Baik dalam Babad Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun dalam Babad Giyanti (1916, I), kisah perpindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta hampir sama deskripsinya.
Secara ringkas kisahnya sebagai berikut:
Ketika Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo (1742), baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh bangunan rusak berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak lagi sebagai tempat raja dan pusat kerajaan. Niat ini kemudian disampaikan kepada para punggawa kerajaan. Patih R. Ad. Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana pembangunan istana baru tersebut. Raja berkehendak membangun istana baru di tempat yang baru. Raja menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjahui pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.
Setelah diadakan pembicaraan seperlunya tentang rencana Sunan tersebut, akhirnya Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Para utusan tersebut diberi wewenang dan kekeuasaan untuk bersama-sama mencari dan memilih tempat yang cocok untuk istana batu, baik sacara lahiriah maupun batiniah. Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang bupati. Utusan itu diikuti oleh Abdi Dalem ahli nujum, Kyai T. Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Setelah berjalan lama, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana.
Ketiga tempat itu adalah:
1.Desa kadipala; daerahnya datar, kering, akan tetapi para ahli nujum tidak menyetujui, sebab walaupun kelak kerajaan Jawa tumbuh menjadi kerajaan yang besar, berwibawa dan adil makmur, namun akan cepat rusak dan akhirnya runtuh. Sebagai tanda, maka ditempat itu dibangun sebuah panggung (Kopel). Sekarang panggung itu dikelilingi oleh bangunan dan gudang kayu jati milik seorang Cina, Jap Kam Mlok (Tikno Pranoto, tth: 27). Letaknya di depan bekas Rumah Sakit Kadipala, di sebelah utara jalan Dr. Rajiman
2. Desa Sala; atas pilihan RT. Hanggawangsa dan disetujui oleh semua utusan kecuali Mayor Hohendorp. Alasannya, tanahnya sangat rusak, terlalu dekat dengan Bengawan Sla, dan daerahnya penuh dengan rawa-rawa yang dalam.
3. Desa Sana Sewu; terhadap tempat ini RT. Hanggawangsa tidak menyetujuinya, karena menurut ‘jangka’, akan mengakibatkan perang saudara dan penduduk Jawa akan kembali memeluk agama Hindu dan Budha (tiyang Jawi badhe wangsul Budha malih) (Panitia Hari Jadi, 1973:81;Pawarti Surakarta, 1939:9-10).
Setelah diadakan permusyawaratan, para utusan akhirnya memilih desa Sala sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang Abdi Dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu. Utusan itu ialah Panembahan Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT. Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21). Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut desa Talangwangi (tala = tanah; wangi = harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi kampung Gremet). Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan “samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).
Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa Sala). Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala . Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).
Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai berikut:
Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebaba ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83;Almanak Cahya Mataram, 1921:53;Dirjosubrata, 1928: 75-76). Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan (“dilarung”) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa desa Sala, pagi hari ketika ia pergi kesungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja. Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat heran. Akhirnya ia “maneges”, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ. Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya,pemuda itu telah raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang = mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin raharja (Sala = raharja_, kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861).
Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada Sunan di Kartasura.
Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketigautusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala. Akhirnya mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh. Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.
Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).
(Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samodra).
Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut:
He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).
(Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya).
Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras akhirnya Sunan bersabda:
Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).
“Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti “gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya.
Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa. Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard, III: 109).
MAKNA LAMBANG KERATON :
Lambang keraton Surakarta atau tepat dikenal dengan sebutan Radya Laksana merupakan sebuah logo yang menandakan tentang sebuah identitas berdirinya kerajaan atau keraton Surakarta. Sebuah logo yang begitu unik dan memiliki ciri khas asli kebudayaan Indonesia ini memiliki nilai-nilai essensial tersendiri di dalamnya. Radya Laksana juga memiliki beberapa fungsi sebagai simbol identitas keraton dan juga juga sebagai simbol estetika atau keindahan.
Dalam bentuk lencana sering dipasang di baju sebelah kiri, menjadi motif batik khas kerabat keraton, sebagai vandel yang dipasang di rumah atau sebagai relief yang dipasang di gapura karaton. Dalam hal yang demikian Radya Laksana di samping memiliki fungsi sebagai simbol identitas juga sebagai simbol estetika atau keindahan.
Awal terbentuk logo Radya Laksana,
bermula dari dipecah belahnya keraton Yogyakarta menjadi dua oleh Belanda. Sampai akhirnya berdirikeraton kesunanan Surakarta (Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I) dankeraton kesultanan Yogyakarta (Raja Sri Sultan Hamengku buwana I). Dari terpecahnya dua keraton tersebut akhirnya Paku Buwana I mendirikan Keraton Kesunanan Surakarta yang nantinya bernama kota Solo.
Konon Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I pun mengagas sebuah ide untuk membuat logo keraton kesunanan Surakarta yang menurut sejarah penuh makna simbolis dan makna filosofis.
1. Makna Simbolis
Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I mengilhami dirinya dalam makna gambar Paku dan Bumi (Paku Buwana, nama tersebut kemudian dipakai sebagai nama raja-raja yang memerintah Karaton Surakarta dan Sinuhun Paku Buwana I hingga Paku Buwana XII), yang mencerminkan sejarah para raja-raja/penerusnya dalam lingkaran bulat telur. Gambar Surya (matahari) mengisyaratkan nama R.M.G. Sasangka, yang kemudian bernama Panembahan Purbaya. Kemudian gambar bintang, dalam bahasa Jawa disebut Kartika atau Sudama, mengisyaratkan nama R.M.G. Sudama yang kemudian bergelar Pangeran Balitar. Makna historis tersebut selengkapnya dapat diperiksa pada Bagan Silsilah keraton Surakarta.
2. Makna Filosofis
Radya Laksana sendiri juga memiliki makna filosofis yang berupa ajaran tentang kenegaraan dan kehidupan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
•Makutha (mahkota)
Sebagai simbol raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, siapa saja yang memakai atau menerima gambar mahkota selayaknya berjiwa budaya Jawa. Dalam arti bahwa jiwa budaya Jawa memberi tuntunan, budaya sebagai “uwoh pangolahing budi” secara lahir dan batin berdasarkan budi luhur dan keutamaan. “Pakarti lahir” harus seiring dengan “pakarti batin,” hal yang demikian mencerminkan adanya sifat keharmonisan dalam budaya Jawa.
•Warna merah dan kuning
Dalam budaya Jawa merah dan kuning merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini terlihat dalam bentuk lahir dan batin, yang mencerminkan sabar, tidak terburu nafsu dan sejenisnya. Hal ini memiliki makna filosofis bahwa seseorag raja harus memiliki jiwa kasepuhan.
•Warna biru muda
Dasar warna biru muda dan putih. Warna biru dan putih membawa watak menolak perbuatan yang tidak baik. Warna biru muda merupakan simbol angkasa atau langit, merupakan simbol orang yang berwatak luas pandangannya dan juga pemberi maaf.
•Surya (matahari)
Surya atau matahari merupakan sumber kekuatan dan sumber penerangan dan hidup, yang akan menjadikan dunia tegak penuh dengan sinar penerang dan hidup. Hal ini merupakan simbol bahwa orang yaang berjiwa budaya harus dapat menanamkan kekuatan dan dapat memancarkan sinar kehidupan dengan tidak mengharapkan imbalan. Surya menjadi sarana kehidupan bumi.
•Candra/sasangka (Bulan)
Bulan merupakan sumber penerangan di malam hari tanpa menimbulkan panas, tetapi teduh, memberi cahaya kepada siapapun dan apapun tanpa kecuali. Hal yang demikian memiliki makna bahwa jiwa budaya harus didasari watak pemberi dan memancarkan penerangan yang tidak menyebabkan silau tetapi memancarkan kelembutan dan kedamaian. Candra menjadi sarana daya rasa (batin) bagi kehidupan di bumi.
•Kartika (bintang)
Kartika atau bintang memiliki sifat memancarkan sinar, hanya kelihatan gemerlap di sela-sela kegelapan malam. Hal ini memiliki ajaran bahwa raja atau seseorang agar dapat memberikan penerangan kepada siapapun yang sedang dalam kegelapan. Makna itu juga mengingatkan kepada kita bahwa masalah gelap dan terang dalam kehidupan ini silih berganti. Kartika menjadi sarana dan daya menambah teduhnya kehidupan di bumi.
•Bumi (bumi)
Secara lahiriah bumi merupakan tempat kehidupan dan juga tempat berakhirnya kehidupan. Bumi atau jagad melambangkan bahwa manusia (mikrokosmos) yang memiliki jagad besar (makrokosmos). Di sini sebagai kiasan atau “pasemon” adanya kesatuan jagad kecil dan jagad besar. Bumi atau “jagading manungsa” berada dalam hati. Oleh kerena itu manusia agar dapat menguasai keadaan, harus dapat menyatukan diri dengan dunia besar. Dalam Kejawen disebut “Manunggaling Kawula-Gusti.” Sifat bumi adalah “momot dan kamet” dapat menampung dan menerima yang gumelar (ada). Bumi sebagai lambang“welas asih,” dapat “anyrambahi sakabehe.”
•Paku
Paku sebagai kiasan atau “pasemon” agar selalu kuat. Hal ini mengandung ajaran bahwa kehidupan di bumi bisa kuat, sentosa harus didasari jiwa yang kuat, tidak mudah goyah, atas dasar satu kekuatan yang maha besar dari Tuhan YME, yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup di bumi
•Kapas dan padi
Kapas dan padi melambangkan sandang pangan yakni kebutuhan lahir dalam kehidupan manusia. Sandang di nomor satukan atau didahulukan, sedang pangan dinomor duakan atau dikemudiankan. Hal yang demikian mengandung ajaran bahwa sandang berhubungan dengan kesusilaan dan diutamakan, sedangkan pangan berhubungan dengan lahiriah dinomor duakan. Oleh karena itu manusia hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada masalah pangan. Kehidupan manusia di bumi tidak dapat lepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi.
•Pita merah putih
Pita merah putih sebagai kiasan bahwa manusia terjadi dengan perantara ibu-bapak (ibu bumi bapa kuasa). Merah melambangkan ibu, sedangkan putih melambangkan bapak. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalau ingat kepada ibu-bapak, yang tercermin dalam ungkapan : “mikul dhuwur mendhem jero”maksudnya sebagai anak harus dapat mengharumkan nama orangtua dan dapat menghapuskan kejelekan nama orang tua. Juga dapat diartikan laki-laki dan perempuan sebagai lambang persatuan. Untuk mencapai tujuan harus dilandasi semangat persatuan (antara Gusti dan Kawula).
Inti kebudayaan Karaton Surakarta yang dicetus Paku Buwana I berupa gagasan,
Hasil olah (kerja) pikir dan batin manusia berupa perilaku hidup menyembah kepada tuhan YME dan perilaku hidup sosial budaya (hubungan dengan sesama). Nilai yang terkandung di dalamnya diwariskan pelestariannya dari generasi ke generasi, melalui proses seleksi nilai tersebut menurut lintasan perjalanan sejarah.
Menurut Paku Buwana I, Sri Radya Laksana adalah wujud dan gambaran inti kebudayaan Karaton Surakarta. Arti harafiahnya adalah perilaku lahir dan batin untuk menjunjung tinggi negara. Unsurnya terdiri dari ratu (raja), putra sentana, abdi dalem (punggawa), kawula (rakyat) fisik bangunan karaton, pemerintahan, wilayah dan kelompok tetua (pendahulu) yang dihormati.
Menurut abdi dalem keraton Istilah Radya Laksana yang dititiskan Paku Buwana I terdiri atas dua kata yaitu Radya dan Laksana. Kedua kata itu di dalam Baoesastra Djawa (1939, hal:515 dan 257) dijelaskan sebagai berikut:
a. Radya (S) KW : Kradjan
b. Laksana I (S) KW : Tjiri, tenger, pratanda, ngalamat.
II KW Kabegjan /lakoe
Terjemahan :
a. Radya (Sansekerta) Kawi : Kerajaan
b. Laksana I (Sansekerta) : 1. Ciri, tanda, pertanda 1. Keberuntungan
Sehubungan dengan makna kedua kata tersebut, maka secara harafiah Radya Laksana berarti : ciri kerajaan, tanda kerajaan, atau jalan kerajaan. Radya Laksana sebagai lambang Karaton Surakarta, kata Radya dapat berarti negara dalam pengertian Karaton Surakarta, sedangkan Laksana tetap berarti jalan. Oleh karena itu, Radya Laksana dapat diartikan Jalan Negara dalam arti konsep-konsep untuk menjalankan negara yaitu Karaton Surakarta Hadiningrat.
Selain secara harafiah, Radya Laksana memiliki makna sebagai ajaran dan patokan bagi siapapun yang memiliki watak Jiwa Ratu, Jiwa Santana, Jiwa Abdidalem, dan Kawuladalem yang berkiblat ke Karaton yang berdasarkan pada Jiwa Budaya Jawa.
Radya adalah negara.
Yang disebut negara adalah bersatunya Ratu, putra Santana, Abdi dalem, kawula bangunan karaton, pemerintahan, daerah dan “Pepundhen” (segala sesuatu yang dihormati).
Adapun Laksana berarti tindakan.
Tindakan yang didasarkan pada Lahir dan Batin. Tindakan dalam bentuk batiniah harus dapat tercermin dalam wujud tindakan lahiriah.
Lambang keraton Surakarta atau tepat dikenal dengan sebutan Radya Laksana merupakan sebuah logo yang menandakan tentang sebuah identitas berdirinya kerajaan atau keraton Surakarta. Sebuah logo yang begitu unik dan memiliki ciri khas asli kebudayaan Indonesia ini memiliki nilai-nilai essensial tersendiri di dalamnya. Radya Laksana juga memiliki beberapa fungsi sebagai simbol identitas keraton dan juga juga sebagai simbol estetika atau keindahan.
Dalam bentuk lencana sering dipasang di baju sebelah kiri, menjadi motif batik khas kerabat keraton, sebagai vandel yang dipasang di rumah atau sebagai relief yang dipasang di gapura karaton. Dalam hal yang demikian Radya Laksana di samping memiliki fungsi sebagai simbol identitas juga sebagai simbol estetika atau keindahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar