7 Mei 2013

A DBM

Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit. Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan. “Aku akan berangkat,” tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara dengan nada rendah. Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Jangan, jangan kakang berangkat sekarang.” “Tak ada waktu,” sahut kakaknya, “sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi Paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu akan datang demikian tiba-tiba.” “Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” potong adiknya. “Tak ada orang lain,” sahut kakaknya. “Tetapi…,” bibir Sedayu gemetar. “Aku harus pergi.” Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepat menggapai kainnya. “Jangan, jangan,” adiknya berteriak, “aku takut!” Untara menarik nafas panjang. Katanya, “Kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal disana sampai aku pulang.” “Aku takut, justru malam ini,” sahut adiknya. “Bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari?” “Mereka tak akan datang kemari,” jawab kakaknya. “Aku tahu pasti. Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi.” “Tidak, tidak,” mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata. Sekali lagi Untara menarik nafas panjang-panjang. Tanpa sesadarnya ia terlempar kembali, duduk disamping adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku tangan terhadap laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya benar-benar penakut. Anak yang telah mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak pernah berpisah darinya. Apalagi didalam kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga dengan demikian Untara merasa seakan-akan memelihara anak bayi. “Sedayu,” katanya kemudian, “umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang yang dahulu bernama Mas Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang muda pula, Sutawijaya berhasil melawang Penangsang yang perkasa.” “Aku bukan mereka,” jawab Sedayu. Untara mengeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Setidak-tidaknya kau harus malu kepada dirimu sendiri.” “Tetapi aku takut,” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya. Kembali Untara termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya adiknya itu terlalu dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena itulah maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua langkah diajarnya juga cara-cara membela diri dan didalam latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan, namun kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas dibelakang dinding-dinding rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya. Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang sedang berputus asa itu berkeliaran dilereng gunung Merapi. Untara kini benar-benar kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu merambat terus kepusat malam. Dan hujan masih saja memukul atap-atap rumah dan dedaunan. Tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Gumamnya, “Bagaimana kalau kau ikut?” Namun terasa hatinya sendiri beragu. Kalau ada bahaya diperjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka seluruh sanak keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri akan menyalahkannya. Agung sedayu memandang wajah kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya, pada malam yang gelap dan hujan yang pekat, memaksa diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika Sedayu sedang mencoba untuk berpikir, terdengar kakaknya berkata, “Bagaimana Sedayu? Kau tinggal dirumah, atau kau ikut serta?” “Kedua-duanya tidak menyenangkan” jawab Agung Sedayu. “Kau harus memilih salah satu dari keduanya” jawab kakaknya, yang akhirnya tidak menemukan jalan lain. Sebab yang melingkar-lingkar didalam dadanya adalah “laskar Paman Widura harus diselamatnyan”, dan itu adalah kewajibannya. Agung Sedayu menjadi bingung. Keduanya sama sekali tak menarik baginya. Tetapi ia tidak dapat merubah keputusan kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia memilih untuk ikut serta meskipun dengan dada yang berdebar-debar. “Bagaimana kalau kita berjumpa dengan laskar itu diperjalanan?” bertanya Agung Sedayu. “Kemungkinan yang sama dengan kedatangan mereka kerumah ini,” sahut kakaknya. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih kerisnya dari glodog disamping pembaringannya, Agung Sedayupun berdiri pula. Dibetulkannya letak pakaiannya dan kemudian diteguknya air sere dari mangkuk bambu dengan bibir yang gemetar. Namun hatinya tidak mau tenang juga. “Bawa kerismu!” perintah kakaknya. Agung Sedayu menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya kerisnya dipinggang kiri. Diikutinya langkah kaki kakaknya melompati tludak pintu menuju ke kandang kuda dibelakang rumah. Namun ketika mereka telah berada diatas punggung-punggung kuda, kembali Agung Sedayu berdesah, “Apakah pekerjaan ini tidak dapat ditunda?” Kakaknya menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Besok pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam Paman Widura.” Agung Sedayu memandang malam yang pekat dengan dada yang berdentang-dentang. Pakaiannya telah basah kuyup oleh hujan yang semakin deras. “Berdoalah,” bisik kakaknya. “Tuhan bersama kita.” Agung Sedayu menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama Allah Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Kemudian bergeraklah kuda-kuda itu menyusup kedalam kekelaman malam. Sesaat kemudian mereka meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju kearah timur. Dibelakang mereka berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut kepekatan malam dan kepadatan butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit. Ketika guruh menggelegar diudara dan kilat menyambar diatas kepala mereka sekilas tampaklah jalan yang menjalur dibawah kai-kaki kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai oleh tanah liat yang telah bertahun-tahun sedikit demi sedikit meluncur dari lereng-lereng bukit. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku diatas punggung kuda masing-masing. Hanya setiap kali Agung Sedayu selalu menoleh kepada kakaknya, seakan-akan takut ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu selalu menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah ia sedang berpikir. Apakah yang kira-kira akan terjadi diperjalanan dan apakah yang akan terjadi besok apabila laskar yang liar itu benar-benar akan menyerang. Kedudukan Widura tidak begitu menguntungkan dan jumlah orangnyapun tidak begitu banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah daerah yang langsung menghadapi pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang yangtidak mau melihat kekalahan Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan keributan dimana-mana. Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan kemudian menyerang daerah-daerah yang jauh dibelakang garis perang. Mereka datang setiap saat, dan kemudian menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan hutan-hutan belukar menjadi tempat persembunyian mereka. Demikianlah petang tadi, Untara menerima berita tentang laskar yang telah kehilangan tujuan perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk menyerang Sangkal Putung. Dan agaknya Widura sama sekali tidak menduga. Namun lumbung-lumbung yang padat di Sangkal Putung, pasti akan dapat memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang liar itu. Dan memang itulah tujuan mereka. Angan-angan Untara terputus ketika mendengar adiknya berbisik, “Kakang, kau melihat bayangan dihadapan kita?” Untara mengerutkan keningnya. “Ya,” jawabnya. “Orang?” berbisik Agung Sedayu. Untara menggeleng “Jangan mengada-ada Sedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh karena angin tiga hari yang lampau?” Sedayu mempertajam pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang yang bertubuh raksasa menghalang dipinggir jalan. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang dan hatinya menjadi tegang. Ia merapatkan kudanya kesisi kuda kakaknya. “Hem,” kakaknya menggeram. “Kau bukan anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini seorang diri.” Sedayu diam saja. Tetapi hatinya masih tegang. Ketika kilat menyambar dilangit, dan nyalanya memenuhi lereng gunung Merapi itu, Sedayu menarik nafas panjang. Bayangan itu benar-benar pokok pohon jati yang patah diputar angin. Tetapi baru saja Sedayu bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya berdebar-debar. Tidak jauh dihadapan mereka terbentang padang rumput dan beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak sebatang pohon beringin raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah Cengkar. “Kita lewat jalan ini?” terdengar suaranya lirih diantara gemerisik hujan. “Kenapa?” tanya kakaknya. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya. “Kau takut macan putih yang menjagai beringin itu?” Agung Sedayu mengangguk. “Tidak,” kakaknya meneruskan. “Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita belok ke kanan.” “Lewat jalan dipinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas. “Ya,” jawab kakaknya. “Macanan?” desak adiknya. “Ya.” Sedayu semakin gelisah. Katanya, “Bagaimana kalau kita tiba-tiba berjumpa dengan seekor harimau. Bukankah daerah Macanan itu terkenal dengan harimau belangnya?” “Harimau belang itu tidak seganas macan putih di Lemah Cengkar,” Untara menakut-nakuti adiknya, meskipun ia sama sekali tidak takut terhadap macan putih maupun harimau belang. Namun lewat Macanan jalan bertambah dekat. Agung Sedayu terbungkam. Namun tubuhnya terasa menggigil. Menggigil karena hatinya yang keciut dan menggigil karena dingin. Tetapi kuda mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara mempercepat lari kudanya, Sedayupun segera melecut kudanya pula. Ia tidak mau berjarak lebih tebal dari tubuh kudanya dari kuda kakaknya. Perjalanan mereka menjadi kian sulit. Tanah yang liat dijalan-jalan sempit itu tampak merah kehitam-hitaman. Dihadapan merke terbentang hutan belukar. Pandangan mata Untara yang tajam jauh mendahului kaki-kaki kudanya. Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia melihat sesuatu dihadapannya. Kali ini ia melihat bayangan. Bukan pokok kayu jati yang roboh. Dan bayangan itu dilihatnya menghilang diujung jalan. Untara menjadi berdebar-debar. Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum melihatnya. Untara sendiri tidak pernah menjadi takut apapun yang berada didepannya. Tetapi kali ini ia membawa adiknya. Seandainya bayangan itu seekor harimau, maka akan mudahlah untuk mengatasinya. Harimau tidak selalu menyerang seseorang. Kalau harimau itu tidak berdiri ditengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar, kuda-kuda mereka akan dapat berlari lebih kencang dari harimau itu. Meskipun seandainya harimau itu mengadang mereka, Untarapun tidak takut, sebab telah dua kali ia terpaksa berkelai dengan harimau, dan harimau-harimau itu selalu berhasil dibunuhnya. Dibunuh dnegan keris yang terselip dipinggangnya itu. Tetapi bayangan yang bergerak dan menghilang kedalam hutan adalah bayangan yang tegak diatas kakinya. Ia melihat dengan ketajaman matanya.Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah bayangan seseorang. Untara menarik nafas untuk merdedakan debar jantungnya. Sekali lagi ia memandangi adiknya, bahkan tanpa disengaja ia memperlambat kudanya. Sedayupun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan nafas yang bekejaran ia bertanya, “Ada apa kakang?” “Tidak ada apa-apa,” sahut kakaknya. “Jalanan dihadapan kita sangat licin.” “Oh,” namun jantungnya menjadi semakin cepat berdentang. Akhirnya Untara menghentikan kudanya. Dilontarkannya pandangan matanya kehutan dihadapannya. “Apakah yang tersembunyi dibalik kekelaman itu?” Hati Agung Sedayu semakin cemas. Desisnya, “Adakah sesuatu dihadapan kita?” Untara berbimbang. Tidak seharunya ia menyembunyikan bahaya yang mungkin berada dibalik kehitaman hutan itu. Mereka harus berhati-hati. Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan, keadaan akan lebih jelek lagi. “Kita lampaui daerah yang licin ini dengan berjalan kaki,” jawab kakaknya. Ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dituntunnya kudanya berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak tahu siapakah yang berada diujung hutan itu. Kalau mereka menyerang dengan tiba-tiba, maka duduk diatas punggung kuda akan menjadi lebih berbahaya. Seorang kawannya pernah mengalami nasib yang tidak menyenangkan, ketika ia mengalami serangan dengan cara pengecut. Dilintangkan oleh para penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan kudanya. Kemudian dalam keadaan yang sulit kawannya itu tudak mampu mempertahankan diri. Dan kini ia tidak mau mengalami nasib serupa itu. Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil merapatkan diri disamping kakaknya, “Adakah sesuatu yang berbahaya?” Kakaknya tidak mau berbohong lagi. Jawabnya, “Bersiaplah. Mungkin kita berjumpa dengan bahaya, tetapi mungkin pula kita mendapat teman.” Denyut nadi Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata, “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita kembali?” “Nasib paman Widura tergantung kepada kita,” sahut kakaknya. “Tetapi nasib kita sendiri?” desak adiknya. Untara tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang wajar. Tetapi ada sesuatu yang tidak dirasakan oleh adiknya itu. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan laskar Widura, pamannya yang telah bertahun-tahun bersama-sama dalam satu ikatan perjuangan. Dan yang terakhir, mereka berdua berdiri dipihak Pajang dalam pertentangannya dengan Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat yang memaksanya untuk berjalan terus. Karena Untara tidak menjawab, Sedayu mendesaknya “Kakang, kenapa kita tidak kembali. Bukankah nasib kita sendiri lebih berharga dari nasib siapapun juga?” “Belum pasti kita akan menjumpai bahawa Sedayu. Bahkan mungkin kita akan mendapat teman seperjalanan. Syukurlah kalau yang berada diujung hutan itu anak-anak paman Widura sendiri”. Namun apa yang dikatakannya sama sekali tidak diyakininya. Sangkal Putung masih agak jauh. “Adakan seseorang diujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas. “Ya,” jawab Untara berat. “Kakang lihat?” desak Sedayu. “Ya.” Untara menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya. Apa yang diduganya itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin merapatkan dirinya sambil merengek, “Kakang, marilah kita kembali.” “Jangan, Sedayu,” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya. “Kita lihat siapakah yang berada diujung hutan itu.” “Mereka pasti laskar Arya Penangsang,” sahut adiknya. “Kenapa kita mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya. “Mereka adalah orang-orang sakti,” jawab adiknya. “Kita juga laki-laki seperti mereka, Sedayu,” bombong kakaknya. “Apabila mereka orang-orang sakti, mereka tidak akan dikalahkan oleh laskar Pajang.” “Kita bukan laskar Pajang,” bantah adiknya. “Aku salah seorang dari prajurit Pajang,” potong kakaknya. Untara bukanlah seorang yang biasa menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap adiknya mempunyai kepercayaan kepadanya dan tidak akan menyulitkan keadaanya seandainya ia benar-benar harus menghadapi bahaya. “Tetapi aku bukan,” rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya. Untara menjadi gelisah. Tetapi ia tidak menjawab. Jarak mereka telah semakin dekat dan Untara tidak memutar langkahnya. Ketika adiknya akan berkata lagi, Untara berdesis, “Diamlah! Supaya orang–orang dimuka kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian mereka akan semakin berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti kelinci.” Sedayu terbungkam. Betapa ia menjadi sangat takut untuk menyatakan ketakutannya. Karena itu dengan lutut yang gemetar iapun berjalan terus. Tiba–tiba Untara menggeram. Untunglah mereka tidak akan dapat melihat bambu wulung yang kehitam–hitaman itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan malam yang kelam. Namun ketajaman mata Untara dapat membedakannya dengan warna air yang keputih–putihan memantulkan cahaya cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki–kaki kuda mereka menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali. Beberapa langkah dari bambu yang melintang itu Untara berhenti. Tak ada seorangpun yang tampak. Namun ia yakin di dalam hutan, dibalik pohon–pohon yang rapat itu, pasti bersembunyi seseorang atau lebih. Ketika Sedayu melihat bambu yang melintang itu, maka darahnya seakan–akan membeku. Ia pernah melihat cerita kakaknya tentang seseorang yang malang melanggar seutas tali yang terentang di jalan. Tetapi hatinya telah benar–benar dicekam oleh ketakutan sehingga sama sekali ia tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan terasa lututnya semakin gemetar, dan seakan–akan ia telah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak diatas kedua kakinya itu. Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak mau mendekat lagi. Sebab dengan demikian, ia akan berada didalam kedudukan yang kurang baik. Orang–orang yang berada di belakang rimbunnya daun–daun akan dapat melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat melihat mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka atau beberapa orang sekaligus datang kepadanya. Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi tegang. Nafas Sedayu terdengar berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia tidak berani berkata apapun, namun tangannya erat berpegangan baju kakaknya. Perlahan–lahan tangan Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk melepaskan pegangan itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi Sedayu berpegangan semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya. Untara menarik nafas. Tiba-tiba Sedayu terkejut ketika kakaknya berkata lantang, “Biarkan mereka Sedayu. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Namun kalau mereka mengganggu kita, kau baru boleh bertindak sesuka hatimu. Syukurlah kalau mereka sahabat-sahabat kita yang baik.” Sedayu tidak tahu maksud kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya seperti akan memecah dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu namun mulutnya seperti telah tersumbat. Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi dibalik pohon-pohon yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka berteriak “Siapa kalian?” Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak ditelinganya. Kini tidak saja lututnya yang gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar,sedang darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi sesak. Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah,bisiknya “peganglah kendali kuda-kuda kita” Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan baju kakaknya. Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya sambil berkata lirih “Sedayu,kalau kau tak mau memegang kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.” Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri diantara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak berarti akan dapat merobohkannya. Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak diantara butir-butir hujan yang sudah mulai mereda. “He, siapa kalian?” Untara mencoba menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena itu maka dijawabnya berhati-hati “kami anak-anak dari sendang gabus. Siapakah kalian?” “Ya” sahut Untara “Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan. Untara beragu. Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus. Untara sendiri tidak banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara pasti mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk melampaui tempat itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk menghindarkan diri dari bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka Widura akan mengalami bencana. Karena itu maka ia menjawab untung-untungan “ Anak Sadipa” “Sadipa” sahut suara diujung hutan “Ya” “Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu pula” Kembali pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa “Sadipa yang lain. Tinggi besar,berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya cacat.” “Bagus” sahut suara itu “kau benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi kenapa kau berbohong ?” Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang kegelapan itu tahu ia berbohong. Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut, selangkah saja dimuka adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk melindungi adiknya yang menggigil ketakutan. Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada. Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti betu karang. “Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu. Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju. “Ha” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara “dua anak yang berani”. Siapakah namamu?” “Aku anak Sadipa” Untara mengulangi. Kembali orang itu tertawa “jangan berbohong” katanya “Anak Sadipa yang tinggi besar,berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.” Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri dihadapannya itu orang Sendang Gabus? “Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara. “Tebak siapa aku?” ornag itu berkata sambil tertawa. Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus. “Aku ingat” tiba-tiba Untara menyahut “kau pande besi Sendang Gabus.” Orang itu mengangkat alisnya,katanya “ kau kenal aku?” Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang sambung Untara. Namun dengan demikian Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orng itu telah melupakannya. Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya disertai derail tawanya “ Ha. Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.” Orang itu berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak “setan. Bukankah kau yang bernama Untara. He?” Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun meskipun demikian ia menjawab “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?” “Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu. “Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya?” kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan keyakinanku.” “Huh” sahut orang itu “kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung disawah.” “Yang penting bagiku,apakah yang telah di lakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini.” Sahut Untara. “Aku bukan tukang bicara seperti kau” bentak orang itu. “Wahyu keraton tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak tingkir itu.” “Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara “Persetan. Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu. Untara tersenyum. Katanya “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang sendang Gabus?” “Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula harus mati” gertak pande besi itu. “Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara. Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab “Ya,aku akan membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.” “Hem” Untara menarik nafas “kenapa golongan? Paman pande besi” sambung Untara “Paman bisa mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang –orang Pajang bukan pendendam.” “Persetan. “tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam belukar, Terdengar Untara menggeram “empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. Adiknya masih menggigil ketakutan.Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta Kalau ia singgah sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya disana. Namun apakah pamannya sedang dirumah juga belum pasti. Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada disamping si pande besi. Yang seorang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seornag lagi tinggi gagah sedang yang seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya. “Untara” berkata si pande besi “sayang kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap kalian.” Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata “kalian berdua akan kami bunuh” Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya? Tiba-tiba Untara berkata lantang “Sedayu,menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidakperlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.” Si Pande besi menggeram “ Jangan terlalu sombong.” Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil ketakuatan dengan dada sesak. Pande besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Ditangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande besi itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung kurus memegang golok pendek,yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, sedang si anak muda memegang pedang. “Anak ini bernama Untara” teriak si pande besi “karena itu berhati-hatilah.” “Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun didalam dadanya terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang disegani itu. Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada diantara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya. Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, sehingga tak ada diantaranya yang mengganggu Agung Sedayu. Maka dengan gerak yang cepat,secepat tatit menyambar dilangit,Untara meloncat menyerbu diantara mereka. Dengan berputar diatas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat mundur,dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat kesamping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dnegan garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah ditangannya. “Setan,demit,tetekan” pande besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. Sedang kawannya melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama sekali tak berdaya. Tetapi pande besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi besar “berikan aku sebuah pisaumu” teriaknya. Si pande besi tidak menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu. Sementara itu,kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda.Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran. Karena itu Untara tidak menyianyiakan waktu. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum subuh. Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit,Pande besi dati Sendang Gabus itupun ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang mengerikan. Ornga yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya yang panjang setiap kali terjulur mengulurkan angin maut. Sedang diujung tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itupun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara. Namun Untara bukan anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan orang yang tinggi besar itupun kemudian tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang terjun ke dalam api. Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar diantara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah berada diluar lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri diantara percikan-percikan hujan yang hampir reda. Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali berdentang seperti guntur didalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia malihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di dalam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkalahian untuk mempertaruhkan nyawa. Yang pernah dilihatnya, adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk melakukannya. Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir di dalam hatinya “anak yang satu ini aneh benar” Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian pande besi itu terpaksa menduga-duga “ada dua kemungkinan” pikir pande besi “anak ini terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut” Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara “Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.” Tetapi tiba-tiba pande besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata diantara derail tawanya “He Untara yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton saja seperti sabungan ayam.” Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab “Buat apa ia susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.” Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa pande besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri. Namun untunglah ia sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun kedada si tinggi besar.serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang tunggu kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat goloknya seperti terbang terlempar beberapa daripadanya. Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka berempat dengan senjata ditangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara seorang diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi. Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata “Bunuhlah Untara itu dengan senjata-senjata kalian aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.” Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari punggung. Namun Untara adalah seornag prajurut Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya sambil merendahkann dirinya, pedang si anak muda hanya lewat secengkal dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si pande besi telah berlari kea rah Agung Sedayu. Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu gemetar da kehilangan kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar suaranya terbata-bata “Kakang, kakang Untara.” Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari “Tahanlah Untara. Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.” Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku ketakutan. Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri disamping adiknya. Kuda itu manjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun melontar seperti panah. Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si pande besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara. Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya. Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah menggunakannya dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun diatas kepalanya. Karena itu si pande besi hamper saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya. Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang sedang dibakar oleh kemarahan. Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat Untara kesamping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah pande besi yang malang itu berteriak tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun terputuslah. Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah kepunggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau.dengan penuh nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara. Tusukan itupun sedemikian tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda. Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah. Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya. Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat besi ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus. Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan. Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah kelambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar. Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi ditangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya kearah tubuh lawannya. Untunglah Untara melihat pisau itu.karana itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam tubuhnya. Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan diluar kemampuan jangkau manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu meluncur dengan cepatnya melampaui Untara. Namun tanpa disangka-sangka terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena tulang kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau telah tertancam langsung menyayat jantung. Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada mereka masing-masing terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya sendiri. Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah telah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnyapun semakin menjadi lemas. Sebab dengan demikian berarti maut akan menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan pertempuran itu. Kedua lawannyapun telah bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi setapak maju mendekat, sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata lagi itu masih mencoba untuk mencobanya dengan tangannya. Kedua lawan Untara itupun agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-lamat melihat darah meleleh dar luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat memperpanjang perlawanan mereka Untara pasti akan dapat mereka binasakan. Alangkah mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang disegani oleh lawan dan dikagumi oleh kawan. Sesaat kemudian kembali anak muda itu menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa adiknya dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada pilihan lain bagi Untara,kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung termasuk nyawanya sendiri. Tetapi anak muda, lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia memancing Untara untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan demikian darah yang mengalir dari luka menjadi semakin banyak pula. Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji didalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula. Namun Untara selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia. Meskipun tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan lawannyapun tinggal separo dari semula. Dengan demikian maka segera tampak, bahwa Unatara akan segera dapat mengatasi kedua lawannya. Kedua ornag itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya sampailah mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat mengayunkan senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Orang yang tinggi besar itupun rebah ditanah untuk tidak bangun lagi. Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak muda itu melihat kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat surut dan dengan lantang ia berteriak “kali in kau menang Untara, tetapi lain kali kau akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak akan tenteram selam aku masih hidup di dunia ini.” Untara tidak mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak setangkas semula. Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya sampai ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi menghadapi kemungkinan apapun. Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan mendekati adiknya. “Sedayu” desisnya. Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah payah datang kepadanya. Karena itu iapun segera berlari mendekat “Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya gemetar. Nafas Untara semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir. “Tolong” desis Untara “balut lukaku” Sedayu melihat luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu. Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya. “Sedayu” Untara berdesis sambil menahan nyeri “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan” “Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi. Tetapi Untara masih berkata lagi “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada disekitar tempat ini.” Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di jalan-jalan yang becek berlumpur. Sekali-sekali terdengar Untara menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat membawa banyak akibat. Ia akan dapat kembali mencar mereka berdua disekitar tempat ini dengan kawan-kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat. Pikiran sedayupun tidak pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. Berbagai perasaan yang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayu kehilangan pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia berjalan kareena kakaknya menyuruhnya berjalan sambil menggantung dipundaknya dengan tangan kanannya. Untara menjadi semakin cemas ketika diantara rasa sakitnya timbul suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara tahu bahwa ia telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu,apabila ia tidak mendapat pertolongan. Sekali-sekali Untara menarik nafas. Disekitarnya terbentang hutan belukar meski tidak terlalu tebal. Namun tempat itu tak akan ditemui rumah seseorang. “Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya “apa katamu?” ia bertanya. “Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya. Sedayu pernah pula pergi kerumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-tiba saja Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang buas yang muncul dihadapan mereka, maka celakalah mereka berdua. Sehingga dengan demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan gemetar “jalan dihadapan kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan harimau misalnya?” “Hem” kakaknya menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya “kita pergi ke tempat Ki Tanu Metir.” “Masih jauh” sehut adiknya. “Kalau lukaku tak diobati” jawab kakaknya “aku akan mati” Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada kegelapan dihadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya. Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati. Karena itu ia tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh Pasewon, meskipun kengerian selalu merayap-rayap dadanya. Untara semakin lama semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena darahnya kering. Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia tidak berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu memanjatkan doa didalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya. Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik “Kakang, kau dengar sesuatu?” Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian lemahnya. Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber hidupnya. Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Katanya lirih “Bukan langkah manusia dan bukan pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik kuda?” “Ya” sahut adiknya. Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu. “Ya Allah, serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku” Wajah Sedayupun menjadi agak cerah,katanya “lalu, apakah kita akan berkuda?” “Ya” sahut kakaknya “kudamu tak ada,namun kita berdua akan berkuda bersama-sama” “Kembali?” “Tidak” jawab Untara “kerumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.” Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke atas punggung kudanya, baru kemudian iapun naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah kuda yang kuat, karena itu, meskipun diatas punggungnya duduk dua anak muda, namun kuda itu masih dapat berlari kencang. Kini harapan didalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada dirumahnya. Demikianlah, setelah mereka menembus rimbunnya pategalan yang subur diujung hutan, sampailah mereka kepadukuhan kecil yang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Dipedukuhan kecil itulah tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka dan bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yang menusuk ke dalam tubuh seseorang. orang itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya. Kuda-kuda anak muda itu berhenti dimuka sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya turun dari kuda,maka dipapahnya kakaknya itu kepintu yang tekatup rapat. Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar menembus lubang-lubang dinding. Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih membekas dihati dukun tua itu. Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah sapa dari dalam lirih “Siapa?” “Aku Ki Tanu” jawab Untara “Untara dari Jati Anom” “Untara” ulang Ki Tanu Metir “Untara, o, adakah engkau angger Untara putera Ki Sadewa?” “Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar. Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena itu dengan tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara telumpahnya diseret diatas lantai tanah. Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan munculah dari celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hampir seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh jarang-jarang diatas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening. Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya “Kau terluka ngger?” “Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan “duduklah” biarlah aku mencoba melihat luka itu.” Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri. Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu “Tolong ngger peganglah cilupak ini, mataku telah menjadi kurang baik” Sedayupun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa kedekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut luka dipundak Untara. Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumannya “Hem, luar biasa” “Apa yang luar biasa?” desis Untara. “Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak terlalu lelah.” Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena itu segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara “Widura harus diselamatkan” Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak. Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya “Agaknya angger berdua menjumpai bahaya diperjalanan.” “Ya” jawab Untara singkat “Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula Untara menggeleng lemah “Bukan” jawabnya “sisa-sisa laskar adipati Jipang” “Hem, guman Ki Tanu “mereka berkeliaran ditempat ini.” “Disini?” Untara terkejut mendengarnya. “Ya,disekitar tempat ini” jawab Ki Tanu. Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi dari lubang lukanya. “Salah satu diantara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih. “Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu segerombolan orang –orang yang putus asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?” “Ya” jawab Untara “Sendiri?” “Tidak. Mereka mencegat jalan diujung hutan. Berempat. “Angger berdua” potong Ki Tanu. “Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya. “Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande besi itu terkenal didaerah ini” berkata Ki Tanu seterusnya “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu” Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin susut. Karena itu ua menjawab singkat “Aku belum kenal mereka” “O” Ki Tanupun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia duduk disamping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara meristirahat bersandar setumpuk bantal. “Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu. Sedayu menjadi bingung. Sebenarnya ia malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia menjawab “Seorang tinggi kekuru-kurusan” “Sebenarnya ia orang lugu” potong Ki Tanu “Sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida” “Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu. “Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu. “Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan. “Sebaya angger?” bertanya Ki TAnu. “Kira-kira” Sedayu mengangguk. “Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu “Anak itu ikut serta?” “Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya. Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya “Jadi anak itukah yang disebut Alap-alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas” “Ya” sahut Ki Tanu “Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande besi dan Alap-alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”. Di Karajan?” ulang Untara heran “Disamping Jati Anom?” “Ya” jawab Ki Tanu. Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya. Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada Sedayu “Mereka itukah yang melukai angger Untara?” “Ya” jawab Sedayu. Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru tidurnya ia bertanya “Lalu siapakah angger ini?” “Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara” “Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk “Kalian menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande besi dan Alap-alap Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?” Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang burung rajawali. Tetapi sejalan dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh tiga diantaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga “Tiga diantaranya terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri”. “Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis “Nama Untara benar-benar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru disampingnya, Sedayu” Agung Sedayu menggigit bibirnyya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seperti yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya pasti tidak akan terluka. Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi dirumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandi senjata, yang dilakukan tidak lebih daripada membantu bibinya menanak nasi dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu. Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. Dikenangnya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula, maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau. Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata “Sedayu, Aku tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman Widura?” Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri. “Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah” Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal didalam dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan “Sedayu. Hanya engkaulah yang aku harapkan untuk menolong menyelamatkan paman Widura” Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya “Apa yang harus aku lakukan?” “Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula “Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu. Disini dan diperjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab orang-orang Alap-alap Jalatunda pasti akan mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ketempat .ini. Mereka pasti memerhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencoba mencari” “Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?” Anak itu akan kembali ke Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan sampai Sangkal Putung dari arah barat”. Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada dirumah, maka keadaannya pasti akan lebih baik. Ki Tanu melihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa angger Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger bertemu dengan dengan Alap-alap Jalatunda?” Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tanu pula “Bukankah angger Sedayu berdua dengan angger Untara mampu menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande besi Sendang Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua kawannya lagi?” “Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorangpun yang melampaui kesaktiannya dari si pande besi yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-alap Jalatunda” Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak. Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke Sangkal Putung daripada tinggal di dukuh Pakuwon. Didorong pula oleh rasa tanggung jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh kepastian “Agung Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah paman Widura” Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah itu “Kalau aku bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?” Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara “Tempuhlah jalan barat” “Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas. “Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak “Pergilah” Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah katapun terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca. Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “kakang, aku takut” Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu iapun berdiam diri. Tiba-tiba ornag tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya yang lemah “Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku sendiri” “Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku. Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata pula “Bagiku Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata didadamu” Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar didalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-bata “Angger Untara, apa yang akan angger lakukan itu?” “Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya. “Angger” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu” Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram. Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir “Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya angger pergi. Bukankah puncak ketakutan angger itu adalah maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut diperjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam angger disini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, maupun dilakukan Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi” Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul didalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya. Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan terdengar suaranya gemetar “Adakah kakang berkata sebenarnya” “Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti “Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi” Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya “Pergi sekarang juga!” Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju kepintu. Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak didadanya. Maka bisiknya menghibur “angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambilNya, maka berlakulah kehendakNya meskipun angger berperisai baja. Namun kalau angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendakNya itu. Karena itu jangan takut”. Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya. Dimuka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Diluar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah kepunggung kuda itu. “Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup kedalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah menyusup kedaerah maut. Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir. Dimalam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan hitam menghadangnya diperjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada diperjalanan itu. Ketika Sedayu telah hilang dibalik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya “Kenapa hal itu angger lakukan?” Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya” Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan disamping Untara. Ia mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara pula “Kasihan Sedayu” “Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu. “Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu” jawab Untara. Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya. “Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula “Aku hanya menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat” Untara berhenti sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah “Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum Alap-alap Jalatunda datang kemari?” “Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat “Angger memerlukan perawatanku disini” “Tetapi” jawab Untara “kalau hal itu membahayakan Ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku disini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula” “Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir “Luka angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya” Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda dihalaman, hampir saja ia berteriak memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akan dan perhitungannya untuk melawan perasaannya. “Kalau Alap-alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung jawab” katanya dalam hati. Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda yang bengis itu benar-benar datang kerumah itu bersyukurlah ia, meskipun nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi kemungkinan yang lebih jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-alap itu datang membunuhnya. “Aku telah berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-alap Jalatunda tidak datang kepondok itu. Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar jauh ditikungan jalan. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah. “Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah. Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu. Lamat-lamat terdengar suara itu “Dimana he, dimana rumah dukun itu?” Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan “Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh” “Ampun” sahut suara yang lain “aku hanya mendengar suara kuda berderap” “Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain. Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan. Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini” “Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki Tanu” katanya kemudian “Biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan” “Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir “angger adalah salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang tak berarti” Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar didalam dada para prajurit yang dengan senjata ditangan mempertaruhkan nyawanya demi pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi didalam dada orang tua itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata ditangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup diantara para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit dagingnya. Untara menggeleng lemah “Tidak” katanya, “sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan diri”. “Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir “Kalau aku lari sekarang, maka kerumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat menemukan aku disini. Tak ada gunanya” Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab berkatalah Ki Tanu Metir “Angger, kenapa kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan angger maka akupun akan selamat pula” “Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir. “Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang ditikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar. “Marilah angger aku sembunyikan disentong kiri. Aku timbuni angger dengan ikatan bulir-bulir padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat untuk memapahnya. Disentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk kedalam sebuah bakul yang besar “Melingkarlah disitu ngger, dan berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir. Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka dibahunya itu sudah sembuh, ia akan datang kembali untuk bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat demi seikat dengan hati-hati. Didalam bakul yang besar itu Untara memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas. Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya “mbah dukun, buka pintumu” Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi. Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras “He, buka pintu Ki Tanu” Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri “Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun” Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir berderak patah “Aku tidak sempat menunggu” terdengar suara dibelakang pintu. “Ya, ya” sahut orang tua itu “aku sedang berjalan” Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, demikian beberapa orang dengan senjata ditangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek. “Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku sedang melihat air diparit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah orang-orang ini” “Tak usah mengigau” bentak salah seorang dari mereka “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya” “Siapa?” berkata Ki Tanu Metir. Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir “Hem” geramnya “Kita telah berkenalan kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu” “Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?” “Siapakah yang memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu. “Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir “Mungkin karena kedahsyatan angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh” Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku” “Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat “aku pasti akan membantu angger” Disentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama Alap-alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan ditubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya. Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda berkata “Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?” Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu membentaknya “Jawab pertanyaanku” Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya “tidak ngger, tak seorangpun datang kemari” Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya “Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?” O, angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir. “Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda. “Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini” “Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu. “Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu. Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata “Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara kau sembunyikan” Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada ngger, benar-benar tak ada” “Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu “Aku bertemu dengan anak itu diujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari” “Tidak ngger” jawab Ki Tanu “sungguh tidak” “He monyet bungkuk” teriak Alap-alap itu kepada Kriya “Jawab pertanyaanku” Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak “Kau lihat orang berkuda masuk kedukuh Pakuwon” “Aku dengar derap kuda” sahut orang itu. Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang diwajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya. “Kau lihat dua orang diatas satu punggung kuda seperti katamu tadi ditikungan” teriak Alap-alap itu. Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya. Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya ditikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi dihadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu. Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-alap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun dikepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon “Ampun” Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu “Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu. Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya. Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan “Kriya, berkatalah sebenarnya” Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi “Katakanlah apa yang kau ketahui kepada angger alap-alap Jalatunda” Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya “Ampun ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu” “Hem, baru sekarang kau katakan ktu “geram Alap-alap Jalatunda. “Lalu?” “Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan. Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya “Kau dengar dukun tua, lidah si bungkuk itu terputar-putar?” “Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir “Tetapi adakah seseorang yang masuk kepadukuhan ini pasti datang kerumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?” Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya “Hanya disini tinggal seorang dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap itu menjadi liar “Mana dia” bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya. Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang “Angger, kalau angger tidak percaya, silakan mencarinya” Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling kesegenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak “Bohong!” Tiba-tiba diantara mereka, diantara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-alap Jalatunda “He Alap-alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari disemua sudut rumah ini” Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut “Alap-alap Jalatunda dengan sebutan Alap-alap kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya “Bagus”, dan kepada anak buahnya ia berkata “Carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng” “Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu didalam hati. Dan debar jantungnyapun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang. “Orang itu ada disini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir. Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar kesegenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun dibukanya. Tetapi tak seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu ditangan mereka. Namun disentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan disentong kiri seonggok untaian padi didalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka temukan. Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring diluar pintu. Katanya “Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini” Alap-alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu dibawah cahaya oncor ditangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil “Bawa Kriya kemari” Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati alap-alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda. “Kriya bungkuk..!” teriak Alap-alap muda itu “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi” “Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata. “Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu. “Tidak, tidak..” sauara Kriya hampir merintih. “Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda’ “Tidak…” sahut Kriya. “Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng. “Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawan Kriya mencoba menyelamatkan dirinya. “Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya “Yang datang berdua, yang pergi hanya seorang” “Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar mengherankan. Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya disini” Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak “He dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya disegala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Disegala garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu” Kemudian katanya kepada Alap-alap Jalatunda “Alap-alap kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi” “Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda. “Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung” Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan. Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-alap Jalatunda “Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu” Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya “Kaukah yang melukainya?” “Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda. “Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng. “Ya” sahut anak muda itu. Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya “Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula” Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab “Jangan memperkecil arti Alap-alap Jalatunda didaerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka” “Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itupun ia berkata “Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu” kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata “kearah mana kuda yang itu?” Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannyapun meluncur dengan lancarnya “keselatan” “Terus?” desak Plasa ireng. “Tidak. Disimpang tiga membelok kebarat” jawabnya. “Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya. Alap-alap Jalatunda masih berdiri ditempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak “Pergi…!” Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi kejalan kecil dimuka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari. Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi diatasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng membentak “He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang” Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang baik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang “Sayang ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu” “He..!” Plasa Ireng berteriak “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu” “Ia berada dirumahku” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada ditanganku” Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri. Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah. Diatas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali asat terdengarlah suara kaki kuda berderap .Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh kedepan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Diujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas. Dibawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali asat dan sekali lagi ia harus membelok kekanan. Kemudian ia akan sampai kejalan lurus langsung menuju Sangkal Putung. Teringatlah ia akan ceritera tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap didalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya kedaerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya. Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian dihadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa. Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang dilangit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar keatas daun-daun padi yang subur ditanah persawahan. Disana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu. Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak. Jauh diarah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka. Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang diujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu dimata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti. Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya. “O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara diatas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun kedaerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya. “Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya. Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh dibelakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda. Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika pande besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat. “Menyenangkan” desisnya “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu” Maka Alap-alap Jalatunda itupun memacu kudanya lebih cepat “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya” Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itupun berderap pula diatas jalan berbatu menuju Kali Asat. Dibenaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Ceritera itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang didepannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara. Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung. Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat.