aku
belum pernah menemukan sahabat sebaik kau." Ia tidak malu berkata begitu.
Dalam hati Erwin mengejek atas kehinaan Ki Ampuh yang mau mengatakan apa saja
demi kepentingan dirinya. Tetapi rasa kasihan membuat ia masih mau menolong babi hutan
itu.
"Baiklah aku akan tanya pada ompungku!"
"Juga kepada Datuk nan Kuniang. Aku mau bersumpah tidak akan membuat kesalahan
lagi!"
Erwin tak dapat menahan tawa sinis, walaupun hatinya tetap kasihan. Berkata Erwin,
"Janganlah bersumpah juga lagi. Bukankah kau jadi begini, karena kau melanggar
sumpahmu. Kau telah mempermainkan sumpah. Inilah jadinya. Semua orang yang
mempermainkan sumpah, tanpa kecuali, pada suatu ketika akan dikutuk dan dimakan oleh
sumpahnya sendiri. Kalau kakekku tak sanggup aku akan coba minta bantuan pada Datuk
nan Kuniang." Dalam hati Erwin setengah yakin, bahwa mayat yang bisa hidup kembali dan
sewaktu-waktu keluar dari kuburannya di Kebayoran Lama itu dapat menolong babi hutan
itu.
Ki Ampuh menyembah Erwin. Dalam hati ia berharap dan sudah hampir yakin bahwa ia
akan jadi manusia kembali. Betapa akan enaknya hidup kembali dengan istri-istrinya yang
masih muda belia. Tak pernah terlintas dalam hatinya mungkin perempuan-perempuan itu
akan ketakutan, sepanjang tahu mereka ia telah mati dan berubah jadi babi. Mungkin tak
diterima di yaumil makhsyar.
Ki Ampuh mohon diri setelah mengulangi harapan dan permohonannya. Erwin
memandanginya sampai ia hilang entah ke mana. Dengan langkah gontai ia masuk ke
rumah, memikirkan segala macam keajaiban yang dapat terjadi di dunia ini. Kalau ompung
dan ayahnya merupakan manusia harimau, maka ini baru saja berhadapan dengan manusia
yang mati menjadi babi. Ia pun tertanya-tanya di dalam hati, akan jadi apakah ia kelak
setelah mati.
Erwin masuk kamar tidur, ia jadi kaget sekali, walaupun dalam keadaan biasa ia tidak
mestinya terkejut. Yang menantikannya bukan ular cobra atau phyton, bukan pula ratusan
kalajengking dan lipan. Juga bukan jin atau hantu. Yang duduk di kamar itu tak lain
daripada ayah dan ompungnya. Dja Lubuk dan Raja Tigor.
Erwin memberi salam dengan mencium tangan kedua manusia harimau yang bangkit
dari kuburannya di Mandailing sana. Erwin memandang heran. Tak tersembunyikan
olehnya.
"Kau heran melihat ompung dan ayahmu datang, padahal tak kau panggil?" tanya Dja
Lubuk.
Erwin tidak menjawab.
"Kami datang sebelum kau panggil. Kau akan meminta ompung datang, bukankah
begitu?" tanya ayahnya lagi.
Erwin masih tidak menjawab. Ia heran bagaimana ayahnya bisa tahu, walaupun ayahnya
mempunyai banyak ilmu. Biasanya ayah atau ompungnya datang, kalau ia memanggil atau
dirinya dalam bahaya.
"Kau dalam bahaya Erwin," kata Raja Tigor kepada cucunya itu.
"Tetapi aku sudah tidak mempunyai musuh, ompung," kata Erwin.
"Orang semacam kau tidak akan pernah bebas musuh. Selalu saja ada yang dengki dan
khisit."
"Tetapi mengapa begitu Ompung?"
"Begitulah sudah kebiasaan di dunia ini. Orang pandai selalu punya saingan. Kau keliru
lagi, kalau menyangka bahwa Ki Ampuh telah hilang dari riwayat hidup yang masih kau
hadapi."
"Tetapi dia baru saja datang untuk minta bantuan." kata Erwin.
"Kami ketahui kedatangannya. Bahkan maksudnya." kata Raja Tigor.
"Dia minta tolong. Ompung sudah tahu?"
"Tahu. Dan kau menjanjikan akan berbuat sesuatu yang mungkin untuk menolongnya.
Kau akan memanggil Ompungmu. Kalau beliau tak sanggup kau akan minta bantuan Datuk
nan Kuniang!"
"Benar Ompung. Bukankah Ompung mengajarku bahwa kita harus mempunyai sifat
suka memaafkan. Aku telah memaafkannya. Ia telah terhukum oleh sumpahnya. Ia telah
menjadi babi hutan. Hina tak terhingga."
"Jangan tolong dia," kata Raja Tigor memerintah. Terdengar dari suaranya, bahwa ia
memerintah, bukan sekedar memberi nasihat atau meminta pada cucunya.
"Apakah Ompung dapat membuatnya jadi manusia kembali?" tanya Erwin.
"Aku tidak punya ilmu memanusiakan babi, walaupun tadinya ia manusia. Tetapi Datuk
nan Kuniang dapat menolongnya, walaupun tidak terus-menerus jadi manusia. Datuk nan
Kuniang punya kekuatan ilmu untuk membuat Ki Ampuh sewaktu-waktu seperti manusia!"
"Begitu hebat beliau, Ompung?"
"Sebenarnya bukan manusia sebagai manusia lainnya. Tetapi orang akan melihatnya
sebagai manusia. Ia tetap babi hutan. Pandangan orang akan tertipu oleh ilmu gaib yang
dimiliki Datuk nan Kuniang. Kalau ilmu itu diajarkan kepada Ki Ampuh maka orang akan
melihatnya sebagai manusia kembali. Dengan sifat-sifatnya yang amat buruk ia bisa
melakukan berbagai kejahatan terhadap manusia. Termasuk pada wanita-wanita yang telah
pernah jadi jadi isterinya karena diguna-gunai."
"Tetapi," kata Erwin, ingin mengatakan bahwa ia kasihan pada babi hutan itu.
"Tetapi kau kasihan padanya!" kata Raja Tigor meneruskan kalimat cucunya.
"Sesungguhnya kita wajib merasa kasihan terhadap tiap makhluk yang malang, itu menjadi
prinsip dalam hidup kita sekeluarga turun-temurun. Walaupun kita hanya ditakdirkan
menjadi manusia-manusia harimau. Tetapi kalau menyelamatkan seseorang untuk
menyediakan diri kita jadi korbannya,, maka perbuatan itu menjadi suatu kebodohan.
Bahkan pengkhianatan terhadap diri kita dan keluarga kita sendiri. Jadi, buang niat dari
kepalamu untuk membantu dia. Kau tidak akan berdosa karena itu!"
"Dengar apa yang dikatakan Ompungmu," kata Dja Lubuk menguatkan. Terdengar
pintu diketuk dari luar, tanda ada pengunjung.
"Bukalah Erwin, itu Datuk nan Kuniang. Telah sejak tadi kucium kehadirannya di luar,"
kata Raja Tigor. Tatkala pintu dibuka masuklah dia, sang mayat yang bangkit dari kuburnya
di Kebayoran Lama.
"Kau kata kau mengetahui kehadiranku sejak tadi di luar." kata Datuk nan Kuniang.
"Mengapa tidak sejak tadi kau suruh aku masuk?"
"Barangkali kau mau berangin-angin di luar," jawab Raja Tigor. Dia tertawa sebagaimana
lazimnya manusia biasa tertawa dalam berkelakar. Keempat insan yang aneh, tetapi sesama
makhluk hamba Allah berkumpul di sana.
"Memang aku punya ilmu untuk mengelabui penglihatan orang. Tetapi aku tidak akan
memberikan kepada Ki Ampuh. Ada firasat kuat padaku, bahwa ia akan
menyalahgunakannya. Apa yang dikatakan Ompungmu benar Erwin. Jangan kau bantu dia.
Kasihan boleh, tetapi memberi dia kesempatan untuk melakukan kejahatan lagi jangan.
Menurut hukumnya kau turut berdosa dan bertanggung jawab!" kata Datuk nan Kuniang.
Tak lama kemudian Raja Tigor dan anaknya Dja Lu meninggalkan Erwin. Begitu pula
Datuk nan Kunia kembali ke rumahnya, sebuah kuburan di Kebayoran Lama.
***
KEESOKAN malamnya Ki Ampuh dalam bentuknya sebagai babi hutan datang lagi ke
pekarangan Erwin untuk menanyakan kabar tentang permohonannya. Dengan berat hati ia
menyampaikan, bahwa Ompungnya dan Datuk nan Kuniang tidak sanggup mengubah
dirinya sebagai manusia.
Babi hutan itu terdiam. Putus asa.
Kemudian ia berkata, "Mereka dapat menolong kalau mau. Tetapi mereka tidak sudi lagi
membantu karena aku telah membuat kesalahan."
Erwin tidak menanggapi.
Tanpa pamit babi hutan itu pergi dengan dendam yang amat hebat di dalam hatinya. Ia
bertekad untuk membalas dengan cara apa saja yang masih dapat dilakukannya sebagai babi
yang mempunyai akal dan dendam seperti manusia.
Erwin tergetar melihat kepergian Ki Ampuh, tetapi ia tidak memikirkan apa yang akan
terjadi.
***
SEJAK permohonannya ditolak, babi hutan itu tak pernah lagi datang ke pekarangan Erwin.
Sampai hampir tiga bulan lamanya, sehingga manusia harimau itu menyangka, bahwa
berakhirlah sudah segala hubungannya dengan penjelmaan dari manusia Ki Ampuh itu.
Sesekali Erwin diminta orang untuk mengobati penyakit yang telah berat dan tak
terhadapi lagi oleh dokter maupun dukun kawakan. Dan Erwin pun hanya mau mencoba
kebolehannya kalau si sakit benar-benar telah melalui segala macam pengobatan. Ia takut
peristiwa semacam dengan Ki Ampuh terjadi lagi, sehingga menyebabkan adanya musuh
atau musuh-musuh baru. Erwin akan bertanya lebih dulu kepada keluarga si sakit apakah
dukun-dukun benar telah menyatakan tak sanggup dan mengundurkan diri. Dan dengan
izin Tuhan, beberapa keluarga yang mohon bantuannya itu tidak jadi kehilangan orang yang
mereka cintai. Mereka jadi amat kagum. Ada yang jadi begitu fanatik terhadap Erwin
dengan menyangka bahwa ia seorang wali yang sengaja diturunkan ke dunia untuk
menolong orang-orang yang sudah sekarat.
Yang lebih mengherankan mereka lagi adalah kesederhanaan sifat dan kerendahan hati
dukun muda itu. Tiap dipuji ia selalu mengatakan, bahwa segala puji harus diperuntukkan
untuk Tuhan, karena Dialah sesungguhnya yang menyebabkan sakit payah sembuh kembali.
Erwin sendiri hanyalah mohon kepada Allah dan kebetulan permohonannya dikabulkan
Tuhan. Tak lebih daripada itu.
Yang lebih mengherankan, tetapi justeru memusingkan Erwin adalah beberapa wanita,
gadis atau janda muda yang tertarik dan jatuh hati kepadanya, walaupun dukun itu tidak
pernah berbuat sesuatu yang dimaksudkan untuk memikat hati mereka. Mereka ini
mengetahui bahwa Erwin hanya tinggal seorang diri di rumah amat sederhana nya.
Menduga, bahkan yakin bahwa ia masih bujangan. Mengetahui hal ini Erwin
memandangnya sebagai lampu kuning yang kalau dibiarkan bisa jadi lampu merah. Ia
teringat pada mbah Panasaran yang pernah digilainya, ia pun teringat lagi pada istri orang
kaya di Surabaya yang hampir gila karena jatuh cinta kepadanya sehingga ia terpaksa
melarikan diri dari kota itu. Erwin mengambil keputusan untuk mendatangkan istri dan
anaknya dari kampung supaya godaan itu tidak akan berlarut-larut. Ia sudah bertekad untuk
tidak lagi mengkhianati istrinya Indahayati yang amat setia.
***
ISTERI Erwin dan anaknya yang sedang lucu-lucunya bagaikan penawar dalam segala
kesulitan dan duka, merasa berbahagia sekali dapat berkumpul lagi dengan suami dan ayah
yang amat mereka cintai. Sebagaimana manusia biasa, mereka bertiga sesekali berjalan-jalan
ke Pasar Baru atau shopping centre seperti Duta Merlin. Juga ke supermarket membeli susu
bubuk untuk minuman si kecil. Tidak satu pun dari orang toko yang mereka kunjung
mengetahui, bahwa laki-laki yang berbahagia itu sebenarnya mempunyai nasib yang lain
sama sekali. bahwa bila saat sial datang ia mendadak bisa berubah jadi harimau berkepala
manusia. Erwin selalu menyadari ini dan tak pernah lupa mohon kepada Yang Mahakuasa
agar ia jangan berubah rupa di tengah orang ramai. Kalau terjadi di rumah, tanpa ada yang
tahu selain daripada istri tercintanya, apa boleh buat. Itu namanya suratan nasib yang tak
terelakkan lagi.
Kalau turun angin kencang atau dirinya mendadak merasa dingin, maka timbullah
takutnya kalau-kalau ia akan berubah ujud. Ia lalu melihat ke sekitar dan berdoa agar jangan
terjadi malapetaka. Atau dia bergegas pulang agar kalau akan menjadi harimau, biarlah di
rumah saja. Tetapi harapan manusia tidak selalu bisa terkabul.
Begitu pula dengan Erwin yang dalam usia sekian muda sudah mengalami berbagai nasib
yang menakutkan, yang aneh di selang-seling dengan peristiwa-peristiwa yang
menggembirakan. Hari itu, Selasa awal bulan Pebruari. Seorang diri ia pergi ke rumah
seorang kenalan yang mulai akrab dengannya. Seorang asal Sulawesi Selatan, seorang
keturunan Andi, jadi masih ningrat di daerah sana. Nama lengkapnya Andi Sabaruddin
Mappe. Masih muda, seumur Erwin. Masih punya ayah dan ibu di Pare-Pare. Tergolong
seorang hartawan, tetapi tidak termasuk orang sombong karena merasa punya harta.
"Kau menepati janji Erwin," kata Andi Sabar.
Erwin tertawa ringan. "Kau kira tidak? Aku selalu berusaha menepati janji, entahlah
kalau ada sebab yang menjadi rintangan."
"Ini hari Selasa, kata orang tidak baik untuk memufakatkan sesuatu yang penting," ujar
Sabaruddin. Erwin heran mendengar, soal penting apa yang mau dikemukakan sahabatnya
itu. Mereka memang bersahabat cukup baik, tetapi belum pernah membicarakan apa-apa
yang termasuk penting, apalagi rahasia.
"Ah, semua hari kan sama saja Sab," kata Erwin.
Sabaruddin pernah meminta kepada Erwin agar jangan mempergunakan Andi-nya. Ia
merasa dirinya sama dengan orang lain, tidak ada Andi-Andi-an. "Memang kata setengah
orang, hari Selasa dan Sabtu tidak baik untuk melangkah berpesta atau pekerjaan apa saja
yang dapat dikatakan penting. Tetapi bukankah hari Selasa dan Sabtu semua berjalan seperti
biasa. Kereta api, pesawat terbang, kapal laut, mobil tetap berangkat menuju kota atau
negeri yang hendak didatangi. Orang tetap juga ke pasar atau ke ladang. Pembuatan gedung
atau jembatan pun tidak dihentikan pada hari Selasa dan Sabtu. Jadi kurang masuk akal,
kalau kedua hari itu merupakan hari naas."
"Bagus, tepat alasanmu. Kalau begitu hari ini kuceritakan masalah yang penting itu!" kata
Sabaruddin. "Mari." Erwin mengikutinya heran mengapa ia dibawa masuk kamar tidur.
Tidak pernah terjadi begitu. Sabaruddin melihat keheranan sahabatnya, walaupun ia tidak
mengatakannya.
"Ini benar-benar soal penting. Aku tak mau didengar oleh pembantu atau oleh pacarku
kalau kebetulan dia datang. Pendeknya orang lain tidak boleh tahu." Di kamar tidur yang
cukup rapi bagi seorang bujangan semacam Sabaruddin, Erwin dipersilakan duduk. Ia pergi
ke belakang dan kembali dengan dua cangkir teh.
"Kau mau menolong aku Erwin?" tanya Sabaruddin.
"Mengapa kau bertanya begitu? Bukankah kita bersahabat?"
"Ya, tetapi kudengar kau tidak selalu mau?"
"Aku tak mengerti maksudmu," kata Erwin sejujurnya.
"Kau tidak marah bukan?"
"Aku jadi heran! Marah mengapa?"
"Aku sudah tahu siapa kau. Aku tak sangka kau sehebat itu. Kau begitu pendiam, seperti
orang yang tak menyimpan apa-apa."
Erwin agak terkejut. Kawannya ini telah mengetahui tentang dirinya. Bahwa ia bukan
manusia seperti orang lain. Bahwa kadang-kadang berubah jadi harimau. Dari siapa ia tahu?
"Jadi kau tak mau berkawan lagi denganku?" tanya Erwin.
"Gila kau ini! Aku justeru bangga kau seorang yang mengobati orang yang sudah tak
tertolong oleh dokter atau dukun!" kata Sabaruddin.
Lega hati Erwin. Yang diketahui sahabatnya, bahwa ia seorang dukun.
"Ah, itu dibesar-besarkan orang Sab!" kata Erwin.
"Orang yang benar-benar hebat memang biasanya merendahkan diri. Yang tanggungtanggung
biasanya omong besar."
"Pengetahuanku tak seberapa. Semua pun berkat izin dan bantuan Tuhan," kata Erwin.
Sabaruddin yang seperti kebanyakan orang Bugis taat agama Islam tambah senang
mendengar. Beruntung rasanya punya kawan seperti Erwin.
"Aku ingin kau menolong aku."
"Soal apa? Asmara?"
"Bukan, aku sudah punya pacar. Aku sayang padanya, kurasa dia juga cukup sayang
padaku. Satu cukuplah!"
"Bagus! Lalu aku bisa menolong apa?"
"Kita ke Ujung Pandang, lalu dari sana ke Pare-Pare, kau mau?"
"Untuk apa? Jadi turis domestik? Bagiku belum waktunya Sab!"
"Bukan. Untuk menolong aku, kalau kau mau."
"Kau bukan orang yang butuh pertolongan Kau orang yang mampu memberi
pertolongan! Kau tidak kekurangan apa-apa, bukan?"
"Dalam hal ini kau keliru. Semua manusia butuh bantuan. Kadang-kadang. Dan semua
manusia dapat memberi bantuan dengan cara masing-masing! Coba katakan manusia
sehebat apa yang tidak memerlukan bantuan."
"Baiklah, aku tentu saja mau menolong kalau aku bisa."
"Bisa, kalau kau mau. Aku punya seorang adik perempuan. Umur sekitar delapan belas."
Sabaruddin diam seketika. Dia memandang kosong ke depan. Kemudian baru ia
melanjutkan, "Adikku itu cantik sekali. Salah seorang yang paling cantik di antara dara-dara
Bugis."
"Teruskan ceritamu," kata Erwin mulai tertarik melihat bahwa sahabatnya itu
menghadapi problema cukup berat.
"Adikku itu sakit. Sudah lebih sebulan." Sabaruddin diam lagi.
Ia menduga bahwa adik sahabatnya mungkin diserang kanker.
"Penyakit itu tak dapat diobati oleh dokter. Sudah puluhan. Dukun pun sudah banyak
sekali yang dipanggil. Tak seorang pun sanggup!"
"Penyakit apa itu Sab?"
"Adikku itu gila! Kami yakin oleh ramalan orang. Sebab sebelum sakit ia masih cerdas.
Kami mengharapkan dia seorang dokter atau insinyur. Penyakit itu datang mendadak!"
Atas permintaan Erwin, Sabaruddin menceritakan, bahwa sebelum sakit telah beberapa
orang melamar adiknya. Ada yang sudah punya istri dan banyak pula yang memang masih
bujangan. Tak juga diterima karena mereka ingin ia mencapai sarjana. Mungkin ada di
antara mereka yang sakit hati dan membalas penolakan mereka. Adik Sabaruddin harus jadi
miliknya atau tidak dikehendaki oleh siapapun. Caranya dengan membuat dia jadi gila. Bagi
Erwin cerita ini sama sekali tidak aneh. Di mana saja ada kejadian yang semacam itu. Balas
dendam melalui apa yang dinamakan jalan halus. Sakit hati terbalas, undang-undang tertulis
tidak dilanggar. Tak ada satu pasal pun di dalam Undang-undang Hukum Pidana menyebut
menganiaya atau membunuh orang melalui jalan guna-guna atau teluh.
"Kalian, maksudku keluargamu di Pare-Pare menaruh curiga pada seseorang?" tanya
Erwin.
"Kami, termasuk aku yang turut hadir di sana telah memanggil beberapa tukang tenung
untuk melihat siapakah yang telah menjahili adikku. Tetapi keterangan mereka samar-samar
dan berlainan pula yang seorang dengan lainnya. Ada yang mengatakan orang yang
menjahati adikku tinggal di sebelah Barat, berbadan gemuk dan berkulit hitam. Ada pula
yang berkata bahwa laki-laki yang yang jahat itu telah meminta pertolongan seorang
perempuan untuk membuat adikku jadi gila. Kami hanya bisa meraba-raba, tiada pegangan
yang pasti. Penyakit gila adikku itu semakin parah."
"Dia tak pernah menyebut nama seseorang?" tanya Erwin.
"Sepanjang tahuku tidak pernah."
"Kalau begitu yang mengerjai adikmu itu termasuk kuat ilmunya! Kalau aku boleh tahu
siapa nama adikmu itu. Dari tadi kau belum menyebut namanya."
"Farida Mappe!" jawab Sabaruddin.
"Lengkapnya Andi Farida Mappe," kata Erwin.
"Ya begitulah. Dia memang suka mempergunakan Andi-nya."
"Kasihan dia. Memang di sana-sini ada wanita-wanita yang dijahili oleh laki-laki yang
kecewa. Ini suatu resiko dari kecantikan."
Apa yang dikatakan Erwin dalam keterus-terangann benar. Andaikata Farida berwajah
dan berpotongan jelek tentu tak ada orang yang akan bersusah payah menganiaya dia. Tak
akan jadi rebutan dan biasanya tidak akan terlalu memilih kalau ada yang melamar. Ruginya
tidak bisa turut kontes kecantikan atau ratu-ratuan. Segala sesuatu punya segi buruk dan segi
baiknya.
"Kau mau ke kampungku?" tanya Sabaruddin.
"Aku bersedia pergi tetapi jangan kau kira bahwa aku pasti dapat menyembuhkannya.
Bahwa aku akan berdaya upaya sudah pasti, tetapi kesembuhan letaknya di kekuasaan
Tuhan!"
"Kau baik sekali Erwin. Dan kau hidup pada jalan yang diredhoi Allah!"
"Jangan memuji atau berkata begitu. Semua orang sebenarnya hampir sama. Keadaan
yang menentukan yang akan dilakukan manusia. Aku juga begitu. Kau lihat aku hari ini
baik, tetapi pada lain waktu aku mungkin jahat atau katakanlah jadi jahat karena keadaan
atau lingkungan memaksa aku jadi jahat. Itu dinamakan kelemahan manusia dan tidak selalu
manusia bisa mengelakkan kelemahannya."
"Kau bijaksana Erwin. Falsafah hidupmu baik sekali. Aku bisa belajar dari cara kau
berpikir dan memandang hidup. Bila kita pergi?"
"Besok kuberi tahu. Hari ini belum bisa kutentukan. Tapi nanti malam aku sudah akan
mulai bekerja. Sebisakulah."
"Kau dapat mengobati dari jauh?" tanya Sabaruddin.
"Tunggulah sampai besok pagi. Aku akan datang memberitahu."
Sabaruddin merasa senang. Tak lama kemudian Erwin pulang untuk melihat apa yang
mungkin dilakukannya untuk Farida yang gila di Pare-Pare.
***
DI PERJALANAN pulang Erwin merasa gelisah. Tanpa sebab. Ia tidak punya persoalan apa pun
yang meresahkan hati atau pikiran.
"Apa yang terjadi Indah?" tanya Erwin setelah tiba di rumah.
"Tidak ada apa-apa," jawab Indah, "Mengapa abang bertanya begitu?"
Erwin menerangkan bahwa perasaannya kurang tenteram, padahal menurut tahunya
tidak ada suatu apa pun yang membuat ia harus gelisah.
Setelah itu baru istrinya teringat kehebohan kecil tetangga beberapa rumah jaraknya dari
tempat kediaman Erwin.
Kata Muzakkir yang tinggal di situ ia dan istrinya serta beberapa orang lain melihat babi
pada siang hari itu. Babi besar dengan taring yang panjang. Hitam warnanya. Babi hutan
tentu. Heran, ada babi berkeliaran di kota pada siang hari. Yang lebih mengherankan, tibatiba
babi itu hilang bagaikan ditelan bumi.
Kalau itu khayalan, kenapa begitu banyak orang mempunyai hayalan yang sama.
"Apakah cerita mereka itu benar Bang?" tanya Indah.
Erwin tahu bahwa babi itu tentu Ki Ampuh yang sudah sekian bulan tidak
menampakkan diri. Tetapi ia tidak mau membuat istrinya jadi takut. Dikatakannya saja,
bahwa barangkali kebetulan ada babi hutan nyasar. Di Pekanbaru pernah harimau masuk ke
dalam pasar yang ramai dengan manusia tetapi tidak mencederakan siapapun. Inikah yang
membuat ia gelisah di perjalanan tadi? Mau apa Ki Ampuh datang lagi? Baginya berita ini
bukan sesuatu yang boleh dianggap angin lalu saja.
***
MALAM itu Erwin mengunci diri di dalam kamar khususnya. Ia mau melihat apa yang akan
dapat dilakukannya di Pare-Pare nanti. Ia ingin sekali menolong sahabat baiknya, Andi
Sabaruddin Mappe yang rendah hati itu. Seperti biasa dengan salah satu cara untuk melihat
apa yang terjadi di tempat jauh, ia mengambil semangku air dengan pisau yang sudah
karatan. Sebuah limau purut jantan tak boleh tidak ada, karena buah itu merupakan salah
satu persyaratan utama. Limau diiris menjadi tiga potong diletakkan ke dalam mangkuk.
Erwin membaca mantera dalam bahasa Mandailing. Dipanggilnya juga nama Ompung dan
Ayahnya. Dipintanya bantuan kepada segala harimau yang jadi-jadian, kepada manusiamanusia
yang disebut cindaku di Kerinci Sumatera Barat sana. Tetapi lebih dari semua itu ia
berulang-ulang menyebut nama Tuhan agar membantunya. Setelah itu ia mengkhusukkan
diri menyebut nama Andi Farida Mappe tujuh puluh tujuh kali. Bulu romanya berdiri. Pada
kali yang ketujuh puluh tujuh dipanggilnya nama dara yang sudah jadi gila itu agak keras.
Tidak ada sahutan. Hati Erwin berdebar. Dalam hal yang wajar, wanita itu harus
menampakkan wajahnya di permukaan air putih itu. Tetapi kali ini tidak. Ini pertanda yang
tidak baik.
Erwin mencoba lagi, tidak juga kelihatan apa-apa. Kemudian terjadilah apa yang
dikhawatirkannya. Irisan limau purut itu tenggelam satu persatu ke dasar mangkuk.
"Kasihan Sabaruddin," katanya pada diri sendiri. Abdi Farida telah tiada. Telah
berpulang ke rahmatullah. Orang mati tak dapat dihidupkan kembali. Oleh dukun sehebat
apapun. Jikalau Dia menghendaki maka Dia saja saja yang dapat berbuat saja, Allah sajalah
yang maha Kuasa.
Apakah ia sekarang juga ke rumah Sabaruddin menyampaikan berita yang telah
diketahuinya? Ataukah besok saja, sesuai dengan janjinya.
Ia keluar mendapatkan istrinya di ruang duduk, sedang membaca buku.
"Kelihatannya Abang risau. Boleh aku tahu ada apa?"
Erwin menceritakan semua. Permintaan Sabaruddin dan apa yang baru diketahuinya.
"Apa yang baik kulakukan?" tanya Erwin.
"Jangan tunggu sampai besok. Kabarkan kepadanya sekarang! Kalau besok baru
dikabarkan akan sama juga, bahkan lebih lagi. Kalau malam ini ia tahu, ia bisa bikin
persiapan untuk berangkat ke Ujungpandang dengan pesawat pagi. Dari sana ia terus ke
Pare-Pare untuk menemui adiknya, walaupun hanya tubuh tak bernyawa lagi. Bila adiknya
itu meninggal?"
"Tentunya tadi. Pendeknya baru saja. Sabaruddin belum mengetahui. Mungkin malam
ini akan ada telpon dari Ujungpandang," kata Erwin.
Erwin mengikut nasehat istrinya. Ia berangkat ke rumah sahabatnya, yang ditemuinya
belum tidur.
Kedatangannya tidak diduga oleh Sabaruddin, tetapi nampaknya ia senang dengan
kunjungan Erwin. Tentu akan mengatakan ia mau berangkat ke Pare-Pare.
"Bagaimana, kau mau ke sana bukan?" tanya Sabaruddin setelah Erwin duduk. Erwin
tidak segera menjawab. Ia tak tahu mau memulai bagaimana.
"Kau tak bersedia?" tanya Sabaruddin.
Erwin memandang sahabatnya. Sayu tetapi mengandung kekuatan. Ia ingin
menenangkan sahabatnya dengan pandangan itu.
"Aku mau pergin tetapi�" Erwin tidak meneruskan.
"Tetapi apa?" tanya Sabaruddin. Masih penuh tanda tanya, tidak dapat menebak.
"Kau belum mendapat kabar rupanya," kata Erwin.
"Ceritakanlah Erwin. Ada musibah menimpa diri atau keluargamu?"
Erwin menggeleng.
"Kau tabah dan percaya kepada Ilahi bukan?"
"Tentu, ada apa?"
"Ia telah tiada, Tuhan telah memanggilnya pulang."
"Siapa maksudmu? Adikku Farida? Dari mana kau tahu Erwin, katakan terus terang."
"Farida telah meninggal tadi," kata Erwin sambil memegang kedua bahu sahabatnya.
Sabaruddin tak kuasa menahan sedih, dilepaskannya melalui tangis terisak-isak.
"Kau tidak keliru Erwin?" tanyanya menumbuhkan harapan bagi dirinya sendiri.
"Aku harap aku keliru!"
"Kau yakin, adikku itu sudah tiada?"
"Farida telah tiada! Tabahkan hatimu. Semua yang bernyawa, pada suatu saat akan
dipanggil Tuhan kembali. Tanpa kecuali. Akan tiba juga detiknya bagiku dan kamu."
"Kalau begitu dia mati oleh perbuatan anjing keparat itu. Aku akan ke Pare-Pare besok.
Kau mau menemani aku Erwin?"
Tak layak Erwin menolak permintaan sahabat yang dalam kemasgulan. Ia akan ikut.
Malam itu Sabaruddin tidak bisa tidur. Tangis, amarahdan dendam silih berganti
merasuk hatinya. Betapa tidak begitu! Mereka hanya dua bersaudara, dia yang tertua dan
Farida adik tunggalnya.
Kematian Farida Mappe yang Andi itu menggemparkan masyarakat kota karena hampir
semua penduduk mengetahui penyakit buatan yang menimpa dara keluarga hartawan dan
bangsawan itu. Bisik-bisik di antara mereka mempertanyakan siapakah laki-laki berdendam
itu dan siapa pula dukun yang mengirim bencana atas diri Andi Farida.
Terjadi spekulasi di antara mereka, tetapi tidak tahu dengan pasti siapa sesungguhnya
yang bertanggung jawab.
Pengaruh kematian Farida bukan hanya sampai keheranan dan desas desus saja. Banyak
orang tua yang mempunyai gadis cantik jadi ketakutan, kalau-kalau anak mereka juga akan
ditimpa bencana seperti itu kalau menolak pinangan. Di samping ketakutan ini ada pula
sejumlah laki-laki, baik duda, bujangan maupun yang sudah punya istri atau istri-istri jadi
ketawa di dalam hati, karena ini akan membuka jalan yang agak lebar bagi mereka untuk
mendapatkan perawan cantik yang jadi incaran.
***
SEBELUM berangkat dari rumah menuju lapangan udara pagi itu, Andi Sabaruddin menerima
kabar melalui telpon dari Ujungpandang dari pamannya, mengatakan kematian adiknya
Farida. Ia tidak lagi terkejut karena sudah yakin pada keterangan Erwin. Dalam kesedihan
hatinya. Sabaruddin masih sempat kagum akan kehebatan kawannya yang sebaya dengan
dirinya itu. Dan ia merasa lega dapat ke Pare-Pare bersama sahabatnya yang belum
diketahuinya, bahwa selain dukun ia juga manusia harimau.
Setelah masuk pesawat, Erwin kian mohon kepada Tuhan dan kepada kerabatkerabatnya
yang telah meninggal agar atas dirinya jangan terjadi apa-apa. Kalau dalam
pesawat ia berubah jadi setengah harimau, bukan saja semua penumpang akan panik, bahkan
pesawat itu mungkin akan jatuh, karena awak pesawat pasti akan ketakutan mempersaksikan
yang tak pernah mereka khayalkan itu. Masih lebih baik dibajak oleh gerombolan atau
petualang yang akan minta uang tebusan atau tuntut pembebasan kawan-kawan mereka dari
penjara daripada melihat manusia menjadi harimau di tengah-tengah mereka. Di angkasa
langit. Permintaan Erwin dikabulkan Tuhan. Dua jam kemudian pesawat mendarat dan
kedua sahabat itu menyewa kendaraan untuk langsung membawa mereka ke Pare-Pare.
Kedatangan Sabaruddin disambut dengan tangis dan oleh ibu, ayah dan keluarganya yang
lain. Mereka tidak menduga, bahwa ia sempat tiba pada pagi itu, pamannya di
Ujungpandang pun baru pagi itu dapat menelponnya. Erwin turut sedih dan tak kuasa pula
menahan air matanya.
Melihat mayat adiknya dengan wajah yang sudah pucat tetapi kelihatan pasrah pada
nasib, Sabaruddin kian menjadi-jadi. Dendamnya bangkit.
Bagaikan orang kurang sadar ia bertanya keras: "Siapa yang menjahati adikku?"
Tidak ada jawaban, karena memang tak ada yang tahu. Semua keluarga berusaha
menyabarkannya. Ada yang menasehati bahwa tak baik bahkan tak boleh menangisi karena
rohnya tidak akan tenang. Tangis tidak membantu orang yang sudah meninggal. Semua
hamba Allah, Tuhan yang empunya, maka Dia boleh memanggilnya pula kapan saja
dikehendakinya.
"Kalian cuma pandai ngomong," kata Sabaruddin yang emosi. "Aku pun dapat berkata
begitu, kalau kalian yang kehilangan!"
Melihat kesedihan sahabatnya itu, hati Erwin pun seperti tersayat. Memang Tuhan yang
menentukan kematian, tetapi dalam hal-hal tertentu tangan manusia jadi penyebab.Tak
semua kematian dapat kita namakan takdir. Andi Farida yang cantik dan sehat menjadi gila
karena buatan sesama manusia yang mengamalkan ilmu jahat.
Aku ingin tahu siapakah dukun yang telah menjual Andi Farida kepada orang yang
membayarnya. Orang itu akan menerima balasannya! Pada waktu itu terpikir oleh Erwin,
apakah ia akan mampu menghadapi dukun hantu yang sudah puluhan dukun Bugis dan
Makassar bahkan Toraja gagal menghadapi dia.
***
BANYAK sekali keluarga dan sahabat yang mengantar jenazah Andi Farida ke tempat
peristirahatannya yang terakhir. Banyak kawan-kawannya meneteskan air mata. Semua hati,
dikecualikan sejumlah kecil orang-orang yang kecewa, mengutuk dukun dan pengupahnya
yang menyebabkan Farida menjadi gila.
Ketika jenazah diturunkan ke tempat abadinya, turun hujan rintik-rintik tetapi tiada
angin selembut apa pun. Keadaan hening sekali. Dan di tengah keheningan itulah
mendadak terdengar suara auman harimau, binatang buas yang tidak ada di Sulawesi. Orang
banyak itu saling pandang dan tanya tanpa kata. Apakah maknanya ini. Suara harimau di
daerah yang langka harimau. Kalau sebagian dari mereka yang heran dan takut itu tak
menemukan jawaban atas pertanyaan itu maka beberapa manusia yang mempunyai ilmu
dukun ilmu pusaka yang diturunkan ayah, ibu, kakek atau nenek segera mengetahui bahwa
ada pendatang dari pulau lain masuk ke daerah itu. Pendatang yang tak tampak oleh mata
kasar, pun tak kelihatan oleh orang-orang berilmu tinggi yang tidak bisa didapat dari
fakultas mana pun permukaan bumi ini. Mereka hanya dapat menduga, bahwa pendatang
yang punya suara tapi tak kelihatan rupa itu asalnya dari pulau yang berharimau. Malaysia,
Muangthai, Birma, India atau barangkali Sumatera.
Erwin yang mendengar suara itu segera mengetahui bahwa ompungnya ada di sekitar
situ. Baginya jelas sekali perbedaan suara ompung dan ayahnya. Mengapa ompungnya
datang ke Sulawesi? Untuk membayangi cucunya? Mengapa?
Andi Sabaruddin, walaupun dalam duka cita yang amat besar, juga mendengar suara itu.
Ia tahu bahwa suara itu suara harimau dan dia mendengar selama di Jawa bahwa di
Sumatera Barat dan Tapanuli ada manusia-manusia harimau. Bahkan ia mengetahui bahwa
manusia harimau pernah ada di Jakarta. Dibacanya dari surat-surat kabar. Kini, dengan
mendengar suara itu ia menyangka bahwa yang membuat adiknya gila mungkin dukun yang
punya piaraan harimau. Suara tadi menandakan kemenangan karena sasaran sudah mati dan
dikuburkan. Apakah ada orang Bugis atau Makassar atau Toraja yang menuntut ilmu halus
di Sumatera lalu membawa harimau itu. Ataukah dukun itu memang asal Sumatera dari
daerah lain yang memiliki harimau?
***
PADA malamnya, sehabis tahlilan, keluarga almarhumah membicarakan suara harimau di
kuburan tadi. Erwin juga hadir. Dia hanya mendengarkan sehingga beberapa saat kemudian
baru menjawab pertanyaan Sabaruddin.
"Apakah kau tahu mengapa ada suara harimau tadi?" tanya Sabaruddin.
"Aku tak sanggup memastikan. Tetapi suara tadi memang suara harimau!" jawab Erwin.
Ia tidak ingin diketahui bahwa ia sendiri, ayahnya dan kakekrnya semua manusia harimau.
KELUARGA Sabaruddin tidak kuasa menyembunyikan dendam yang amat mendalam terhadap
orang yang telah menyebabkan kematian Andi Farida. Sudah banyak dukun yang mereka
mintai bantuan selagi gadis malang itu masih sakit. Tak seorang pun kuasa menghadapi
dukun yang menjahatinya. Karena ia punya ilmu yang jauh lebih ampuh dari mereka.
Sebenarnya di hampir seluruh kota Sulawesi Selatan ada orang-orang hebat dengan ilmu
hitam atau putih. Hanya nasib buruk Farida jugalah menyebabkan keluarganya belum
menemukan dukun yang tepat melawan orang yang merubuhkan gadis itu.
"Kau akan menolong kami Erwin?" tanya Sabaruddin.
"Aku akan berusaha, tidak dapat menjanjikan apa-apa. Barangkali apa yang kumiliki
tidak lebih daripada orang pandai yang sudah dipanggil!" Seperti biasanya ia tidak berani
bicara takabur. Dan memang belum tentu sanggup mengatasi kepandaian orang yang akan
dihadapinya itu.
"Kami ingin dia binasa," kata paman Farida.
"Suatu dendam yang wajar. Tetapi," kata Erwin tanpa meneruskan kalimatnya.
"Biar aku yang memikul dosanya," kata Sabaruddin.
Setelah lepas sembahyang magrib mereka masih bicara-bicara.
Selesai makan malam, Erwin mengatakan bahwa ia akan berusaha sekuat kemampuannya
dan akan sembahyang Isya sendiri di kamar. Sabaruddin dan keluarga memberi salam
kepada orang muda asal Sumatera itu dengan iringan kata-kata: "Kami hanya dapat mendoa
karena kami hanya orang-orang lemah tanpa daya!"
"Aku pun juga begitu. Yang akan kulakukan seluruh usaha, daya dengan kehendak
Tuhan, karena Dialah menentukan berhasil atau tidaknya suatu usaha." Erwin.
***
SETELAH selesai sembahyang terakhir dari yang waktu sehari semalam, Erwin bertenang
dalam usaha memusatkan pikiran dan mengkhusukkan permintaan. Di dalam berkhusuk
itulah ia mendengar suara ayahnya.
"Membalas dendam dan membunuh tidak baik. Tapi ada kalanya orang harus
membunuh. Pertama agar tidak dibunuh, kedua karena tiada bayaran yang lebih pantas
daripada mengambil nyawa si pembunuh!"
Seperti biasa ia mengeluarkan pisau tuanya yang sudah setengah karatan, meletakkannya
di sebuah piring.
"Kalau orang itu ada di kota ini, berputarlah kau seratus delapan puluh derajat. Kalau ia
di luar kota, kemarilah kau. Kau belum pernah mengecewakan, kali ini pun kupinta agar kau
jangan sampai mengecewakan aku." kata Erwin setelah lebih dulu membaca mantera.
Pisau itu tidak bergerak. Tidak menjawab pertanyaannya.Untuk pertama kali pisau berisi
itu menolak jawaban atas pertanyaannya. Bukan hanya itu. Erwin merasa badannya panas,
tetapi mengeluarkan keringat dingin. Tandanya ia menghadapi tantangan. Dan pisau itu
rupanya tunduk kepada perintah si penantang. Jelas, musuhnya bukan orang yang boleh
dipandang enteng saja. Setidak-tidaknya dia tahu bagaimana merahasiakan tempat
bermukimnya.
Berkata Erwin: "Aku tahu asalmu. Baik mata maupun tubuhmu. Aku selalu setia
memberi kau makan sebagaimana yang dipinta oleh pemilikmu sebelum aku. Aku tidak
mengatakan bahwa aku majikanmu. Aku hanya yakin, bahwa kita berkawan. Dan kau salah
satu kawanku yang terdekat. Tetapi kalau kau mau meninggalkan aku, mau berpaling pada
yang lain, itu menjadi hakmu. Aku tidak akan memaksa. Tak baik melakukan paksaan.
Barangkali yang itu dapat memeliharamu lebih baik dari aku yang telah kau kenal. Manusia
benar hanya kadang-kadang. Silakan pergi, kalau itu pilihanmu! Tiap makhluk berhak
mencari nasib yang lebih baik, kau tidak terkecuali daripada itu!"
Rasa panas badan dengan keringat dingin belum mereda. Dipandangnya pisau yang tidak
mau menjawab itu. Masih ada di sana. Padahal, kalau ia mau, ia dapat menghilang. Ia pun
dapat disuruh, tetapi Erwin belum pernah memberi tugas sejauh itu. Hulu pisau itu basah,
kemudian entah dari mana sebabnya ia telah mengeluarkan beberapa tetes air. Kemudian
terdengar suara terisak-isak Jelas dari piring tempat pisau itu. Menangiskah ia? Apkah ia
tidak menjawab karena di bawah tekanan yang terasa berat?
"Tolong aku ayah, tolong ompung, tolong Inyek Datuk nan Kuniang. Bebaskan pisauku
ini dari tekanan orang itu!"
Tak lama kemudian panasnya mereda, keringat dingin pun tidak mengalir lagi. Berkat
bantuan yang dipinta kepada orang-orang yang mengasihinya. Dibacanya lagi mantera
sebelum mengulangi pertanyaan kepada pisau saktinya.
Pelan, sangat pelan pisau itu bergerak. Rupanya ia mulai letih. Sampai seratus delapan
puluh derajat ia berhenti. Ia telah menjawab. Orang yang ditanyakan Erwin berada di dalam
kota. Dalam kawasan Pare-Pare. Diangkatnya pisau itu, diciumnya lalu disimpannya dalam
sarungnya yang terbuat dari kayu.
Waktu itu hari telah agak jauh malam. Telah pukul sebelas menjelang tengah malam. Ia
menghaluskan diri, keluar dari rumah. Ia memakai ilmu angin delapan penjuru. Di mana
angin dapat lewat dari situ dia dapat keluar atau masuk. Dengan begitu tidak seorang pun di
rumah itu mengetahui, bahwa Erwin telah tiada di kamarnya. Tetapi kalau tugasnya selesai
ia akan kembali sebagai manusia biasa. Lewat pintu. Tentu orang akan heran. Ah,
biarkanlah mereka heran. Tidak apa-apa. Yang penting tugas terselesaikan. Dan ia berharap
sekali dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Untuk keadilan dan untuk memberi
keringanan kepada keluarga sahabatnya, walaupun dengan pembalasan, yang telah tiada juga
tidak akan bisa hidup kembali.
Sebagai biasa ia membaca beberapa doa, supaya kaki melangkah ke tempat yang jadi
tujuan. Gagak yang sedari tadi tak henti-hentinya berkaok-kaok, membuat malam yang
telah agak larut itu terasa seram. Bulu kuduk orang juga pasti akan berdiri dibuatnya.
Ia berhenti di muka sebuah rumah. Di pagar tampak papan nama. Dengan mendekatkan
mata Erwin dapat membacanya. ''Daeng Guruh". Bukan nama biasa. Tetapi orang luar biasa
memang biasa punya nama yang luar biasa pula. Mungkin yang punya nama itu bukan
dilahirkan dengan nama itu. Belakangan ia merasa perlu menggantinya dengan yang lebih
pantas dengan kemampuannya.
Pintu itu tidak digembok. Mudah dibuka. Tetapi ketika hendak melangkahkan kaki ke
pekarangan, Erwin merasa kakinya hampir tak terangkat. Wah, orang ini benar-benar bukan
sembarang orang.
Tetapi untuk yang seperti itu Erwin punya penangkal. Ia menghadap ke jalan raya dan
mencoba melangkah mundur. Dan ia berhasil setelah mundur beberapa langkah ia putar lagi
badannya dan kini dengan mudah menuju rumah. Bangunan cukup lumayan.
Dalam hal yang begitu ia perlu meminta supaya dirinya mengharimau. Permintaannya
terkabul. Semula Erwin memberi salam. Tiada jawaban. Rupanya ada firasat pada orang
pintar itu.
"Bukakan pintu, pak Daeng Guruh!"
Jelas pertanyaan yang empunya siapa nama pendatang di malam itu, Erwin tidak
memberi jawaban.
"Buka pintu, Daeng Guruh!" Kini tanpa menyebut "pak".
Perbedaan ucapan itu dirasakan oleh Daeng Guruh. Memang benar itu rumahnya dan
dia sendiri pula yang bertanya nama. Ia berpikir, bagaimana orang ini bisa masuk. Biasanya
pendatang hanya memanggil-manggil dari luar pagar. Kalau telah dibebaskannya
pekarangan dari pagar situ barulah pendatang dapat mendekati rumahnya. Tentu orang yang
sebiji ini sudah di depan pintu. Dia sudah mengetuk-ngetuk pintu.
"Aku mau masuk Daeng," kata Erwin dengan suara keras.
"Sebutkan dulu namamu, dari mana kau, siapa yang menyuruh ke mari," pinta Daeng
Guruh terperinci.
"Nama tak penting, kalau sudah kau buka kau akan tahu."
Kurang ajar betul, kutuk Daeng di dalam hatinya yang terhina oleh kata-kata pendatang
tak dikenal dan tak memperkenalkan nama itu.
Dari curiga Daeng Guruh mulai marah. Setan mana berani berkata begitu kasar
kepadanya. Ini tentu seseorang yang belum mengenal dia.
"Katakan siapa engkau!" bentak dukun besar itu. Bentakan itu dijawab dengan tendangan
keras, yang bagaimanapun handalannya telah membuat Daeng jadi kaget. Tentunya garong
yang hendak merampok karena tahu dia baru menerima banyak upah dari orang yang
meminta bantuannya. Ia bukan jago silat atau pencak, tak kenal ilmu phisik bela diri. Tetapi
ia mempunyai yang lebih daripada itu. Ilmu kebatinan dan sihir yang bisa membuat tiap
musuhnya berdiri tanpa daya di hadapannya. Ia dapat memerintan musunnya yang
bagaimanapun garangnya bersimpuh atau sujud di hadapan kakinya.
Daeng Guruh membaca mantera. Pendatang belum sampai di kamar tempat ia
ngomong-ngomong dengan istrinya. Terdengar olehnya langkah-langkah berat. Dia tahu
pendatang ini bukan garong biasa. Mungkin punya ilmu semacam dia. Ada banyak penjahat
yang punya ilmu pukau dan penggentar atau kebal.
"Keluarlah dukun!" kata tamu yang belum kelihatan itu.
Pengecut kalau ia tak keluar dan memberi hajaran pada pendatang itu. Daeng Guruh
keluar dan berbisik pada istrinya supaya tenang-tenang saja.
Begitu sampai di ruang muka Daeng Guruh tak dapat menahan rasa terkejut yang
disertai debaran jantung. Ia hebat memang, banyak pengalaman. Berbagai macam musuh
telah dihadapi dan dijatuhkannya. Tetapi makhluk macam ini baru kali pertama dilihatnya
selama hidup. Harimau berkepala manusia.
"Mari ikut!" kata manusia harimau itu.
"Ke mana dan apa maumu?" Daeng Guruh benar-benar kehilangan keseimbangan jiwa
dan pikiran.
"Ikut sajalah. Kau yang bernama Daeng Guruh, bukan!"
"Ya, tapi aku tidak punya urusan apa pun denganmu. Siapakah kau yang telah begitu
berani mendobrak pintu rumahku? Kau tahu kesalahanmu?" kata dukun Bugis itu. Dia
menggertak setelah ia dapat menguasai diri kembali.
Dukun itu membaca mantera supaya manusia harimau itu kehilangan daya, tetapi ia
ditertawakan oleh si pendatang:
"Kau coba melumpuhkan atau menakuti aku. Aku datang menjemput kau dan kau harus
ikut. Belum ada orang yang menolak ajakanku!"
"Mengapa kita harus bersengketa, sedangkan kukira kau juga mempunyai ilmu. Kita
sama-sama tukang dukun, buat apa adu kekuatan. Lagi pula kita belum pernah kenalan.
Aku tidak menyusahkanmu, buat apa kau menantang aku !"
"Jangan banyak dalih lagi Daeng. Aku mau berurusan denganmu, tetapi tidak di
rumahmu ini. Aku mau di sana, bukan rumahku dan bukan pula tempat kediamanmu."
Malu kalau-kalau dianggap takut, maka Daeng Guruh menyetujui. Otaknya dipenuhi
tanda tanya, apakah kemauan makhluk aneh tetapi pasti punya kekuatan hebat. GagakMANUSIA
gagak tetap hiruk-pikuk berputar-putar di kota Pare-Pare, kian banyak orang terbangun,
tetapi seorang pun berani ke luar. Hati mereka jadi kecut mebayangkan bencana apa
gerangan yang akan menimpa daerah mereka! Gempa, badai, ataukah dunia akan kiamat.
Ya, mungkin dunia akan kiamat. Dan semua yang bernyawa akan mati. Uh, betapa
menakutkan!
"Kau jalan di muka," kata manusia harimau. Dukun Daeng curiga, dia menolak. "Kau
sajalah," katanya.
"Baik, kalau begitu maumu!" kata manusia harimau yang tak lain daripada Erwin.
"Sebetulnya kau ini siapa?" tanya Daeng Guruh.
"Aku perantau!"
"Dari mana?"
"Seberang!"
"Seberang mana? Kalimantan, Jawa, Ambon, atau Morotai barangkali?"
"Bukan, Sumatera!"
"Wah, jauh juga perantauanmu. Banyak orang Bugis di sana?"
"Banyak!"
"Yang pintar juga?"
"Ya, tapi yang sejahat kau kurasa tak ada!" .
Wah, perantau ini bicara terus terang, pikir Daeng Guruh. Dia dikatakan jahat, padahal
berkenalan pun baru malam ini.
"Mengapa kau kata aku jahat?"
"Jalan terus Daeng, jangan berhenti!" kata manusia.
Dukun itu malu. Rupanya pendatang itu tahu bahwa ia berhenti. Kuat benar panca
inderanya.
"Kau hebat, tahu kalau aku berhenti!" kata Daeng menutupi rasa malu.
"Aku rasa tidak sepandai kau! Sekurang-kurangnya tidak sejahat kau!"
"Mengapa kau katakan aku jahat? Numpang tanya, siapa namamu. Kita sudah berkenalan
tetapi aku belum mengetahui namamu."
"Namaku Erwin. Kau memang jahat, jangan belagak tidak tahu!"
"Aku tak mengerti!" sahut dukun Daeng.
"Kau dukun merangkap pembunuh bayaran!"
"Kau sembarang ngomong. Fitnah siapa pula yang kau percayai itu?"
"Memang tengik kau Daeng. Kau memang pembunuh, Kau katakan aku mendengar
fitnah. Kau membunuh Andi Farida bukan? Setelah kau lebih dulu membuat dia gila.
Apakah itu bukan pembunuh bayaran? Kau kerjakan itu karena kau dibayar, bukankah
begitu."
"Aku tak pernah membunuh dia, Erwin. Dia mati karena sudah sampai ajalnya!"
"Binatang kau. Baiklah kukatakan bahwa aku datang menghukum kau!"
"Apa sangkut pautmu dengan urusan ini!"
"Tak usah banyak tanya dukun jahanam. Bersiaplah kau!" Erwin membalik dan
menghadapi Daeng Guruh.
"Gunakan semua ilmumu! Kalau aku kalah, kau akan selamat, tetapi kalau kau tak
mampu menahan aku, maka sampai di sini sajalah riwayatmu!" Dukun itu tahu, bahwa
lawannya bukan sekedar main-main, ia mau membunuh. Dan untuk menyelamatkan nyawa,
maka Daeng harus lebih dulu membunuh Erwin. Ia gunakan segala macam ilmu gaibnya.
Tetapi manusia harimau itu tidak lumpuh, tidak sujud di hadapannya. Terang ia mempunyai
ilmu yang luar biasa.
"Sebelum kau mati, katakan siapa yang membayar dirimu!" perintah Erwin.
"Katakan!" terdengar satu suara membentak di sebelah kanan Daeng. Ia menoleh, tampak
olehnya lagi makhluk seperti Erwin. Mukanya sudah tua dengan putih dan pancaran mata
penuh wibawa. Daeng jadi panik melihat Dja Lubuk yang tak dikenalnya ada di sana. Yang
begini tak pernah dimimpi atau khayalkan Dapatkah ia melawan makhluk-makhluk ini?
"Aku pergi Erwin, selesaikanlah," kata Dja Lubuk lalu ia menghilang.
"Siapa yang menyuruhmu! Kau dengar perintah ayahku tadi?"
"Yang tadi ayahmu?"
"Jangan buang-buang waktu. Kau katakan atau tidak!"
"Kalau kukatakan, kita akan bersahabat?" tanya Daeng. Dia benar-benar sangsi akan
kesanggupan sekali ini. Dan inilah untuk pertama kali ia takut menghadapi lawan. Itu pun
karena yang menantang dia kali ini bukan manusia biasa. Dia tidak pernah belajar
bagaimana menghadapi manusia harimau dan tidak pula pernah mengetahui sampai di
mana batas-batas kekuatan makhluk itu.
"Katakanlah, tanpa syarat!" bentak Erwin.
"Baharsan yang sangat kaya itu. Bukan kehendakku Andi Farida mati!" kata dukun
Daeng yang kian tidak percaya pada diri sendiri dan mengharapkan belas kasihan.
"Kau harus membayar dengan nyawa Daeng Guruh!"
"Jangan. Aku berjanji untuk tidak lagi membantu orang yang bertujuan jahat. Aku
bersumpah!" pinta dukun itu.
Erwin teringat kepada Ki Ampuh yang beberapa kali dikalahkannya dan berjanji untuk
jadi orang baik. Bahkan bersumpah untuk jadi saudara, tetapi akhirnya dia berkhianat dan
dimakan oleh sumpahnya sendiri. Kutukan itu membuat dia jadi babi.
Erwin memandang Daeng Guruh.
"Aku tak percaya pada janji. Bahkan ragu-ragu pada sumpah. Banyak orang di zaman ini
berani bersumpah dan tidak takut melanggar sumpahnya sendiri!"
Manusia harimau itu menerkam sang dukun yang lalu jatuh terjajar karena lututnya
sudah gemetaran. Inilah rasa takut terbesar dalam riwayat hidupnya. Selama belum jadi
dukun pun ia tidak pernah takut seperti ini.
Manusia harimau itu tidak langsung membunuh. Dipandanginya dukun itu.
"Ampuni aku," mohon Daeng Guruh.
"Kau tak malu minta ampun?" tanya Erwin.
"Aku belum mau mati. Aku mau jadi orang baik! Beri aku kesempatan." Bersamaan
dengan permohonan dukun itu, kuku sang manusia harimau merobek dadanya,
mengeluarkan seluruh isi perutnya.
Setelah itu paha dan tangan Daeng Guruh dirobek-robek. Erwin menyeret tubuh yang
sudah kehilangan nyawa beberapa meter dari sana, sehingga meninggalkan bekas pada tanah
yang agak becek oleh hujan pada malam kematian Andi Farida. Erwin sengaja tidak
mencederai muka dukun itu.
Melihat dengan mata yang tajam dan membaui dengan penciuman hidung yang luar
biasa kekuatannya, burung-burung gagak yang banyak beterbangan itu merendah bahkan
ada yang mulai turun ke tanah. Erwin mengaum beberapa kali. Burung-burung itu terkejut
dan jadi takut mendengar suara yang belum pernah mereka kenal tadinya, tetapi pasti
mengandung bahaya yang amat besar, pergi menjauh. Pare-Pare menjadi sepi kembali. Ada
orang merasa lega tetapi banyak pula yang menanti dengan cemas, apalagi yang akan terjadi
sesudah pertanda yang begitu menyeramkan.
Erwin kembali lagi ke rumah sahabatnya. Doanya menjadi manusia biasa kembali
terkabul, ia mengetuk pintu. Sabaruddin sendiri membukakan, heran darimana sahabatnya
itu, tetapi mulutnya bagaikan terkunci. Dia tidak bertanya apa-apa. Dibiarkannya Erwin
masuk kamarnya. Setelah terbaring di tempat tidurnya, berbagai macam pertanyaan timbul
di hati Sabaruddin dan menyesal mengapa ia tidak menyapa Erwin. Jangan-jangan
sahabatnya itu menyangka dia marah, karena begitu jauh malam minta dibukakan pintu.
***