20 Agustus 2011

RUH VS NAFS (1)


Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.


AKAL

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).

Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
Manusia telah diciptakan oleh Allah SWT tersusun dari dua unsur, unsur ardli dan unsur samawi. Unsur ardli membentuk jasad sebagai bentuk fisik manusia yang terbuat dari saripati tanah. Seandainya kita membuat penelitian dengan cara mengambil segenggam tanah kemudian diuraikan secara kimiawi, kemudian kitapunmengambil sepotong tubuh manusia yang diursaikan juga secara kimiawi, maka unsur-unsur yang ada adalah tubuh manusia tersusun dari unsur-unsur yang ada pada tanah.

Para sarjana kimiawi menyebutkan beberapa unsur yang ada pada tubuh manusia itu diantaranya : karbon yang cukup membuat 9000 buah tangkai pena, fosfor yang cukup membuat 2000 kepala tangkai korek api, serta zat-zat lain seperti, besi, kapur, posatium, garam, magnesium, gula dan belerang. Sedangkan pada unsur samawi. Allah SWT telah meniupkan ruh kepada jasad yang sudah dibentuk-Nya, Allah SWT berifirman ddalam Surat Sajdah ayat 9 : "Kemudian Dia menyempurnakan ciptaan-Nya , setelah ditupkannya ruh kedalamnya dan setelah itu Allah menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati".

Dengan ruh inilah Allah SWT telah memuliakan manusia, karena dengan unsur inilah manusia dapat hidup, bisa mengerti, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, dan sebagainya. Ayat diataspunmengisyaratkan kepada kita, telinga bisa berfungsi sebagai pendengaran, matra bisa berfungsi sebagai penglihatan dan hati bisa berfungsi sebagai alat untuk memahami apabila ruhitu telah ditiupkanoleh Allah.

Seandainya manusia mati,ruhnya dicabut oleh Allah SWT, maka mata, telinga dan hati tidak ada artinya, manusia tidak lagi dapat bergerak, merasakan sesuatu, berkehendak, berfikir, memililih, mencintai dan sebagainya.

Begitu pentingnya ruh bagi jasad kita, dan begitu berpengaruhnya terhadap sikap perbuatan kita, pantas saja kalau ada sebagaian dari manusia ingin mengunghkapkan misteri ruh ini. Tepatnya di tahun 1882 dibentuklah Persatuan PembahasanRuh di Inggris. Mereka bekerja keras dengan penuh ketelitian, ketekunan dan penuh kesungguhan mengatakan penelitian-penelitian untuk mengungkapkan misteri ini , akan tetapi berakhir dengan ketidakpuasan. Pantas saja dalamAl-Qur’an Surat Al-Isra ayat 85 Allah SWT menegaskan bahwa ruh itu urusan-Ku dan menuasia tidak diberikan ilmu tentangnya kecuali sedikit saja.

Ayat ini menurut riwayat Bukhari yang bersumber dari ibnu Mas’ud ternyata berkaitan dengan segolongan dari kaum Yahudi yang ingin tahu tentang ruh. Ketika itu Rasulullah sedang berjalan-jalan di Madinah beserta Ibnu Mas’ud, seorang dari mereka berkata: "Mari kita bertanya kepadanya". Setelah berjumpza , mereka bertanya : " Cobalah terangkan kepada kami tentang ruh", Rasulullah terdiam sejenak, terlihat beliau sedang mendapatkan wahyu dari Allah. Kemudian beliau bersabda: Ar-Ruh min amri Rabbi wamaa utitum minal ilmi illa qalila", ruh ituurusan Allah dan Dia hanya sedikit memberikan ilmunya kepada kita.

Berdasarkan penjelasan Al-Qur’an, ternyata ruh dan jiwa itu mempunyai pengertian yang sama. Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat Az Zumar ayat 42 : "Allah yang mengambil jiwa (ruh) manusia ketika wafatnya dan ketika tidurnya sebelum wafat, lalu ditahannya jiwa (ruh) yang sudah wafat, serta dikembalikan jiwa (ruh) yang lain ( yang sedang tidur) sampai waktu yang ditentukan". Dan Al Qur’an surat Al-An’am ayat93 : "Alangkah dasyatnya apabila engkau melihat orang-orang yang menganiaya itu sedang merasakan tekanan sakratul maut dan malaikat telah mengembangkan tangannya sambil berkata : Lepaskanlah jiwamu (ruhmu)".

Kata nafs yang bentuk jama’nya anfus menurut dua ayat diatas sama pengertiannya dengan ruh, jiwa, sukma atau nyawa. Al-Qur’an mengungkapkan lebih jauh lagi tentang sifat-sifat dari jiwa ini, ada yang disebut nafs amarah bissu’ ( jiwa yang selalu mengajak kepada keburuhkan), nafs lawwamah ( jiwa yang suka mencela dirinya sendiri) dan nafs muthmainnah ( Jiwa yang tenang). Nafs ini membentuk sifat dan tabiat manusia. Ada manusia yang tabiatnya buruk ( berakhlak tercela, berbudi kasar dll sb), hal ini disebabkan oleh nafsu yang telah mengalahkan kesucian yang murni dan masih asli tetapi ada juga orang yang berbudi luhur ( berakhlak mulia, berbuat kebenaran, keadilan, keindahan dan kesempurnaan perilaku dlsb), hal ini karena ia telahmampu mengekang syahwatnya serta mengatasi segala macam kekurangan dankerendahan jiwanya dan iapun sudah sampai pada tingkat yang luhur dalam persoalan penjagaan jiwanya, ia dapat memerangi hawa nafsunya dan bersih dari pengaruh itu.

Nafsu pada tabiat taslinya selalu mengajak kepada keburukan, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'’n surat yusuf ayat 53 : "Sesungguhnya nafsu itu suka sekali menyuruh kepada keburukan".

Akan tetapi nafsu itupun dapat diarahkan untuk berbuat kebaikan dan mencegah keburukan apabila nafsu itu diberi pelajaran dan pengajaran yang baik serta dididik dengan keagamaan serta diajak untuk meneliti berbagai percontohan dan suri teladan yang baik yang ada di sekitarnya. Pantas saja kalau Allah SWT berfirman: " Dan jiwa dan apa yang oleh Allah dijadikan untuk menyempurnakannya. Maka Ia mengilhamkan kepadanya yang salah dan yang taqwa (benar), maka sungguh beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya dan sungguh merugilah yang mengotori jiwanya". (QS.As-Syams : 7-10)

Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa dalam penciptaannya (jiwa) itu Allah telah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketaqwaan kepadanya. Beruntunglah bagi orang yang mau menjaga dan membina untuk kesucian jiwanya dan rugilah orang yang tidak mau menjaga dan membina jiwanya, membiarkan dan mengotorinya. Jalan untuk menjaga dan membina jiwa banyak tantangan dan godaan, sedangkan jalan untuk mengotorinyaq mudah dan tanpa perjuangan.

Menjaga dan membina jiwa hanya dapat dengan tunduk kepada semua aturan Allah, beribadah kepada-Nya, selalu ingat dan bertaqarrub kepada-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan itulah jiwa terbina membentuk pribadi yang teguh memegang kebenaran dan keadilan untuk mencapai kesempurnaan hidup, kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak, Insya Allah. Jiwa inilah yang akan mencapai ketenangan dan ketentraman dan jiwa inilah yang akan mendapatkan penghormatan yang tinggi dan agung mendapatkan panggilan yang penuh rindu dan kasih sayang-Nya :"Wahai jiwa yang penuh ketenangan, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh kesenangan dankeridhlaan-Ku, masuklah menjadi hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku"

Tidak ada komentar: