Latar belakang kenapa harus ada pemunculan : "Macan Abang" > berdasarkan pengalaman spiritual dan bukan semata-mata tanpa alasan
7 Mei 2013
A DBM
Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali
suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar
seakan-akan tercurah dari langit.
Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas amben bambu. Wajahnya
menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan suasana sangat
mencemaskan.
“Aku akan berangkat,” tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara
dengan nada rendah.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia
berkata, “Jangan, jangan kakang berangkat sekarang.”
“Tak ada waktu,” sahut kakaknya, “sisa-sisa laskar Arya Penangsang
yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan liar. Aku harus
menghubungi Paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan
berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu
akan datang demikian tiba-tiba.”
“Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” potong adiknya.
“Tak ada orang lain,” sahut kakaknya.
“Tetapi…,” bibir Sedayu gemetar.
“Aku harus pergi.” Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya
cepat-cepat menggapai kainnya.
“Jangan, jangan,” adiknya berteriak, “aku takut!”
Untara menarik nafas panjang. Katanya, “Kau hanya akan berada di rumah
ini sendirian malam nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri. Kau akan
tinggal disana sampai aku pulang.”
“Aku takut, justru malam ini,” sahut adiknya. “Bagaimana kalau laskar
yang liar itu datang kemari?”
“Mereka tak akan datang kemari,” jawab kakaknya. “Aku tahu pasti.
Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi.”
“Tidak, tidak,” mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu
melelehkan air mata.
Sekali lagi Untara menarik nafas panjang-panjang. Tanpa sesadarnya ia
terlempar kembali, duduk disamping adiknya. Hatinya menjadi bingung.
Ia tidak dapat berpangku tangan terhadap laskar Widura yang sedang
terancam bahaya. Tetapi adiknya benar-benar penakut. Anak yang telah
mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada
orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya
yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak pernah berpisah
darinya. Apalagi didalam kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga
dengan demikian Untara merasa seakan-akan memelihara anak bayi.
“Sedayu,” katanya kemudian, “umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia
itu Adipati Pajang yang dahulu bernama Mas Karebet, telah
menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang muda pula,
Sutawijaya berhasil melawang Penangsang yang perkasa.”
“Aku bukan mereka,” jawab Sedayu.
Untara mengeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Setidak-tidaknya kau
harus malu kepada dirimu sendiri.”
“Tetapi aku takut,” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.
Kembali Untara termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa
kanak-kanaknya adiknya itu terlalu dilindunginya. Kenakalan
kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena itulah maka Sedayu
terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak mampu
berdiri diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua
langkah diajarnya juga cara-cara membela diri dan didalam
latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan,
namun kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas dibelakang
dinding-dinding rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk berhadapan
dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya. Apalagi setelah didengar
oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang sedang berputus asa
itu berkeliaran dilereng gunung Merapi.
Untara kini benar-benar kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu
merambat terus kepusat malam. Dan hujan masih saja memukul atap-atap
rumah dan dedaunan.
Tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Gumamnya, “Bagaimana kalau kau
ikut?” Namun terasa hatinya sendiri beragu. Kalau ada bahaya
diperjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka seluruh sanak
keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri akan
menyalahkannya.
Agung sedayu memandang wajah kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti
kenapa kakaknya, pada malam yang gelap dan hujan yang pekat, memaksa
diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika Sedayu sedang mencoba untuk
berpikir, terdengar kakaknya berkata, “Bagaimana Sedayu? Kau tinggal
dirumah, atau kau ikut serta?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan” jawab Agung Sedayu.
“Kau harus memilih salah satu dari keduanya” jawab kakaknya, yang
akhirnya tidak menemukan jalan lain. Sebab yang melingkar-lingkar
didalam dadanya adalah “laskar Paman Widura harus diselamatnyan”, dan
itu adalah kewajibannya.
Agung Sedayu menjadi bingung. Keduanya sama sekali tak menarik
baginya. Tetapi ia tidak dapat merubah keputusan kakaknya untuk pergi
ke Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia memilih untuk ikut serta
meskipun dengan dada yang berdebar-debar.
“Bagaimana kalau kita berjumpa dengan laskar itu diperjalanan?”
bertanya Agung Sedayu.
“Kemungkinan yang sama dengan kedatangan mereka kerumah ini,” sahut kakaknya.
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih
kerisnya dari glodog disamping pembaringannya, Agung Sedayupun berdiri
pula. Dibetulkannya letak pakaiannya dan kemudian diteguknya air sere
dari mangkuk bambu dengan bibir yang gemetar. Namun hatinya tidak mau
tenang juga.
“Bawa kerismu!” perintah kakaknya.
Agung Sedayu menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang
menggigil disisipkannya kerisnya dipinggang kiri.
Diikutinya langkah kaki kakaknya melompati tludak pintu menuju ke
kandang kuda dibelakang rumah. Namun ketika mereka telah berada diatas
punggung-punggung kuda, kembali Agung Sedayu berdesah, “Apakah
pekerjaan ini tidak dapat ditunda?”
Kakaknya menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Besok pagi-pagi laskar yang
liar itu akan menghantam Paman Widura.”
Agung Sedayu memandang malam yang pekat dengan dada yang
berdentang-dentang. Pakaiannya telah basah kuyup oleh hujan yang
semakin deras.
“Berdoalah,” bisik kakaknya. “Tuhan bersama kita.”
Agung Sedayu menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak.
Disebutnya nama Allah Maha Pemurah dan Maha Pengasih.
Kemudian bergeraklah kuda-kuda itu menyusup kedalam kekelaman malam.
Sesaat kemudian mereka meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju kearah
timur. Dibelakang mereka berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut
kepekatan malam dan kepadatan butir-butir air hujan yang berjatuhan
dari langit. Ketika guruh menggelegar diudara dan kilat menyambar
diatas kepala mereka sekilas tampaklah jalan yang menjalur dibawah
kai-kaki kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai oleh tanah liat yang
telah bertahun-tahun sedikit demi sedikit meluncur dari lereng-lereng
bukit.
Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku diatas punggung kuda
masing-masing. Hanya setiap kali Agung Sedayu selalu menoleh kepada
kakaknya, seakan-akan takut ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu
selalu menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah ia sedang berpikir. Apakah
yang kira-kira akan terjadi diperjalanan dan apakah yang akan terjadi
besok apabila laskar yang liar itu benar-benar akan menyerang.
Kedudukan Widura tidak begitu menguntungkan dan jumlah orangnyapun
tidak begitu banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah daerah yang
langsung menghadapi pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya
Penangsang yangtidak mau melihat kekalahan Adipati Jipang itu berusaha
untuk menimbulkan keributan dimana-mana. Mereka berkeliaran, bahkan
melingkari Pajang dan kemudian menyerang daerah-daerah yang jauh
dibelakang garis perang. Mereka datang setiap saat, dan kemudian
menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan hutan-hutan
belukar menjadi tempat persembunyian mereka.
Demikianlah petang tadi, Untara menerima berita tentang laskar yang
telah kehilangan tujuan perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk
menyerang Sangkal Putung. Dan agaknya Widura sama sekali tidak
menduga. Namun lumbung-lumbung yang padat di Sangkal Putung, pasti
akan dapat memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang liar itu. Dan
memang itulah tujuan mereka.
Angan-angan Untara terputus ketika mendengar adiknya berbisik,
“Kakang, kau melihat bayangan dihadapan kita?”
Untara mengerutkan keningnya. “Ya,” jawabnya.
“Orang?” berbisik Agung Sedayu.
Untara menggeleng “Jangan mengada-ada Sedayu. Bukankah itu batang
pohon jati yang roboh karena angin tiga hari yang lampau?”
Sedayu mempertajam pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang
yang bertubuh raksasa menghalang dipinggir jalan. Tiba-tiba
bulu-bulunya meremang dan hatinya menjadi tegang. Ia merapatkan
kudanya kesisi kuda kakaknya.
“Hem,” kakaknya menggeram. “Kau bukan anak-anak lagi Sedayu.
Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini seorang diri.”
Sedayu diam saja. Tetapi hatinya masih tegang.
Ketika kilat menyambar dilangit, dan nyalanya memenuhi lereng gunung
Merapi itu, Sedayu menarik nafas panjang. Bayangan itu benar-benar
pokok pohon jati yang patah diputar angin.
Tetapi baru saja Sedayu bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya
berdebar-debar. Tidak jauh dihadapan mereka terbentang padang rumput
dan beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak sebatang pohon beringin
raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah Cengkar.
“Kita lewat jalan ini?” terdengar suaranya lirih diantara gemerisik hujan.
“Kenapa?” tanya kakaknya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya. “Kau
takut macan putih yang menjagai beringin itu?”
Agung Sedayu mengangguk.
“Tidak,” kakaknya meneruskan. “Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita
ambil jalan memintas. Kita belok ke kanan.”
“Lewat jalan dipinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Ya,” jawab kakaknya.
“Macanan?” desak adiknya.
“Ya.”
Sedayu semakin gelisah. Katanya, “Bagaimana kalau kita tiba-tiba
berjumpa dengan seekor harimau. Bukankah daerah Macanan itu terkenal
dengan harimau belangnya?”
“Harimau belang itu tidak seganas macan putih di Lemah Cengkar,”
Untara menakut-nakuti adiknya, meskipun ia sama sekali tidak takut
terhadap macan putih maupun harimau belang. Namun lewat Macanan jalan
bertambah dekat.
Agung Sedayu terbungkam. Namun tubuhnya terasa menggigil. Menggigil
karena hatinya yang keciut dan menggigil karena dingin. Tetapi kuda
mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara mempercepat lari kudanya,
Sedayupun segera melecut kudanya pula. Ia tidak mau berjarak lebih
tebal dari tubuh kudanya dari kuda kakaknya.
Perjalanan mereka menjadi kian sulit. Tanah yang liat dijalan-jalan
sempit itu tampak merah kehitam-hitaman. Dihadapan merke terbentang
hutan belukar. Pandangan mata Untara yang tajam jauh mendahului
kaki-kaki kudanya.
Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia
melihat sesuatu dihadapannya. Kali ini ia melihat bayangan. Bukan
pokok kayu jati yang roboh. Dan bayangan itu dilihatnya menghilang
diujung jalan.
Untara menjadi berdebar-debar. Ia menoleh kapada adiknya, namun
agaknya Sedayu belum melihatnya.
Untara sendiri tidak pernah menjadi takut apapun yang berada
didepannya. Tetapi kali ini ia membawa adiknya. Seandainya bayangan
itu seekor harimau, maka akan mudahlah untuk mengatasinya. Harimau
tidak selalu menyerang seseorang. Kalau harimau itu tidak berdiri
ditengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar, kuda-kuda mereka
akan dapat berlari lebih kencang dari harimau itu. Meskipun seandainya
harimau itu mengadang mereka, Untarapun tidak takut, sebab telah dua
kali ia terpaksa berkelai dengan harimau, dan harimau-harimau itu
selalu berhasil dibunuhnya. Dibunuh dnegan keris yang terselip
dipinggangnya itu.
Tetapi bayangan yang bergerak dan menghilang kedalam hutan adalah
bayangan yang tegak diatas kakinya. Ia melihat dengan ketajaman
matanya.Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah bayangan seseorang.
Untara menarik nafas untuk merdedakan debar jantungnya. Sekali lagi ia
memandangi adiknya, bahkan tanpa disengaja ia memperlambat kudanya.
Sedayupun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan nafas yang
bekejaran ia bertanya, “Ada apa kakang?”
“Tidak ada apa-apa,” sahut kakaknya. “Jalanan dihadapan kita sangat licin.”
“Oh,” namun jantungnya menjadi semakin cepat berdentang.
Akhirnya Untara menghentikan kudanya. Dilontarkannya pandangan matanya
kehutan dihadapannya. “Apakah yang tersembunyi dibalik kekelaman itu?”
Hati Agung Sedayu semakin cemas. Desisnya, “Adakah sesuatu dihadapan kita?”
Untara berbimbang. Tidak seharunya ia menyembunyikan bahaya yang
mungkin berada dibalik kehitaman hutan itu. Mereka harus berhati-hati.
Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan, keadaan akan lebih jelek lagi.
“Kita lampaui daerah yang licin ini dengan berjalan kaki,” jawab
kakaknya. Ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dituntunnya kudanya
berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak tahu
siapakah yang berada diujung hutan itu. Kalau mereka menyerang dengan
tiba-tiba, maka duduk diatas punggung kuda akan menjadi lebih
berbahaya. Seorang kawannya pernah mengalami nasib yang tidak
menyenangkan, ketika ia mengalami serangan dengan cara pengecut.
Dilintangkan oleh para penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan
kudanya. Kemudian dalam keadaan yang sulit kawannya itu tudak mampu
mempertahankan diri. Dan kini ia tidak mau mengalami nasib serupa itu.
Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia merasa sesuatu yang tidak pada
tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil merapatkan diri
disamping kakaknya, “Adakah sesuatu yang berbahaya?”
Kakaknya tidak mau berbohong lagi. Jawabnya, “Bersiaplah. Mungkin kita
berjumpa dengan bahaya, tetapi mungkin pula kita mendapat teman.”
Denyut nadi Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata,
“Kakang, apakah tidak sebaiknya kita kembali?”
“Nasib paman Widura tergantung kepada kita,” sahut kakaknya.
“Tetapi nasib kita sendiri?” desak adiknya.
Untara tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang
wajar. Tetapi ada sesuatu yang tidak dirasakan oleh adiknya itu. Ia
merasa wajib untuk menyelamatkan laskar Widura, pamannya yang telah
bertahun-tahun bersama-sama dalam satu ikatan perjuangan. Dan yang
terakhir, mereka berdua berdiri dipihak Pajang dalam pertentangannya
dengan Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat yang
memaksanya untuk berjalan terus.
Karena Untara tidak menjawab, Sedayu mendesaknya “Kakang, kenapa kita
tidak kembali. Bukankah nasib kita sendiri lebih berharga dari nasib
siapapun juga?”
“Belum pasti kita akan menjumpai bahawa Sedayu. Bahkan mungkin kita
akan mendapat teman seperjalanan. Syukurlah kalau yang berada diujung
hutan itu anak-anak paman Widura sendiri”. Namun apa yang dikatakannya
sama sekali tidak diyakininya. Sangkal Putung masih agak jauh.
“Adakan seseorang diujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas.
“Ya,” jawab Untara berat.
“Kakang lihat?” desak Sedayu.
“Ya.” Untara menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan,
sulitlah keadaannya.
Apa yang diduganya itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin
merapatkan dirinya sambil merengek, “Kakang, marilah kita kembali.”
“Jangan, Sedayu,” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya. “Kita lihat
siapakah yang berada diujung hutan itu.”
“Mereka pasti laskar Arya Penangsang,” sahut adiknya.
“Kenapa kita mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya.
“Mereka adalah orang-orang sakti,” jawab adiknya.
“Kita juga laki-laki seperti mereka, Sedayu,” bombong kakaknya.
“Apabila mereka orang-orang sakti, mereka tidak akan dikalahkan oleh
laskar Pajang.”
“Kita bukan laskar Pajang,” bantah adiknya.
“Aku salah seorang dari prajurit Pajang,” potong kakaknya. Untara
bukanlah seorang yang biasa menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap
adiknya mempunyai kepercayaan kepadanya dan tidak akan menyulitkan
keadaanya seandainya ia benar-benar harus menghadapi bahaya.
“Tetapi aku bukan,” rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah
mulai menarik-narik bajunya.
Untara menjadi gelisah. Tetapi ia tidak menjawab. Jarak mereka telah
semakin dekat dan Untara tidak memutar langkahnya. Ketika adiknya akan
berkata lagi, Untara berdesis, “Diamlah! Supaya orang–orang dimuka
kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian mereka akan semakin
berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti kelinci.”
Sedayu terbungkam. Betapa ia menjadi sangat takut untuk menyatakan
ketakutannya. Karena itu dengan lutut yang gemetar iapun berjalan
terus.
Tiba–tiba Untara menggeram. Untunglah mereka tidak akan dapat melihat
bambu wulung yang kehitam–hitaman itu. Apalagi di dalam kepekatan
hujan malam yang kelam. Namun ketajaman mata Untara dapat
membedakannya dengan warna air yang keputih–putihan memantulkan cahaya
cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki–kaki kuda mereka
menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali.
Beberapa langkah dari bambu yang melintang itu Untara berhenti. Tak
ada seorangpun yang tampak. Namun ia yakin di dalam hutan, dibalik
pohon–pohon yang rapat itu, pasti bersembunyi seseorang atau lebih.
Ketika Sedayu melihat bambu yang melintang itu, maka darahnya
seakan–akan membeku. Ia pernah melihat cerita kakaknya tentang
seseorang yang malang melanggar seutas tali yang terentang di jalan.
Tetapi hatinya telah benar–benar dicekam oleh ketakutan sehingga sama
sekali ia tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan terasa lututnya
semakin gemetar, dan seakan–akan ia telah tidak mampu lagi untuk
berdiri tegak diatas kedua kakinya itu.
Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak mau mendekat lagi. Sebab dengan
demikian, ia akan berada didalam kedudukan yang kurang baik.
Orang–orang yang berada di belakang rimbunnya daun–daun akan dapat
melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat melihat
mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka
atau beberapa orang sekaligus datang kepadanya.
Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi tegang. Nafas Sedayu terdengar
berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia tidak berani berkata apapun,
namun tangannya erat berpegangan baju kakaknya. Perlahan–lahan tangan
Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk melepaskan pegangan
itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi Sedayu
berpegangan semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya.
Untara menarik nafas.
Tiba-tiba Sedayu terkejut ketika kakaknya berkata lantang, “Biarkan
mereka Sedayu. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Namun kalau mereka
mengganggu kita, kau baru boleh bertindak sesuka hatimu. Syukurlah
kalau mereka sahabat-sahabat kita yang baik.”
Sedayu tidak tahu maksud kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya
seperti akan memecah dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu namun
mulutnya seperti telah tersumbat.
Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi
dibalik pohon-pohon yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar.
Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka
berteriak “Siapa kalian?”
Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak
ditelinganya. Kini tidak saja lututnya yang gemetar, tetapi seluruh
tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar,sedang darahnya seolah-olah
berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi sesak. Ia
tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan
kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju
selangkah,bisiknya “peganglah kendali kuda-kuda kita”
Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak
disadarinya, kembali ia berpegangan baju kakaknya.
Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya sambil berkata
lirih “Sedayu,kalau kau tak mau memegang kendali kuda, jangan
berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.”
Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap
arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi,
tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri diantara dua ekor kuda
seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak berarti akan dapat
merobohkannya.
Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak
diantara butir-butir hujan yang sudah mulai mereda.
“He, siapa kalian?”
Untara mencoba menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena
itu maka dijawabnya berhati-hati “kami anak-anak dari sendang gabus.
Siapakah kalian?”
“Ya” sahut Untara
“Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
Untara beragu. Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus.
Untara sendiri tidak banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus,
meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak jauh dari Sendang Gabus itu.
Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya orang-orang
yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara
pasti mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk
melampaui tempat itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba
menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk
menghindarkan diri dari bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah
tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka
Widura akan mengalami bencana. Karena itu maka ia menjawab
untung-untungan “ Anak Sadipa”
“Sadipa” sahut suara diujung hutan
“Ya”
“Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek
kudisan?” bertanya suara itu pula”
Kembali pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa “Sadipa yang
lain. Tinggi besar,berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya
cacat.”
“Bagus” sahut suara itu “kau benar-benar anak Sendang Gabus, kau
benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi kenapa kau berbohong ?”
Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang
dikenalnya. Ia telah menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang
kegelapan itu tahu ia berbohong.
Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari
balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut, selangkah saja dimuka
adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk melindungi adiknya yang
menggigil ketakutan.
Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya.
Terdengarlah ia tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada.
Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya
seperti betu karang.
“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu.
Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis
yang keras. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang
itu masih beberapa langkah maju.
“Ha” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat
langkah dari Untara “dua anak yang berani”. Siapakah namamu?”
“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi.
Kembali orang itu tertawa “jangan berbohong” katanya “Anak Sadipa yang
tinggi besar,berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah
kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.”
Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri
dihadapannya itu orang Sendang Gabus?
“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.
“Tebak siapa aku?” ornag itu berkata sambil tertawa.
Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang
Gabus yang pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini.
Pande besi di Sendang Gabus.
“Aku ingat” tiba-tiba Untara menyahut “kau pande besi Sendang Gabus.”
Orang itu mengangkat alisnya,katanya “ kau kenal aku?”
Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang sambung Untara. Namun
dengan demikian Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande besi itu
kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orng itu telah melupakannya.
Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan
dicobanya untuk mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda
itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya disertai derail tawanya “
Ha. Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.” Orang itu berhenti
sejenak untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak “setan.
Bukankah kau yang bernama Untara. He?”
Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata
masih mengenalnya. Namun meskipun demikian ia menjawab “Ya, aku
Untara. Bukankah kita bertetangga?”
“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu.
“Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya?” kau berada di pihak
Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan
keyakinanku.”
“Huh” sahut orang itu “kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa.
Ia tidak lebih dari anak penunggu burung disawah.”
“Yang penting bagiku,apakah yang telah di lakukan dan akan dilakukan
bagi tanah kita ini.” Sahut Untara.
“Aku bukan tukang bicara seperti kau” bentak orang itu. “Wahyu keraton
tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam
diri penggembala seperti anak tingkir itu.”
“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara
“Persetan. Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu.
Untara tersenyum. Katanya “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu?
Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak
dapat membayar utangmu pada Demang sendang Gabus?”
“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula
harus mati” gertak pande besi itu.
“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara.
Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di
laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena
itu ia menjawab “Ya,aku akan membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan
Arya Jipang.”
“Hem” Untara menarik nafas “kenapa golongan? Paman pande besi” sambung
Untara “Paman bisa mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu.
Orang –orang Pajang bukan pendendam.”
“Persetan. “tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian
muncullah tiga orang dari dalam belukar,
Terdengar Untara menggeram “empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh
pada adiknya. Adiknya masih menggigil ketakutan.Tampaklah mulutnya
bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak terdengar. Untara
menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta Kalau ia singgah sebentar di
Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya disana. Namun apakah pamannya
sedang dirumah juga belum pasti.
Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada disamping si
pande besi. Yang seorang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seornag
lagi tinggi gagah sedang yang seorang lagi masih sangat muda, lebih
tua sedikit dari adiknya.
“Untara” berkata si pande besi “sayang kami tidak biasa menawan
seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap kalian.”
Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata
“kalian berdua akan kami bunuh”
Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur
melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya?
Tiba-tiba Untara berkata lantang “Sedayu,menepilah. Biarlah aku saja
yang menghadapi mereka. Kau tidakperlu ikut serta. Orang-orang ini
sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Si Pande besi menggeram “ Jangan terlalu sombong.”
Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin
menutupi kelemahan adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani
mengganggunya. Untunglah bahwa keempat orang itu tidak terlalu
memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak mengetahui,
apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil
ketakuatan dengan dada sesak.
Pande besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba
memencar. Ditangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande besi
itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung kurus memegang golok
pendek,yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, sedang si anak
muda memegang pedang.
“Anak ini bernama Untara” teriak si pande besi “karena itu berhati-hatilah.”
“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Namun didalam dadanya terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah
terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam suatu pertempuran
melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa
kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan
langsung dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun
demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat
membunuh orang yang disegani itu.
Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya
bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka.
Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada diantara mereka
yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang
tidak menyenangkan itu ada padanya.
Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian
dari keempat lawannya, sehingga tak ada diantaranya yang mengganggu
Agung Sedayu.
Maka dengan gerak yang cepat,secepat tatit menyambar dilangit,Untara
meloncat menyerbu diantara mereka. Dengan berputar diatas sebuah
kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. Serangannya tidak begitu
berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si jangkung
dengan sangat terkejut meloncat mundur,dan si tinggi gagah, terpaksa
meloncat kesamping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan
Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi
debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dnegan
garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya
yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan
dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah
ditangannya.
“Setan,demit,tetekan” pande besi dari Sendang Gabus itu mengumpat
tidak habis-habisnya. Sedang kawannya melihat serangan itu seperti
melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama sekali tak berdaya.
Tetapi pande besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi
besar “berikan aku sebuah pisaumu” teriaknya. Si pande besi tidak
menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu.
Sementara itu,kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan
mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama dari arah yang
berbeda-beda.Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam hatinya,
bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran.
Karena itu Untara tidak menyianyiakan waktu. Ia harus segera
menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal
Putung sebelum subuh.
Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit,Pande besi dati
Sendang Gabus itupun ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar
biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang mengerikan.
Ornga yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya yang
panjang setiap kali terjulur mengulurkan angin maut. Sedang diujung
tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi
besar itupun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau
belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali
sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara. Namun
Untara bukan anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan
dengan senjatanya, telah memaksa lawannya untuk berpikir kembali.
Bahkan orang yang tinggi besar itupun kemudian tidak berani lagi
mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek.
Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali
ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia
menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur seorang
diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang
terjun ke dalam api.
Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah
menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut senjatanya akan mengenai
kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap
garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat demikian.
Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah
seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar diantara mereka
berempat, namun tiba-tiba ia telah berada diluar lingkaran. Bahkan
sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat
melenyapkan diri diantara percikan-percikan hujan yang hampir reda.
Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak
teratur. Sekali-sekali berdentang seperti guntur didalam dadanya,
namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak. Kakinya gemetar sehingga
kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia malihat juga anak muda
sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di dalam
dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya?
Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang
yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun
demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang
sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang sebenarnya.
Perkalahian untuk mempertaruhkan nyawa. Yang pernah dilihatnya, adalah
bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan kadang-kadang ia ikut serta. Ia
tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk
melakukannya.
Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin
lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi
cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya pada
Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia melihat
tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup
wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu
berpikir di dalam hatinya “anak yang satu ini aneh benar”
Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas
perkelahian itu, bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari
wajahnya. Namun meskipun demikian pande besi itu terpaksa menduga-duga
“ada dua kemungkinan” pikir pande besi “anak ini terlalu percaya
kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya
bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut”
Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara “Orang-orang ini
sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Tetapi tiba-tiba pande besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring.
Ia sudah mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil.
Kerana itu ia segera menemukan cara untuk memecah perhatian Untara.
Maka terdengarlah ia berkata diantara derail tawanya “He Untara yang
perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya
menonton saja seperti sabungan ayam.”
Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya.
Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia
menjawab “Buat apa ia susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup
mampu untuk melakukan.”
Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan,
sehingga Untara benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan
mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa pande besi itu
terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja
kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri. Namun untunglah ia
sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda
menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat
untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia
meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun kedada si tinggi
besar.serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi
besar itu terpaksa mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua
kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang tunggu kurus sempat
memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali
tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa
senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat
goloknya seperti terbang terlempar beberapa daripadanya.
Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang
bakal datang. Mereka berempat dengan senjata ditangan masing-masing
tidak mampu menghadapi Untara seorang diri. Apalagi kini salah seorang
dari mereka tidak bersenjata lagi.
Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana
liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak
nyaring ia berkata “Bunuhlah Untara itu dengan senjata-senjata kalian
aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.”
Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar
menjadi terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah
perutnya, sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari
punggung.
Namun Untara adalah seornag prajurut Pajang yang terpercaya. Karena
itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya sambil merendahkann dirinya,
pedang si anak muda hanya lewat secengkal dari tubuhnya, sedang pisau
orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun karena itu,
Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari
serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si pande besi telah
berlari kea rah Agung Sedayu.
Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya
serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang
dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu
kerisnya. Namun tangan itu gemetar da kehilangan kekuatannya. Maka
kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar
suaranya terbata-bata “Kakang, kakang Untara.”
Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar
menjadi buas seperti hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak
muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya korban pertama tanpa
kesulitan. Maka katanya sambil berlari “Tahanlah Untara. Biarlah ia
melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.”
Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi
untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah.
Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia akan mendapat
kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku
ketakutan.
Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar
telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri
disamping adiknya. Kuda itu manjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi
kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda
yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun
melontar seperti panah.
Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara.
Sebab dengan itu si pande besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak
mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah
cukup bagi Untara. Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang
lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat
berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang
mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat
besinya. Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah
menggunakannya dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka
bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar
tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara
meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah
terayun diatas kepalanya. Karena itu si pande besi hamper saja dapat
menangkisnya dengan pisau belatinya.
Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya
sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih
kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang sedang dibakar oleh
kemarahan.
Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk menghindar benturan
langsung dengan memukul tongkat Untara kesamping, namun usahanya itu
tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya.
Maka terdengarlah pande besi yang malang itu berteriak tinggi.
Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun
terputuslah.
Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh
lawannya, tetapi karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun
untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan anak muda yang bersenjata
pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah
kepunggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping.
Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang
bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau.dengan penuh nafsu dendam
orang itu menusuk leher Untara. Tusukan itupun sedemikian tiba-tiba
pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda.
Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba
merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun
berubah arah. Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun
tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah
mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu
terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya.
Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar
membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang
orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti
gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat besi
ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan
dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka
dipundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin
deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia
kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya
sekaligus. Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan
Untara yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan
dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang
sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan.
Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan
yang dasyat mengarah kelambung lawannya. Namun Untara yang marah
sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri.
Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus
tongkatnya bergerak mendatar.
Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah
benturan. Benturan antara tongkat besi ditangan Untara dengan
tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar
tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar
melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat
menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak
lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak
orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya kearah tubuh
lawannya.
Untunglah Untara melihat pisau itu.karana itu ia mengurungkan
geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar,
sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam tubuhnya.
Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan diluar
kemampuan jangkau manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu
meluncur dengan cepatnya melampaui Untara. Namun tanpa disangka-sangka
terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena tulang
kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba
mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian
kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau telah tertancam langsung
menyayat jantung.
Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua
lawannya. Dada mereka masing-masing terguncang oleh peristiwa yang tak
mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya sendiri.
Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah
telah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnyapun
semakin menjadi lemas. Sebab dengan demikian berarti maut akan
menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan
pertempuran itu.
Kedua lawannyapun telah bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang
itu setapak demi setapak maju mendekat, sedang orang yang bertubuh
tinggi besar yang kini tidak bersenjata lagi itu masih mencoba untuk
mencobanya dengan tangannya.
Kedua lawan Untara itupun agaknya melihat kemungkinan yang
dihadapinya. Mereka lamat-lamat melihat darah meleleh dar luka di
pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat memperpanjang
perlawanan mereka Untara pasti akan dapat mereka binasakan. Alangkah
mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah
berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama
yang disegani oleh lawan dan dikagumi oleh kawan.
Sesaat kemudian kembali anak muda itu menyerang dengan tangkasnya.
Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik perhatian Untara. Tetapi
Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia terlambat maka ia akan
ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup mempunyai tenaga,
maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa adiknya dan
berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada
pilihan lain bagi Untara,kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka
taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung termasuk
nyawanya sendiri.
Tetapi anak muda, lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia
memancing Untara untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan
demikian darah yang mengalir dari luka menjadi semakin banyak pula.
Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji
didalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat
pula.
Namun Untara selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus
kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan
tenaganya diperas sia-sia.
Meskipun tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan
lawannyapun tinggal separo dari semula. Dengan demikian maka segera
tampak, bahwa Unatara akan segera dapat mengatasi kedua lawannya.
Kedua ornag itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya sampailah
mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat
mengayunkan senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik
kesakitan. Orang yang tinggi besar itupun rebah ditanah untuk tidak
bangun lagi.
Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak muda
itu melihat kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai
diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat surut dan dengan
lantang ia berteriak “kali in kau menang Untara, tetapi lain kali kau
akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak
akan tenteram selam aku masih hidup di dunia ini.”
Untara tidak mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang.
Tetapi ia sudah tidak setangkas semula. Tulang-tulangnya seperti
menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia menjadi cemas,
jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya sampai
ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi
menghadapi kemungkinan apapun.
Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu bahkan tiba-tiba meloncat
menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak melihat
lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan mendekati adiknya.
“Sedayu” desisnya.
Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah
payah datang kepadanya. Karena itu iapun segera berlari mendekat
“Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya gemetar.
Nafas Untara semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar
seperti orang kedinginan. Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah
adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya.
Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya
seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.
“Tolong” desis Untara “balut lukaku”
Sedayu melihat luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi
ngeri melihat luka itu. Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka
itu dengan sobekan kain kakaknya.
“Sedayu” Untara berdesis sambil menahan nyeri “darahku sudah terlalu
banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan”
“Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka.
Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi.
Tetapi Untara masih berkata lagi “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu
sudah tidak ada disekitar tempat ini.”
Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di
jalan-jalan yang becek berlumpur. Sekali-sekali terdengar Untara
menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu
menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah
bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya,
namun ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib
Widura dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat
membawa banyak akibat. Ia akan dapat kembali mencar mereka berdua
disekitar tempat ini dengan kawan-kawan-kawan baru, atau anak itu
dapat memperhitungkan arah perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal
Putung akan dipercepat.
Pikiran sedayupun tidak pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan
hati yang kosong. Berbagai perasaan yang memukul-mukul dadanya telah
menjadikan Sedayu kehilangan pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan
menyadari apa yang telah
dilakukan. Ia berjalan kareena kakaknya menyuruhnya berjalan sambil
menggantung dipundaknya dengan tangan kanannya.
Untara menjadi semakin cemas ketika diantara rasa sakitnya timbul
suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan
sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara tahu bahwa ia
telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan
setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak
akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya
itu,apabila ia tidak mendapat pertolongan.
Sekali-sekali Untara menarik nafas. Disekitarnya terbentang hutan
belukar meski tidak terlalu tebal. Namun tempat itu tak akan ditemui
rumah seseorang. “Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir”
tiba-tiba ia berdesis
Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya “apa katamu?” ia bertanya.
“Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya.
Sedayu pernah pula pergi kerumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu
di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-tiba saja
Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh ketakutan ia memandang
berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang buas yang
muncul dihadapan mereka, maka celakalah mereka berdua. Sehingga dengan
demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan
katanya dengan gemetar “jalan dihadapan kita sangat gelapnya.
Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan harimau misalnya?”
“Hem” kakaknya menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya
“kita pergi ke tempat Ki Tanu Metir.”
“Masih jauh” sehut adiknya.
“Kalau lukaku tak diobati” jawab kakaknya “aku akan mati”
Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau
kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia berdiam diri, meskipun
hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada kegelapan dihadapannya,
takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya. Tetapi
ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati.
Karena itu ia tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya
berjalan menuju ke Dukuh Pasewon, meskipun kengerian selalu
merayap-rayap dadanya.
Untara semakin lama semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu
berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan
apabila ia harus mati karena darahnya kering. Baginya lebih baik mati
dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia tidak berputus asa.
Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu memanjatkan
doa didalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di
dalam belukar. Hati Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan
suara gemetar ia berbisik “Kakang, kau dengar sesuatu?”
Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya
telah demikian lemahnya. Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya
menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber hidupnya.
Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Katanya lirih “Bukan
langkah manusia dan bukan pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau
dengar ringkik kuda?”
“Ya” sahut adiknya.
Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak.
Seandainya kuda itu kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu.
“Ya Allah, serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang
tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku”
Wajah Sedayupun menjadi agak cerah,katanya “lalu, apakah kita akan berkuda?”
“Ya” sahut kakaknya “kudamu tak ada,namun kita berdua akan berkuda bersama-sama”
“Kembali?”
“Tidak” jawab Untara “kerumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”
Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu
dibantunya Untara naik ke atas punggung kudanya, baru kemudian iapun
naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah kuda yang kuat, karena
itu, meskipun diatas punggungnya duduk dua anak muda, namun kuda itu
masih dapat berlari kencang.
Kini harapan didalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat
mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir
ada dirumahnya.
Demikianlah, setelah mereka menembus rimbunnya pategalan yang subur
diujung hutan, sampailah mereka kepadukuhan kecil yang dinamai orang
Dukuh Pakuwon. Dipedukuhan kecil itulah tinggal seorang dukun yang
sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia mengenal berbagai
jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka dan
bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yang menusuk ke dalam tubuh
seseorang. orang itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara
meletakkan harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya.
Kuda-kuda anak muda itu berhenti dimuka sebuah pondok kecil. Pondok Ki
Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya turun dari kuda,maka dipapahnya
kakaknya itu kepintu yang tekatup rapat.
Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang
memancar menembus lubang-lubang dinding.
Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan.
Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan
sisa-sisa persahabatan itu masih membekas dihati dukun tua itu.
Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah sapa dari
dalam lirih “Siapa?”
“Aku Ki Tanu” jawab Untara “Untara dari Jati Anom”
“Untara” ulang Ki Tanu Metir “Untara, o, adakah engkau angger Untara
putera Ki Sadewa?”
“Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar.
Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang
mengalami cedera. Karena itu dengan tergesa-gesa orang tua itu
berjalan ke arah pintu. Terdengar suara telumpahnya diseret diatas
lantai tanah.
Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan munculah dari
celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hampir
seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh jarang-jarang diatas
sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta
dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening.
Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan
terloncatlah dari mulutnya “Kau terluka ngger?”
“Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan “duduklah” biarlah aku mencoba
melihat luka itu.”
Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah
berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.
Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk diatas
bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu “Tolong ngger peganglah cilupak
ini, mataku telah menjadi kurang baik”
Sedayupun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa
kedekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut
luka dipundak Untara.
Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan
kepalanya, gumannya “Hem, luar biasa”
“Apa yang luar biasa?” desis Untara.
“Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah.
Angger masih tetap sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak
terlalu lelah.”
Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya
seperti dilolosi. Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya
seperti hilang-hilang datang. Karena itu segera Untara memusatkan
segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu Metir
memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara
“Widura harus diselamatkan”
Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya
dapat menarik nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak.
Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu
bertanya “Agaknya angger berdua menjumpai bahaya diperjalanan.”
“Ya” jawab Untara singkat
“Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula
Untara menggeleng lemah “Bukan” jawabnya “sisa-sisa laskar adipati Jipang”
“Hem, guman Ki Tanu “mereka berkeliaran ditempat ini.”
“Disini?” Untara terkejut mendengarnya.
“Ya,disekitar tempat ini” jawab Ki Tanu.
Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah
tidak mengalir lagi dari lubang lukanya.
“Salah satu diantara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus”
berkata Untara lirih.
“Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu segerombolan orang –orang yang putus
asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?”
“Ya” jawab Untara
“Sendiri?”
“Tidak. Mereka mencegat jalan diujung hutan. Berempat.
“Angger berdua” potong Ki Tanu.
“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.
“Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang
bengis. Pande besi itu terkenal didaerah ini” berkata Ki Tanu
seterusnya “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih.
Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin susut. Karena itu ua menjawab
singkat “Aku belum kenal mereka”
“O” Ki Tanupun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia
menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia duduk disamping Agung
Sedayu dan dibiarkannya Untara meristirahat bersandar setumpuk bantal.
“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.
Sedayu menjadi bingung. Sebenarnya ia malu mendengar pertanyaan itu,
Tetapi akhirnya ia menjawab “Seorang tinggi kekuru-kurusan”
“Sebenarnya ia orang lugu” potong Ki Tanu “Sayang ia terlalu mudah
terpikat. Namanya Tumida”
“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu.
“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu.
“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan.
“Sebaya angger?” bertanya Ki TAnu.
“Kira-kira” Sedayu mengangguk.
“Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu “Anak itu ikut serta?”
“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda
pernah didengarnya.
Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya “Jadi anak itukah
yang disebut Alap-alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas”
“Ya” sahut Ki Tanu “Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah.
Pande besi dan Alap-alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang
di Karajan”.
Di Karajan?” ulang Untara heran “Disamping Jati Anom?”
“Ya” jawab Ki Tanu.
Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari
laskar yang akan memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara
menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya yang lain segera
timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang kembali dengan
kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya.
Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada
Sedayu “Mereka itukah yang melukai angger Untara?”
“Ya” jawab Sedayu.
Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru
tidurnya ia bertanya “Lalu siapakah angger ini?”
“Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara”
“Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk “Kalian menjadi
seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak
akan kalian dapat melawan Pande besi dan Alap-alap Jalatunda
sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu
bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”
Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu
merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu
menyebut mereka berdua seperti sepasang burung rajawali. Tetapi
sejalan dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya.
Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh
tiga diantaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga “Tiga
diantaranya terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu
melarikan diri”.
“Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang
bersandar sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu
mengusap keningnya sambil berdesis “Nama Untara benar-benar cemerlang.
Kini akan tumbuh nama baru disampingnya, Sedayu”
Agung Sedayu menggigit bibirnyya. Ia tidak berani memandangi wajah
kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seperti
yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya pasti tidak akan terluka.
Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada
dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya
berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi dirumah
pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandi senjata, yang
dilakukan tidak lebih daripada membantu bibinya menanak nasi dan
membelah kayu. Tidak lebih daripada itu.
Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya
menjadi semakin jelas. Dikenangnya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah
dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain,
adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih dari empat
dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula, maka
mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari
semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau.
Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata “Sedayu,
Aku tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman
Widura?”
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena
itu ia berdiam diri.
“Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah”
Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal didalam
dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata
perlahan-lahan “Sedayu. Hanya engkaulah yang aku harapkan untuk
menolong menyelamatkan paman Widura”
Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke
Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula
“Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu.
Disini dan diperjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya.
Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab
orang-orang Alap-alap Jalatunda pasti akan mencari aku. Kalau benar
sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ketempat .ini.
Mereka pasti memerhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencoba
mencari”
“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu
terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku
bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?”
Anak itu akan kembali ke Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan.
Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh,
pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan sampai Sangkal Putung
dari arah barat”.
Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung
benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan
kakaknya. Kalau ia berada dirumah, maka keadaannya pasti akan lebih
baik.
Ki Tanu melihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya
ragu-ragu “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke
Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku duga. Kalau
perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa angger Sedayu
berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger bertemu dengan
dengan Alap-alap Jalatunda?”
Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu,
bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat
kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki
Tanu pula “Bukankah angger Sedayu berdua dengan angger Untara mampu
menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande besi Sendang
Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua
kawannya lagi?”
“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorangpun yang melampaui
kesaktiannya dari si pande besi yang tamak itu. Karena itu jangan
takut dengan Alap-alap Jalatunda”
Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat
satu-satu, namun dadanya terasa sesak.
Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya
kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman
pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia hampir-hampir tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang
masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia
mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke
Sangkal Putung daripada tinggal di dukuh Pakuwon. Didorong pula oleh
rasa tanggung jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata
perlahan-lahan namun penuh kepastian “Agung Sedayu, tinggalkan tempat
ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah
ke Sangkal Putung dan temuilah paman Widura”
Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia
mencoba membantah perintah itu “Kalau aku bertemu dengan mereka,
bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”
Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab
Untara “Tempuhlah jalan barat”
“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak “Pergilah”
Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah katapun
terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.
Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba
menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara
Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “kakang, aku takut”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini,
siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu
iapun berdiam diri.
Tiba-tiba ornag tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras
sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya yang lemah “Sedayu,
pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati
karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku
sendiri”
“Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah
menjadi beku.
Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata
terpejam Untara berkata pula “Bagiku Sedayu, daripada kau mati
ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti mencekikku, lebih baik
kau mati dengan luka senjata didadamu”
Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti
guruh yang menggelegar didalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu
Metir berkata dengan terbata-bata “Angger Untara, apa yang akan angger
lakukan itu?”
“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.
“Angger” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu”
Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram.
Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir “Angger Sedayu, kakangmu telah
menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya angger pergi.
Bukankah puncak ketakutan angger itu adalah maut. Dan maut itu berada
dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti
angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut
diperjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam
angger disini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, maupun dilakukan
Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi”
Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan
yang bergumul didalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu
tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya. Sehingga seperti seorang
perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam perasaannya
tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan
terdengar suaranya gemetar “Adakah kakang berkata sebenarnya”
“Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara
lirih namun pasti “Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak
melihat kau merengek-rengek seperti bayi”
Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun
mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak,
sampai kakaknya membentaknya “Pergi sekarang juga!”
Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi
menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut
kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya itu begitu menekan
dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan malam diluar
dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah
terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju kepintu.
Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang
tua itu mendengar Sedayu menahan isak didadanya. Maka bisiknya
menghibur “angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya.
Kalau sudah saatnya akan diambilNya, maka berlakulah kehendakNya
meskipun angger berperisai baja. Namun kalau angger akan disingkirkan
dari bencana, maka berlakulah pula kehendakNya itu. Karena itu jangan
takut”.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya
tidak juga mau meninggalkannya.
Dimuka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya
memejamkan matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Diluar
dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah kepunggung kuda
itu.
“Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak
menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati yang kosong ia
menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup kedalam
malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah
menyusup kedaerah maut.
Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus dilakukannya,
maka segera ia memacu kudanya dengan mata yang hampir terpejam. Setiap
kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir. Dimalam yang
gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan hitam
menghadangnya diperjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir.
Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada diperjalanan
itu.
Ketika Sedayu telah hilang dibalik kekelaman malam, Ki Tanu Metir
menutup pintunya kembali. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara
yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya “Kenapa hal itu angger
lakukan?”
Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam “Mudah-mudahan
Tuhan melindunginya”
Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan disamping Untara. Ia
mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara pula “Kasihan
Sedayu”
“Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.
“Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus
aku ingin paman Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman
Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu” jawab Untara.
Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia
sekarang bahwa Untara sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan
ancamannya.
“Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula “Aku hanya
menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat
dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil
mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat” Untara berhenti sejenak,
kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah “Bukankah lebih
baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum Alap-alap Jalatunda
datang kemari?”
“Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat “Angger
memerlukan perawatanku disini”
“Tetapi” jawab Untara “kalau hal itu membahayakan Ki Tanu? Kalau
mereka datang kemari, dan ditemuinya aku disini, maka tidak saja aku
yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula”
“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir “Luka angger agak
parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya”
Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda
dihalaman, hampir saja ia berteriak memanggil adiknya itu kembali,
tetapi segera ia mempergunakan akan dan perhitungannya untuk melawan
perasaannya. “Kalau Alap-alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan
Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung
jawab” katanya dalam hati. Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian
maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia akan
kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil
menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda
yang bengis itu benar-benar datang kerumah itu bersyukurlah ia,
meskipun nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil
untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi kemungkinan yang
lebih jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya,
dan adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya,
kemudian Alap-alap itu datang membunuhnya. “Aku telah berusaha” pikir
Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas
dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara
berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang
paling baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal
Putung dan Alap-alap Jalatunda tidak datang kepondok itu.
Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar jauh
ditikungan jalan. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir
berdiri dengan gelisah.
“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap
kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu.
Lamat-lamat terdengar suara itu “Dimana he, dimana rumah dukun itu?”
Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh
perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan “Kalau kau tak mau
mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh”
“Ampun” sahut suara yang lain “aku hanya mendengar suara kuda berderap”
“Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu.
Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan mengatakan
segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.
Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan
beberapa buah pukulan.
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya “Orang itu tidak mau
menunjukkan rumah ini”
“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah.
Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki Tanu” katanya kemudian
“Biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa
Ki Tanu dapat diselamatkan”
“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir “angger adalah
salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang
tak berarti”
Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan
tidak saja berkobar didalam dada para prajurit yang dengan senjata
ditangan mempertaruhkan nyawanya demi pengabdiannya kepada tanah
kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi didalam dada orang
tua itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah
dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata
ditangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh
atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup diantara
para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai
dadanya, kulit dagingnya.
Untara menggeleng lemah “Tidak” katanya, “sudah sewajarnya seorang
prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya aku
berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka
menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir
menyelamatkan diri”.
“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir “Kalau aku lari sekarang,
maka kerumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat
menemukan aku disini. Tak ada gunanya”
Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab
berkatalah Ki Tanu Metir “Angger, kenapa kita tidak berusaha
menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan.
Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak
menemukan angger maka akupun akan selamat pula”
“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan
diri pada saat musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek
sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun
darahnya tidak lagi mengalir.
“Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang ditikungan
bentakan-bentakan kasar masih terdengar.
“Marilah angger aku sembunyikan disentong kiri. Aku timbuni angger
dengan ikatan bulir-bulir padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara
menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut
kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua
itu masih cukup kuat untuk memapahnya.
Disentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir
padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk kedalam sebuah bakul
yang besar “Melingkarlah disitu ngger, dan berusahalah untuk dapat
bernafas” berkata Ki Tanu Metir.
Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia
dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka
dibahunya itu sudah sembuh, ia akan datang kembali untuk bertemu
dengan Alap-alap Jalatunda.
Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan
bulir-bulir padi. Seikat demi seikat dengan hati-hati. Didalam bakul
yang besar itu Untara memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi
semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas.
Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya
diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya “mbah
dukun, buka pintumu”
Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau
orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat
mengucap syukur karena adiknya telah pergi.
Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera
beranjak dari tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya
dipukul keras-keras “He, buka pintu Ki Tanu”
Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan
terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri “Ya, ya tunggu. Aku sudah
bangun”
Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret
telumpah dikakinya. Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir
berderak patah “Aku tidak sempat menunggu” terdengar suara dibelakang
pintu.
“Ya, ya” sahut orang tua itu “aku sedang berjalan”
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu
itu menganga, demikian beberapa orang dengan senjata ditangan
berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah itu sambil
mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.
“Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu
menyeringai ketakutan. Jawabnya “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku
sedang melihat air diparit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini,
parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah
orang-orang ini”
“Tak usah mengigau” bentak salah seorang dari mereka “Monyet itu tidak
kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya”
“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir.
Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati
Ki Tanu Metir “Hem” geramnya “Kita telah berkenalan kiai, namun baru
hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu”
“Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger
Alap-alap Jalatunda?”
“Siapakah yang memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu.
Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan
itu.
“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir “Mungkin karena kedahsyatan
angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh”
Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya “Bagus. Kalau kau sudah
mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku”
“Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat “aku pasti akan membantu angger”
Disentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu.
Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama
Alap-alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi
dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun
demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama
menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin,
setiap goresan ditubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah
maut. Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat berbahaya,
apabila tidak segera dapat penawarnya.
Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda berkata “Ki
Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba
melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?”
Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban
atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu
membentaknya “Jawab pertanyaanku”
Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya “tidak ngger, tak seorangpun datang kemari”
Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya “Kiai adalah seorang dukun yang
terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu
ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana
dia sekarang?”
O, angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya,
kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu
Metir.
“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi
kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini”
“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong”
bentak anak muda itu.
“Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu.
Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar
seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu
Metir sambil berkata “Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati
sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara kau sembunyikan”
Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada ngger,
benar-benar tak ada”
“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu “Aku bertemu dengan anak itu
diujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang
lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai
nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena
mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan
kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke
Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari”
“Tidak ngger” jawab Ki Tanu “sungguh tidak”
“He monyet bungkuk” teriak Alap-alap itu kepada Kriya “Jawab pertanyaanku”
Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang
itu berteriak
“Kau lihat orang berkuda masuk kedukuh Pakuwon”
“Aku dengar derap kuda” sahut orang itu.
Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang diwajahnya, sehingga Kriya itupun
terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.
“Kau lihat dua orang diatas satu punggung kuda seperti katamu tadi
ditikungan” teriak Alap-alap itu.
Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu
memancar kengerian yang tersangkut dihatinya.
Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia
tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong
dikatakannya ditikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata
mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali
lagi dihadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai
kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu
Metir adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki Tanu Metir
adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri
orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia
untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya
tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan
demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-alap
Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang
kecil itu, serta menutupi ubun-ubun dikepalanya dengan kedua telapak
tangannya ia memohon “Ampun”
Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa
melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan
pendek itu “Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut
kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.
Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya
selalu bening, namun kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat
mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan “Kriya,
berkatalah sebenarnya”
Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk
sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi
“Katakanlah apa yang kau ketahui kepada angger alap-alap Jalatunda”
Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia
mendengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya
sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya “Ampun
ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu”
“Hem, baru sekarang kau katakan ktu “geram Alap-alap Jalatunda. “Lalu?”
“Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang
berkuda diatas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.
Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu
Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya “Kau dengar dukun tua, lidah
si bungkuk itu terputar-putar?”
“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir “Tetapi adakah seseorang yang masuk
kepadukuhan ini pasti datang kerumahku? Bagaimanakah kalau orang itu
sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya “Hanya
disini tinggal seorang dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata
Alap-alap itu menjadi liar “Mana dia” bentaknya, sehingga Kriya
terkejut dan menggigil karenanya.
Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah
yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara
terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang “Angger, kalau
angger tidak percaya, silakan mencarinya”
Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling kesegenap
sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak “Bohong!”
Tiba-tiba diantara mereka, diantara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda
itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda
dengan suara Alap-alap Jalatunda “He Alap-alap kecil, agaknya kau
terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari
disemua sudut rumah ini”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara.
Orang yang menyebut “Alap-alap Jalatunda dengan sebutan Alap-alap
kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara
menjadi semakin berdebar-debar.
Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya
“Bagus”, dan kepada anak buahnya ia berkata “Carilah orang yang
bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang
Plasa Ireng”
“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu didalam hati. Dan debar
jantungnyapun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang
bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan.
Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya
Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa
Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya
Penangsang. “Orang itu ada disini pada saat aku tak mampu menemuinya”
pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh
gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara
sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah
baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.
Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar kesegenap
sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan
sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun dibukanya. Tetapi tak seorangpun
mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun mereka jenguk
pula, bahkan dengan lampu ditangan mereka. Namun disentong-sentong itu
mereka hanya melihat setumpuk bantal dan disentong kiri seonggok
untaian padi didalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka
temukan.
Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa
nyaring diluar pintu. Katanya “Kuda itu telah kemari, tetapi aku
melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini”
Alap-alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun
mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu dibawah cahaya oncor ditangan
Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil “Bawa Kriya kemari”
Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret
mendekati alap-alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk
mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.
“Kriya bungkuk..!” teriak Alap-alap muda itu “Kau lihat orang ini
datang. Pasti kau lihat ia pergi”
“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.
“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?”
bentak Alap-alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada
perut Kriya yang kecil itu.
“Tidak, tidak..” sauara Kriya hampir merintih.
“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak
Alap-alap Jalatunda’
“Tidak…” sahut Kriya.
“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat
berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.
“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku
lihat meninggalkan padukuhan ini” jawan Kriya mencoba menyelamatkan
dirinya.
“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya
sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu
tiba-tiba meluncur dari mulutnya “Yang datang berdua, yang pergi hanya
seorang”
“Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut
mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu
mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia
tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar
mengherankan.
Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa
Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata “Yang seorang
melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya disini”
Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan
demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap
Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat
berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng
sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa
Ireng membentak “He dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara
Alap-alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang
sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya disegala medan peperangan namun
aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Disegala
garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah,
tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu” Kemudian katanya kepada
Alap-alap Jalatunda “Alap-alap kecil, serahkan Untara kepadaku, kau
dapat menemukan yang seorang lagi”
“Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia
melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau
penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung”
Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah
itu benar-benar mengejutkan.
Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia
lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-alap
Jalatunda “Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan
perkelahian itu”
Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya “Kaukah
yang melukainya?”
“Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.
“Ya” sahut anak muda itu.
Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya “Jangan mengelabui orang tua.
Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar
Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula”
Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat
sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab
“Jangan memperkecil arti Alap-alap Jalatunda didaerah ini. Kenapa aku
takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah
berhasil mengalahkan mereka”
“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang.
Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itupun ia
berkata “Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar
mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu”
kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata “kearah mana kuda yang itu?”
Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena
itu maka jawabannyapun meluncur dengan lancarnya “keselatan”
“Terus?” desak Plasa ireng.
“Tidak. Disimpang tiga membelok kebarat” jawabnya.
“Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya.
Alap-alap Jalatunda masih berdiri ditempatnya, sehingga Plasa Ireng
membentak “Pergi…!”
Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia
pergi kejalan kecil dimuka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian
terdengarlah derap kuda berlari.
Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia
mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan
tumpukan padi diatasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit.
Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir.
Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir,
apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng
membentak “He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang
cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara.
Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah,
tunjukkan tempat Untara itu sekarang”
Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila
dukun yang baik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan
demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali
mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara
menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya
lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi
sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab
tenang “Sayang ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat
itu”
“He..!” Plasa Ireng berteriak “Kau mencoba membantah. Jangan
mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu”
“Ia berada dirumahku” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada
ditanganku”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia
tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali
lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya.
Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia
mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan
kelam. Untara tidak sadarkan diri.
Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu
dilangit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir
dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan
pohon-pohonan yang masih basah.
Diatas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali asat
terdengarlah suara kaki kuda berderap .Kuda itu berlari dengan
kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung
Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu,
meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani
memacu kudanya dengan kecepatan penuh.
Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh kedepan, jantungnya menjadi
berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai
ke Bulak Dawa. Diujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon
randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas.
Dibawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali asat dan sekali
lagi ia harus membelok kekanan. Kemudian ia akan sampai kejalan lurus
langsung menuju Sangkal Putung.
Teringatlah ia akan ceritera tentang genderuwo bermata satu penunggu
randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong
oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan
membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian
Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap didalam hati. Perintah
kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang
sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja
menjerumuskannya kedaerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau
tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk
mencekiknya.
Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah
sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian dihadapannya terbentang
daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa.
Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang
dilangit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang
kemerah-merahan memencar terlempar keatas daun-daun padi yang subur
ditanah persawahan. Disana sini air yang bergenangan memantulkan sinar
bulan yang redup itu.
Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak
berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun
tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi
tegak.
Jauh diarah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur
keselatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung
Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur,
maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas.
Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak
jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas
yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan
mereka.
Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar
menghadang diujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik
kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu
dimata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak
memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun
daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan,
genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya
tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya,
lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.
Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya
berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya
memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke dukuh
Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap
membunuhnya.
“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya
adalah manusia paling sengsara diatas bumi ini. Kakaknya yang selama
ini amat
menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya
dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun kedaerah yang mengerikan
itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat
mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata
Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.
“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri.
Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka
iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi
semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.
Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana
yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata
satu. Jauh dibelakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-alap
Jalatunda.
Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap
Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu
terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan
mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang
dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan
nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu
ketika pande besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap
Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang
mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut
Kriya telah mengambil jalan barat.
“Menyenangkan” desisnya “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh
lebih baik dari Untara yang luka itu” Maka Alap-alap Jalatunda itupun
memacu kudanya lebih cepat “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya”
Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itupun berderap pula diatas jalan
berbatu menuju Kali Asat. Dibenaknya sama sekali tidak terhiraukan
genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Ceritera itu pernah
didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil
hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah
gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang
didepannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan
Untara.
Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia
dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan
kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan
laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.
Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu,
kudanya dipacu semakin cepat.
Langganan:
Postingan (Atom)