“Diperlihatkan kepadaku Sidrotul Muntaha , buahnya seperti tempayan besar, daunnya seperti telinga gajah, dan di pangkalnya ada 4 sungai: dua sungai bathin, dua sungai dhohir, maka aku bertanya kepada Jibril, maka dia menjawab: adapun dua sungai yang bathin di surga dan dua sungai yang dhohir adalah sungai Nil dan sungai Eufrat.
Sidratul Muntaha digambarkan sebagai Pohon Bidara yang sangat besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana batu. Menurut Kitab As-Suluk, Sidrat al-Muntahā adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah 'Arsy, pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.
Sidrat al-Muntahā berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara, sedangkan muntaha berarti tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut:
“ Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (An-Najm, 53:41-42) ”
Allah berfirman dalam surah An-Najm 16,
“ Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (an-Najm, 53: 16) ”
Sidrat al-Muntahā (Arab: سدرة المنتهى , Sidratul Muntaha) adalah sebuah pohon bidara yang menandai akhir dari langit/Surga ke tujuh, sebuah batas dimana makhluk tidak dapat melewatinya.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, "Sesunggunnya orang yang menebang pohon bidara akan dituang api neraka di kepalanya'," (Shahih, HR al-Baihaqi [IV/117]).
Diriwayatkan dari Muawiyah bin Haidah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Allah akan menuangkan (air panas) ke atas kepala penebang pohon bidara di dalam neraka'," (HR al-Baihaqi [VI/141]).
Pohon bidara terdapat dalam Al-Qur’an
Dalam Surat An-Najm yang menceritakan kisah Mi’roj nya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dimana Jibril mempunyai 600 sayap.
Alloh azza wa jalla berfirman:
( أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى * وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى * عِندَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى * عِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى * إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى * مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى * لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى )
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratil Muntaha . Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, . (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 13-15)
Imam Al-Bukhori dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam kisah Isro’ dan Mi’roj, Beliau bersabda: ”kemudian Jibril membawaku sampai di Sidrotul Muntaha, yang sedang diliputi sesuatu yang saya tidak mengetahuinya”. Dia berkata: “kemudian memasuki surga dan melihat didalamnya kubah-kubah yang terbuat dari mutiara dan tanahnya kasturi”.
Dalam Surat Al-Waqi’ah tentang kelompok kanan dari penghuni surga berada di bawah pohon bidara yang tidak berduri.
Alloh azza wa jalla berfirman:
( وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ مَا أَصْحَابُ الْيَمِينِ * فِي سِدْرٍ مَّخْضُودٍ * وَطَلْحٍ مَّنضُودٍ * وَظِلٍّ مَّمْدُودٍ * وَمَاء مَّسْكُوبٍ * وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ )
“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas,dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak,”QS. al-Waqi’ah (56) : 27-32
Dalam tafsir disebutkan pohon bidara yang dimaksud adalah yang telah dihilangkan durinya ataupun buahnya yang lebat, demikian pendapat Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma.
Berkata Ibnu Katsir rohimahulloh setelah menukil beberapa pendapat (tentang pohon bidara dalam ayat tersebut): Dhohirnya yang dimaksud adalah pohon bidara di dunia banyak durinya dan sedikit buahnya, adapun di akhirat kebalikannya, tidak ada durinya dan buahnya banyak.
Dalam Surat Saba ketika mengabarkan tentang kisah Negeri Saba
Alloh subhanahu wa ta’alla berfirman:
( فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَى أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ )
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Bidara (QS. Saba :16)
Jika Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidratul Muntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu adalah "permadani emas". Deskripsi tentang Sidratul Muntaha dalam hadits-hadits tentang Isra Mi'raj tersebut hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata. Hakikatnya hanya Allah yang Maha Tahu.
KORELASI 2 ALAM INSAN
Kita mencoba masuk lebih dalam ke diri manusia. Semakin ke dalam semakin halus tingkatannya, semakin tinggi frekuensinya, dan semakin dahsyat energinya. Sekaligus, semakin abstrak bentuknya. Secara umum, ’tubuh’ manusia bisa dibagi menjadi 3 eksistensi dasar, yaitu: badan, jiwa, dan Ruh. Badan adalah eksistensi paling kasar, jiwa lebih halus, dan ruh adalah yang paling halus. Tetapi, karena Jiwa memiliki tingkatan-tingkatan lagi, maka secara keseluruhan diri manusia lantas terdiri dari 7 lapisan, yang semakin ke dalam semakin tinggi kualitasnya.
Badan tersusun dari zat-zat biokimiawi seperti C, H, O, N, S, P, Ca, Na, dan lain sebagainya. Unsur-unsur itu ’dilebur’ dan disenyawakan oleh Sang Pencipta menjadi susunan tubuh yang terdiri dari susunan atom-atom. Kemudian, menjadi susunan molekul, menjadi susunan sel, menjadi jaringan sel, organ-organ, dan akhirnya menjadi tubuh seutuhnya. Inilah karya terbaik yang disebut al Qur’an sebagai ahsani taqwim ~ ’sebaik-baik bentuk’ makhluk hidup.
Seluruh tubuh itu dikoordinasikan oleh organ komando yang sangat hebat fungsinya, yakni Otak. Organ berbentuk bubur di dalam kepala ini mengomando tubuh lewat mekanisme sarafi dan hormonal, sehingga tubuh kita menjadi satu kesatuan koordinasi yang luar biasa canggihnya.
Otak juga dibantu 6 macam ’radar’ dalam bentuk alat pengindera, yakni: mata, telinga, hidung, perasa, peraba, dan hati. Semua itu, secara global sudah kita bahas serba sedikit, agar memperoleh pemetaan masalahnya secara holistik. Dan, semua yang telah kita bahas itu ternyata baru 'badan kasar' yang berada di lapis pertama eksistensi manusia.
Badan kasar manusia adalah ’alat’ atau fasilitas yang berfungsi untuk menjembatani alam dunia dengan sosok yang lebih halus di dalamnya. Itulah yang dikenal sebagai jiwa. Atau bioplasma, dalam istilah kedokteran jiwa. Inilah sosok halus badan manusia yang tersusun dari energi. Ada sejumlah lapisan energi di dalam tubuh manusia yang membentuk badan lebih halus, lebih halus, dan semakin halus, sampai menuju ke inti eksistensi seorang manusia.
Entah kebetulan atau tidak, banyak kalangan spiritual ~ yang Islam maupun non ~ memiliki persepsi yang mirip satu sama lain. Bahwa tubuh manusia ini terdiri dari 7 lapisan badan. Mulai dari yang kasar sampai yang terhalus. Sebutannya berbeda-beda, tetapi mengacu ke sesuatu yang kurang lebih sama. Ada yang menyebutnya: nafs, qalb, ruh, sirr, sirr as sirr, khafi dan akhfa. Ada pula yang meminjam istilah-istilah dalam al Qur’an dengan menyebut urutan: Jism, Nafs, Aql, Qalb, Fuad, Lubb, dan Ruh.
Di kalangan meditasi juga dikenal istilah: cakra dasar, cakra seks, cakra solar pleksus, cakra jantung, cakra tenggorok, cakra mata ketiga, dan cakra mahkota. Dan beberapa lagi istilah yang digunakan oleh beberapa kalangan yang berbeda, tetapi uniknya mengacu ke jumlah 'tujuh', mirip dengan jumlah langit yang diceritakan al Qur’an. Saya sendiri mencoba melihat realitas lapisan tubuh manusia ini dari sisi pemahaman yang berbeda, yakni dalam sudut pandang sains yang menjadi ’kacamata’ pendekatan Tasawuf Modern.
Selain badan kasar yang berupa material, badan manusia memiliki lapisan yang lebih halus. Yakni yang kita kenal sebagai jiwa. Sifatnya energial. Dalam sains dipahami, bahwa energi adalah suatu kuantitas dan kualitas yang terdapat pada materi secara inheren. Jika di situ ada materi, maka di situ pula ada energi.
Kualitas dan besarnya energi, seiring dengan kualitas susunan materinya. Sebagai contoh, sebuah kayu memiliki energi yang tersimpan di dalam kayu itu. Sepotong besi juga memiliki energi di dalamnya. Tetapi, kualitas energi kayu dan besi berbeda dikarenakan susunan atom-atom dan molekulnya berbeda. Tentu saja besi lebih kuat dari pada kayu, karena struktur penyusunnya yang lebih bagus.
Demikian pula dengan tubuh manusia. Setiap kita memiliki susunan tubuh yang berbeda, sehingga kualitas jiwa kita juga berbeda. Semakin hebat struktur tubuhnya, terutama otak, maka semakin hebat pula kualitas jiwanya. Semua manusia memiliki jiwa berupa ’badan energial’ itu di dalam badan kasarnya.
Susunannya sama dengan badan kasarnya, tetapi dalam bentuk energial. Dia punya otak energial, punya jantung energial, punya mata energial, telinga energial, dan anggota badan energial lainnya. Jika badan kasarnya mengalami kerusakan, maka badan energialnya juga mengalami kerusakan. Jika otak materialnya mengalami kerusakan, dengan sendirinya, otak energialnya juga mengalami kerusakan. Itulah sebabnya, kenapa orang gila mengalami kerusakan otak fisik, sekaligus psikologisnya.
Secara fisika dan sufistik, kita lantas bisa menggambarkan lapisan badan-badan manusia itu mengikuti tingkat kehalusan energinya. Lapisan pertamanya adalah material dengan susunan fisikal yang sudah kita bahas. Lapisan kedua, adalah jiwa energial yang paling rendah kualitasnya, yakni setingkat getaran mekanik.
Lapisan ketiga, yang lebih halus, adalah setingkat energi elektromagnetik yang bersumber dari getaran atomik. Lapisan keempat, lebih halus lagi, setara dengan energi inti atom, atau yang kita kenal sebagai energi nuklir. Lapisan kelima adalah energi yang bersumber dari partikel di tingkat kwantum. Lapisan ke enam adalah energi yang muncul dari partikel penyusun paling dasar, yang kini sedang diteliti . Dan, lapisan yang ketujuh adalah Ruh, yang berisi sifat-sifat ketuhanan.
Secara energial, jiwa itu semakin ke dalam semakin tinggi kualitasnya. Dan semakin besar kekuatannya. Energi mekanik kalah besar dibandingkan energi elektromagnetik. Tapi, energi elektromagnetik kalah hebat dibandingkan energi nuklir. Dan energi nuklir, kalah dahsyat dibandingkan energi kuantum.
Semakin ke dalam semakin halus, tetapi semakin dahsyat. Eksistensi materialnya semakin hilang dan bergeser ke eksistensi energial. Jika energi mekanik masih sangat material, maka yang namanya 'kuantum' itu eksistensi materialnya sudah bisa dikatakan hampir lenyap. Ia disebut sebagai ‘pilinan energi’.
Kalau ini kita paralelkan dengan tingkat-tingkat langit secara inner-cosmos ~ dalam jiwa setiap manusia ~ maka kita akan memperoleh tingkatan demikian: materi berada di langit pertama, getaran energi mekanik di langit kedua. Getaran energi elektromagnetik berada di langit ke-3. Getaran energi nuklir ada di langit ke-4. Dan getaran energi kuantum berada di langit ke-5.
Di balik energi kuantum ini masih ada satu level energi lagi, yaitu getaran partikel yang disebut sebagai ‘god-particle’ dan kini sedang diselidiki keberadaannya dengan menggunakan mesin pemecah partikel - Large Hadron Collider (LHC). Mesin raksasa dengan panjang sekitar 27 km itu diinstal di perbatasan negara Prancis dan Swiss. Partikel yang sedang diteliti itu diperkirakan adalah partikel yang menjadi asal muasal penyusun alam semesta. Lebih tua dari energi kuantum yang sekarang dianggap sebagai penyusun segala jenis benda.
Jika partikel itu diketemukan, maka partikel kuno itu akan menjadi getaran paling halus di level energi penyusun alam semesta. Partikel itu kini sudah semakin jelas 'sosok'nya, meskipun masih butuh waktu untuk mengungkapnya secara lebih gamblang. Maka, inilah getaran energi paling halus yang sejajar dengan langit ke-6.
Sedangkan langit ke-7 sudah bukan berada di level-level energi itu, melainkan berada di dimensi Ruh. Apakah Ruh? Dia bukan energi, melainkan sifat-sifat ketuhanan. Substansi dasarnya tidak diketahui, karena itu Allah memberikan semacam warning ketika bicara tentang Ruh: tidaklah kalian diberi ilmunya, kecuali cuma sedikit...!
QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan SEDIKIT".
1. Bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang luar biasa, sehingga disebut sebagai ciptaan terbaik alias ahsanu taqwim. Selain itu, dalam berbagai ayat Qur’an kita juga bisa menemui firman-firman Allah yang mengangkat manusia dalam derajat sedemikian tingginya. Sehingga, malaikat dan iblis pun diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Meskipun, kemudian Iblis menolak, dan hanya malaikat yang bersujud.
2. Manusia diciptakan mengikuti fitrah Allah, QS. 30: 30, dibentuk dengan badan & jiwa yang ditiupi ruh ilahiah, sehingga menjadi hidup. Badan manusia adalah ’benda mati’ yang tersusun dari zat-zat biokimiawi, dengan struktur dan desain luar biasa canggih. Yang, sampai sekarang masih menyisakan misteri dahsyat bagi ilmu pengetahuan modern. Bahkan, saya yakin, sampai berakhirnya dunia sekalipun.
Jiwa manusia adalah badan halus yang berada di balik badan fisik. Ia tersusun dari energi, yang dalam ilmu kedokteran jiwa disebut sebagai bioplasma. Badan energi kita itu memiliki bentuk seperti badan materi yang meliputinya. Ia punya tangan energial, punya kaki energial, punya kepala energial, otak energial, mata, telinga, hidung, dan seluruh organ energial. Karena itu, jika organ materialnya mengalami kerusakan, jiwanya juga akan mengalami gangguan energial. Terutama, adalah jika otak materialnya mengalami kerusakan, maka otak energialnya pun terganggu. Dalam ilmu kedokteran disebut sebagai mengalami penyakit jiwa.
Selain badan dan jiwa, manusia memiliki ruh. Yakni, ’daya hidup’ yang berasal dari Sang Pencipta. Inilah sifat-sifat Tuhan yang diresonansikan kepada badan dan jiwa saat penciptaan di dalam rahim seorang ibu. Karena ditiupi sebagian ruh Allah, maka badan dan jiwa yang tadinya mati menjadi hidup. Teresonansi oleh Sifat Maha Hidup Allah. Selain itu, badan dan jiwa itu menjadi memiliki kehendak, karena teresonansi oleh sifat Allah yang Maha Berkehendak. Juga menjadi terimbas sifat-sifat lainnya seperti mendengar, melihat, berkata-kata, berkreasi, berbuat, dan lain sebagainya, yang merupakan sifat-sifat Allah.
3. Jiwa menempati posisi sentral dalam kehidupan seorang manusia. Dialah yang bertanggungjawab atas segala perbuatan manusia. Dia juga yang bisa merasakan suka, duka, sedih, bahagia, marah, kecewa, dendam, benci, cinta, ikhlas, sabar, ingkar dan berserah diri. Bukan badan, dan bukan ruh. Sebab, badan hanya ’alat’ saja bagi jiwa. Sedangkan ruh hanya ’daya hidup’ yang ditularkan Allah kepada manusia.
Maka, berpuluh ayat di dalam al Qur’an menganjurkan kita untuk meningkatkan kualitas jiwa. Kutubnya ada dua, yaitu badan dan ruh. Jiwa bakal menuju kualitas terendahnya ketika terseret kepada hal-hal yang bersifat materialistik ’badaniyah’ semata, sehingga lupa kepada nilai-nilai ketuhanan yang ada di dalam ruhnya. Kehidupannya hanya mengurusi kebutuhan dan kesenangan badaniyah belaka. Tiap hari yang dipikirkan cuma makan, minum, pakaian, harta benda, jabatan, seksualitas, popularitas, dan sebagainya yang bertumpu pada kepentingan ego semata. Orang yang demikian bakal terjebak pada keserakahan yang melalaikannya terhadap tujuan dan misi hidup yang lebih penting sebagai makhluk mulia.
Sebaliknya, ia akan mencapai derajat tertinggi jika memanfaatkan seluruh potensinya untuk melakukan hal-hal yang menuju nilai-nilai ruhiyah. Nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan oleh agama. Yakni, yang terangkum dalam mekanisme hablum minallah dan hablum minannas untuk menuju visi tatanan hidup yang rahmatan lil alamin, bermanfaat buat seluruh makhluk Allah.
4. Di dalam al Qur’an, manusia diajari untuk meningkatkan kualitas jiwanya seiring dengan akal kecerdasan. Dimana ini sangat terkait dengan fungsi otak manusia beserta segala mekanismenya. Meningkatkan kemampuan otak, sama saja dengan meningkatkan kualitas jiwa. Karena itu, umat Islam harus melatih fungsi otaknya untuk mencapai jiwa berkualitas tinggi.
Mekanisme otak itu melibatkan dua fungsi dasar yang membentuk akal, yakni kecerdasan intelektual yang bekerja secara ilmiah lewat rasio, logika dan analisa, serta kecerdasan emosional yang bekerja pada sistem limbik dengan memanfaatkan Hipocampus sebagai memori rasional dan Amygdala sebagai memori emosional. Seorang manusia harus melatih diri agar fungsi Hipocampus dan Amygdalanya bekerja secara seimbang, sehingga menghasilkan ’emosi yang rasional’ atau ’rasio yang emosional’. Sebab, di sistem limbik inilah terjadinya pertarungan antara kecerdasan rasional dan emosional. Dan seringkali rasionalitas kalah oleh emosi yang cenderung tanpa perhitungan.
5. Mekanisme sistem limbik tecermin pada getaran jantung. Jika sistem limbik sedang dalam kondisi ’emosi yang tidak rasional’, maka jantung akan bergetar tidak stabil, sehingga mengalami disharmoni dengan frekuensi otak. Ini menyebabkan ketidakseimbangan di seluruh tubuh. Baik yang bekerja secara sarafi maupun hormonal. Sebaliknya, jika sistem limbik sedang dalam keadaan ’emosi yang rasional’, maka jantung akan bergetar lembut dan menghasilkan frekuensi yang sinkron dengan otak. Saat itu, seluruh tubuh akan ikut harmonis.
Maka, ’kelembutan’ getaran jantung bisa dijadikan tolok ukur bagi optimal tidaknya kerja sistem limbik di dalam otak. Sekaligus, menunjukkan keseimbangan kondisi kejiwaan seseorang. Disinilah terjadi sinkronisasi antara fungsi badan dan fungsi jiwa. Badannya sehat, jiwanya tenteram. Sebaliknya, jika tidak sinkron, akan memunculkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut sebagai psychosomatis. Yaitu, penyakit tubuh yang disebabkan oleh jiwa yang sakit.
Selain itu, kini juga berkembang ilmu yang disebut Psycho-neuro-imunology. Yaitu, ilmu yang menjelaskan eratnya hubungan antara fungsi jiwa, fungsi sarafi, dan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ternyata orang-orang yang menata hidupnya secara religius menuju kepada nilai-nilai spiritual memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dan hidup lebih sehat sampai ajal datang menjemputnya.
6. Dalam ranah spiritual, jiwa digambarkan memiliki ’arsy atau tingkatan energi yang semakin halus untuk mencapai kualitas tertingginya. Dimulai dari ’arsy material berupa pengalaman fisikal sehari-hari, dilanjutkan ke ’arsy energial yang memunculkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang khas, sampai ’arsy ruhiyah yang memunculkan pengalaman spiritual tertinggi dalam hubungannya dengan Allah.
Pencapaian ’arsy yang lebih tinggi itu terjadi seiring dengan penghalusan sifat alias akhlaknya. Semakin tinggi akhlaknya, semaki tinggi pula perjalanan spiritualnya. Kenapa bisa demikan? Karena, sesungguhnya perjalanan spiritual adalah sebuah perjalanan menuju Sifat-Sifat Allah, yang telah diimbaskan dalam bentuk ruh ke dalam diri manusia.
Maka, semakin tinggi tingkat spiritual seorang hamba, akan terlihat dari semakin tingginya akhlak yang dijalaninya. Akhlak adalah ’emosi rasional’ yang sudah tertanam sebagai sifat dan kebiasaan. Itu pula yang ditunjukkan oleh para Nabi. Semakin tinggi akhlaknya, semakin tinggi tingkat spiritualnya, dan semakin dekat ia dengan Sang Maha Penyantun, Allah Azza wajalla...
Akhlak mulia adalah sifat-sifat ilahiah yang merembes ke dalam jiwa seorang manusia bersumber dari sifat-sifat Allah di dalam ruhnya. Resonansi itu terjadi disebabkan adanya sinkronisasi getaran antara badan, jiwa dan ruh. Semakin sinkron semakin harmonilah frekuensinya, dan secara energial tergambar di poros jantung-otak yang semakin lembut.
7. Maka, secara sederhana, proses pencapaian tingkat spiritual yang tinggi bisa dilakukan dengan cara menata akhlak. Melatih kejujuran, melatih kesabaran, melatih keikhlasan, melatih ketaatan, melatih sifat pengorbanan, dan melatih sifat berserah diri hanya kepada Allah. Jika ini sukses, maka dengan sendirinya, Arsy jiwa kita akan naik tingkat mendekati sifat-sifat ilahiah yang ada di dalam ruh kita sendiri.Apa yang kita lakukan sehari-hari adalah cerminan dari sifat-sifat ilahiah tersebut...!
Bagaimana prakteknya? Cobalah mulai melakukan dengan melatih kejujuran. Inilah ’akhlak dasar’ yang dipersyaratkan oleh Rasulullah kepada seseorang yang ingin menjalankan agama Islam secara substansial. Cobalah menjadi orang dengan kepribadian ’terbuka’. Baik terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap Allah. Cobalah berkata tanpa kepura-puraan.
Apa yang ada di mulut, sinkronkan dengan yang ada di hati (pikiran dan perasaan), sinkron dengan perbuatan sehari-hari. Jangan mengatakan sesuatu yang tidak sama dengan yang ada di hati. Lebih-lebih, jangan berbuat sesuatu yang berbeda dengan bisikan hati. Jika Anda bisa melakukan ini selama setahun saja, insya Allah Anda sudah akan ’naik kelas’ ke tingkat yang lebih tinggi.
Setelah itu, cobalah untuk mengendalikan amarah. Menjadi orang yang ’sulit marah’, tapi gampang memaafkan. Karena, ini menjadi tanda-tanda orang yang bertakwa, QS. 3: 133-135. Bukan ’menahan’ amarah, melainkan ’mengendalikan’ amarah. Seseorang bisa mengendalikan amarah, hanya jika ia mampu menata sistem limbiknya menjadi bersifat ’emosi yang rasional’. Jika tidak, maka yang ada hanyalah ’menahan’ amarah, sehingga bakal meledak di waktu yang lain saja.
Jika Anda mampu menajalaninya setahun saja, maka Anda bisa melanjutkan dengan melatih sifat ikhlas. Yaitu, berkorban sebanyak-banyaknya untuk kepentingan orang lain. Merendahkan ego, meninggikan kemaslahatan bersama.
Berikutnya, jika sudah semakin ikhlas, Anda bisa melatih sifat sabar. Yakni, tidak ’tergesa-gesa’ dalam mencapai suatu tujuan, serta ’tahan’ menghadapi ujian. Yang ini, juga cukup setahun saja secara terus menerus alias istiqomah. Dan setelah itu yang terakhir adalah latihan untuk taat kepada Allah.
Bukan ketaatan yang ditaat-taatkan, melainkan ketaatan yang penuh ‘kejujuran’, ‘keikhlasan’ dalam pengorbanan, dan ‘kesabaran’ dalam menjalankan segala perintah Allah. Jika Anda bisa melakukan ini ‘sinkron’ antara bisikan ruh, jiwa, dan perbuatan , maka insya Allah, Anda sudah berada di level tertinggi di dalam Islam, yaitu: berserah diri hanya kepada Allah semata. Anda telah menjadi muslim yang paripurna. Dan bakal menjadi kesayangan Allah, sebagaimana Nabi ibrahim sang khalilullah..!
QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah orang yang paling baik agamanya daripada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar