17 Februari 2012

#JJ#

Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara keturunan kerajaan Kediri. Airlangga membagi kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Jayabaya adalah raja terbesar kerajaan Kediri, ia begitu terkenal dengan ramalannya yang dikenal dengan sebutan Jangka Jayabaya. Raja Kediri yang terakhir adalah Kertajaya yang meninggal tahun 1222. Pada tahun itu Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok di Desa Ganter, Malang.
Prabu Jayabaya adalah Raja Kerajaan Kediri yang terkenal sakti dan berilmu tinggi, konon beliau adalah titisan Betara Wishnu.Nama lengkapnya adalah Sang Mapanji Jayabaya Sri Dharmaishwara Madhusudama Wartamindita. Kerajaan Panjalu/Kediri di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Jenggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabaya inilah, Kerajaan Kediri mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Kediri, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman pemerintahannya. Pada tahun 1157 Kakimpoi Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabaya atas Janggala.Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakimpoi Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.
Menurut kepercayaan,Jayabaya mampu meramalkan berbagai kejadian yang akan datang yang ditulis oleh beliau dalam bentuk tembang-tembang Jawa yang terdiri atas 21 pupuh berirama Asmaradana, 29 pupuh berirama Sinom, dan 8 pupuh berirama Dhandanggula. Kitab ini dikenal dengan nama : Kitab Musarar Asmaradana 1 Kitab Musarar inganggit = kitab ini dibuat Duk Sang Prabu Jayabaya = pada jaman prabu Jayabaya Ing Kediri kedhatone = istananya terletka di Kediri Ratu agagah prakosa = raja yang gagah sentosa Tan ana kang malanga = tidak ada yang bisa mengalahkan Parang muka samya teluk = musuh bertekuk lutut Pan sami ajrih sedaya = semua takut (pada sang raja) Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani. I Milane sinungan sakti = karena memiliki kesaktian Bathara Wisnu punika = dimana Bathara Wisnu Anitis ana ing kene = menitis di sini Ing Sang Prabu Jayabaya = di badan sang prabu Jayabaya Nalikane mangkana = pada saat itu Pan jumeneng Ratu Agung = menjadi raja besar Abala para Narendra = memiliki pasukan para raja Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja III Wusnya mangkana winarni = selang beberapa lama Lami-lami apeputra = akhirnya berputera Jalu apekik putrane = laki-laki tampan wajahnya Apanta sampun diwasa = setelah dewasa Ingadekan raja = dinobatkan menjadi raja muda Pagedhongan tanahipun = di daerah pagedogan Langkung arja kang nagara = negaranya makmur Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negaranya. IV Maksihe bapa anenggih = kembali pada sang raja Langkung suka ingkang rama = sedang bersuka ria Sang Prabu Jayabayane = Sang Prabu Jayabaya Duk samana cinarita = pada saat itu diceritakan Pan arsa katamiyan = mendapat kunjungan seorang tamu Raja Pandhita saking Rum = pendita raja dari Rum (Turki?) Nama Sultan Maolana = Sultan Maulana Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana. V Ngali Samsujen kang nami = bernama Ngali Samsujen (Ali Syamsudin) Sapraptane sinambrama = kedatangan sang tamu Kalawan pangabektine = dengan restunya Kalangkung sinuba suba = kemudian mendapat sanjungan Rehning tamiyan raja = karena tamu raja Lan seje jinis puniku = dan berbeda jenis (ras) Wenang lamun ngurmatana = maka berhak untuk dihormati Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita dari negara lain yang pantas dihormati. VI Wus lengah atata sami = setelah duduk bersama Nuli wau angandika = kemudian berkata Jeng Sultan Ngali Samsujen = Sultan Ngali Samsujen "Heh Sang Prabu Jayabaya = "Hai Sang Prabu Jayabaya Tatkalane ing sireku = menurut Kandhane Kitab Musarar = yang dikatakan Kitab Musarar Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petunjuuk kepadamu mengenai Kitab Musarar. VII Prakara tingkahe nenggih = mengenai perkara Kari ping telu lan para = tinggal tiga kali (silsilah kerajaan) Nuli cupet keprabone = kemudian akan musnah istanyanya (runtuh kerajaan) Dene ta nuli sinelan = kemudian akan disusul Liyane teka para" = raja kemudian" Sang Prabu lajeng andeku = Sang Prabu kemudian memahami Wus wikan titah Bathara = sudah menjadi kehendak Dewa Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewa. VII Lajeng angguru sayekti = kemudian berguru Sang-a Prabu Jayabaya = Sang Prabu Jayabaya Mring Sang raja pandhitane = kepada pimpinan ulama tersebut Rasane Kitab Musarar = sampai rasanya seluruh kitab Musarar Wus tunumlak sadaya = sudah ditumpahkan semua Lan enget wewangenipun = dan ingat pada janjinya Yen kantun nitis ping tiga = kalau tinggal menitis tiga kali lagi Sang Prabu segera menjadi murid sang pimpinan ulama tersebut. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali. IX Benjing pinernahken nenggih = Di jelaskan bahwa kelak Sang-a Prabu Jayabaya Aneng sajroning tekene = ada dalam tongkat Ing guru Sang-a Pandhita = gurunya ( Sang Pendeta/ulama ) Tinilar aneng Kabah = yang ditinggalkan di Kakbah Imam Supingi kang nggadhuh = Imam Supingi yang mengambil Kinarya nginggahken kutbah = bekerja menaikkan khotbah Kelak akan diletakkan dalam tongkat Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah, X Ecis wesi Udharati = tongkat besi "Udharati" Ing tembe ana Molana = besok ada Maulana Pan cucu Rasul jatine = yang masih cucu rasul Alunga mring Tanah Jawa = pergi ke tanah Jawa Nggawa ecis punika = membawa tongkat itu Kinarya dhuwung puniku Dadi pundhen bekel Jawa = menjadi pepunden tanah Jawa Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa. XI Raja Pandhita apamit = Pimpinan Ulama itu pamit Musna saking palenggahan = hilang dari duduknya Tan antara ing lamine = tak seberapa lama Pan wus jangkep ing sewulan = setelah satu bulan Kondure Sang Pandhita = kembalinya ulama Kocapa wau Sang Prabu = di cetitakan bahwa Sang Prabu Animbali ingkang putra = memanggil puteranya Pimpinan Ulama pamit dan menghilang dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan, Sang Prabu memanggil putranya. XII Tan adangu nulya prapti = tak seberapa lama Apan ta lajeng binekta = kemudian diajak Mring kang rama ing lampahe = oleh ayahnya berjalan Minggah dhateng ardi Padhang = naik ke gunung Padang Kang putra lan keng rama = anak dan bapak itu Sakpraptaning ing gunung = bersama sama ke gunung Minggah samdyaning arga = naik ke gunung Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Bapak dan Anak itu bersama sama naik ke gunung. XIII Wonten ta ajar satunggil = ada seorang pertapa Anama Ajar Subrata = bernama Ajar Subroto Pan arsa methuk lampahe = menjemput kedatangannya Mring Sang Prabu Jayabaya Ratu kang namur lampah = raja yang menyamar Tur titit Bathara Wisnu = merupakan titisan bathara Whisnu Njalama Prabu Jayabaya = yaitu Prabu Jayabaya Di sana ada Pertapa bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja titisan Batara Wisnu yang sedang menyamar. XIV Dadya Sang Jayabaya ji = karena Sang Prabu Waspada reh samar-samar = sangat waspada Kinawruhan sadurunge = tahu sebelum kejadian Lakune jagad karana = kejadian di bumi Tindhake raja-raja = keadaan raja raja Saturute laku putus Kalawan gaib sasmita = melalui isyarat gaib Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima isyarat gaib. XV Yen Islama kadi nabi = bila Islam seperti nabi Ri Sang aji Jayabaya Cengkrameng ardi wus suwe = sudah lama bercengkrama di gunung Apanggih lawan ki Ajar = bertemu dengan ki ajar Ajar ing gunung Padhang = pertapa di gunung padang Awindon tapane guntur = yang tekun bertapa Dadi barang kang cinipta = sehingga apa yang di kehendaki dapat tercipta Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan Ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi. XVI Gupuh methuk ngacarani Wus tata denya alenggah Ajar angundang endhange Siji nyunggi kang rampadan Isine warna-warna Sapta warna kang sesuguh Kawolu lawan ni endang Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya. XVII Juwadah kehe satakir Lan bawang putih satalam Kembang melathi saconthong Kalawan getih sapitrah Lawan kunir sarimpang Lawan kajar sawit iku Kang saconthong kembang mojar Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus. Kawolu endhang sawiji Ki Ajar pan atur sembah “Punika sugataningong Katura dhateng paduka” Sang Prabu Jayabaya Awas denira andulu Sedhet anarik curiga Kedelapan adalah si endang sendiri. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. XVIII Ginoco ki Ajar mati Endhange tinuweng pejah Dhuwung sinarungken age Cantrike sami lumajar Ajrih dhateng sang nata Sang Rajaputra gegetun Mulat solahe kang rama Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya XIX Arsa matur putra ajrih Lajeng kondur sekaliyan Sapraptanira kedhaton Pinarak lan ingkang putra Sumiwi munggweng ngarsa Angandika Sang-a Prabu Jayabaya mring kang putra Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya. XX “Heh putraningsun ta kaki Sira wruh solahing Ajar Iya kang mati dening ngong Adosa mring guruningwang Jeng Sultan Maolana Ngali Samsujen ta iku Duk maksih sami nom-noman Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda. *****
Ramalan Jayabaya dibagi dalam 3 zaman yang masing-masing berlangsung selama 700 tahun, yaitu Zaman Permulaan (Kali-swara), Zaman Pertengahan (Kali-yoga) dan Zaman Akhir (Kali-sangara). Yang menarik dari ramalan Jayabaya adalah ramalan Zaman Akhir (Kali-sangara) dari tahun Masehi 1401 sampai dengan tahun 2100, karena kita dapat membuktikannya dengan catatan sejarah Indonesia /Jawa dalam periode tersebut. 140. polahe wong Jawa kaya gabah diinteri (seperti gabah ditampi) endi sing bener endi sing sejati (mana yang benar mana yang sejati) para tapa padha ora wani (para pertapa semua tidak berani) padha wedi ngajarake piwulang adi (semua takut mengajarkan ajaran kebaikan) salah-salah anemani pati (salah-salah menemui kematian) Kesusahan lahir dan bathin bagi masyarakat terutama bagi orang benar dan jujur. *** 141. banjir bandang ana ngendi-endi (banjir besar dimana-mana) gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni (gunung meletus secara tiba-tiba) gethinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni (benci kepada para pandita) marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti (karena takut terbuka kedoknya) Banyak musibah alam, dan ancaman terhadap pandita/tokoh agama. *** 142. pancen wolak-waliking jaman (memang perubahan jaman) amenangi jaman edan (menyaksikan jaman gila) ora edan ora kumanan (tidak ikut gila tidak kebagian) sing waras padha nggagas (yang sehat akalnya sedih hatinya) wong tani padha ditaleni (petani diikat) wong dora padha ura-ura (penjahat berkeliaran) beja-bejane sing lali, (se-beruntung-nya orang yang lupa) isih beja kang eling lan waspadha (masih beruntung orang yang ingat dan waspada) Keadaan jaman serba kacau, hanya sedikit orang yang memegang teguh kebenaran. *** 143. ratu ora netepi janji (rajanya tidak menepati janji) musna kuwasa lan prabawane (musnah kekuasaan dan kewibawaannya) akeh omah ndhuwur kuda (banyak rumah diatas kuda) – sopir tidur di mobil wong padha mangan wong (manusia memakan manusia) kayu gligan lan wesi hiya padha doyan (kayu gelondongan dan besi juga dimakan) dirasa enak kaya roti bolu (dianggap rasanya enak seperti roti bolu) yen wengi padha ora bisa turu (kalau malam tidak bisa tidur) Pimpinan kehilangan kewibawaan, orang mencari rejeki dengan segala cara tanpa melihat benar dan salah, dan tanpa mengenal waktu. *** 144. sing edan padha bisa dandan (yang gila bisa berdandan) sing ambangkang padha bisa nggalang (yang pembangkang bisa membangun) omah gedhong magrong-magrong (rumah besar dan megah) Orang yang ngawur bisa hidup mewah. *** 145. wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes (pedagang laris, hartanya habis) akeh wong mati kaliren gisining panganan (banyak orang mati kurang gizi) akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara (banyak orang kaya tapi susah) Semua orang susah, yang kaya susah apalagi yang miskin. *** 146. wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil (orang sehat akal dan adil susah & terpencil) sing ora abisa maling digethingi (yang tidak bisa / tidak mau mencuri dibenci) sing pinter duraka dadi kanca (yang pandai berbuat jelek jadi teman) wong bener sangsaya thenger-thenger (orang benar semakin menderita) wong salah sangsaya bungah (orang salah semakin senang) akeh bandha musna tan karuan larine (banyak harta musnah tak jelas lemana) akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe (jabatan hilang begitu saja) Orang baik dijauhi, yang jahat didekati, orang suka foya-foya dan banyak firnah. *** 147. bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret (bumi makin lama semakin mengecil) sakilan bumi dipajeki (sejengkal tanah ditarik pajaknya) wong wadon nganggo panganggo lanang (wanita berpakaian pria) iku pertandhane yen bakal nemoni (itu tandanya jika akan menemui) wolak-walike zaman (perubahan jaman) Jarak tidak berarti lagi – ada HP & transportasi lancar -, wanita seperti pria, semua itu sebagai tanda datangnya “Jaman Modern”. *** 148. akeh wong janji ora ditepati (banyak orang tidak menepati janji) akeh wong nglanggar sumpahe dhewe (banyak orang melanggar sumpahnya sendiri) manungsa padha seneng ngalap, (orang banyak yang suka ngawur) tan anindakake hukuming Allah (tidak melaksanakan perintah Allah) barang jahat diangkat-angkat (perbuatan jahat dibanggakan) barang suci dibenci (perbuatan kebaikan dibenci dan dijauhi) Banyak orang munafik dan orang fasik. *** 149. akeh wong ngutamakake royal (banyak orang suka menghamburkan harta, foya-foya) lali kamanungsane, lali kebecikane (lupa kemanusiaannya, lupa kebaikan) lali sanak lali kadang (lupa terhadap famili) akeh bapa lali anak (banyak bapak lupa anaknya) akeh anak nundhung biyung (banyak anak mengusir ibunya) sedulur padha cidra (saudara saling bertengkar) keluarga padha curiga (keluarga saling curiga) kanca dadi mungsuh (teman menjadi musuh) manungsa lali asale (manusia lupa kepada asalnya) Semua hal diukur berdasarkan harta – Materialistis – tidak perduli kepada siapa. *** 150. ukuman ratu ora adil (hukuman raja tidak adil) akeh pangkat jahat jahil (pejabat hatinya jahat) kelakuan padha ganjil (tingkahnya semakin aneh) sing apik padha kepencil (yang baik dikucilkan) akarya apik manungsa isin (berbuat kebaikan semua malu) luwih utama ngapusi (lebih suka menipu) Keadilan tidak ada, pejabat ngawur (korupsi), sangat sedikit orang baik. *** 151. wanita nglamar pria (wanita melamar pria) isih bayi padha mbayi (masih kecil melahirkan) sing pria padha ngasorake drajate dhewe (pria kurang menghargai diri sendiri) Wanita tidak punya “rasa malu” – emansipasi ? – pergaulan bebas, banyak pria justru mencari wanita berduit & kaya. *** BAIT : 152 - 156 > hilang *** 157. wong golek pangan pindha gabah den interi (orang mencari makan seperti padi ditampi) sing kebat kliwat, sing kasep kepleset (yang cepat terlewat, yang terlambat terpeleset) sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik (yang besar menang sendiri, yang kecil tergencet) sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati (yang berani terjungkal, yang takut jadi mati) nanging sing ngawur padha makmur (tapi yang ngawur jadi makmur) sing ngati-ati padha sambat kepati-pati (yang hati-hati menderita bathin) Orang mencari rejeki tidak memakai aturan benar & salah, baik & buruk. *** 158. cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring (Orang Cina dilempari lari ketakutan) melu Jawa sing padha eling (ikut Orang Jawa yang ingat – kepada Tuhan) sing tan eling miling-miling (yang tidak mau sadar, tengok kanan-kiri) mlayu-mlayu kaya maling kena tuding (berlarian seperti maling ketahuan) eling mulih padha manjing (ingat pulang “naik” – pesawat – ke tanah leluhurnya) akeh wong injir, akeh centhil (banyak orang bakhil dan kikir) sing eman ora keduman (yang menyimpan tidak kebagian) sing keduman ora eman (yang kebagian tidak bisa menyimpan) Suasana kacau balau, saat “reformasi”, banyak penjarahan. Orang Cina jadi sasaran amuk massa, banyak yang lari ke luar negeri, atau bersembunyi ikut pribumi yang baik hati. *** 159. selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun (selambat-lambatnya akhir tahun) sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu (Candra Sengkala – sekitar 1998) bakal ana dewa ngejawantah (akan ada Dewa turun ke bumi) apengawak manungsa (beradan manusia) apasurya padha bethara Kresna (berwajah seperti Batara Krisna – hitam manis) awatak Baladewa (berwatak seperti Baladewa – berani karena benar) agegaman trisula wedha (bersenjata Trisula Wedha – Benar, Tegak dan Jujur) jinejer wolak-waliking zaman (sebagai pertanda perubahan jaman) wong nyilih mbalekake, (orang pinjam mengembalikan) wong utang mbayar (orang hutang membayar) utang nyawa bayar nyawa (utang nyawa dibayar nyawa) utang wirang nyaur wirang (hutang malu dibayar malu) Sekitar akhir tahun 1998 akan ada “Dewa” turun ke bumi, berbadan manusia biasa, berpedoman kepada Tiga Prinsip Suci – Benar, Tegak dan Jujur, wajahnya hitam atau coklat – khas orang Jawa – sebagai tanda perubahan jaman “Era Baru – Reformasi”. Sebagai akibatnya, pinjaman bank-bank swasta harus dibayar karena tidak mampu maka banyak bank di-likuidasi atau dimerger. Pembunuh dihukum mati – Kasus Sumiarsih. *** 160. sadurunge ana tetenger lintang kemukus (sebelumnya ada tanda bimtang berekor – 1996) lawa ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener (ekornya panjang di sebelah tenggara) lawase pitung bengi, (lamanya 7 – tujuh – hari) parak esuk bener ilange (sampai pagi baru hilang) bethara surya njumedhul (di saat matahari terbit) bebarengan sing wis mungkur (bersamaan dengan yang sudah lewat) prihatine manungsa kelantur-lantur (penderitaan manusia berlarut-larut) iku tandane putra Bethara Indra wus katon (itu tandanya putra Betara Indra sudah terlihat) tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa (datang di Bumi membantu orang Jawa) Sekitar tahun 1996 memang terlihat adanya Komet – Bintang Berekor di sebelah tenggara selama sekitar seminggu (7 hari), terlihat dari daerah Ngawi, Jawa Timur (ada saksi hidup sampai sekarang). *** 161. dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan (letaknya di kaki Gunung Lawu sebelah timur) wetane bengawan banyu (sebelah timurnya sungai) andhedukuh pindha Raden Gatotkaca (rumahmya seperti Raden Gatutkaca) arupa pagupon dara tundha tiga (berupa Pagupon Burung Dara susun tiga) kaya manungsa angleledha (seperti manusia yang menoleh ke kanan – ke kiri) Rumahnya di kaki Gunung Lawu sebelah timur – daerah Kabupaten Ngawi sebelah Selatan masuk daerah Kecamatan Geneng dan Kecamatan Paron bagian selatan. Raden Gatutkaca adalah Satria Pringgondani – rumahnya dari bahan Pring = Bambu. Kata “tundha” disini beralias “tundhung”= mengusir, karena rumah tersebut merupakan warisan dari orang tua, maka rumah tersebut dimiliki setelah “mengusir” yaitu membeli dari 3 (tiga) saudaranya. Rumah tersebut tidak diubah hanya diperbaiki jika perlu (di-dandani), karena banyak lobangnya (dinding dari anyaman bambu) sehingga terlihat dari luar – kanan & kiri. *** 162. akeh wong dicakot lemut mati (banyak orang digigit nyamuk bisa mati) akeh wong dicakot semut sirna (banyak orang digigit semut bisa sirna/musnah) akeh swara aneh tanpa rupa (banyak suara aneh tanpa rupa) bala prewangan makhluk halus padha baris, (pasukan makhluk halus berbaris) pada rebut benere garis (berebut kebenaran) tan kasat mata, tan arupa (tidak kelihatan, tidak berupa) sing madhegani putrane Bethara Indra (yang memimpin putra Batara Indra) agegaman trisula wedha (bersenjata Trisula Wedha) momongane padha dadi nayaka perang (asuhannya – kesatria – menjadi pasukan perang) perange tanpa bala (perangnya tanpa pasukan) sakti mandraguna tanpa aji-aji (sakti tanpa ajimat) Orang digigit semut mati = Demam Berdarah – disebabkan gigitan nyamuk Aides Aighepty, yang terjadi pada tahun 2002-2004. Orang digigit semut musnah = Flu Burung & Flu Babi – disebabkan gigitan “semut” yang mengalami “Mutasi GEN” karena banyak tanah berpotensi penghasil Gula tetapi tidak ditanami Tebu, sehingga terjadi “Perubahan Struktur – Komposisi Tanah”, menyebabkan Semut didalam tanah mengalami “Perubahan Sifat Kromosom – Genetik”. Flu Burung & Flu Babi terjadi tahun 2005-2010. Banyak juga “suara aneh tak jelas asal usulnya”, berita Infotainment dan fitnah politik yang saling memojokkan dan saling menjatuhkan. *** 163. apeparap pangeraning prang (menjabat panglima perang) tan pokro anggoning nyandhang (tidak pantas cara berpakaiannya) ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang (tapi bisa menuntaskan masalahnya banyak orang) sing padha nyembah reca ndhaplang, (yang suka menyembah berhala) cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang (Orang Cina ingat kebaikan dan diberi sabda petunjuk menjadi senang sekali) Meskipun ditakdirkan sebagai “Panglima Perang” – pengertian bathin – tetapi pakaiannya sangat sederhana, “dahulu bahkan agak kumal”, sekarang sudah agak lumayan, sudah pernah mencoba pakai sepatu meskipun terlihat “agak lucu”. *** 164. putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu (putra kesayangan Sunan Lawu) hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti (Ya Batara Mukti, Kresna, Herumukti) mumpuni sakabehing laku (menguasai semua “lelaku”) nugel tanah Jawa kaping pindho (memotong Pulau Jawa dua kali) ngerahake jin setan (mengerahkan jin setan) kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo (semua makhluk halus diperintahkan bersama-sama) kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda (agar membantu manusia Jawa dengan senjata Trisula Wedha – Tiga Prinsip Suci) landhepe triniji suci (Ketajamannya Kesatuan Tritunggal Suci) bener, jejeg, jujur (yaitu: Benar, Tegak, Jujur) kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong (diikuti oleh Sabdopalon dan Noyogenggong) Merupakan “putra kesayangan” dari Sunan Lawu alias Krisna. “Memotong” Pulau Jawa 2 (dua) kali, yang bermakna rumahnya berada ditengah-tengah Pulau Jawa jika diukur dari Timur (Banyuwangi) dan Barat (Ujung Kulon), yaitu yang PERTAMA (awal) di dekat Desa Geneng – Desa Kedungputri, dan KEDUA (akhir) berpindah ke utara masuk daerah Desa Tempuran. Kedua TEMPAT RUMAH tersebut merupakan TITIK TENGAH Pulau Jawa secara memanjang Timur – Barat, sehingga bisa dikatakan MEMOTONG Pulau Jawa. *** 165. pendhak Sura nguntapa kumara (sudah setahun dari bulan Sura ke Sura, menjauhi kejahatan) kang wus katon nembus dosane (yang sudah jelas menebus dosanya) kadhepake ngarsaning sang kuasa (ke hadirat Yang Maha Kuasa) isih timur kaceluk wong tuwa (masih muda dipanggil “Orang Tua”= Dukun) paringane Gatotkaca sayuta (memiliki Gatutkaca sejuta) Setelah setahun berpuasa, membersihkan diri, “menghadap” Tuhan Yang Maha Kuasa. Masih muda dipanggil Orang Tua = Dianggap Dukun oleh masyarakat sekitarnya karena kelebihannya dapat mengobati segala penyakit dan memberikan solusi berbagai masalah. Padahal sebenarnya Bukan Dukun dan Tidak Mau Di-cap sebagai Seorang Dukun. Memiliki “Aji-aji Gelap Sayuto” seperti senjata milik Gatutkaca. *** 166. idune idu geni (ludahnya ludah api) sabdane malati (sabdanya “malati” – terjadi nyata) sing mbregendhul mesti mati (yang menantang pasti mati) ora tuwo, enom padha dene bayi (tidak hanya orang tua, muda bahkan bayi) wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada (orang tidak berdaya, minta pasti terkabul) garis sabda ora gentalan dina, (bukti nyata sabda tidak perlu menunggu bergantinya hari) beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira (beruntunglah yang meyakini sabdanya) tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa (tidak mau dipuja-puja orang banyak “se-Jawa”) nanging mung pilih-pilih sapa (tetapi hanya memilih beberapa orang saja) Perkataannya BERBAHAYA, barangsiapa yang menentang akan sirna, semua orang akan tunduk, permintaannya terkabul secara nyata, beruntunglah orang yang yakin dan percaya. TIDAK MAU TERKENAL dan disanjung banyak orang, tetapi hanya orang-orang tertentu saja yang “dipilih”, tentu dengan syarat khusus, minimal memahami makna “JATI DIRI”. *** 167. waskita pindha dewa (tahu segalanya seperti Dewa) bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira (bisa tahu lahirnya nenek moyang kita) pindha lahir bareng sadina (mengenal seperti lahir bersama – teman akrab) ora bisa diapusi marga bisa maca ati (tidak bisa ditipu, karena bisa membaca isi hati) wasis, wegig, waskita, (cerdas, cerdik, pandai) ngerti sakdurunge winarah (mengetahui apa yang belum terjadi) bisa pirsa mbah-mbahira (bisa mengetahui “keadaan” nenek moyang kita) angawuningani jantraning zaman Jawa (mengetahui perkembangan dari jaman ke jaman) ngerti garise siji-sijining umat (mengetahui takdir setiap manusia) Tan kewran sasuruping zaman (tidak pernah terpengaruh perubahan jaman) Memiliki semua sifat dan kemampuan seperti Dewa, mengetahui seluruh rahasia alam semesta, bahlan mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang. *** 168. mula den upadinen sinatriya iku (maka carilah sang kesatria itu) wus tan abapa, tan bibi, lola (sudah tidak berbapak, tak ber-bibi, hidup terlunta) awus aputus weda Jawa (sudah lulus Pemahaman Jawa) mung angandelake trisula (hanya mengandalkan Trisula) landheping trisula pucuk (tajamnya Ujung Trisula) gegawe pati utawa utang nyawa (bisa menyebabkan kematian) sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan (yang tengah tidak mau merugikan orang lain) sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda (yang pinggir tidak mau mencuri) Kita disuruh mencarinya, memiliki ciri-ciri antara lain: sudah tidak ber-bapak, tidak ber-bibi, hidupnya susah, sudah memahami Ilmu Jawa, andalannya Trisula Wedha yaitu KEBENARAN, KEADILAN dan KEJUJURAN. *** 169. sirik den wenehi (tidak mau pemberian yang tidak jelas) ati malati bisa kesiku (siapa yang berprasangka buruk bisa celaka) senenge anggodha anjejaluk cara nistha (senang menggoda meminta dengan memelas) ngertiyo yen iku coba (ketahuilah jika itu ujian) aja kaino (jangan dihina) ana beja-bejane sing den pundhuti (ada keberuntungan yang diambil) ateges jantrane kaemong sira sebrayat (berarti ditakdirkan terpelihara kalian sekeluarga) Memang kadang-kadang menggoda meminta sesuatu yang agak sulit dipenuhi, padahal maksudnya untuk menguji biar agak menjauh sementara (Uji Keyakinan & Keteguhan), dan jika ada yang diambil (mau) berarti keselamatan dan kesejahteraan akan diperoleh. *** 170. ing ngarsa Begawan (di hadapan Begawan) dudu pandhita sinebut pandhita (bukan Pendeta disebut Pendeta) dudu dewa sinebut dewa (bukan Dewa disebut Dewa) kaya dene manungsa (seperti manusia biasa) dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh (tidak salah lagi, kekuatan diterangkan dengan jelas) gawang-gawang terang ndrandhang (nyata sejelas-jelasnya) Memang kenyataanya bukan seorang Tokoh Agama (Pendeta atau Ulama) tetapi melebihi Tokoh Agama, bukan Dewa (Malaikat) tetapi seperti Dewa, memang senyatanya seperti manusia biasa (makan, minum, menikah, memiliki anak dll.), tetapi memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. *** 171. aja gumun, aja ngungun (jangan heran, jangan bingung) hiya iku putrane Bethara Indra (ya itulah putra Batara Indra) kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan (yang pertama, dan mampu mengusir setan) tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh (turunnya air “brajamusti” terpisah) hiya siji iki kang bisa paring pituduh (ya satu ini yang bisa memberi petunjuk) marang jarwane jangka kalaningsun (kepada maksudnya ramalanku ini) tan kena den apusi (tidak dapat ditipu) marga bisa manjing jroning ati (karena bisa membaca isi hati) ana manungso kaiden ketemu (ada “manusia” ditakdirkan bertemu) uga ana jalma sing durung mangsane (juga ada “hewan” yang belum waktunya bertemu) aja sirik aja gela (jangan iri jangan sakit hati) iku dudu wektunira (itu bukan waktu anda) nganggo simbol ratu tanpa makutha (menggunakan simbol raja tanpa mahkota) mula sing menangi enggala den leluri (maka yang mengetahui segeralah “mendekat”) aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu(jangan menunggu habis waktu, segeralah menghadap dengan penuh hormat) beja-bejane anak putu (keberuntungan bagi para anak cucuku) Kelebihannya memang seperti Dewa, karena “putra” Batara Indra. Ada istilah “manusia” bagi yang sudah “bertemu”, dan sebutan “jalma=hewan” bagi yang belum waktunya bertemu, jangan iri dan marah karena memang tidak mudah untuk dapat mencapai tingkatan “manusia seutuhnya”. Maka dari itu, carilah terus hingga dapat ketemu dan “bertemu” agar dapat menjadi “manusia” yang seutuhnya. *** 172. iki dalan kanggo sing eling lan waspada (ini jalan bagi yang ingat dan waspada) ing zaman kalabendu Jawa (di Jaman Kalabendu Jawa) aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa (jangan melarang mendekati “Dewa”) cures ludhes saka braja jelma kumara (hancur lebur luluh lantak) aja-aja kleru pandhita samusana (jangan sampai keliru mencari Pendeta atau Ulama) larinen pandhita asenjata trisula wedha (carilah Pendeta bersenjata Trisula Wedha) iku hiya pinaringaning dewa (itulah pemberian dari Dewa) Inilah jalan keselamatan dan kesejahteraan, jangan melarang atau menghalang-halangi orang yang mengikuti orang berperawakan Dewa, karena akan hancur lebur akibatnya. Jangan salah lagi mencari PANUTAN yang sebenarnya yaitu Panutan yang bersenjata Trisula Wedha = TIGA PRINSIP SUCI yaitu KEBENARAN, KEADILAN dan KEJUJURAN karena itu anugerah dari Yang Maha Kuasa. *** 173. nglurug tanpa bala (menyerang tanpa membawa pasukan) yen menang tan ngasorake liyan (jika menang tidak mempermalukan musuh) para kawula padha suka-suka (rakyat semua senang) marga adiling pangeran wus teka (karena keadilan Tuhan sudah tiba) ratune nyembah kawula (rajanya menghormati rakyatnya) angagem trisula wedha (memegang teguh Trisula Wedha) para pandhita hiya padha muja (para Pendeta juga mendukung dengan do’a) hiya iku momongane kaki Sabdopalon (itulah “momongan” Sabdopalon) sing wis adu wirang nanging kondhang (yang sudah menahan malu tetapi terkenal) genaha kacetha kanthi njingglang (jelaslah dengan sejelas-jelasnya) nora ana wong ngresula kurang (tidak ada orang mengeluh) hiya iku tandane kalabendu wis minger (ya itulah tandanya Kalabendu sudah belok arah) centi wektu jejering kalamukti (sudah tiba waktunya Kalamukti) andayani indering jagad raya (meliputi seluruh dunia) padha asung bhekti (semua memberi hormat) Dengan kelebihannya, dapat menyelesaikan masalah tanpa membutuhkan bantuan dari orang lain “pasukan” karena memiliki Ajian Gatutkaca Sayuta. Keadilan sudah tiba, dan Rajanya menghormati rakyatnya. Kemakmuran sudah menjadi kenyataan, karena Jaman Kalabendu telah berganti dengan Jaman Kalamukti, negara seluruh dunia menghormati. ### Munculnya Presiden Sukarno sebagai Pemimpin Indonesia, Pendiri Republik Indonesia dalam periode Kala-sumbaga (1901-2000) diramalkan secara cukup akurat. Beliau digambarkan sebagai seorang Raja yang memakai kopiah warna hitam (kethu bengi), sudah tidak memiliki ayah (yatim) dan bergelar serba mulia (Pemimpin Besar Revolusi). Naik-turunnya Preside RI ke-2 Suharto juga secara jelas diramalkan oleh Prabu Jayabaya pada Bagian Akhir tembang Jawa butir 11 sampai 16 sebagai berikut: “Ana jalmo ngaku-aku dadi ratu duwe bala lan prajurit negara ambane saprowulan panganggone godhong pring anom atenger kartikapaksi nyekeli gegaman uleg wesi pandhereke padha nyangklong once gineret kreta tanpa turangga nanging kaobah asilake swara gumerenggeng pindha tawon nung sing nglanglang Gatotkaca kembar sewu sungsum iwak lodan munggah ing dharatan. Tutupe warsa Jawa lu nga lu (wolu / telu sanga wolu / telu) warsa srani nga nem nem (sanga nenem nenem) alangan tutup kwali lumuten kinepung lumut seganten. Beliau muncul sebagai Pemimpin yang didukung oleh Angkatan Bersenjata RI (darat, udara dan laut), berlambang Kartikapaksi, memakai topi baja hijau (tutup kwali lumuten) pada tahun 1966. Zaman pemerintahan Presiden Suharto (Orde Baru) berlangsung selama 30 tahun. Setelah lenyapnya kekuasaan tiga raja tersebut diatas, Jayabaya meramalkan datangnya seorang Pemimpin baru dari negeri seberang, yaitu dari Nusa Srenggi (Sulawesi), ialah Presiden BJ Habibie. Ramalan Jayabaya bagi Indonesia setelah tahun 2001 Indonesia akan menjadi sebuah negeri yang aman, makmur, adil dan sejahtera sebagai akhir dari Ramalan Jayabaya (Kala-surasa, 2001-2100 M), zaman yang tidak menentu (Kalabendu) berganti dengan zaman yang penuh kemuliaan, sehingga seluruh dunia menaruh hormat. Akan muncul seorang Satriya Piningit sebagai Pemimpin baru Indonesia dengan ciri-ciri sudah tidak punya ayah-ibu, namun telah lulus Weda Jawa, bersenjatakan Trisula yang ketiga ujungnya sangat tajam, sbb: Di zaman modern abad ke-21 saat ini dengan berbagai persenjataan modern dan alat tempur yang canggih, mulai dari senjata nuklir, roket, peluru kendali, dan lain-lainnya, maka senjata Trisula Weda mungkin bukanlah senjata dalam arti harafiah, tetapi adalah senjata dalam arti kiasan, tiga kekuatan yang mebuat seorang Pemimpin disegani segenap Rakyatnya. Bisa saja itu adalah tiga sifat-sifat sang Pemimpin, seperti: Benar, Lurus, Jujur (bener, jejeg, jujur) seperti yang diungkapkan dalam tembang-tembang Ramalan Jayabaya. sosok sang Pemimpin yang digambarkan sebagai Satriya Piningit, bukanlah seseorang yang tiba-tiba muncul, tetapi Ia adalah seorang Pemimpin Indonesia yang sifatnya tidak mau menonjolkan diri, tetapi Ia bekerja tanpa pamrih, menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan bangsa dan negara. Sudah ada langkah-langkahnya yang nyata yang dapat ditelusuri dalam kehidupannya sehari-hari. Bisa saja Ia akan terpilih dalam Pilpres 2009 ini, atau mungkin juga dalam periode Kepemimpinan Indonesia pada periode berikutnya untuk mengantarkan Indonesia kepada Cita-cita para Pendiri Bangsa sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, yaitu negeri yang aman, makmur, adil dan sejahtera bagi segenap Rakyat Indonesia. ***************************************************************************************************** Wong Apengawak Dewa = Dewa Ngejawantah = Sabdopalon Noyogenggong = SEMAR Rajanya menghormati rakyatnya = Momongannya Semar = TUNJUNG PUTIH // Sebagai gambaran bahwa keberadaan Sang Hyang SEMAR di daerah antara Desa Geneng dan Desa Tempuran, Kabupaten Ngawi bagian selatan. Sedangkan keberadaan Sang Tunjung Putih Pudhak Kasungsang belum bisa saya ungkapkan disini sekarang karena memang belum tiba saatnya. Adapun ciri-cirinya: Keturunan Waliyullah, Wajahnya Tampan, Kulitnya Kuning, Jika Berjalan Pelan-pelan. Rumah aslinya di daerah dekat ALAS KETONGGO NGAWI atau ALAS PUDHAK (Pudhak Kasungsang/Sinumpet), tetapi sekarang masih menyamar seperti “Orang Biasa” di daerah Jawa Barat, dan kadang-kadang juga ke Jakarta jika ada keperluan penting. Dialah Sang Satria Sejati, Calon Raja di Jaman Kalamukti. Orangnya Tegas tetapi berhati Lembut.

Tidak ada komentar: