17 Februari 2012

ISKANDAR ZULKARNAIN

Ibnu Katsir lebih menjelaskan, Zulkarnain adalah nama gelar atau julukan seorang penglima penakluk sekaligus Raja saleh. Karena kesalehannya ia selalu mengajak manusia untuk menyembah Allah. Namun mereka ingkar, malah memukul tanduknya – Qarnun,yaitu rambut kepala yang di ikat – sebelah kanan, hingga ia mati. Lalu Allah menghidupkannya kembali, dan ia pun kembali berdakwah. Tetapi sekali lagi tanduknya yang kiri dipukul, sehingga ia mati lagi. Allah SWT menghidupkannya kembali dan menjulukinya Zulkarnain, pemilik duaTanduk, serta memberinya kekuasaan. Cerita yang sama juga di jumpai dalam kitab Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Syekh Al-Aiji Asy-Syafi’i. Dalam kitab tersebut disebutkan, Zulkarnain adalah seorang hamba yang taat kepada Allah dan mengajak kaumnya menyembah Allah. Lalu mereka memukul tanduknya yang kanan hingga mati. Kemudian Allah menghidupkannya lagi, dan dia kembali mengajak kaumnya mengesakan Allah. Tetapi mereka malah memukul tanduknya yang kiri hingga mati lagi. Lalu Allah menghidupkannya lagi dan menganugrahinya kekuasaan yang tak tertandingi. Oleh karena itu ia dijuluki Zulkarnain. Di samping kedua kitab tersebut, Mufassir Muslim Ibnu Jarir Ath-Thabari juga mengisahkannya dalam kitab tafsir Ath-Thabari. Dikatakan, Iskandar Zulkarnain adalah seorang laki-laki yang berasal dari Romawi, ia anak tunggal seorang yang paling miskin diantara penduduk kota. Namun dalam pergaulan sehari-hari, ia hidup dalam lingkungan kerajaan, bergaul dengan para perwira dan berkawan dengan wanita-wanita yang baik dan berbudi serta berakhlak mulia. Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsir Al-Qur’annya yang populer, Tafsir Al-Qurtubi,menceritakan, sejak masih kecil dan masa pertumbuhannya Iskandar berakhlak mulia. Melakukan hal-hal yang baik sehingga terangkat nama baiknya. Ia juga menjadi mulia di kalangan kaumnya, sehingga Allah berkenan memberinya kewibawaan.
Dialah Raja Muslim yang sangat berkuasa namun saleh. Daerah taklukannya membentang dari bumi bagian barat sampai timur. Ia mendapat julukan Iskandar “Zulkarnain”. “Zul”, artinya “memiliki”, Qarnain, artinya “Dua Tanduk”. Maksudnya, Iskandar yang memiliki kekuasaan antara timur dan barat. Dia juga telah membangun dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, diantara dua Gunung. Para ahli sejarah meyakini, dinding tersebut terbuat dari besi yang dicampur dengan tembaga itu terletak tepat di pengunungan Kaukasus. Daerah itu kini disebut Georgia, negara pecahan Uni Soviet. Secara topografis, deretan pegunungan Kaukasus itu memang terlihat memanjang dari laut Hitam sampai ke laut Kaspia sepanjang 1.200 kilometer tanpa celah. Kecuali pada bagian kecil sempit yang disebut celah Darialsepanjang 100 Meter kurang lebih. Pada bagian celah itulah Zulkarnain membangun tembok penghalang dari Ya’juj dan Ma’juj. Kisah ketokohan Iskandar Zulkarnain ini juga tertulis dalam catatan sejarah orang-orang barat. Dalam catatan tersebut diceritakan bagaimana ia berjaya meluaskan daerah taklukannya dalam masa yang sangat singkat. Oleh karena kejayaannya ini, ia diberi gelar “Alexander The Great”, Alexander Yang Agung”. Belakangan cerita ini diadaptasi ke film layar lebar oleh Sutradara Amerika Serikat, Oliver Stone, dengan judul Alexander The Great. Namun cerita dari orang-orang barat tersebut sangat bertentangan dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Para Mufasir menyatakan, “Alexander The Great” adalah orang yang berbeda dengan tokoh yang di tulis dalam Al-Qur’an, Yakni, Iskandar Zulkarnain. Alexander Thr Great itu dalam sejarahnya tidak diberitakan pernah membangun sebuah dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, yang terbuat dari besi dicampur tembaga. Bahkan, ia adalah seorang musyrik. Sejarah tidak mencatatnya sebagai seorang Raja Muslim yang taat kepada agama Tauhid. Sejarawan Muslim yang juga ahli tafsir, Ibnu Katsir, dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah menjelaskan, meski punya nama yang sama dan plot cerita yang sama, yaitu kekuasaannya membentang dari Barat sampai ke Timur, keduanya adalah sosok yang berbeda. Antara mereka terbentang jarak dan waktu sampai 2000 tahun. “Hanya mereka yang tidak mengerti sejarah yang bisa terkecoh oleh identitas kedua orang itu,” katanya. Setelah mencapai usia akil balig, Iskandar menjadi seorang hamba yang saleh, sehingga Allah Berfirman, “Wahai Zulkarnain, Sesungguhnya aku mengutusmu kepada umat-umat di bumi. Mereka adalah umat yang berbeda-beda bahasanya dan mereka adalah umat yang berada disegala penjuru bumi. Mereka terbagi dalam beberapa golongan.” Mendapat amanat tersebut, Zulkarnain lalu berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau telah menugasiku melakukan seuatu hal yang aku tidak kuasa melakukannya kecuali engkau sendiri, maka beritahukan kepadaku tentang umat-umat itu, dengan kekuatan apa aku bisa melawan mereka? Dengan kesabaran apa aku bisa menahan mereka? Dan dengan bahasa apa aku harus bicara dengan mereka? Bagaimana pula aku bisa memahami bahasa mereka sedangkan aku tidak mempunyai kemampuan.” Kemudian Allah SWT berfirman”Aku membebanimu sesuatu yang kamu mampu melakukannya, aku akan melapangkan pendengaran dan dadamu hingga kamu bisa mendengar dan memperhatikan segala sesuatu. Memudahkan pemahamanmu sehingga kamu bisa memahami segala sesuatu, meudahkan lidahmu, hingga kamu bisa berbicara tentang sesuatu, membukakan penglihatanmu, sehingga kamu bisa melihat segala sesuatu, melipatgandakan kekuatanmu hingga tak terkalahkan oleh sesuatu apapun, menyingsingkan lenganmu, hingga tidak ada sesuatupun yang berani meyerangmu, menguatkan hatimu, hingga kamu tidak takut pada apapun, menguatkan kedua tanganmu hingga kamu bisa menguasai segala sesuatu, menguatkan pijakanmu hingga kamu bisa mengatasi segala sesuatu, memberimu kemuliaan hingga tidak ada apapun yang menakutimu, menundukkan untukmu cahaya dan kegelapan dan menjadikan salah satu tentaramu. Cahaya itu akan menjadi petunjuk di depanmu, dan kegelapan itu akan berkeliling di belakangmu". Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada dirinya dengan menjadi seorang raja. Dialah Raja Iskandar Zulkarnaen, yang namanya telah tersebut dalam Al Qur'an. Pada tahun 322 SM, Raja Iskandar Zulkarnaen berniat mengadakan perjalanan untuk mengelilingi bumi dan Allah SWT mewakilkan salah satu malaikatnya yang bernama Rofa'il untuk menyertainya dalam perjalanan panjang itu. Dialog Malaikat dan Raja Iskandar Zulkarnaen. Karena ditemani oleh seorang malaikat, Raja Zulkarnaen banyak mengajukan pertanyaan seputar dunia dan akhirat serta isinya. Salah satu pertanyaan yang paling terkenal adalah tentang ibadah para malaikat di langit. "Wahai Malaikat Rofa'il, ceritakanlah kepadaku tentang ibadahnya para malaikat yang ada di langit," tanya Raja Zulkarnaen. "Para malaikat yang ada di langit ibadahnya ada yang berdiri tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada juga yang bersujud tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya," jawab Malaikat Rofa'il. "Duh, alangkah senangnya hati ini seandainya aku bisa hidup bertahun-tahun lamanya untuk beribadah kepada Allah SWT," kata Raja Zulkarnaen. "Wahai raja, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan sumber air di bumi. Namanya Ainul Hayat, artinya sumber air hidup. Maka barang siapa yang meminum airnya seteguk, maka ia tidak akan mati sampai hari kiamat atau jika ia memohon kepada Allah SWT untuk dimatikan," kata Malaikat Rofa'il. "Apakah engkau tahu tempat Ainul Hayat itu wahai Malaikat Rofa'il?" tanya raja. "Sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di bumi yang gelap," jawab Malaikat Rofail. Setelah Raja Zulkarnaen mendengar penuturan malaikat Rofa'il tentang Ainul Hayat itu, maka raja segera mengumpulkan para alim ulama pada saat itu. Sebelumnya, raja bertanya kepada mereka tentang letak Ainul Hayat, tapi mereka semua menjawab tidak tahu. "Wahai para alim ulama, tahukah kalian dimanakah letak Ainul Hayat itu?" tanya raja. "Kami tidak mengetahuinya wahai baginda, hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui," jawab salah seorang ulama. Di luar dugaan, dari pertanyaan Raja Zulkarnaen tersebut, ada salah seorang ulama yang mampu menjawab meski tidak sedetail letaknya. "Sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat Nabi Adam as bahwa beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah SWT meletakkan Ainul Hayat itu di bumi yang gelap," kata ulama itu. "Dimanakah bumi yang gelap itu?" tanya raja. "Yaitu di tempat terbitnya matahari," jawab orang alim ulama itu. Kemudian Raja Zulkarnaen menyuruh para pengawalnya untuk menyiapkan segala keperluan untuk mencari dan mendatangi tempat Ainul Hayat itu. "Kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap?" tanya raja. "Kuda betina yang masih perawan," jawab para sahabatnya. Akhirnya raja mengumpulkan seribu kuda betina yang masih perawan dan ia memilih diantara 6 ribu tentaranya yang pandai serta ahli dalam mencambuk. Di antara para tentara itu, ada yang bernama Nabi Khidir as, bahkan beliau menjabat sebagai perdana menteri kala itu. Perjalanan Mencari Ainul Hayat. Setelah dirasa semua cukup dan siap, maka berangkatlah Raja Zulkarnaen dan Nabi Khidir as yang ebrjalan di depan pasukan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya mereka mengetahui tempat terbitnya matahari. Mereka pun menuju arah terbitnya matahari tersebut. Perjalanan ke temnpat tujuan tersebut memakan waktu 12 tahun lamanya untuk sampai di bumi yang gelap itu. Gelapnya bukanlah seperti di waktu malam hari, melainkan gelap karena ada pancaran seperti asap. Raja Zulkarnaen sudah tak sabar lagi hendak masuk ke tempat gelap itu, namun salah seorang cendikiawan mencegahnya. Para tentara berkata kepada raja, "Wahai Baginda, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk ke tempat gelap ini, karena tempat yang gelap ini berbahaya." "Wahai prajurit, kita harus memasukinya, tidak boleh tidak," sanggah sang raja. Karena raja bersikeras hendak masuk, maka tak ada seorang pun yang berani melarangnya. "Diamlah dan tunggulah kalian di sini selama 12 tahun. Jika aku bisa datang kepada kalian dalam masa itu, maka kedatanganku terhadap kalian termasuk baik. Dan jika aku tidak datang dalam 12 tahun, maka pulanglah kalian kemabli ke negeri kalian," ujar sang raja. Setelah itu raja mendekat dan bertanya kepada malaikat Rofa'il, "Apabila kita melewati tempat gelap ini, apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita?" "Tidak bisa kelihatan<" jawab Malaikat Rofa'il. "Akan tetapi aku memberimu sebuah merjan atau mutiara. Jika mutiara itu ke atas bumi, maka mutiara itu dapat emnjerit dengan suara yang keras, dengan demikian kawan-kawan kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian," jelas Malaikat Rofa'il lebih lanjut. Masuk ke Ainul Hayat. Demikianlah, akhirnya Raja Iskandar Zulkarnaen masuk ke tempat yang gelap itu. Selama 18 hari lamanya tidak pernah melihat matahari dan bulan, tidak pernah melihat malam maupun siang. Tidak pernah melihat burung dan binatang liar, sedangkan raja berjalan dengan didampingi Nabi Khidir as. Pada saat mereka berjalan, maka ALlah SWT memberi wahyu kepada Nabi Khidir as. "Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat ini Aku khususkan untuk kamu." Setelah Nabi Khidir as menerima wahyu itu, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Berhentilah kalian di tempat masing-masing dan jangan kalian emninggalkan tempat kalian sebelum aku datang kepada kalian." Kemudian Nabi Khidir as menuju kanan jurang hingga beliau menemukan Ainul Hayat itu. Beliau turun dari kudanya, melepaskan pakaiannya dan turun ke Ainul Ahaya tersebut. Beliau mandi dan minum air sumber hidup tersebut dan beliau merasakan bahwa airnya lebih manis daripafda madu. Sesudah mandi dan minum air tersebut, beliau keluar dari tempat itu kemudian menemui Raja Iskandar Zulkarnaen. Raja tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas diri Nabi Khidir as. Sungguhpun kekuasaan dan keperkasaannya tak tertandingi, akhlak dan hatinya selembut sutra, hingga karenanya ia mudah menyerap bukti kebenaran Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, menceritakan, suatu ketika Iskandar Zulkarnain mendatangi suatu kaum yang tidak memiliki harta benda apapun yang bisa di nikmati. Lalu ia mengirim surat kepada Raja mereka dan berpesan agar Raja bersedia membalas suratnya. Namun Raja itu menolak permintaan Zulkarnain, malah sebaliknya, ia berkata, jika Zulkarnain merasa ada kepentingan dengannya, sebaiknya dialah yang datang menemuinya. Maka Zulkarnain pun pergi menemui Raja mareka, “Aku telah mengirimkan surat kepadamu dan memintamu datang kepadaku, tetapi kamu menolak, maka aku datang kepadamu,” kata Zulkarnain setelah sampai di istana Raja. Sang Raja pun berkata, “Seandainya aku membutuhkanmu, aku pasti akan datang kepadamu.” Sebagaimana jika aku melihatmu berada dalam suatu keadaan yang tak pernah dialami oleh siapapun?” tanya Zulkarnain. “Apa itu?” sang Raja belik bertanya. “Kalian tidak memiliki harta dunia apapun. Kenapa kalian tidak memiliki emas dan perak hingga kalian bisa menikmatinya?” balas Zulkarnain. “Tetapi kami membenci dua hal tersebut, karena seorang tidak mendapat apapun dari emas dan perak itu, kecuali hanya menginginkannya lebih dari itu,” jawab raja itu dengan tangkas. Zulkarnain melanjutkan pertanyaannya, “Apa maksud kalian menggali kuburan lalu setelah itu kalian menjaganya, membersihkannya, dan sembahyang di sana?” Raja itu kembali menjawab, “Kami ingin, jika kami memandang kuburan-kuburan itu dan mengharapkan dunia, kuburan-kuburan itu akan menghalangi kami dari harapan itu.” Zulkarnain bertanya lagi, “Aku melihat kalian tidak memiliki makanan kecuali sayur sayuran, kenapa kalian tidak memiliki hewan ternak, hingga kalian dapat memerah susunya, menungganginya dan menikmatinya?” Mereka menjawab, “Kami tidak suka menjadikan perut kami sebagai kuburan bagi binatang itu. Dan kami melihat di dalam tumbuh-tumbuhan itu faedah yang besar. Cukuplah anak adam memiliki kehidupan yang rendah karena makanan. Dan makanan apa saja yang melewati rahang bawah kami rasanya sama saja seperti makanan yang pernah kami makan sebelumnya.” Setelah Zulkarnain meninggalkan raja itu dengan kagum dan menjadikan penjelasannya sebagai sebuah nasehat yang berharga. Dalam setiap perjalananya, Zulkarnain selalu memperlakukan bangsa dan suku yang ditaklukkannya dengan amat baik dan santun. Tak mengherankan jika ia menuai kesuksesan dan selalu mendapatkan dukungan dari daerah yang telah di kuasainya. Selain itu, Zulkarnain juga didampingi seorang penasihat kerajaan yang baik dan sangat luas pengetahuannya, yang tiada lain adalah Nabi Khidir AS. Sebagian ulama menyebut, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Khidir AS, lalu mengajarkan Wahyu tersebut kepada Zulkarnain. Seorang mufassir lain, Al-Alusi, dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani, berkata, “Mungkin Khidir adalah salah satu pembesar kerajaan, seperti perdana mentrinya, karena tidak tertutup kemungkinan bahwa Zulkarnain bermusyawarah dengan orang lain saat menghadapi suatu masalah. Sebab pada saat itu, istilah yang dikenal untuk menyebut orang pandai, termasuk Nabi, adalah “Ahli Hikmah”. selain itu, pada masa-masa dahulu, para Nabi juga sering disebut dengan istilah “Orang bijak,” atau “Hakim”. Wahab bin Munabbah dalam kitabnya At-Tijan mengisahkan, pada suatu ketika Nabi Khidir AS berkata kepada Zulkarnain, Wahai Tuanku, tuan membawa suatu amanat yang seandainya diberikan kepada langit, langit itu akan runtuh, jika diberikan kepada Gunung, maka Gunung itu akan roboh, dan jika diberikan kepada Bumi, maka bumi itu akan terbelah. Tuanku telah diberi kesabaran dan kemenangan. Tuanku akan melihat suatu kaum yang menyembah sesama manusia dan mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Allah adalah penuntut tidak akan terkelabui oleh orang-orang yang melarikan diri, dan tidak akan dikalahkan oleh orang yang “Menang”. Kata Nabi Khidir lagi, “Wahai tuanku, ambillah apa yang telah diberikan Allah SWT kepada tuan dengan keteguhan hati dan sungguh-sungguh. Jadikanlah kesabaran sebagai pakaian, kebenaran sebagai pegangan hidup, dan takut kepada Allah sebagai perlindungan yang menumbuhkan amal pada tuan, dan tuan akan tenang dari ketakutan akan datangnya ajal. Ambillah pedang Allah dengan tangan tuan, karena tidak ada orang yang dapat menolong dan tidak ada orang yang dapat mencegah kemenangan. Cukuplah bagi tuan, Allah sebagai penolong tuan.” Dalam Almuhadlarah al-Awali, kitab yang dikutip Ibnu Katsir, disebutkan, suatu ketika Nabi Ibrahim AS bertemu dengan Zulkarnain di Mekah. Nabi Ibrahim Memeluk dan menjabat tangan Zulkarnain serta memberinya bendera. Lalu ia mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi itu dan menyeru kepada manusia agar berpegang teguh pada syariat tersebut. Hal ini dikuatkan kembali oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat Nabi SAW, Ubaid bin Umair dan anaknya, Abdullah, yang menyatakan, selama masa jayanya, Iskandar Zulkarnain pernah melaksanakan haji dengan berjalan kaki. ketika Nabi Ibrahim mendengar berita tersebut, beliau menemuinya seraya menyeru kepada agama Tauhid dan memberikan beberapa nasehat. Nabi Ibrahim juga membawakan Zulkarnain seekor kuda agar dinaikinya. Akan tetapi Zulkarnain menolak, seraya berkata, “Saya tidak akan menaiki suatu kendaraan di suatu tempat yang di dalamnya ada Ibrahim Al-Khalil, yang dikasihi Allah.”

#NSDS#

Tetapi, putraku, aku berbicara agak kabur kepadamu. Aku yakin terhadap peristiwa yang dikehendaki Tuhan. Putraku, aku tidak menyatakan diri sebagai utusan Tuhan. Engkau mungkin tidak mampu sepenuhnya memahami kata-kataku, karena pengetahuanku ini tidak diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah akal. Oleh sebab itu, lebih baik bagimu untuk tetap menjaga jarak. Aku memiliki berlimpah-limpah cabang pengetahuan, berupa hikmah dan rahasia, yang telah aku bakar supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang jahat.
“Saya tidak tahu kapankah kala itu, di tengah manusia akan muncul seorang raja iblis, dia mempunyai kekuasaan yang besar, demi memenuhi keinginannya, rakyatnya membunuh,menjajah dan menjarah. Anak-anakku yang tercinta, janganlah mempercayai omongannya. Setiap katanya, akan membawa kalian ke dalam dosa yang tak terhapuskan dan jurang kesengsaraan
Dataran tanah, lingkupudara, air bah, semuanya dingin membeku Hari Kamis yang menakutkan datang pun tidak bisa dicegah Langit tidak lagi cerah. Semua ini akan menyebar ke empat penjuru, hari ini pasti tidak akan terlupakan Seseorang akan dilahirkan di bawah naungan 3 karakter air. Setiap hari Kamis berpesta pora. Nama besar, puja-puji, kedudukan dan kekuasaannya akan membentang di darat dan lautanMembawa kesengsaraan di daerah timur
Ramalan Nostradamus pertama Peramal dunia dengan nama lengkap Michel de Nostredame ini pernah meramalkan beberapa hal kecil dan hal besar saat dia berkelana tanpa tujuan yang jelas setelah dia terpukul atas kematian istri dan anak-anaknya. Dia merasa bersalah, dia mengobati ribuan warga yang sakit tetapi tidak mampu menyelamatkan anak dan istrinya sendiri. Semasa berkelana itu di jalan dia bertemu dengan seorang anak laki-laki dari sebuah keluarga miskin, namanya Felice Peretti. Tiba-tiba peramal Nostradamus turun dari keledainya, lalu bersujud di hadapan anak itu. Orang-orang bertanya, “Mengapa engkau mesti bersujud pada bocah itu?” Nostradamus menjawab singkat, “Karena aku harus bersujud di hadapan kesucian-Nya.” Berpuluh tahun kemudian setelah peristiwa itu, tepatnya tahun 1585, atau 19 tahun setelah kematian Nostradamus, orang-orang pun tersadar: bocah tadi, Felice Peretti, menjadi Paus Sixtus V, pemimpin tertinggi Katolik di Vatikan. Ramalan-ramalan Nostradamus untuk abad-20 Kemungkinan akan meletusnya Perang Dunia Ke-III (Kitab: Armageddon) Bencana global dasyat yang akan melanda seluruh bangsa Kemunculan kembali raja teror Munculnya perselisihan di kalangan pemimpin dunia ke-3 (Negara-negara miskin) Pembunuhan terhadap beberapa tokoh penting dunia Munculnya Ibu Keserakahan Kemunculan Lady Diana
Peramal Nostradamus: kisah babi putih dan babi hitam Suatu hari seorang bangsawan penasaran akan kemampuan meramal Nostradamus. Sambil menunjuk ke arah dua ekor anak babi, seekor berwarna hitam dan satu lagi berwarna putih, bangsawan itu bertanya, “Apakah yang akan terjadi pada kedua babi itu?” “Seekor serigala akan memangsa babi yang putih, dan yang berwarna hitam akan kami makan,” kata peramal Nostradamus, yang siang hari itu sedang berjalan bersama temannya, Florinville. Florinville yang mendengarkan ramalan Nostradamus juga menjadi penasaran. Secara diam-diam Florinville menyuruh kokinya untuk menyembelih babi putih tadi sebagai lauk makan malam. Setelah babi putih dipotong dan sedang dipanggang, sang koki keluar untuk membeli bumbu penyedap. Saat itulah tiba-tiba seekor serigala masuk ke dapur dan menggondol daging babi putih tersebut. Begitu si koki kembali dari membeli bumbu, dia kaget mengetahui daging babi putih telah hilang. Lalu segera dia menyembelih babi berwarna hitam untuk kemudian dimasak, dan menyajikannya untuk makan malam. Dia sangat ketakutan dimarahi tuannya, Florinville, sehingga dia tidak menceritakan bahwa babi yang pertama disembelihnya telah hilang. Pada waktu makan malam, Florinville bertanya kepada temannya, Nostradamus: “Babi yang manakah yang sedang kita makan saat ini?” Tanpa ragu sedikit pun, peramal Nostradamus mengulangi jawabannya siang tadi: “Babi berwarna hitam, seperti telah saya ramalkan tadi.” Florinville kemudian memanggil sang koki. “Babi yang manakah yang kami makan saat ini?” Akhirnya si koki menjelaskan dengan terus-terang. Dan sejak itulah kemampuan peramal Nostradamus semakin tersebar.
“Dia (raja teror) turun dari langit dengan membawa obor, cahaya yang redup berkedip-kedip diujung cakrawala. Masih ada seberkas cahaya besar, yang menarik orang-orang ke dalam balutan jubah dewa kematian. Dewaku yang kupuja, tolong selamatkan anak cucu kami.

#JJ#

Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara keturunan kerajaan Kediri. Airlangga membagi kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Jayabaya adalah raja terbesar kerajaan Kediri, ia begitu terkenal dengan ramalannya yang dikenal dengan sebutan Jangka Jayabaya. Raja Kediri yang terakhir adalah Kertajaya yang meninggal tahun 1222. Pada tahun itu Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok di Desa Ganter, Malang.
Prabu Jayabaya adalah Raja Kerajaan Kediri yang terkenal sakti dan berilmu tinggi, konon beliau adalah titisan Betara Wishnu.Nama lengkapnya adalah Sang Mapanji Jayabaya Sri Dharmaishwara Madhusudama Wartamindita. Kerajaan Panjalu/Kediri di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Jenggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabaya inilah, Kerajaan Kediri mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Kediri, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman pemerintahannya. Pada tahun 1157 Kakimpoi Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabaya atas Janggala.Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakimpoi Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.
Menurut kepercayaan,Jayabaya mampu meramalkan berbagai kejadian yang akan datang yang ditulis oleh beliau dalam bentuk tembang-tembang Jawa yang terdiri atas 21 pupuh berirama Asmaradana, 29 pupuh berirama Sinom, dan 8 pupuh berirama Dhandanggula. Kitab ini dikenal dengan nama : Kitab Musarar Asmaradana 1 Kitab Musarar inganggit = kitab ini dibuat Duk Sang Prabu Jayabaya = pada jaman prabu Jayabaya Ing Kediri kedhatone = istananya terletka di Kediri Ratu agagah prakosa = raja yang gagah sentosa Tan ana kang malanga = tidak ada yang bisa mengalahkan Parang muka samya teluk = musuh bertekuk lutut Pan sami ajrih sedaya = semua takut (pada sang raja) Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani. I Milane sinungan sakti = karena memiliki kesaktian Bathara Wisnu punika = dimana Bathara Wisnu Anitis ana ing kene = menitis di sini Ing Sang Prabu Jayabaya = di badan sang prabu Jayabaya Nalikane mangkana = pada saat itu Pan jumeneng Ratu Agung = menjadi raja besar Abala para Narendra = memiliki pasukan para raja Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja III Wusnya mangkana winarni = selang beberapa lama Lami-lami apeputra = akhirnya berputera Jalu apekik putrane = laki-laki tampan wajahnya Apanta sampun diwasa = setelah dewasa Ingadekan raja = dinobatkan menjadi raja muda Pagedhongan tanahipun = di daerah pagedogan Langkung arja kang nagara = negaranya makmur Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negaranya. IV Maksihe bapa anenggih = kembali pada sang raja Langkung suka ingkang rama = sedang bersuka ria Sang Prabu Jayabayane = Sang Prabu Jayabaya Duk samana cinarita = pada saat itu diceritakan Pan arsa katamiyan = mendapat kunjungan seorang tamu Raja Pandhita saking Rum = pendita raja dari Rum (Turki?) Nama Sultan Maolana = Sultan Maulana Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana. V Ngali Samsujen kang nami = bernama Ngali Samsujen (Ali Syamsudin) Sapraptane sinambrama = kedatangan sang tamu Kalawan pangabektine = dengan restunya Kalangkung sinuba suba = kemudian mendapat sanjungan Rehning tamiyan raja = karena tamu raja Lan seje jinis puniku = dan berbeda jenis (ras) Wenang lamun ngurmatana = maka berhak untuk dihormati Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita dari negara lain yang pantas dihormati. VI Wus lengah atata sami = setelah duduk bersama Nuli wau angandika = kemudian berkata Jeng Sultan Ngali Samsujen = Sultan Ngali Samsujen "Heh Sang Prabu Jayabaya = "Hai Sang Prabu Jayabaya Tatkalane ing sireku = menurut Kandhane Kitab Musarar = yang dikatakan Kitab Musarar Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petunjuuk kepadamu mengenai Kitab Musarar. VII Prakara tingkahe nenggih = mengenai perkara Kari ping telu lan para = tinggal tiga kali (silsilah kerajaan) Nuli cupet keprabone = kemudian akan musnah istanyanya (runtuh kerajaan) Dene ta nuli sinelan = kemudian akan disusul Liyane teka para" = raja kemudian" Sang Prabu lajeng andeku = Sang Prabu kemudian memahami Wus wikan titah Bathara = sudah menjadi kehendak Dewa Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewa. VII Lajeng angguru sayekti = kemudian berguru Sang-a Prabu Jayabaya = Sang Prabu Jayabaya Mring Sang raja pandhitane = kepada pimpinan ulama tersebut Rasane Kitab Musarar = sampai rasanya seluruh kitab Musarar Wus tunumlak sadaya = sudah ditumpahkan semua Lan enget wewangenipun = dan ingat pada janjinya Yen kantun nitis ping tiga = kalau tinggal menitis tiga kali lagi Sang Prabu segera menjadi murid sang pimpinan ulama tersebut. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali. IX Benjing pinernahken nenggih = Di jelaskan bahwa kelak Sang-a Prabu Jayabaya Aneng sajroning tekene = ada dalam tongkat Ing guru Sang-a Pandhita = gurunya ( Sang Pendeta/ulama ) Tinilar aneng Kabah = yang ditinggalkan di Kakbah Imam Supingi kang nggadhuh = Imam Supingi yang mengambil Kinarya nginggahken kutbah = bekerja menaikkan khotbah Kelak akan diletakkan dalam tongkat Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah, X Ecis wesi Udharati = tongkat besi "Udharati" Ing tembe ana Molana = besok ada Maulana Pan cucu Rasul jatine = yang masih cucu rasul Alunga mring Tanah Jawa = pergi ke tanah Jawa Nggawa ecis punika = membawa tongkat itu Kinarya dhuwung puniku Dadi pundhen bekel Jawa = menjadi pepunden tanah Jawa Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa. XI Raja Pandhita apamit = Pimpinan Ulama itu pamit Musna saking palenggahan = hilang dari duduknya Tan antara ing lamine = tak seberapa lama Pan wus jangkep ing sewulan = setelah satu bulan Kondure Sang Pandhita = kembalinya ulama Kocapa wau Sang Prabu = di cetitakan bahwa Sang Prabu Animbali ingkang putra = memanggil puteranya Pimpinan Ulama pamit dan menghilang dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan, Sang Prabu memanggil putranya. XII Tan adangu nulya prapti = tak seberapa lama Apan ta lajeng binekta = kemudian diajak Mring kang rama ing lampahe = oleh ayahnya berjalan Minggah dhateng ardi Padhang = naik ke gunung Padang Kang putra lan keng rama = anak dan bapak itu Sakpraptaning ing gunung = bersama sama ke gunung Minggah samdyaning arga = naik ke gunung Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Bapak dan Anak itu bersama sama naik ke gunung. XIII Wonten ta ajar satunggil = ada seorang pertapa Anama Ajar Subrata = bernama Ajar Subroto Pan arsa methuk lampahe = menjemput kedatangannya Mring Sang Prabu Jayabaya Ratu kang namur lampah = raja yang menyamar Tur titit Bathara Wisnu = merupakan titisan bathara Whisnu Njalama Prabu Jayabaya = yaitu Prabu Jayabaya Di sana ada Pertapa bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja titisan Batara Wisnu yang sedang menyamar. XIV Dadya Sang Jayabaya ji = karena Sang Prabu Waspada reh samar-samar = sangat waspada Kinawruhan sadurunge = tahu sebelum kejadian Lakune jagad karana = kejadian di bumi Tindhake raja-raja = keadaan raja raja Saturute laku putus Kalawan gaib sasmita = melalui isyarat gaib Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima isyarat gaib. XV Yen Islama kadi nabi = bila Islam seperti nabi Ri Sang aji Jayabaya Cengkrameng ardi wus suwe = sudah lama bercengkrama di gunung Apanggih lawan ki Ajar = bertemu dengan ki ajar Ajar ing gunung Padhang = pertapa di gunung padang Awindon tapane guntur = yang tekun bertapa Dadi barang kang cinipta = sehingga apa yang di kehendaki dapat tercipta Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan Ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi. XVI Gupuh methuk ngacarani Wus tata denya alenggah Ajar angundang endhange Siji nyunggi kang rampadan Isine warna-warna Sapta warna kang sesuguh Kawolu lawan ni endang Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya. XVII Juwadah kehe satakir Lan bawang putih satalam Kembang melathi saconthong Kalawan getih sapitrah Lawan kunir sarimpang Lawan kajar sawit iku Kang saconthong kembang mojar Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus. Kawolu endhang sawiji Ki Ajar pan atur sembah “Punika sugataningong Katura dhateng paduka” Sang Prabu Jayabaya Awas denira andulu Sedhet anarik curiga Kedelapan adalah si endang sendiri. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. XVIII Ginoco ki Ajar mati Endhange tinuweng pejah Dhuwung sinarungken age Cantrike sami lumajar Ajrih dhateng sang nata Sang Rajaputra gegetun Mulat solahe kang rama Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya XIX Arsa matur putra ajrih Lajeng kondur sekaliyan Sapraptanira kedhaton Pinarak lan ingkang putra Sumiwi munggweng ngarsa Angandika Sang-a Prabu Jayabaya mring kang putra Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya. XX “Heh putraningsun ta kaki Sira wruh solahing Ajar Iya kang mati dening ngong Adosa mring guruningwang Jeng Sultan Maolana Ngali Samsujen ta iku Duk maksih sami nom-noman Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda. *****
Ramalan Jayabaya dibagi dalam 3 zaman yang masing-masing berlangsung selama 700 tahun, yaitu Zaman Permulaan (Kali-swara), Zaman Pertengahan (Kali-yoga) dan Zaman Akhir (Kali-sangara). Yang menarik dari ramalan Jayabaya adalah ramalan Zaman Akhir (Kali-sangara) dari tahun Masehi 1401 sampai dengan tahun 2100, karena kita dapat membuktikannya dengan catatan sejarah Indonesia /Jawa dalam periode tersebut. 140. polahe wong Jawa kaya gabah diinteri (seperti gabah ditampi) endi sing bener endi sing sejati (mana yang benar mana yang sejati) para tapa padha ora wani (para pertapa semua tidak berani) padha wedi ngajarake piwulang adi (semua takut mengajarkan ajaran kebaikan) salah-salah anemani pati (salah-salah menemui kematian) Kesusahan lahir dan bathin bagi masyarakat terutama bagi orang benar dan jujur. *** 141. banjir bandang ana ngendi-endi (banjir besar dimana-mana) gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni (gunung meletus secara tiba-tiba) gethinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni (benci kepada para pandita) marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti (karena takut terbuka kedoknya) Banyak musibah alam, dan ancaman terhadap pandita/tokoh agama. *** 142. pancen wolak-waliking jaman (memang perubahan jaman) amenangi jaman edan (menyaksikan jaman gila) ora edan ora kumanan (tidak ikut gila tidak kebagian) sing waras padha nggagas (yang sehat akalnya sedih hatinya) wong tani padha ditaleni (petani diikat) wong dora padha ura-ura (penjahat berkeliaran) beja-bejane sing lali, (se-beruntung-nya orang yang lupa) isih beja kang eling lan waspadha (masih beruntung orang yang ingat dan waspada) Keadaan jaman serba kacau, hanya sedikit orang yang memegang teguh kebenaran. *** 143. ratu ora netepi janji (rajanya tidak menepati janji) musna kuwasa lan prabawane (musnah kekuasaan dan kewibawaannya) akeh omah ndhuwur kuda (banyak rumah diatas kuda) – sopir tidur di mobil wong padha mangan wong (manusia memakan manusia) kayu gligan lan wesi hiya padha doyan (kayu gelondongan dan besi juga dimakan) dirasa enak kaya roti bolu (dianggap rasanya enak seperti roti bolu) yen wengi padha ora bisa turu (kalau malam tidak bisa tidur) Pimpinan kehilangan kewibawaan, orang mencari rejeki dengan segala cara tanpa melihat benar dan salah, dan tanpa mengenal waktu. *** 144. sing edan padha bisa dandan (yang gila bisa berdandan) sing ambangkang padha bisa nggalang (yang pembangkang bisa membangun) omah gedhong magrong-magrong (rumah besar dan megah) Orang yang ngawur bisa hidup mewah. *** 145. wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes (pedagang laris, hartanya habis) akeh wong mati kaliren gisining panganan (banyak orang mati kurang gizi) akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara (banyak orang kaya tapi susah) Semua orang susah, yang kaya susah apalagi yang miskin. *** 146. wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil (orang sehat akal dan adil susah & terpencil) sing ora abisa maling digethingi (yang tidak bisa / tidak mau mencuri dibenci) sing pinter duraka dadi kanca (yang pandai berbuat jelek jadi teman) wong bener sangsaya thenger-thenger (orang benar semakin menderita) wong salah sangsaya bungah (orang salah semakin senang) akeh bandha musna tan karuan larine (banyak harta musnah tak jelas lemana) akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe (jabatan hilang begitu saja) Orang baik dijauhi, yang jahat didekati, orang suka foya-foya dan banyak firnah. *** 147. bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret (bumi makin lama semakin mengecil) sakilan bumi dipajeki (sejengkal tanah ditarik pajaknya) wong wadon nganggo panganggo lanang (wanita berpakaian pria) iku pertandhane yen bakal nemoni (itu tandanya jika akan menemui) wolak-walike zaman (perubahan jaman) Jarak tidak berarti lagi – ada HP & transportasi lancar -, wanita seperti pria, semua itu sebagai tanda datangnya “Jaman Modern”. *** 148. akeh wong janji ora ditepati (banyak orang tidak menepati janji) akeh wong nglanggar sumpahe dhewe (banyak orang melanggar sumpahnya sendiri) manungsa padha seneng ngalap, (orang banyak yang suka ngawur) tan anindakake hukuming Allah (tidak melaksanakan perintah Allah) barang jahat diangkat-angkat (perbuatan jahat dibanggakan) barang suci dibenci (perbuatan kebaikan dibenci dan dijauhi) Banyak orang munafik dan orang fasik. *** 149. akeh wong ngutamakake royal (banyak orang suka menghamburkan harta, foya-foya) lali kamanungsane, lali kebecikane (lupa kemanusiaannya, lupa kebaikan) lali sanak lali kadang (lupa terhadap famili) akeh bapa lali anak (banyak bapak lupa anaknya) akeh anak nundhung biyung (banyak anak mengusir ibunya) sedulur padha cidra (saudara saling bertengkar) keluarga padha curiga (keluarga saling curiga) kanca dadi mungsuh (teman menjadi musuh)
manungsa lali asale (manusia lupa kepada asalnya) Semua hal diukur berdasarkan harta – Materialistis – tidak perduli kepada siapa. *** 150. ukuman ratu ora adil (hukuman raja tidak adil) akeh pangkat jahat jahil (pejabat hatinya jahat) kelakuan padha ganjil (tingkahnya semakin aneh) sing apik padha kepencil (yang baik dikucilkan) akarya apik manungsa isin (berbuat kebaikan semua malu) luwih utama ngapusi (lebih suka menipu) Keadilan tidak ada, pejabat ngawur (korupsi), sangat sedikit orang baik. *** 151. wanita nglamar pria (wanita melamar pria) isih bayi padha mbayi (masih kecil melahirkan) sing pria padha ngasorake drajate dhewe (pria kurang menghargai diri sendiri) Wanita tidak punya “rasa malu” – emansipasi ? – pergaulan bebas, banyak pria justru mencari wanita berduit & kaya. *** BAIT : 152 - 156 > hilang *** 157. wong golek pangan pindha gabah den interi (orang mencari makan seperti padi ditampi) sing kebat kliwat, sing kasep kepleset (yang cepat terlewat, yang terlambat terpeleset) sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik (yang besar menang sendiri, yang kecil tergencet) sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati (yang berani terjungkal, yang takut jadi mati) nanging sing ngawur padha makmur (tapi yang ngawur jadi makmur) sing ngati-ati padha sambat kepati-pati (yang hati-hati menderita bathin) Orang mencari rejeki tidak memakai aturan benar & salah, baik & buruk. *** 158. cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring (Orang Cina dilempari lari ketakutan) melu Jawa sing padha eling (ikut Orang Jawa yang ingat – kepada Tuhan) sing tan eling miling-miling (yang tidak mau sadar, tengok kanan-kiri) mlayu-mlayu kaya maling kena tuding (berlarian seperti maling ketahuan) eling mulih padha manjing (ingat pulang “naik” – pesawat – ke tanah leluhurnya) akeh wong injir, akeh centhil (banyak orang bakhil dan kikir) sing eman ora keduman (yang menyimpan tidak kebagian) sing keduman ora eman (yang kebagian tidak bisa menyimpan) Suasana kacau balau, saat “reformasi”, banyak penjarahan. Orang Cina jadi sasaran amuk massa, banyak yang lari ke luar negeri, atau bersembunyi ikut pribumi yang baik hati. *** 159. selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun (selambat-lambatnya akhir tahun) sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu (Candra Sengkala – sekitar 1998) bakal ana dewa ngejawantah (akan ada Dewa turun ke bumi) apengawak manungsa (beradan manusia) apasurya padha bethara Kresna (berwajah seperti Batara Krisna – hitam manis) awatak Baladewa (berwatak seperti Baladewa – berani karena benar) agegaman trisula wedha (bersenjata Trisula Wedha – Benar, Tegak dan Jujur) jinejer wolak-waliking zaman (sebagai pertanda perubahan jaman) wong nyilih mbalekake, (orang pinjam mengembalikan) wong utang mbayar (orang hutang membayar) utang nyawa bayar nyawa (utang nyawa dibayar nyawa) utang wirang nyaur wirang (hutang malu dibayar malu) Sekitar akhir tahun 1998 akan ada “Dewa” turun ke bumi, berbadan manusia biasa, berpedoman kepada Tiga Prinsip Suci – Benar, Tegak dan Jujur, wajahnya hitam atau coklat – khas orang Jawa – sebagai tanda perubahan jaman “Era Baru – Reformasi”. Sebagai akibatnya, pinjaman bank-bank swasta harus dibayar karena tidak mampu maka banyak bank di-likuidasi atau dimerger. Pembunuh dihukum mati – Kasus Sumiarsih. *** 160. sadurunge ana tetenger lintang kemukus (sebelumnya ada tanda bimtang berekor – 1996) lawa ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener (ekornya panjang di sebelah tenggara) lawase pitung bengi, (lamanya 7 – tujuh – hari) parak esuk bener ilange (sampai pagi baru hilang) bethara surya njumedhul (di saat matahari terbit) bebarengan sing wis mungkur (bersamaan dengan yang sudah lewat) prihatine manungsa kelantur-lantur (penderitaan manusia berlarut-larut) iku tandane putra Bethara Indra wus katon (itu tandanya putra Betara Indra sudah terlihat) tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa (datang di Bumi membantu orang Jawa) Sekitar tahun 1996 memang terlihat adanya Komet – Bintang Berekor di sebelah tenggara selama sekitar seminggu (7 hari), terlihat dari daerah Ngawi, Jawa Timur (ada saksi hidup sampai sekarang). *** 161. dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan (letaknya di kaki Gunung Lawu sebelah timur) wetane bengawan banyu (sebelah timurnya sungai) andhedukuh pindha Raden Gatotkaca (rumahmya seperti Raden Gatutkaca) arupa pagupon dara tundha tiga (berupa Pagupon Burung Dara susun tiga) kaya manungsa angleledha (seperti manusia yang menoleh ke kanan – ke kiri) Rumahnya di kaki Gunung Lawu sebelah timur – daerah Kabupaten Ngawi sebelah Selatan masuk daerah Kecamatan Geneng dan Kecamatan Paron bagian selatan. Raden Gatutkaca adalah Satria Pringgondani – rumahnya dari bahan Pring = Bambu. Kata “tundha” disini beralias “tundhung”= mengusir, karena rumah tersebut merupakan warisan dari orang tua, maka rumah tersebut dimiliki setelah “mengusir” yaitu membeli dari 3 (tiga) saudaranya. Rumah tersebut tidak diubah hanya diperbaiki jika perlu (di-dandani), karena banyak lobangnya (dinding dari anyaman bambu) sehingga terlihat dari luar – kanan & kiri. *** 162. akeh wong dicakot lemut mati (banyak orang digigit nyamuk bisa mati) akeh wong dicakot semut sirna (banyak orang digigit semut bisa sirna/musnah) akeh swara aneh tanpa rupa (banyak suara aneh tanpa rupa) bala prewangan makhluk halus padha baris, (pasukan makhluk halus berbaris) pada rebut benere garis (berebut kebenaran) tan kasat mata, tan arupa (tidak kelihatan, tidak berupa) sing madhegani putrane Bethara Indra (yang memimpin putra Batara Indra) agegaman trisula wedha (bersenjata Trisula Wedha) momongane padha dadi nayaka perang (asuhannya – kesatria – menjadi pasukan perang) perange tanpa bala (perangnya tanpa pasukan) sakti mandraguna tanpa aji-aji (sakti tanpa ajimat) Orang digigit semut mati = Demam Berdarah – disebabkan gigitan nyamuk Aides Aighepty, yang terjadi pada tahun 2002-2004. Orang digigit semut musnah = Flu Burung & Flu Babi – disebabkan gigitan “semut” yang mengalami “Mutasi GEN” karena banyak tanah berpotensi penghasil Gula tetapi tidak ditanami Tebu, sehingga terjadi “Perubahan Struktur – Komposisi Tanah”, menyebabkan Semut didalam tanah mengalami “Perubahan Sifat Kromosom – Genetik”. Flu Burung & Flu Babi terjadi tahun 2005-2010. Banyak juga “suara aneh tak jelas asal usulnya”, berita Infotainment dan fitnah politik yang saling memojokkan dan saling menjatuhkan. *** 163. apeparap pangeraning prang (menjabat panglima perang) tan pokro anggoning nyandhang (tidak pantas cara berpakaiannya) ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang (tapi bisa menuntaskan masalahnya banyak orang) sing padha nyembah reca ndhaplang, (yang suka menyembah berhala) cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang (Orang Cina ingat kebaikan dan diberi sabda petunjuk menjadi senang sekali) Meskipun ditakdirkan sebagai “Panglima Perang” – pengertian bathin – tetapi pakaiannya sangat sederhana, “dahulu bahkan agak kumal”, sekarang sudah agak lumayan, sudah pernah mencoba pakai sepatu meskipun terlihat “agak lucu”. *** 164. putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu (putra kesayangan Sunan Lawu) hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti (Ya Batara Mukti, Kresna, Herumukti) mumpuni sakabehing laku (menguasai semua “lelaku”) nugel tanah Jawa kaping pindho (memotong Pulau Jawa dua kali) ngerahake jin setan (mengerahkan jin setan) kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo (semua makhluk halus diperintahkan bersama-sama) kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda (agar membantu manusia Jawa dengan senjata Trisula Wedha – Tiga Prinsip Suci) landhepe triniji suci (Ketajamannya Kesatuan Tritunggal Suci) bener, jejeg, jujur (yaitu: Benar, Tegak, Jujur) kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong (diikuti oleh Sabdopalon dan Noyogenggong) Merupakan “putra kesayangan” dari Sunan Lawu alias Krisna. “Memotong” Pulau Jawa 2 (dua) kali, yang bermakna rumahnya berada ditengah-tengah Pulau Jawa jika diukur dari Timur (Banyuwangi) dan Barat (Ujung Kulon), yaitu yang PERTAMA (awal) di dekat Desa Geneng – Desa Kedungputri, dan KEDUA (akhir) berpindah ke utara masuk daerah Desa Tempuran. Kedua TEMPAT RUMAH tersebut merupakan TITIK TENGAH Pulau Jawa secara memanjang Timur – Barat, sehingga bisa dikatakan MEMOTONG Pulau Jawa. *** 165. pendhak Sura nguntapa kumara (sudah setahun dari bulan Sura ke Sura, menjauhi kejahatan) kang wus katon nembus dosane (yang sudah jelas menebus dosanya) kadhepake ngarsaning sang kuasa (ke hadirat Yang Maha Kuasa) isih timur kaceluk wong tuwa (masih muda dipanggil “Orang Tua”= Dukun) paringane Gatotkaca sayuta (memiliki Gatutkaca sejuta) Setelah setahun berpuasa, membersihkan diri, “menghadap” Tuhan Yang Maha Kuasa. Masih muda dipanggil Orang Tua = Dianggap Dukun oleh masyarakat sekitarnya karena kelebihannya dapat mengobati segala penyakit dan memberikan solusi berbagai masalah. Padahal sebenarnya Bukan Dukun dan Tidak Mau Di-cap sebagai Seorang Dukun. Memiliki “Aji-aji Gelap Sayuto” seperti senjata milik Gatutkaca. *** 166. idune idu geni (ludahnya ludah api) sabdane malati (sabdanya “malati” – terjadi nyata) sing mbregendhul mesti mati (yang menantang pasti mati) ora tuwo, enom padha dene bayi (tidak hanya orang tua, muda bahkan bayi) wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada (orang tidak berdaya, minta pasti terkabul) garis sabda ora gentalan dina, (bukti nyata sabda tidak perlu menunggu bergantinya hari) beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira (beruntunglah yang meyakini sabdanya) tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa (tidak mau dipuja-puja orang banyak “se-Jawa”) nanging mung pilih-pilih sapa (tetapi hanya memilih beberapa orang saja) Perkataannya BERBAHAYA, barangsiapa yang menentang akan sirna, semua orang akan tunduk, permintaannya terkabul secara nyata, beruntunglah orang yang yakin dan percaya. TIDAK MAU TERKENAL dan disanjung banyak orang, tetapi hanya orang-orang tertentu saja yang “dipilih”, tentu dengan syarat khusus, minimal memahami makna “JATI DIRI”. *** 167. waskita pindha dewa (tahu segalanya seperti Dewa) bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira (bisa tahu lahirnya nenek moyang kita) pindha lahir bareng sadina (mengenal seperti lahir bersama – teman akrab) ora bisa diapusi marga bisa maca ati (tidak bisa ditipu, karena bisa membaca isi hati) wasis, wegig, waskita, (cerdas, cerdik, pandai) ngerti sakdurunge winarah (mengetahui apa yang belum terjadi) bisa pirsa mbah-mbahira (bisa mengetahui “keadaan” nenek moyang kita) angawuningani jantraning zaman Jawa (mengetahui perkembangan dari jaman ke jaman) ngerti garise siji-sijining umat (mengetahui takdir setiap manusia) Tan kewran sasuruping zaman (tidak pernah terpengaruh perubahan jaman) Memiliki semua sifat dan kemampuan seperti Dewa, mengetahui seluruh rahasia alam semesta, bahlan mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang. *** 168. mula den upadinen sinatriya iku (maka carilah sang kesatria itu) wus tan abapa, tan bibi, lola (sudah tidak berbapak, tak ber-bibi, hidup terlunta) awus aputus weda Jawa (sudah lulus Pemahaman Jawa) mung angandelake trisula (hanya mengandalkan Trisula) landheping trisula pucuk (tajamnya Ujung Trisula) gegawe pati utawa utang nyawa (bisa menyebabkan kematian) sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan (yang tengah tidak mau merugikan orang lain) sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda (yang pinggir tidak mau mencuri) Kita disuruh mencarinya, memiliki ciri-ciri antara lain: sudah tidak ber-bapak, tidak ber-bibi, hidupnya susah, sudah memahami Ilmu Jawa, andalannya Trisula Wedha yaitu KEBENARAN, KEADILAN dan KEJUJURAN. *** 169. sirik den wenehi (tidak mau pemberian yang tidak jelas) ati malati bisa kesiku (siapa yang berprasangka buruk bisa celaka) senenge anggodha anjejaluk cara nistha (senang menggoda meminta dengan memelas) ngertiyo yen iku coba (ketahuilah jika itu ujian) aja kaino (jangan dihina) ana beja-bejane sing den pundhuti (ada keberuntungan yang diambil) ateges jantrane kaemong sira sebrayat (berarti ditakdirkan terpelihara kalian sekeluarga) Memang kadang-kadang menggoda meminta sesuatu yang agak sulit dipenuhi, padahal maksudnya untuk menguji biar agak menjauh sementara (Uji Keyakinan & Keteguhan), dan jika ada yang diambil (mau) berarti keselamatan dan kesejahteraan akan diperoleh. *** 170. ing ngarsa Begawan (di hadapan Begawan) dudu pandhita sinebut pandhita (bukan Pendeta disebut Pendeta) dudu dewa sinebut dewa (bukan Dewa disebut Dewa) kaya dene manungsa (seperti manusia biasa) dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh (tidak salah lagi, kekuatan diterangkan dengan jelas) gawang-gawang terang ndrandhang (nyata sejelas-jelasnya) Memang kenyataanya bukan seorang Tokoh Agama (Pendeta atau Ulama) tetapi melebihi Tokoh Agama, bukan Dewa (Malaikat) tetapi seperti Dewa, memang senyatanya seperti manusia biasa (makan, minum, menikah, memiliki anak dll.), tetapi memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. *** 171. aja gumun, aja ngungun (jangan heran, jangan bingung) hiya iku putrane Bethara Indra (ya itulah putra Batara Indra) kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan (yang pertama, dan mampu mengusir setan) tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh (turunnya air “brajamusti” terpisah) hiya siji iki kang bisa paring pituduh (ya satu ini yang bisa memberi petunjuk) marang jarwane jangka kalaningsun (kepada maksudnya ramalanku ini) tan kena den apusi (tidak dapat ditipu) marga bisa manjing jroning ati (karena bisa membaca isi hati) ana manungso kaiden ketemu (ada “manusia” ditakdirkan bertemu) uga ana jalma sing durung mangsane (juga ada “hewan” yang belum waktunya bertemu) aja sirik aja gela (jangan iri jangan sakit hati) iku dudu wektunira (itu bukan waktu anda) nganggo simbol ratu tanpa makutha (menggunakan simbol raja tanpa mahkota) mula sing menangi enggala den leluri (maka yang mengetahui segeralah “mendekat”) aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu(jangan menunggu habis waktu, segeralah menghadap dengan penuh hormat) beja-bejane anak putu (keberuntungan bagi para anak cucuku) Kelebihannya memang seperti Dewa, karena “putra” Batara Indra. Ada istilah “manusia” bagi yang sudah “bertemu”, dan sebutan “jalma=hewan” bagi yang belum waktunya bertemu, jangan iri dan marah karena memang tidak mudah untuk dapat mencapai tingkatan “manusia seutuhnya”. Maka dari itu, carilah terus hingga dapat ketemu dan “bertemu” agar dapat menjadi “manusia” yang seutuhnya. *** 172. iki dalan kanggo sing eling lan waspada (ini jalan bagi yang ingat dan waspada) ing zaman kalabendu Jawa (di Jaman Kalabendu Jawa) aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa (jangan melarang mendekati “Dewa”) cures ludhes saka braja jelma kumara (hancur lebur luluh lantak) aja-aja kleru pandhita samusana (jangan sampai keliru mencari Pendeta atau Ulama) larinen pandhita asenjata trisula wedha (carilah Pendeta bersenjata Trisula Wedha) iku hiya pinaringaning dewa (itulah pemberian dari Dewa) Inilah jalan keselamatan dan kesejahteraan, jangan melarang atau menghalang-halangi orang yang mengikuti orang berperawakan Dewa, karena akan hancur lebur akibatnya. Jangan salah lagi mencari PANUTAN yang sebenarnya yaitu Panutan yang bersenjata Trisula Wedha = TIGA PRINSIP SUCI yaitu KEBENARAN, KEADILAN dan KEJUJURAN karena itu anugerah dari Yang Maha Kuasa. *** 173. nglurug tanpa bala (menyerang tanpa membawa pasukan) yen menang tan ngasorake liyan (jika menang tidak mempermalukan musuh) para kawula padha suka-suka (rakyat semua senang) marga adiling pangeran wus teka (karena keadilan Tuhan sudah tiba) ratune nyembah kawula (rajanya menghormati rakyatnya) angagem trisula wedha (memegang teguh Trisula Wedha) para pandhita hiya padha muja (para Pendeta juga mendukung dengan do’a) hiya iku momongane kaki Sabdopalon (itulah “momongan” Sabdopalon) sing wis adu wirang nanging kondhang (yang sudah menahan malu tetapi terkenal) genaha kacetha kanthi njingglang (jelaslah dengan sejelas-jelasnya) nora ana wong ngresula kurang (tidak ada orang mengeluh) hiya iku tandane kalabendu wis minger (ya itulah tandanya Kalabendu sudah belok arah) centi wektu jejering kalamukti (sudah tiba waktunya Kalamukti) andayani indering jagad raya (meliputi seluruh dunia) padha asung bhekti (semua memberi hormat) Dengan kelebihannya, dapat menyelesaikan masalah tanpa membutuhkan bantuan dari orang lain “pasukan” karena memiliki Ajian Gatutkaca Sayuta. Keadilan sudah tiba, dan Rajanya menghormati rakyatnya. Kemakmuran sudah menjadi kenyataan, karena Jaman Kalabendu telah berganti dengan Jaman Kalamukti, negara seluruh dunia menghormati. ### Munculnya Presiden Sukarno sebagai Pemimpin Indonesia, Pendiri Republik Indonesia dalam periode Kala-sumbaga (1901-2000) diramalkan secara cukup akurat. Beliau digambarkan sebagai seorang Raja yang memakai kopiah warna hitam (kethu bengi), sudah tidak memiliki ayah (yatim) dan bergelar serba mulia (Pemimpin Besar Revolusi). Naik-turunnya Preside RI ke-2 Suharto juga secara jelas diramalkan oleh Prabu Jayabaya pada Bagian Akhir tembang Jawa butir 11 sampai 16 sebagai berikut: “Ana jalmo ngaku-aku dadi ratu duwe bala lan prajurit negara ambane saprowulan panganggone godhong pring anom atenger kartikapaksi nyekeli gegaman uleg wesi pandhereke padha nyangklong once gineret kreta tanpa turangga nanging kaobah asilake swara gumerenggeng pindha tawon nung sing nglanglang Gatotkaca kembar sewu sungsum iwak lodan munggah ing dharatan. Tutupe warsa Jawa lu nga lu (wolu / telu sanga wolu / telu) warsa srani nga nem nem (sanga nenem nenem) alangan tutup kwali lumuten kinepung lumut seganten. Beliau muncul sebagai Pemimpin yang didukung oleh Angkatan Bersenjata RI (darat, udara dan laut), berlambang Kartikapaksi, memakai topi baja hijau (tutup kwali lumuten) pada tahun 1966. Zaman pemerintahan Presiden Suharto (Orde Baru) berlangsung selama 30 tahun. Setelah lenyapnya kekuasaan tiga raja tersebut diatas, Jayabaya meramalkan datangnya seorang Pemimpin baru dari negeri seberang, yaitu dari Nusa Srenggi (Sulawesi), ialah Presiden BJ Habibie. Ramalan Jayabaya bagi Indonesia setelah tahun 2001 Indonesia akan menjadi sebuah negeri yang aman, makmur, adil dan sejahtera sebagai akhir dari Ramalan Jayabaya (Kala-surasa, 2001-2100 M), zaman yang tidak menentu (Kalabendu) berganti dengan zaman yang penuh kemuliaan, sehingga seluruh dunia menaruh hormat. Akan muncul seorang Satriya Piningit sebagai Pemimpin baru Indonesia dengan ciri-ciri sudah tidak punya ayah-ibu, namun telah lulus Weda Jawa, bersenjatakan Trisula yang ketiga ujungnya sangat tajam, sbb: Di zaman modern abad ke-21 saat ini dengan berbagai persenjataan modern dan alat tempur yang canggih, mulai dari senjata nuklir, roket, peluru kendali, dan lain-lainnya, maka senjata Trisula Weda mungkin bukanlah senjata dalam arti harafiah, tetapi adalah senjata dalam arti kiasan, tiga kekuatan yang mebuat seorang Pemimpin disegani segenap Rakyatnya. Bisa saja itu adalah tiga sifat-sifat sang Pemimpin, seperti: Benar, Lurus, Jujur (bener, jejeg, jujur) seperti yang diungkapkan dalam tembang-tembang Ramalan Jayabaya. sosok sang Pemimpin yang digambarkan sebagai Satriya Piningit, bukanlah seseorang yang tiba-tiba muncul, tetapi Ia adalah seorang Pemimpin Indonesia yang sifatnya tidak mau menonjolkan diri, tetapi Ia bekerja tanpa pamrih, menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan bangsa dan negara. Sudah ada langkah-langkahnya yang nyata yang dapat ditelusuri dalam kehidupannya sehari-hari. Bisa saja Ia akan terpilih dalam Pilpres 2009 ini, atau mungkin juga dalam periode Kepemimpinan Indonesia pada periode berikutnya untuk mengantarkan Indonesia kepada Cita-cita para Pendiri Bangsa sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, yaitu negeri yang aman, makmur, adil dan sejahtera bagi segenap Rakyat Indonesia. ***************************************************************************************************** Wong Apengawak Dewa = Dewa Ngejawantah = Sabdopalon Noyogenggong = SEMAR Rajanya menghormati rakyatnya = Momongannya Semar = TUNJUNG PUTIH // Sebagai gambaran bahwa keberadaan Sang Hyang SEMAR di daerah antara Desa Geneng dan Desa Tempuran, Kabupaten Ngawi bagian selatan. Sedangkan keberadaan Sang Tunjung Putih Pudhak Kasungsang belum bisa saya ungkapkan disini sekarang karena memang belum tiba saatnya. Adapun ciri-cirinya: Keturunan Waliyullah, Wajahnya Tampan, Kulitnya Kuning, Jika Berjalan Pelan-pelan. Rumah aslinya di daerah dekat ALAS KETONGGO NGAWI atau ALAS PUDHAK (Pudhak Kasungsang/Sinumpet), tetapi sekarang masih menyamar seperti “Orang Biasa” di daerah Jawa Barat, dan kadang-kadang juga ke Jakarta jika ada keperluan penting. Dialah Sang Satria Sejati, Calon Raja di Jaman Kalamukti. Orangnya Tegas tetapi berhati Lembut.

16 Februari 2012

LAMBANG KERATON CIREBON

> "MACAN ALI"

KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT

Baik dalam Babad Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun dalam Babad Giyanti (1916, I), kisah perpindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta hampir sama deskripsinya. Secara ringkas kisahnya sebagai berikut: Ketika Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo (1742), baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh bangunan rusak berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak lagi sebagai tempat raja dan pusat kerajaan. Niat ini kemudian disampaikan kepada para punggawa kerajaan. Patih R. Ad. Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana pembangunan istana baru tersebut. Raja berkehendak membangun istana baru di tempat yang baru. Raja menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjahui pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura. Setelah diadakan pembicaraan seperlunya tentang rencana Sunan tersebut, akhirnya Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Para utusan tersebut diberi wewenang dan kekeuasaan untuk bersama-sama mencari dan memilih tempat yang cocok untuk istana batu, baik sacara lahiriah maupun batiniah. Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang bupati. Utusan itu diikuti oleh Abdi Dalem ahli nujum, Kyai T. Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Setelah berjalan lama, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana.
Ketiga tempat itu adalah: 1.Desa kadipala; daerahnya datar, kering, akan tetapi para ahli nujum tidak menyetujui, sebab walaupun kelak kerajaan Jawa tumbuh menjadi kerajaan yang besar, berwibawa dan adil makmur, namun akan cepat rusak dan akhirnya runtuh. Sebagai tanda, maka ditempat itu dibangun sebuah panggung (Kopel). Sekarang panggung itu dikelilingi oleh bangunan dan gudang kayu jati milik seorang Cina, Jap Kam Mlok (Tikno Pranoto, tth: 27). Letaknya di depan bekas Rumah Sakit Kadipala, di sebelah utara jalan Dr. Rajiman 2. Desa Sala; atas pilihan RT. Hanggawangsa dan disetujui oleh semua utusan kecuali Mayor Hohendorp. Alasannya, tanahnya sangat rusak, terlalu dekat dengan Bengawan Sla, dan daerahnya penuh dengan rawa-rawa yang dalam. 3. Desa Sana Sewu; terhadap tempat ini RT. Hanggawangsa tidak menyetujuinya, karena menurut ‘jangka’, akan mengakibatkan perang saudara dan penduduk Jawa akan kembali memeluk agama Hindu dan Budha (tiyang Jawi badhe wangsul Budha malih) (Panitia Hari Jadi, 1973:81;Pawarti Surakarta, 1939:9-10).
Setelah diadakan permusyawaratan, para utusan akhirnya memilih desa Sala sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang Abdi Dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu. Utusan itu ialah Panembahan Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT. Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21). Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut desa Talangwangi (tala = tanah; wangi = harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi kampung Gremet). Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan “samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang). Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa Sala). Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala . Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7). Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai berikut: Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebaba ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83;Almanak Cahya Mataram, 1921:53;Dirjosubrata, 1928: 75-76). Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan (“dilarung”) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa desa Sala, pagi hari ketika ia pergi kesungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja. Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat heran. Akhirnya ia “maneges”, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ. Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya,pemuda itu telah raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang = mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin raharja (Sala = raharja_, kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861). Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada Sunan di Kartasura. Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketigautusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala. Akhirnya mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh. Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras. Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25). (Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samodra). Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut: He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7). (Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya). Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras akhirnya Sunan bersabda: Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8). “Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti “gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya. Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa. Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard, III: 109).
MAKNA LAMBANG KERATON : Lambang keraton Surakarta atau tepat dikenal dengan sebutan Radya Laksana merupakan sebuah logo yang menandakan tentang sebuah identitas berdirinya kerajaan atau keraton Surakarta. Sebuah logo yang begitu unik dan memiliki ciri khas asli kebudayaan Indonesia ini memiliki nilai-nilai essensial tersendiri di dalamnya. Radya Laksana juga memiliki beberapa fungsi sebagai simbol identitas keraton dan juga juga sebagai simbol estetika atau keindahan. Dalam bentuk lencana sering dipasang di baju sebelah kiri, menjadi motif batik khas kerabat keraton, sebagai vandel yang dipasang di rumah atau sebagai relief yang dipasang di gapura karaton. Dalam hal yang demikian Radya Laksana di samping memiliki fungsi sebagai simbol identitas juga sebagai simbol estetika atau keindahan.
Awal terbentuk logo Radya Laksana, bermula dari dipecah belahnya keraton Yogyakarta menjadi dua oleh Belanda. Sampai akhirnya berdirikeraton kesunanan Surakarta (Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I) dankeraton kesultanan Yogyakarta (Raja Sri Sultan Hamengku buwana I). Dari terpecahnya dua keraton tersebut akhirnya Paku Buwana I mendirikan Keraton Kesunanan Surakarta yang nantinya bernama kota Solo.
Konon Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I pun mengagas sebuah ide untuk membuat logo keraton kesunanan Surakarta yang menurut sejarah penuh makna simbolis dan makna filosofis. 1. Makna Simbolis Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I mengilhami dirinya dalam makna gambar Paku dan Bumi (Paku Buwana, nama tersebut kemudian dipakai sebagai nama raja-raja yang memerintah Karaton Surakarta dan Sinuhun Paku Buwana I hingga Paku Buwana XII), yang mencerminkan sejarah para raja-raja/penerusnya dalam lingkaran bulat telur. Gambar Surya (matahari) mengisyaratkan nama R.M.G. Sasangka, yang kemudian bernama Panembahan Purbaya. Kemudian gambar bintang, dalam bahasa Jawa disebut Kartika atau Sudama, mengisyaratkan nama R.M.G. Sudama yang kemudian bergelar Pangeran Balitar. Makna historis tersebut selengkapnya dapat diperiksa pada Bagan Silsilah keraton Surakarta. 2. Makna Filosofis Radya Laksana sendiri juga memiliki makna filosofis yang berupa ajaran tentang kenegaraan dan kehidupan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : •Makutha (mahkota) Sebagai simbol raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, siapa saja yang memakai atau menerima gambar mahkota selayaknya berjiwa budaya Jawa. Dalam arti bahwa jiwa budaya Jawa memberi tuntunan, budaya sebagai “uwoh pangolahing budi” secara lahir dan batin berdasarkan budi luhur dan keutamaan. “Pakarti lahir” harus seiring dengan “pakarti batin,” hal yang demikian mencerminkan adanya sifat keharmonisan dalam budaya Jawa. •Warna merah dan kuning Dalam budaya Jawa merah dan kuning merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini terlihat dalam bentuk lahir dan batin, yang mencerminkan sabar, tidak terburu nafsu dan sejenisnya. Hal ini memiliki makna filosofis bahwa seseorag raja harus memiliki jiwa kasepuhan. •Warna biru muda Dasar warna biru muda dan putih. Warna biru dan putih membawa watak menolak perbuatan yang tidak baik. Warna biru muda merupakan simbol angkasa atau langit, merupakan simbol orang yang berwatak luas pandangannya dan juga pemberi maaf. •Surya (matahari) Surya atau matahari merupakan sumber kekuatan dan sumber penerangan dan hidup, yang akan menjadikan dunia tegak penuh dengan sinar penerang dan hidup. Hal ini merupakan simbol bahwa orang yaang berjiwa budaya harus dapat menanamkan kekuatan dan dapat memancarkan sinar kehidupan dengan tidak mengharapkan imbalan. Surya menjadi sarana kehidupan bumi. •Candra/sasangka (Bulan) Bulan merupakan sumber penerangan di malam hari tanpa menimbulkan panas, tetapi teduh, memberi cahaya kepada siapapun dan apapun tanpa kecuali. Hal yang demikian memiliki makna bahwa jiwa budaya harus didasari watak pemberi dan memancarkan penerangan yang tidak menyebabkan silau tetapi memancarkan kelembutan dan kedamaian. Candra menjadi sarana daya rasa (batin) bagi kehidupan di bumi. •Kartika (bintang) Kartika atau bintang memiliki sifat memancarkan sinar, hanya kelihatan gemerlap di sela-sela kegelapan malam. Hal ini memiliki ajaran bahwa raja atau seseorang agar dapat memberikan penerangan kepada siapapun yang sedang dalam kegelapan. Makna itu juga mengingatkan kepada kita bahwa masalah gelap dan terang dalam kehidupan ini silih berganti. Kartika menjadi sarana dan daya menambah teduhnya kehidupan di bumi. •Bumi (bumi) Secara lahiriah bumi merupakan tempat kehidupan dan juga tempat berakhirnya kehidupan. Bumi atau jagad melambangkan bahwa manusia (mikrokosmos) yang memiliki jagad besar (makrokosmos). Di sini sebagai kiasan atau “pasemon” adanya kesatuan jagad kecil dan jagad besar. Bumi atau “jagading manungsa” berada dalam hati. Oleh kerena itu manusia agar dapat menguasai keadaan, harus dapat menyatukan diri dengan dunia besar. Dalam Kejawen disebut “Manunggaling Kawula-Gusti.” Sifat bumi adalah “momot dan kamet” dapat menampung dan menerima yang gumelar (ada). Bumi sebagai lambang“welas asih,” dapat “anyrambahi sakabehe.” •Paku Paku sebagai kiasan atau “pasemon” agar selalu kuat. Hal ini mengandung ajaran bahwa kehidupan di bumi bisa kuat, sentosa harus didasari jiwa yang kuat, tidak mudah goyah, atas dasar satu kekuatan yang maha besar dari Tuhan YME, yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup di bumi •Kapas dan padi Kapas dan padi melambangkan sandang pangan yakni kebutuhan lahir dalam kehidupan manusia. Sandang di nomor satukan atau didahulukan, sedang pangan dinomor duakan atau dikemudiankan. Hal yang demikian mengandung ajaran bahwa sandang berhubungan dengan kesusilaan dan diutamakan, sedangkan pangan berhubungan dengan lahiriah dinomor duakan. Oleh karena itu manusia hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada masalah pangan. Kehidupan manusia di bumi tidak dapat lepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi. •Pita merah putih Pita merah putih sebagai kiasan bahwa manusia terjadi dengan perantara ibu-bapak (ibu bumi bapa kuasa). Merah melambangkan ibu, sedangkan putih melambangkan bapak. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalau ingat kepada ibu-bapak, yang tercermin dalam ungkapan : “mikul dhuwur mendhem jero”maksudnya sebagai anak harus dapat mengharumkan nama orangtua dan dapat menghapuskan kejelekan nama orang tua. Juga dapat diartikan laki-laki dan perempuan sebagai lambang persatuan. Untuk mencapai tujuan harus dilandasi semangat persatuan (antara Gusti dan Kawula). Inti kebudayaan Karaton Surakarta yang dicetus Paku Buwana I berupa gagasan, Hasil olah (kerja) pikir dan batin manusia berupa perilaku hidup menyembah kepada tuhan YME dan perilaku hidup sosial budaya (hubungan dengan sesama). Nilai yang terkandung di dalamnya diwariskan pelestariannya dari generasi ke generasi, melalui proses seleksi nilai tersebut menurut lintasan perjalanan sejarah. Menurut Paku Buwana I, Sri Radya Laksana adalah wujud dan gambaran inti kebudayaan Karaton Surakarta. Arti harafiahnya adalah perilaku lahir dan batin untuk menjunjung tinggi negara. Unsurnya terdiri dari ratu (raja), putra sentana, abdi dalem (punggawa), kawula (rakyat) fisik bangunan karaton, pemerintahan, wilayah dan kelompok tetua (pendahulu) yang dihormati. Menurut abdi dalem keraton Istilah Radya Laksana yang dititiskan Paku Buwana I terdiri atas dua kata yaitu Radya dan Laksana. Kedua kata itu di dalam Baoesastra Djawa (1939, hal:515 dan 257) dijelaskan sebagai berikut: a. Radya (S) KW : Kradjan b. Laksana I (S) KW : Tjiri, tenger, pratanda, ngalamat. II KW Kabegjan /lakoe Terjemahan : a. Radya (Sansekerta) Kawi : Kerajaan b. Laksana I (Sansekerta) : 1. Ciri, tanda, pertanda 1. Keberuntungan Sehubungan dengan makna kedua kata tersebut, maka secara harafiah Radya Laksana berarti : ciri kerajaan, tanda kerajaan, atau jalan kerajaan. Radya Laksana sebagai lambang Karaton Surakarta, kata Radya dapat berarti negara dalam pengertian Karaton Surakarta, sedangkan Laksana tetap berarti jalan. Oleh karena itu, Radya Laksana dapat diartikan Jalan Negara dalam arti konsep-konsep untuk menjalankan negara yaitu Karaton Surakarta Hadiningrat. Selain secara harafiah, Radya Laksana memiliki makna sebagai ajaran dan patokan bagi siapapun yang memiliki watak Jiwa Ratu, Jiwa Santana, Jiwa Abdidalem, dan Kawuladalem yang berkiblat ke Karaton yang berdasarkan pada Jiwa Budaya Jawa. Radya adalah negara. Yang disebut negara adalah bersatunya Ratu, putra Santana, Abdi dalem, kawula bangunan karaton, pemerintahan, daerah dan “Pepundhen” (segala sesuatu yang dihormati). Adapun Laksana berarti tindakan. Tindakan yang didasarkan pada Lahir dan Batin. Tindakan dalam bentuk batiniah harus dapat tercermin dalam wujud tindakan lahiriah. Lambang keraton Surakarta atau tepat dikenal dengan sebutan Radya Laksana merupakan sebuah logo yang menandakan tentang sebuah identitas berdirinya kerajaan atau keraton Surakarta. Sebuah logo yang begitu unik dan memiliki ciri khas asli kebudayaan Indonesia ini memiliki nilai-nilai essensial tersendiri di dalamnya. Radya Laksana juga memiliki beberapa fungsi sebagai simbol identitas keraton dan juga juga sebagai simbol estetika atau keindahan. Dalam bentuk lencana sering dipasang di baju sebelah kiri, menjadi motif batik khas kerabat keraton, sebagai vandel yang dipasang di rumah atau sebagai relief yang dipasang di gapura karaton. Dalam hal yang demikian Radya Laksana di samping memiliki fungsi sebagai simbol identitas juga sebagai simbol estetika atau keindahan.

Kisah Tangis "Meriam Nyai Setomi"

Menurut buku "Babad Solo' karangan RM Sajid, meriam tersebut merupakanpisungsung (persembahan) dari Bangsa Portugis kepada Pangeran Jayakarta pada zaman Keraton Demak. Hanya waktu itu sepasang, yang satunya bernama Kiai Setama. Pada zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma (Raja Mataram sekitar tahun 1600-an), dua meriam tersebut kemudian diminta dan ditempatkan di sisi kanan kiriKori Brajanala. Nah, dari sinilah kemudian cerita-cerita menarik mulai mengalir.
Mengapa dinamakan Setama dan Setomi hal itu sebenarnya disebabkan lebih oleh kesalahan pengucapan saja. "Sadaya meriyem damelanipun Portugis dipun cireni seratan 'Sant-Thome'. Ingkang wonten ing nagari Surakarta lajeng dipun wastani Setomi. (Semua meriam buatan Portugis diberi ciri tulisan 'Sant-Thome'. Yang di Surakarta kemudian dinamakan Setomi)."
Menangis Meski keduanya sudah dipasang di tempat yang saat itu dianggap paling pas, sekian waktu kemudian salah satunya (Kiai Setama) terpaksa harus dikembalikan lagi ke Jakarta. Mengapa? . "Amargi manut aturipun abdi dalem ingkang kemit wonten ing Brajanala, meriyem wau ing saben malem Anggara Kasih gereng-gereng ngantos dados ajrihipun tiyang kathah. (Sebab, menurut penuturan petugas jaga Kori Brajanala, meriam itu pada setiap malam Selasa Kliwon selalu mengeluarkan suara aneh yang membuat orang-orang menjadi takut)." Sampai pada pengembalian Kiai Setomi ke Jakarta, permasalahan belum berakhir. Justru beberapa waktu kemudian muncul kisah-kisah menarik yang lain. Kisah menarik tersebut berhubungan dengan kepercayaan tentang Kiai Setama dan Nyai Setomi yang dianggap (dipercayai) sebagai pasangan laki-laki dan perempuan, lazimnya seperti manusia. "Kabekta saking pepisahan kaliyan ingkang raka inggih punika Kiai Setama, Nyai Setomi tansah muwun. Pramila ing sangajenging meriam kaparingan pengaron kangge nadahi eluhipun meriam. (Karena perpisahannya dengan pasangannya yang bernama Kyai Setama, Nyai Setomi selalu menangis. Karena itu, di depan meriam kemudian ditempatkan sebuah wadah yang terbuat dari tempurung kelapa untuk menampung air mata meriam tersebut)," tulis RM Sajid. Itulah sebagian kisah menarik yang menyertai perjalanan meriam pusaka Keraton Surakarta tersebut. Terlepas dari benar dan tidaknya kisah itu Siti Hinggil adalah bangunan di dekat keraton, tempat dimana di semayamkan Nyai Setomi, yaitu sebuah meriam yang pernah berjasa pada surakarta pada suatu peperangan. Sekarang ia menjadi salah satu benda yang di sakralkan dan tidak sembarang orang boleh melihatnya. Di salah satu pojok lingkungan setinggil ini terdapat tempat dimana Kyai Sala, seorang ulama terkenal Surakarta pernah dimakamkan sebelum di pindah ke makam yang sekarang ini. Meriam yang kini ditempatkan di area khusus itu, memang boleh dikatakan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan meriam-meriam lainnya.

12 Februari 2012

Mitos dan rahasia Borobudur

- Arca Kunto Bimo Arca Budha di dalam stupa teras Arupadhatu, pada teras melingkar tingkat I sisi Timur. Arca yang berada di dalam stupa lubang belah ketupat tersebut terkenal dengan nama Kunto Bimo. Siapa saja yang dapat menyentuh jari manis untuk pengunjung laki-laki dan tumit untuk pengunjung perempuan, maka segala keinginannya dapat terkabul. Fakta : mitos tentang arca Kunto Bimo menurut Soekmono hanyalah akal-akalan dari petugas candi pada tahun 1950an yang dengan sengaja menaruh bunga-bungaan dan uang receh di atas pangkuan arca dengan harapan membuat arca tersebut seolah-olah sakral. Namun tanpa diduga ternyata banyak pengunjung yang mengikuti untuk melempar uang receh. Sehingga setiap sore petugas candi dapat memperoleh berkah yang lumayan. - Singa Urung Ada juga mitos mengenai Singa Urung, yaitu sebutan masyarakat sekitar untuk sepasang arca singa pada sebelah kanan dan kiri tangga naik candi. Menurut cerita, sepasang kekasih yang lewat di antara kedua arca tersebut hubungannya tidak akan sampai pada jenjang pernikahan. Urung dalam bahasa Jawa dapat diartikan gagal. - Gunadharma tertidur Pada sebelah selatan Candi Borobudur terdapat perbukitan Menoreh. Bila diamati dari puncak candi, deretan perbukitan tersebut akan tampak seperti sesosok manusia sedang tertidur dengan kepala berada pada bagian barat. Menurut mitos, perbukitan tersebut merupakan jelmaan Gunadharma, yang disebut sebagai arsitek Candi Borobudur. Dikatakan bahwa dia beristirahat setelah melakukan pengerjaan candi yang memakan waktu hingga puluhan tahun. - Stupa Candi Borobudur Stupa Candi Borobudur memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan stupa pada candi Budha yang lain. Keunikan tersebut yaitu : apabila arca Hindu dipahatkan dengan ornamen yang raya, namun pada arca Dhyani Budha Candi Borobudur yang terdapat di dalam stupa hanya dipahatkan secara “polos”. Namun karena kreatifitas dari pembuat stupa selain berdasarkan filosofis, maka stupa-stupa pada tingkat I dan II yang memiliki lubang baik belah ketupat atau segi empat ketika terkena sinar matahari akan membentuk bayang-bayang pada arca Dhyani Budha di dalamnya. Alhasil arca Dhyani Budha yang tadinya “polos” seolah-olah memakai pakaian dengan motif kotak-kotak. - Arca Kyai Belet Arca yang sekarang berada di Museum Karmawibhangga ini diperkirakan merupakan arca dari stupa induk. Selain disebut Kyai Belet, arca ini juga sering disebut dengan unfinished Budha. Hal tersebut karena tampak dari pahatan yang kasar sehingga terkesan belum selesai atau “produk gagal”. Bentuk pahatan yang kasar, wajah tidak sempurna, pahatan keriting rambutnya kasar, pahatan sela-sela jari dan lipatan jubahnya tidak jelas, perbandingan lengan atas tangan kiri dan kanan tidak seimbang. Arca ini memiliki sikap tangan Bhumisparsamudra, yaitu posisi telapak tangan kanan terbuka dengan menghadap ke bawah (bumi). Arca ini memiliki tinggi kurang lebih 150 cm dengan berat 500 kg. Oleh masyarakat sekitar, arca ini dianggap sakral karena dipercaya dapat memberikan berkah. - Batu candi ditempel menggunakan putih telur Beredar mitos di masyarakat luas jika batu-batu penyusun Candi Borobudur direkatkan dengan putih telur. Namun hal yang sebenarnya adalah batu-batu penyusun Candi Borobudur tersusun saling mengunci sehingga terkesan melekat antara batu yang satu dengan yang lain. Tempat candi ini berada masih berupa hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar. Kemudian pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825. Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut. Mengenai nama Borobudur sendiri banyak ahli purbakala yang menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada nama tempa candi Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia dengan tinggi 34,5 meter dan luas bangunan 123 x 123 meter. Di dirikan di atas sebuah bukit yang terletak kira-kira 40 km di barat daya Yogyakarta, 7 km di selatan Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur dibangun oleh Dinasti Sailendra antara tahun 750 dan 842 Masehi. Candi Buddha ini kemungkinan besar ditinggalkan sekitar satu abad setalah dibangun karena pusat kerajaan pada waktu itu berpindah ke Jawa Timur. Sir Thomas Stanford Raffles menemukan Borobudur pada tahun 1814 dalam kondisi rusak dan memerintahkan supaya situs tersebut dibersihkan dan dipelajari secara menyeluruh. Proyek restorasi Borobudur secara besar-besaran kemudian dimulai dari tahun 1905 sampai tahun 1910 dipimpin oleh Dr. Tb. van Erp. Dengan bantuan dari UNESCO, restorasi kedua untuk menyelamatkan Borobudur dilaksanakan dari bulan Agustus 1913 sampai tahun 1983.