Bima adalah tokoh yang memang sejak lahir memilki potensi untuk menjadi manusia sempurna, namun potensi itu tetap hanya akan menjadi potensi tanpa adanya upaya dari Bima sendiri. Bima senantiasa mentauladani sikap hidup sabar. Kesabaran Bima teruji dalam lakon Bima mencari Air kehidupan. Lakon itu membuktikan bahwa Bima bukanlah generasi mie instan. Saat ini kita sebagai generasi muda terlalu banyak makan mie instan, saatnya kita memberdayakan diri, salah satunya dengan mentauladani Bima guna membangkitkan Ruh Kejayaan Nusantara. Berikut ini beberapa simbol ketauladanan Bima yang dikenakan sebagai busana oleh Bima.
Sumping Pundhak Sinumpet : yang artinya Bima selalu menguasai ilmu kesempurnaan hidup syariat, tarikat, hakikat, makrifat, tetapi tidak pernah menyombongkan diri, dia sering pura-pura bodoh. Hal itu karena di dalam diri Bima telah tumbuh tanaman cinta Mohabbat. Mohabbat merupakan buah dari syariat, tarikat, hakitat dan marifat.
Meski telah menemukan pencerahan Bima tidak menganggap dirinya sebagai seorang Spiritualis hebat yang sibuk mengatai-ngatai mereka yang masih dalam perjalanan yang konon khabarnya ada di cakra tengah kebawah adalah spiritual palsu. Bima juga tidak menyombongkan diri dengan mempertontonkan cakra mata ketiganya, tidak!, Bima tetap rendah diri, terkadang Bima berpura-pura bodoh.
Pupuk Mas Rineka Jarot Asem : yang artinya Bima mempunyai watak budi pekerti yang luhur dengan selalu mengasah kebenaran dan pengetahuannya.
Think and Re-Thingking itu lah Bima, Bima selalu mengeplorasi, selalu tumbuh tidak menutup diri. Bima senantiasa siap belajar segala sesuatu, syarat agar manusia dapat terus belajar adalah kerendahan diri. Bagaimana jika diri sudah merasa paling benar dan paling tahu dapat belajar ?.
Saat ini ada sebagian kecil yang ingin menutup pintu ijtihad dengan mengkopi apa-apa yang ada di jaman Rasul, dengarkanlah bung Karno yang sudah melihat bahwa uapaya-upaya untuk mematikan pintu itijhat akan berdampak kemunduruan dalam segala bidang termasuk keagamaan dan spiritualitas.
“Siapa yang mukannya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan mengenggam tasbih yang selalu berputar, dia, dialah yang kita namakan Islam.
Astagfirullah! Inikah Islam ? Inikah Agama Allah ? Yang menghafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan electriciteit, mengkafirkan kemoderenan dank e up-to-date-an?. Yang mau tinggal dimusium saja, tinggal kuno saja, tinggal terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja seperti jaman Nabi dan Khalifahnya?”
Bima tidak pernah menutup pintu itijhat, Bima selalu beritijhat karena Bima menyadari bahwa segala sesuatu sedang bergerak dan Bima harus ikut bergerak termasuk pengetahuan dan kesadarannya. Oleh karenanya Bima tetap hidup hingga saat ini, karena Bima adalah semangat pemuda-pemudi Indonesia.
Gelang Minangkara Cinandhi Rengga Endhek Ngarep Dhuwur Mburi : yang artinya senantiasa waspada terhadap dirinya sebagai hamba yang harus pasrah dan berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan yang Tunggal, bukan konsep tuhan yang terpecah-pecah. Melainkan Tuhan Yang Tunggal, banyaknya agama sedang menuju ke Tuhan yang Tunggal ini. Bima sudah tidak mengkotak-kotakan manusia kedalam golongan cakra tengah kebawah atau cakra mata ketiga keatas. Bima merasakan kesatuan dari setiap cakra, bahwasanya setiap cakra adalah seperti detak jarum jam yang saling berhubungan.
Bahwasanya setiap agama, adalah jalan adalah aliran sungai kehidupan yang sedang menuju samudera Illahi Yang Maha Esa dan Maha Tunggal.
“Nandur pari jero”
adalah suatu sikap yang sudah seharusnya mengakar dalam pribadi generasi muda Indonesia. Maksud dari ungkapan itu adalah menanam padi yang dalam dan lama waktunya membutuhkan ketelatenan, kesabaran, waktu dan biaya yang akhirnya menghasilkan padi yang lezat rasanya. Sikap mental seperti itulah yang harusnya menjadi akar bagi Insan Indonesia.
***********************************************************************************************************************************************************
Gandamana mengeluh lirih. Pusaka pancanaka yang berujud kuku dengan lembut telah melesak di dadanya. Benarlah apa yang diduga sebelumnya bahwa seorang berpakaian brahmana yang menjadi lawannya adalah Bima, salah seorang trah Bayu yang mempunyai pusaka andalan pancanaka. Gandamana telah terluka, namun tidak ada rasa sakit di tubuhnya. Ia masih mencoba untuk berdiri gagah dan tegar, namun usahanya tidak berhasil bahkan badannya yang tegap mulai menjadi lunglai. Pandangannya menjadi redup dan kabur. Ia merangkul Bima agar tidak jatuh terjerembab. Bima menyambutnya dengan keharuan. Ada banyak kesamaan diantara keduanya. Bima dan Gandamana adalah orang yang berwatak jujur, prasaja sederhana apa adanya dan mempunyai ketulusan dalam menjalankan tugas.
Oleh karena pengabdiannya yang tulus, Gandamana tidak merasa sakit di hatinya juga di sakit di tubuhnya ketika Kuku Bima melesak di dadanya dalam perang tanding sayembara. Ketulusan hati Gandamana itulah yang membuat cara memandang sebuah kematian pada saat menjalankan tugas negara berbeda dengan cara padang pada umumnya. Bagi Gandamana mati dalam tugas di medan laga adalah indah dan mulia. Indah karena ia telah menyelesaiakan tugasnya dengan baik dan sempurna. Mulia karena ia gugur pada saat menjalankan tugas. Kematian seperti yang dialami Gandamana juga dirasa merupakan pembebasan dari kegetiran yang selama ini menerpa hidup Gandamana, berkaitan dengan jabatan Patih.
Demikian pulalah Bima. dengan tulus ia menjalani tugas yang diberikan oleh eyang Begawan Abiyasa untuk mengikuti sayembara di Pancalaradya demi kakaknya Puntadewa. Jika sayembara dalam hal memanah yang ditugaskan untuk maju adalah Arjuna. Sedangkan jika sayembara berupa perang tanding maka Bima lah yang ditugaskan untuk mengikuti sayembara. Maka ketika sayembara yang semula diadakan adalah sayembara memanah dan kemudian diteruskan dengan sayembara perang tanding maka Bima lah yang bertugas naik ke panggung sayembara berhadapan melawan Gandamana eyangnya.
Sebagai seorang ksatria dalam arena perang tanding menang adalah merupakan pilihan. Dan Bima berhasil memenangkannya, dengan melesakkan pancanaka di dada Gandamana. Tidak ada sakit hati dan kebencian di sana. Yang terjadi adalah ketulusan dalam menjalanan tugas. Walaupun pada akhirnya keduanya mendapatkan hasil yang berbeda, Gandamana dan Bima telah menyelesaikan tugasnya dengan tuntas. Keduanya adalah pahlawan. Bima menjadi pahlawan dikarenakan telah memenangkan peperangan. Sedangkan Gandamana menjadi pahlawan karena ia gugur dalam tugasnya di medan perang.
Bima mendekap erat tubuh Gandamana yang mulai dingin dan lemas. Dengan tenaga yang masih tersisa Gandamana mencoba menyambut hangat dekapan Bima. Bima meneteskan air mata. Dengan terbata-bata Bima berkata “maafkan aku Eyang, maafkan.” Gandamana mengangguk-angguk. Tangannya bergetar lemah membelai kepala Bima untuk yang terakhir kali. Bibirnya mengulum senyum tipis tanda kebanggaan atas sebuah pribadi yang jujur, berani, teguh, tangguh dan tulus yang dimiliki oleh Bima cucunya.
Berada dalam pelukan Bima, Gandamana merasa tenang dan tentram untuk mengakhiri pengabdiannya, bahkan untuk mengakhiri hidupnya. Bima memperkokoh posisi kakinya agar kuat menyangga tubuh Gandamana yang semakin berat. Kesadaran Gandamana berangsur-angsur surut seiring dengan melemahnya detak jantung dan melambatnya aliran darah. Namun pada sisa kesadaran yang paling akhir Gandamana berniat melepaskan dua aji andalannya yaitu wungkal bener dan bandung bandawasa dan mewariskannya kepada Bima. Gandamana percaya bahwa Bima dapat menggunakan kedua ilmu sakti tersebut untuk memayu-hayuning bawana.
Panggung sayembara hening. Demikian pula lautan manusia yang berada di alun-alun Pancalaradya. Semuanya diam. Bahkan angin pun berhenti bertiup untuk sesaat. Semua memberi penghormatan terakhir kepada Gandamana sang pahlawan Pancalaradya.
Bersamaan berhentinya nafas Gandamana, matanya menutup untuk selamanya. Tidak ada tugas lagi yang diembannya. Ia beritirahat dalam damai
Ana tangis
rayung-rayung
tangise wong wedi mati
gedhongana
kuncenana
wong mati mangsa wurunga.
Ada tangis
mengharukan
tangisnya orang yang takut mati
walaupun di masukan di gedung
dan dikunci
orang mati tidak mungkin dibatalkan
Gandamana telah mati. Gugur di medan laga. Namun semangat pengabdiannya, keberanian dan kejujuran serta ketulusan hatinya juga kesaktiannya telah diwarisi oleh Bima orang nomor dua dari Pandawa Lima, anak Prabu Panndudewanata.
***************************************************************************************************************************************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar