Kemashuran keris Pajajaran, pamor Pajajaran atau “tangguh” Pajajaran, dapatlah kiranya untuk sementara kita ketahui dari empat sumber, walaupun mungkin tidak begitu sempurna
Â
• Yang pertama adalah relief candi yang menunjukkan berbagai bukti peralatan atau senjata.
• Yang kedua adalah peninggalan-peninggalan lama baik yang tersimpan di masyarakat, maupun di berbagai Museum.
• Sumber ketiga berupa Naskah Lama yang menyebut jenis dan namanya.
• Sumber keempat berupa berbagai catatan dan penelitian tentang hal tersebut.
Senjata tak dapat dipisahkan dari para Empu, dan pandai-pandai termashur yang namanya masih terus dikenang sampai sekarang. Beberapa Empu sakti disebut dalam berbagai Naskah
• Bagawan Empu Ramadi (Serat Manik Maya, I:45-47)
• Empu Brama Kedali id.
• Empu Somkahadi id.
Â
Empu Ramadi mempunyai “tungku pande, tempat menempa di angkasa”. Empu/pandai tersebut dikatakan membuat 15 senjata surga (id.I:46), yaitu:
Â
1. cakra          6. ale 11. trisula
Â
Dikisahkan bahwa di surga terjadi perang tanding dengan mempergunakan keris di antara Empu-Empu tersebut (id. I:52-53)
Sebutan berakhir dalam Serat Manik Maya adalah kudi yang dipakai Kyahi Tuwa untuk melawan binatang buas (babi hutan dan kera). Senjata kudi dikatakan sangat berguna dan efisien. (id. VI:23-25)
Sumber lain (Wirasoekadga, t.t:3,7-9) menyebut limabelas jenis (type) tangguh. Tangguh Pajajaran adalah yang tertua, dan jauh lebih tua daripada tangguh Majapahit. Dikemukakan oleh sumber yang sama pula bahwa pada tangguh-tangguh Pajajaran terdapat tujuh Empu, yaitu (1) Empu Ki Keleng, (2) Empu Ki Kuwung, (3) Empu Ki Loning, (4) Empu Ki Angga, (5) Empu ing Bagelen, (6) Empu Ki Sikir Dusun Tapan, dan (7) Empu Siyung Wanara, nalika taksih jumeneng Bupati Arya Banyakwide.
Â
Dari tujuh Empu sakti itu, hanya dua Empu kita ketahui hasil tempaan mereka :
Empu Keleng membuat keris Kyai Kopek (keris lurus, dapur Tilam Upih pamor Tambal) dari besi seperti batutulis.
Empu Kyai Manca hanya disebut dalam kitab, tetapi tidak diketahui nama keris buatannya.
Â
Dalam Cariosan Prabu Silihwangi kita memperoleh dua kali sebutan tentang keris, yang kedua-duanya dikatakan dipakai oleh Silihwangi yaitu
IX:9 sebelum berangkat dari Sindangkasih ke Singapura, keris yang dipakai oleh Silihwangi disebut dhuhung ginanja pitu; sedangkan
XXI:47 keris kepunyaan Silihwangi yang diambil Ambetkasih untuk dipakai bunuh diri bernama Kebo.
Â
Dalam pupuh ke VII Naskah Sang Nata Agung, (KBN no 545.Inv.EFEO-Bdg. no 2032, sebelum Prabu Silihwangi berangkat menuju ke Prabu Singguru untuk berunding, ia bersenjata keris pusaka karuhun Prabu Ciung Wanara (buatan warisan) yang diberi nama Kebo Teki. Prabu Singguru kemudian tewas ditusuk dengan keris sakti itu, yang akibatnya seluruh bala-tentara Tanjung Singguru menyerah kepada Prabu Silihwangi.
Dalam beberapa naskah-naskah Sunda dan Jawa ditemui pula senjata-senjata yang digunakan rakyat Pajajaran atau keturunan Raja-Raja Pajajaran.
Â
1 Keris Sakti
Dalam Naskah Wawacan Sumpena Kanagan (KBN no 221,IX:.25) disebut Keris Tunggal Naga kepunyaan Raden Supena pemberian kakeknya yaitu Embah Gurit Sagara. (Dalam sebuah Naskah lain yang berjudul sama (KBN no 361) keris itu bernama Panunggal Naga. Sedangkan dalam Naskah yang sama (KBN no 361 - keris Parung Kacawulung adalah keris kepunyaan Raden Kanagan pemberian kakeknya yaitu Raja Gurit Sagara).
Dalam naskah Wawacan Jaka Paringga (KBN no 439,III:8) - keris Setan Kuber kepunyaan raja Jaka Paringga (KBN 439,III:8).
Dalam naskah Babad Cerbon (Ms H.S. no 31,XVIII:31) disebut - keris Kalamungeng kepunyaan raden Sahid yang terbentuk dari penjelmaan Babakaur yang keluar dari rarangan Nyi Kidul Ratu Negara Kandiri. (Ms H.S. 31.XVIII:31).
Dalam naskah Babad Gebang (lalakon Jakatayu, KBN no 446 - keris Candrakirana keris kepunyaan Arya Gobang dipakai berperang tanding melawan raden Heulang Julun.
Dalam Wawacan Suryaningrat (tr.1): empat buah keris disebut: Keris Bantal Naga kepunyaan Ningrum Kusumah pemberian Seh Rukmin XIV:14-15. Keris Rohganda kepunyaan Ratu Jamawati yang digunakan sewaktu berperang tanding melawan Raden Suryaningrat : XLIII:20. Keris Candra kepunyaan Buriksana Yang digunakan sewaktu berperang tanding melawan Raden Darma-tmaja: XLIX:12. Keris Kilat Dewangga kepunyaan Suryakanta pemberian pendeta Rambut Geni.
Dalam naskah Wawacan Suryakanta, pupuh L:37 Keris Parsi Wanda kepunyaan raja Jumena ketika berperang tanding melawan Jaya Komara Dinangrit.
Dalam naskah wawacan Rangga Wulung, empat keris sakti disebut: Keris Bantal Naga kepunyaan raja Rangga Wulung, raja negara Buldansah (Wawacan Rangga Wulung). Keris Gagak Sakti kepunyaan Kala Rujita pemberian kakeknya yaitu Pendeta Yusuf. Keris Naga Sona kepunyaan Kala Rujita pemberian ibunya yaitu Dewi Puspitasari. Keris Rangga Cicing, adalah kepunyaan raja Made Pati ayahnya Kumudaningrum, raja dari negara Karandan. (KBN no 223).
Dalam Naskah Wawacan Abdullah terdapat dua sebutan keris: Keris Baraja Kusumah kepunyaan raden Baraja Sutia yang digunakan untuk membunuh musuhnya yaitu Ganjapuri (KBN no 427:LII:17). Keris Sang Gagak kepunyaan Raden Ahmad pemberian pendeta Seh Jagung (KBN.427.V:8).
Dalam wawacan Ahmad Muhammad disebut: Keris Si Gagak kepunyaan raja Gondani dan kepunyaan Dipati Tarung. (KBN. 400 Ph.).
Akhirnya dalam Naskah Wawacan Danumaya disebut Keris Gagak Karancang kepunyaan Raden Danumaya. (tr. 52.IX:12).
Â
Akhirnya berbagai jenis senjata kita ketahui dalam Ms: Dari peti sakti yang dibawa Ki Barid ke luar perkakas-perkakas seperti patik, dekol, ragaji, bakrik, arit, pacul, pelor emas, pelor waja, bandring, panah, gada, pedang tumbak, rimbas, baliung, congkrang, gobang dan kored (Jaka Paringga KBN.43 Di sini saya membatasi diri dengan sebutan nama pedang, golok, gada, badi dan cemeti.
Beberapa pedang sakti disebut, terutama dalam Wawacan (KBN.99)
• Pedang Mur’at, kepunyaan raden Panca Tandran yang berasal dari ekornya yang dicipta menjadi pedang oleh Dowa Brahma.
• Pedang emas, senjata kepunyaan Dewi Lasmaya pemberian orang tuanya yaitu Bagawan Mudali, Raja Jin yang memiliki tujuh gunung logam dan samudra.
• Pedang Tamsir, kepunyaan Panji Masang yang berasal dari ekornya karena dicipta menjadi pedang oleh Dewa Brahma.
• Pedang Dulpakari, kepunyaan raden Sayid Saman dalam Naskah Wawacan Bantal Jemur. ( KN.489).
Â
Â
2 Golok Sakti
• Golok bercabang, kepunyaan Somadullah pemberian Sanghiyang Neko dari Gunung Singkup yang dapat terbang dan bekerja sendiri. (Tr.HS.31 Babad Cirebon)
• Golok Sunda, yang disebut untuk mengajar orang Jawa (dalam Sejarah Melayu).
Â
3 Gada Sakti
• Gada besi Ratu Ponggang yang sangat sakti. (CPS.XVIII:25)
• Gada Kepet Duhung kepunyaan Arya Gambar Kanoman. (KBN.223. Wawacan Rangga Wulung).
• Gada Kepeng Malela kepunyaan raja Gondana. (KBN.400 Ph. Wawacan Ahmad Muhammad).
• Gada Sakti kepunyaan Ki Barid yang dapat terbang sendiri dan bekerja sendiri. (KN.438. Babad Bojonagara).
• Gada Baja kepunyaan Sunan Gordah raja dari negara Bojonagara. (KN. 438).
Â
4 Tameng Sakti
• Tameng Ubung Malela, kepunyaan raja Umbaran dari negara Buldansah, dan
• Tameng Kepeng Malela adalah tameng sakti kepunyaan Arya Buldansah raja Gambar Kanoman. (dalam Wawacan Rangga Wulung KBN.223).
Â
5 Badik Sakti
Disebut dalam Wawacan Suryaningrat.
Badik Gagak Pertula, kepunyaan raden Muhammad pemberian Seh Jagung.
Â
6 Cemeti Sakti
Cemeti besi putih, kepunyaan raden Sadat, patih negara Pulau Majeti. (dalam KBN.400. Wawacan Achmad Muhamad).
Â
Yang patut dicatat adalah bahwa dari sekian banyak senjata yang disebut dalam naskah, belum terdapat sebutan tentang salah satu senjata yang kemudian dijadikan lambang dan kebanggaan masyarakat Sunda dewasa ini yaitu kujang.
Â
Antara senjata Kujang dan senjata-senjata tajam lainnya.
Dari berbagai peninggalan tertulis, kiranya dapat kita ketahui alam pikiran masyarakat dan lingkungan hidupnya. Carita Purnawidjaya (Kropak 416) dengan ajaran Kunjarakarna dan Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian (Kropak no 630) sebagai contoh:
Intisari Carita Purnawijaya adalah menceritakan tentang betapa perilaku seseorang sepanjang umurnya di dunia ini, tidak akan terlepas dari perhitungan-perhitungan dan timbangan. Bahwa kehidupan di dunia ini bagaikan tanaman pesawahan yang hasilnya baik atau buruk, secara pasti akan dipanen pada kehidupan di alam lain. Bahwa atma-nya (rochnya) akan hidup abadi dan akan menang-gung semua akibatnya. Itulah intisari ajaran HUKUM DHARMA dari Buddha Wairocana, kiranya ahli pikir atau ahli agama. Nenek moyang Sunda telah memadukan antara inti-inti ajaran dengan para tokoh agamanya yaitu antara Yamadipati (Dewa neraka dalam Hindu) dengan Budha Wairocana. Contoh ini adalah sesuatu yang unik dan sangat mandiri sehingga cukup menyulitkan penelitian para sarjana Belanda, hanya karena sangat khas di Sunda.
Begitu pula halnya tentang pokok-pokok dasar ajaran keagamaan yang diuraikan dalam Sang Hiyang Siksa Kanda ng karesian (TBG.LVI:438), yang terangkum lengkap dalam 10 dasar sila kebaktian (dasa prebakti).
Â
Anak bakti di bapa,
Ewe bakti di laki,
hulun bakti di pantjadaan
sisa bakti di guru
orang tani bakti di dewata
wadon bakti di mantri
mantri bakti di mangkubumi
mangkubumi bakti di ratu
ratu bakti di dewata
dewata bakti di hiyang.
Â
Satu hal yang sangat menonjol dan khas, adalah pergeseran konsep KEKUASAAN dari para dewa (dewata) yang asalnya dari unsur tertinggi telah turun sedemikian rupa hampir sederajat barangkali dengan manusia biasa sehingga mereka harus berbakti pula kepada HIYANG. HIYANG dengan demikian digambarkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Penguasa jagat raya (mayapada dan marcapada). HIYANG digambarkan sebagai sesuatu yang abadi, yang ghaib dan lambang kesucian. Kewajiban untuk bersembah/berbakti kepada HIYANG itu sampai sekarang istilahnya masih tetap berlaku yaitu sembahyang. Pada jaman Pajajaran kata-kata HIYANG telah demikian melekat erat di kalangan masyarakatnya. Dari generasi ke generasi terus berlangsung beratus tahun. Jejak-jejak itu diabadikan dalam nama-nama tokoh raja sebagai personifikasi HIYANG di dunia (Lingga Hiyang; Sanghiyang Susuk Tunggal dll.). Dari naskah Cariosan Prabu Silihwangi serta naskah-naskah lainnyal nampak pula pergeseran nama HIYANG ini kepada beberapa tempat/daerah yang dianggap keramat. Nama-nama tempat itu sampai kini masih ada.  Umpama-nya: Danau Sanghiyang di TALAGA, Sanghiyang Keukeum-bingan (Cariosan Prabu Silihwangi), Sanghiyang Roronjatan, Sanghiyang Tikoro dan lain-lain.
Di atas telah disinggung tentang adanya peranan bahasa dan istilah untuk mengukirnya dalam bentuk nama-nama atas segala sesuatu yang berhubungan dengan sosio-budayanya. Maka secara fillogis nama-nama yang terukir dalam setiap jenis benda, kiranya akan memberi petunjuk kepada kenyaan benda-benda yang sebenarnya. Di sini saya akan mengemukakan tiga kata ungkapan dalam bahasa Sunda yang kini masih dipahami pengertiannya akan tetapi belum tentu mereka itu menyadari asal-usulnya.
Â
ke 1. Â Â nyisikudi yang diartikan sebagai mengganggu.
ke 2.   kaduhung       yang diartikan sebagai menyesal.
ke 3.   kabadi yang diartikan sebagai terkena sumpah atau terkena penyakit.
Â
Nampak sekali ketiga pengertian di atas menuju ke arah yang merugikan dan semuanya bersifat negatif. Ketiga ungkapan di atas sebenarnya menunjukkan kepada akar kata-kata kudi, duhung, dan badi, yang kesemuanya menunjukkan sebagai bukti senjata tajam.
Â
Pertama
Pengertian nyisikudi ialah apabila kita meraba-raba dengan telapak dan ujung jari di sekitar kudi, apabila kurang hati-hati bisa berakibat luka-luka tergores pinggiran tajam kudi. Bentuk kudi adalah senjata tajam, di samping berfungsi menetak/membelah ujungnya berbentuk kaitan yang tajam.
Kedua
Kaduhung secara harfiah artinya tertusuk atau terkena duhung. Ka adalah prefix yang mengkata-kerja-kan kata benda duhung, tetapi disengaja (seperti prefix ter dalam bahasa Indonesia/Duhung adalah kata lain dalam bahasa Sunda untuk senjata jenis keris.
Ketiga
Kabadi secara harfiah diartikan terkena tusukan badi.
Badi adalah senjata tajam juga, mendekati kepada pisau sekarang, hanya bentuknya lebih ramping.
Â
Kembali kepada soal kudi seperti yang saya sebutkan di atas, bahwa senjata tajam itu mempunyai bentuk yang menyerupai keris, parang dengan tonjolan pada bagian pangkalnya dan bentuk lengkungan ke bagian ujungnya. Bentuk yang seperti ini nampaknya telah tersebar luas di sepanjang pulau Jawa dan Madura. Kalau kita melihat salah satu relief di candi Sukuh (abad ke XV) pada bagian yang disebut Watugede nampak seseorang sedang memegang senjata yang sangat mirip dengan gambaran KUDI Dr. W.F. Stutterheim (Oudheidkundig Verslag 1937, p.30-31. Gambar 45), menginterpretasikan seorang pakawan (penjaga) sedang memegang senjata tajam kudi. Pada bagian lain dari Candi Sukuh, tergambar pula dalam bentuk relief (dari kanan ke kiri). Panday: sepasang ububan yang sedang dipergunakan seseorang; Ganesha dalam posisi berdiri dengan satu kaki aneka macam senjata, hasil karya panday tersebut, berupa kudi, mata tombak, keris, petel, pacul, kapak, gunting, (Gid voor de oudheden van sukuh en ceta - Dr.W.F. Stutterheim, 1930, p.26).
Empu Anjani di Banten termashur sebagai pembuat KUDI dan KUDYANG di daerah Banten yang bertype khas Pajajaran, serta dianggap suci atau pusaka (Sejarah Banten, Tbg. Roesjan, 1954).
Pigeaud (1948) mendefinisikan Kudi sebagai berikut: Koedjang gewestelijk, een soort van kapmes.
Snouck Hurgronje, Hazeu, Kern, dan G.P. Rouffaer (TBG.LI:471-476) th.1909 Melaporkan penelitiannya tentang kudi sebagai senjata tajam yang kuna di Madura dan di Jawa (Purwokerto-Banyumas), nampaknya mereka telah cenderung mencampur-adukan atau juga barangkali mereka menganggap begitu saja bahwa kudi adalah kujang sebagaimana yang ada di Jawa Barat.Â
Â
Sebenarnya pengamatan atau observasi mereka itu sudah sangat mendekati kebenaran dan sangat kritis. Bahwasanya kudi menjadi hilang dan berkembang bentuk menjadi bentuk kudi yang baru, sedangkan kujang menjadi senjata upacara dan lambang pusaka bagi para raja. Senjata bentuk baru itu disebut Kudi Hyang, dalam arti kudi yang “suci” (sakral) khusus untuk upacara/pegangan pribadi.
Demikianlah saya meyakini sebagai salahsatu kesimpulan penelitian saya yang sebenarnya baru sebahagian saja dapat dikemukakan di sini. Ternyata justru kudilah yang sebenarnya merupakan sebagai senjata atau perabot untuk alat pertanian, sedangkan yang Kudi Hyang atau Kudi Hiyan atau Kudyang tidak pernah dipergunakan sembarangan terkecuali semata-mata untuk menjaga diri. Alat-alat pertanian tak pernah berpamor. Alat pe-peranganlah yang berpamor.
Jadi sumber yang menyebutkan senjata sakti cukup banyak. Akan tetapi sumber yang menceritarakan bagaimana senjata tersebut dibuat, cara berpanday, macam besi apa, ilmu apa dan sebagainya, sangat minim. Logam yang sering disebut adalah emas, perak, besi, baja, timah (Sukanda-Tessier: 1984:4). Namun seolah-olah semua nama-nama itu bagi saya, hanya masih berupa nama saja, tanpa kelengkapan atau kelestarian dalam tradisinya serta adanya panday yang masih mampu mengerjakan senjata berpamor, yang sakti.
Namun demikian rasa penasaran saya, tetap bergelora dan terus melanjutkan pelacakan. Bertanya dan bertanya, melihat-lihat senjata di mana saja.
Demikianlah akhirnya pada bulan November 1976, datanglah kesempatan itu dan mengenal seorang panday yang masih mampu membuat pamor, kemudian saya mengadakan survey khusus di tempat selama berkali-kali, yaitu di Cibatu, Sukabumi Selatan. Pandaynya bernama Haji Saripuddin (± 72 th.). Dia mendapat ilmu dari keluarganya secara turun tumurun dari daerah Kuningan. Namun sayang bahwa penelitian yang masih berjalan. Haji Ridwan yang mengkhususkan pada merahan/nyarungan/maranggi. Umur Haji Saripuddin sekitar 63 tahun. Ia belajar dan aki Momoh, Embah Empang, terus ke pamannya: (1) Haji Sudjai, (2) Mang Mar’ad, dan (3) Mang Enal
Adapun penelitian saya ini tentang berbagai segi ilmunya masih sedang berjalan.
DESKRIPSI KUJANG :
Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk.
Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain :
Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan),
Kujang Pakarang (untuk berperang),
Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan
Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang).
Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut
Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan),
Kujang Ciung (menyerupai burung ciung),
Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango),
Kujang Badak (menyerupai badak),
Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan
Kujang Bangkong (menyerupai katak).
Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Kujang Berlanjut
Deskripsi: Kujang berlanjut adalah kujang yang jika dilihat dari bentuknya menyerupai bentuk pra kujang dan fungsinya sebagai alat untuk keperluan praktis (terutama sebagai alat pertanian). Kujang berlanjut diperkirakan berkembang setelah abad ke-12. Berdasarkan bahan yang dipergunakannya, umumnya telah berusia 50 tahun atau lebih. Adapun lubang yang terdapat pada bilahnya berfungsi sebagai lubang untuk digantungkan pada sebuah paku atau pasak di dinding ketika tidak digunakan.
Kujang Naga
Deskripsi: Bentuknya menyerupai naga yang melambangkan dunia atas. Dalam mitologi Hindu, Naga merupakan perpaduan antara binatang burung, ular dan rusa. Karakteristik dari kujang Naga memiliki waruga besar dengan siih yang meyebar di bagian tonggong. Menurut berita lisan pantun Bogor, kujang Naga digunakan oleh para Kanduru dan para Jaro.
Nambihan Saur Sepuh...
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai; "Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang" Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu? Cara-ciri Manusia ada 5: Welas Asih (Cinta Kasih), Tatakrama (Etika Berprilaku), Undak Usuk (Etika Berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan". Cara-ciri Bangsa ada 5: Rupa, Basa, Adat, Aksara, Kebudayaan
Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya. Kujang bisa juga dijadikan sebagai senjata dalam setiap pribadi manusia untuk memerangi prilaku-prilaku diluar "rel" kemanusaiaan. Memang sungguh "gaib sakti" (falsafah) Kujang. Kenapa setiap kujang mempunyai jumlah bolong/ mata yang berbeda-beda??? Umumnya ada yang 3, 5 (kombinasi 2 dn 3), 9. Itu pun mengandung nilai falsafah yang sangat tinggi dengan istilah "Madep/Ngiblat ka Ratu Raja 3-2-4-5-Lilima-6". Itu semua kaya akan makna yang dapat membuka mata kita tentang siapa aku? dari mana asalnya aku? untuk apa aku hidup? dan menuju kemana aku?
Kujang Pamor
Kujang adalah sebuah bentuk senjata yang unik dan dikenal di daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari bahan besi, baja, dan baja pamor, panjangnya sekitar 20 cm sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
semoga berguna...
2 komentar:
aku sangat senang untuk membacanya sayang tidak disertai dengan photo pusakanya.
aku sangat senang membacanya ,aku mhn disertai dengan phot pusakanya
Posting Komentar