4 Juni 2011

2 monotheis : Muhammad SAW dan Iblis Laknatullah.

Memang tak terhitung Hadits Rasulillah yang menyinggung tema yang enigmatik seputar Iblis. Salah satunya adalah penyebutan ketika Iblis menetaskan tujuh telur yang masing-masing berujud tujuh bocah Iblis sebagai bala tentara terpilih yang berjuluk Mudahhish, Hasist, Zalanbur, Miswat, Dasim dan A'war. Mereka bersemayam di pasar, perempuan sundal, kamar mandi, puisi, dan tempat-tempat maksiat.

Ketujuh keturunan Iblis ini, menurut Al Muhasibi, harus senantiasa diwaspadai dalam ruang tergelap kalbu manusia. Karena, sebagaimana diwejangkan Rasulullah SAW, "Sesungguhnya Iblis itu melarutkan tipu liciknya dalam aliran darah manusia". Legenda tentang Iblis yang bermuasal dari Al-Quran juga literatur Hadits selanjutnya menjadi topik sentral di mana benih-benih biografi Iblis meruah dalam pelbagai kajian. Di antaranya pada sekisar dramatisasi penolakan dan godaannya terhadap Adam dan Hawa juga para nabi sesudahnya. Iblis yang riwayatnya pernah menggegerkan takhta akhirat itu tentu dicatat dengan tinta merah oleh kebanyankan kaum beriman sebagai musuh terbesar nan terkutuk.

Namun sebaliknya, misteri pembangkangan dan selubung remang-senyap kepribadian Iblis justru menggelindingkan setampuk wacana diskursif bahwa pada dirinya sejak azali tersemat misteri lain yang menggelontorkan inklusivisme dan dialektika yang paradoksal dan, lantaran itu, menjadi kontroversial. "Dialah makhluk yang lebih bersifat monoteistik ketimbang Tuhan itu sendiri," begitu komentar Iqbal seraya menirukan kegundahan Attar dalam kitabnya Mazharul Aja'ib.

Bahkan Al Hallaj justru mengakui tanpa tedeng aling-aling saat ia berkata dalam Tawasin-nya, "Guru spiritualku adalah Iblis dan Fir'aun". Tentunya paham-paham seperti ini timbul karena pemahaman dan penafsiran yang mendalam atas pembangkangan Iblis. Pembangkangan yang dilakukan Iblis terhadap perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam, oleh sebagian sufi justru dipandang sebagai bentuk sikap yang muncul dari proses kesadaran monoteistik sejati (penunggalan Tuhan). Sebut saja misalnya sederet mistikus bersama karya mereka: Ibnu Ghanim (Taflis Iblis), Al-Hallaj (Tawasin), Attar (Musibatnama, Lisanul Ghayb), 'Ainul Qudhat (Tamhidat), Al-Junaid (Kitabul Fana'), Ibnu Munawar (Asrarul Tauhid), Al-Makki (Qut al-Qulub), Al-Baqli (Masrabul Arwah), Sana'i (Haqiqatul Haqiqah), Abu Nuaim (Hilyatul Auliya'), Ibnu Arabi (Ruhul Quds), hingga Iqbal di mana Hellmut Ritter kerap mengulas fenomena tragis Iblis dalam bebaris puisi Javid Nama-nya.


Iblis merupakan simbol yang sempurna dari metode ekspresi spiritual. Karena intensitas citra kontemplatifnya, Iblis menjadi model ketaatan monoteistik. Namun, dedikasinya terhadap pikiran monoteistiknya itu telah menggerakan dirinya untuk tidak mematuhi perintah Tuhan bersujud kepada Adam.

Al Ghozali memberikan satu ilustrasi tentang alasan penolakan Iblis untuk bersujud di hadapan Adam (berupa percakapan antara Iblis dan Musa, terdapat dalam kitab al-qussas wal-mudzakkirin:

"Tidak pernah! Aku tidak akan pernah bersujud kepada seorang manusia. Wahai Musa, engkau mengaku mengalami penyatuan dengan Allah, tetapi akulah monoteis yang sebenarnya yang tidak pernah memberikan perhatian kepada yang lain selain Dia. Engkau berkata kepada Allah, "Pandanglah aku!" Tetapi engkau memandang ke arah gunung. Aku lebih beriman daripada engkau dalam monoteisme. Dia berkata kepadaku, "Sujudlah kepada yang lain!" Aku tidak bersujud, tetapi engkau berpaling untuk melihat. Dan Musa berkata kepadanya, "Bentuk lahirmu telah berubah dari bentuk malaikat menjadi bentuk setan". Dia menjawab: "Bentuk itu berubah dan akan terus berubah. Wahai Musa, setiap saat Dia menambahkan cinta-Nya untuk seseorang yang selain aku, aku akan meningkatkan cintaku untuk-Nya. Musa bertanya kepada iblis, "Apakah kau masih mengingat-Nya?" Iblis menjawab. "Aku adalah seseorang yang diingat, yang Dia selalu mengingat: "Bagimu kutukan-Ku! Tidakkah Dia telah menggabungkan 'Aku' dalam kutukan-Ku dan 'engkau' dalam bagimu di dalam pernyataan kutukan itu?" Dan Al Ghozali berkata, "Ketika Iblis diusir, dia tak mengurangi ketaatannya, tidak juga cintanya, dan tidak juga dzikir-nya ke dalam cara yang lebih rendah".

Dari cerita ini, dapat kita ambil pelajaran bahwa Allah mengutuk Iblis karena penolakan dan memisahkan dirinya dari Alam Ketuhanan. Karena Yang Maha Pengasih berkenan untuk memandangnya sekalipun pandangan itu berupa sebuah kutukan, Iblis menerima kehancurannya itu seperti sebuah mahkota kesyahidan. Bagi Iblis, kutukan adalah makanan kehidupan, dan kemurahan Allah adalah racun. Iblis yang dengan bebas memilih penderitaan -karena jauh dari Allah- menyadari bahwa pemisahan lebih dia sukai karena hal itu merupakan pemenuhan keinginan Tuhan dan bukan keinginan dirinya yang egois.

Usaha untuk merehabilitasi 'nama baik' Iblis ini dilakukan oleh kaum mistikus sufi. Seperti yang dirumuskan Al-Hallaj. Bagi Al-Hallaj, hanya ada  Tetapi Muhammad merupakan harta berharga rahmat Illahi, sedangkan iblis menjadi harta kemurkaan Illahi. Dalam teori Al-Hallaj, kehendak Allah yg kekal ialah "Tidak ada yang disembah selain Allah". Dan Iblis menolak menghormati seorang makhluk ciptaan, sekalipun ada perintah secara jelas dari Allah. Al-Hallaj menerjemahkan protes Iblis itu dalam kwatrin yang terkenal: "Pemberontakanku berarti memaklumkan Kau Kudus".

Peran Iblis adalah sebagai instrumen Tuhan dalam celah-ceruk probabilitas amr dan iradah-Nya. Karena instrumen Iblis tak lain menebarkan penderitaan dan kerusakan, kendati semua tanggung-jawabnya terkembali pada Tuhan. Maka, pertanyaan yang muncul kemudian apakah Tuhan terlibat atas kebejatan yang dilahirkan Iblis? Tetapi mengapa Tuhan tidak mengendalikan Iblis dan mencegah penyebaran kejahatannya? Sebab, bagi Zaehner, masih ada kejahatan dalam hati Tuhan yang paling rahasia.
(Dia-lah Al-Rahman sekaligus saevus dues, Yang Maha Pengasih juga Yang Maha Kejam dan Penghancur yang menakutkan).
Sebuah ayat: "Sesungguhnya Iblis itu adalah musuh yang nyata bagimu"
 

Tidak ada komentar: