4 Juni 2011

PANGERAN YANG KECEWA

Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.
Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.
BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.
Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatiya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.
KABUR
Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton. Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu:
Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya.
Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.
Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.
Ki Ageng Suryomentaram 2
PULANG
Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.
Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.
BEBAS
Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina.
Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.
Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.
Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.
Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.
Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.
PERJUANGAN MORAL
Meskipun Ki Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, tetapi ia masih sering ke Yogya. Di Yogya ia masih mempunyai rumah.
Waktu itu Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu ada 9 orang, yaitu: Ki Ageng Suryomentaram 3
Ki Gede Suryomentaram,
Ki Hadjar Dewantara,
Ki Sutopo Wonoboyo,
Ki Pronowidigdo,
Ki Prawirowiworo,
BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram),
Ki Suryodirjo,
Ki Sutatmo, dan
Ki Suryoputro.
Masalah yang dibicarakan dalam sarasehan itu adalah keadaan sosial-politik di Indonesia. Kala itu sebagai akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai, negara-negara Eropa, baik yang kalah perang maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda, mengalami krisis ekonomi dan militer. Saat-saat seperti itu dirasa merupakan saat yang sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.
Pada awalnya muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan Belanda, tetapi setelah dibahas dengan seksama dalam sarasehan, disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin dilaksanakan karena ternyata Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas.
Sekalipun gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, namun semangat perlawanan dan keinginan merdeka tetap menggelora. Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan pada para pemuda melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada tahun 1922 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara dipilih menjadi pimpinannya, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua.
Dalam Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram dirubah oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.
PENCERAHAN
Setelah menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin lagi, kemudian beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di Yogya digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa.
Pada suatu malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi Ageng Suryomentaram, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, “Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!” Sebelum Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng melanjutkan, “Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi.”
Sejak itu Ki Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang – bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang – bertemu diri sendiri masing-masing.
Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan “rasa bahagia”, bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan.
Pada tahun 1928 semua hasil “mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri” itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul “Uran-uran Beja”. Ki Ageng Suryomentaram 4 Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut.
Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.
Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, “Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam.” Ki Prawirowiworo menjawab, “Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja.” Ki Ageng menjawab, “Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu.”
PEMBENTUKAN P-E-T-A ( Baca pula kesaksian-kesaksian )
Belanda mencurigai gerak-gerik Ki Ageng. Maka setiap ia mengadakan ceramah ataupun pertemuan-pertemuan selalu ada PID (Politzeke Inlichtingen Dienst) atau reserse yang ikut hadir. Sekitar tahun 1926, ketika aksi bangsa kita menentang bangsa Belanda semakin marak, banyak perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang ke Digul dengan tuduhan sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki Ageng bepergian dari Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia ditahan oleh polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng kemudian dibebaskan.
Pada pertemuan-pertemuan “Manggala Tiga Belas” persoalan-persoalan yang dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga pilihan, ialah:
Membela majikan lama yaitu Belanda.
Ganti majikan baru yaitu Jepang.
Menjadi majikan sendiri yaitu merdeka.
Perang itu sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak Belanda dan Jepang. Permasalahan kita ialah, kita ini tinggal di negeri sendiri, tetapi negeri kita ini dipakai untuk gelanggang perang. Kalau kita mau pergi, mau pergi ke mana?. Kalau kita tinggalkan tentu akan diambil oleh orang lain.
Pertemuan “Manggala Tiga Belas” yang pertama diadakan di pendapa Taman Siswa, dan yang kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat. Pertemuan tersebut baru sempat diadakan dua kali ketika Jepang sudah keburu mendarat di Jawa.
Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakan Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar Dewantara).
Ki Ageng juga menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan yang diberinya nama “Jimat Perang”, yaitu pandai perang dan berani mati dalam perang. Jimat Perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana. Pada suatu kesempatan bertemu Bung Karno, Ki Ageng memberikan Jimat Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani mati dan berani perang.
Dalam usaha mewujudkan gagasannya, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada gubernur Yogya yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk Ki Ageng Suryomentaram 5 membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo.
Untuk membuat surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9 yang disebut “Manggala Sembilan”, masing-masing adalah:
Ki Suwarjono
Ki Sakirdanarli
Ki Atmosutidjo
Ki Pronowidigdo
Ki Prawirowiworo
Ki Darmosugito
Ki Asrar
Ki Atmokusumo
Ki Ageng Suryomentaram
Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang di atas, surat tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo. Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Maka pemerintah Jepang yang ada di Indonesia terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung dari Tokyo maka Tentara Sukarela tetap harus dibentuk.
Kemudian Ki Ageng mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.
PENUTUP
Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957 pernah diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari.
Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.
Pada suatu hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di daerah Salatiga, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya, dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit itu, Ki Ageng masih sempat menemukan kawruh yaitu bahwa “puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri”.
Ki Ageng dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu, namun karena sakitnya tidak kunjung berkurang, kemudian ia dibawa pulang ke rumah. Sakitnya makin lama makin parah, dan pada hari Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 jam 16.45, dalam usia 70 tahun, Ki Ageng tutup usia di rumahnya di Jln. Rotowijayan no. 22 Yogyakarta dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah selatan kota Yogyakarta.
Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang putri. Seorang putra telah meninggal. Mereka adalah:
RMF Pannie
RM Jegot (meninggal)
RM Grangsang
RA Japrut Ki Ageng Suryomentaram 6
RA Dlureg
RA Gresah
RA Semplah
Ki Ageng Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu KAWRUH PANGAWIKAN PRIBADI atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan KAWRUH JIWA bagi kita semua yang bersedia melepaskan segala atribut keangkuhan kita, bagi kita yang bersedia menjadi manusia sederhana dan rendah hati, yang mendambakan masyarakat Indonesia damai sejahtera.
Ki Ageng Suryomentaram
Ki Ageng Suryomentaram dilahirkan di Kraton Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1892 sebagai salah seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Beliau meninggalkan kehidupan sebagai pangeran dalam kraton dan memilih hidup sebagai petani di desa Bringin, Salatiga, sampai wafat pada tanggal 18 Maret 1962.
Sepanjang masa hidupnya beliau mencurahkan segala daya, tenaga dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan diri pribadi manusia yang membawa kebahagiaan atau kesusahan dalam hidup manusia.
Wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram biasanya diawali sebagai bahan yang dibicarakan atau diceramahkan di pelbagai tempat yang beliau datangi, kemudian barulah disusun dalam naskah tertulis yang hampir seluruhnya dalam bahasa Jawa. Cukup banyak yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Secara berkala dan bergantian di berbagai kota, para peminat wejangan Ki Ageng ini mengadakan pertemuan besar yang disebut “Junggring Salaka Agung”. Dalam pertemuan tersebut Ki Ageng juga menyampaikan ceramah-ceramahnya.
Karya dan wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram ini juga telah digunakan sebagai bahan skripsi/tesis/disertasi, antara lain oleh: Dr. J. Darminta S.J. (disertasi di Universitas Gregoriana, Roma, 1980); Drs. Darmanto Jatman (tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1985); Drs. Josephus Sudiantara (skripsi Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1983); Drs. A. Widyahadi Seputra (skripsi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 1986); Drs. Nur Satwika (skripsi Fakultas Sastra UNS, Surakarta, 1989).
Marcell Bonneff, peneliti dari Universitas Paris, telah mempelajari wejangan Ki Ageng ini secara lengkap dan kemudian menulis buku tentang hal ini dalam bahasa Perancis, berjudul “Ki Ageng Suryomentaram, Prince Et Philosophe Javanais”.
Sayang, di masa sekarang, tulisan dan wejangan Ki Ageng ini sudah sukar didapatkan, baik dalam bahasa aslinya maupun yang sudah diterjemahkan. Pembuatan situs ini di samping sebagai penghormatan kepada Ki Ageng Suryomentaram, juga bertujuan agar wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram ini mudah diperoleh oleh siapa saja yang berminat.
Semoga bermanfaat.
Ki Ageng Suryomentaram 7
Ki Ageng Suryomentaram 8
WEJANGAN KAWRUH BEJA SAWETAH.
BAGIAN I
Senang-Susah
Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa “jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”.
Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi pendapat bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.
Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari pinjaman.Di dalam mencari pinjaman itu ia merasa: “Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah aku celaka dan merasa malu selamanya”. Andaikata ia gagal memperoleh pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar. Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega hatinya.”Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil. Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari uang untuk membayar hutang itu kembali.” Demikianlah, maka jelaslah bahwa tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka.
Demikian juga keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa bahagia. Misalnya orang berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: “Jika si Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah aku.” Dibayangkannya: “Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan.” Tetapi bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawinan bahwa sesudah seminggu saja sudah terjadi pertikaian.
Jadi teranglah bahwa jika keinginan itu tercapai maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan celaka. Kenyataannya ialah bahwa senang dan susah itu tidak berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau mengalami susah selama tiga hari tanpa senang. Pengalaman semacam itu tidak akan terjadi dan tidak mungkin dapat dialami.
Mulur
Yang menyebabkan senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega, puas, tenang, gembira. Padahal keinginan ini bila tercapai pasti mulur, memanjang, dalam arti meningkat. Ini berarti bahwa hal yang diinginkan itu meningkat entah jumlahnya entah mutunya sehingga tidak dapat Ki Ageng Suryomentaram 9 tercapai dan hal ini akan menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat berlangsung terus-menerus.
Misalnya menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru. Kata hatinya: “Bila aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia, yakni tetap senang. Pada hari besar nanti, aku dapat melancong ke mana-mana.” Andaikata sarung baru itu dapat dibelinya ia pun tidak akan bahagia, melainkan bergembira sebentar kemudian susah lagi. Oleh karena keinginannya itu mulur, maka ia merasa: “Memang, meskipun sarungnya sudah baru, ikat kepalanya pun harus baru.” Maka ia ingin membeli ikat kepala, tetapi uangnya tidak cukup, maka gagallah keinginannya dan susahlah ia. Demikianlah senang tidak berlangsung terus menerus. Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat kepala baru, pasti keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata: “Sekarang sarung dan ikat kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya? Tidakkah harus baru pula?”
Kemudian bila pakaiannya baru sudah ada, tentu keinginannya mulur lagi. Sandalnya, arlojinya, kendaraannya, rumahnya harus baru pula. Bila semua itu sudah ada, pasti keinginannya akan mulur lagi: “Sekarang semua barang sudah baru, mengapa isterinya masih yang lama saja. Agar tidak dikatakan aneh maka ia mencari isteri baru.” Bila nanti memperoleh isteri baru, pasti mulur lagi: “Anaknya pun harus ada yang baru karena mengapa yang ada hanya anak dari isteri lama saja?” Demikianlah keinginan itu mulur sehingga apabila apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa senang itu tidak tetap adanya.
Keinginan itu terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat. Meneari semat ialah mencari kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari derajat ialah mencari keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Mencari kramat ialah mencari kekuasaan, kepercayaan, agar disegani, agar dipuja-puji.
Misalnya orang mencari semat/kekayaan agar ia berpenghasilan tetap. Rasa hatinya berkata: “Jika aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah saja, aku tentu bahagia. Tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang hanya tiga rupiah, bahkan kadang-kadang juga rugi.” Bila usahanya berhasil, maka dalam kenyataannya ia tidak bahagia, namun hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Ini disebabkan karena keinginannya mulur sebagai berikut: “Ternyata penghasilan sepuluh rupiah ini tidak membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan dua puluh ]ima rupiah, barulah aku akan benar-benar bahagia.” Nanti bila sudah memperoleh dua puluh lima rupiah keinginan pun mulur lagi. “Kalau aku hanya menerima dua puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku bahagia. Bahkan hal itu akan menambah banyak hutangnya, karena dipercaya untuk membeli dengan bon, hingga ke sana ke sini aku membuat bon. Hanya jika aku berpenghasilan seratus rupiah, baru aku benar-benar bahagia.” Nanti bila ia berhasil memperoleh seratus rupiah keinginannya pun mulur lagi dan ia ingin dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai berpenghasilan beribu-ribu rupiah, berjuta-juta rupiah, masih kurang terus. Demikianlah keinginan itu mulur sampai pada suatu ketika ia tidak mungkin dipenuhi dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap adanya.
Demikian pula dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang sudah menjadi asisten wedana, pasti keinginannya mulur dan ia ingin menjadi wedana. Kemudian setelah menjadi wedana, tentu keinginannya mulur lagi dan ia ingin menjadi bupati. Sekalipun sudah menjadi raja, ia kemudian ingin menjadi raja dari semua raja. Andaikata terlaksana menjadi raja dari semua raja, pasti hatinya berkata. “Ternyata menjadi raja dari semua raja itu tidak membuat aku bahagia, karena memerintah manusia itu ternyata bukan main banyak kesulitannya.” “Mungkin kalau menjadi raja jin, barulah aku benar-benar bahagia. Bila sudah menjadi raja jin, pasti mulur lagi, ingin menjadi raja binatang, kutu, serangga, yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek dan sebagainya. Demikian mulurnya keinginan sampai apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap.
Demikian pula dalam usaha memperoleh kramat atau kesaktian. Misalnya jika orang telah memiliki kesaktian dengan dapat menyembuhkan orang sakit lumpuh dengan meniupnya saja. Ia belum juga bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian Ki Ageng Suryomentaram 10 susah lagi, karena mulurnya keinginannya. Hatinya berkata: “Kalau hanya dapat menyembuhkan orang lumpuh dengan meniupnya saja, aku tidak berbahagia. Akan tetapi kalau dapat menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena siapapun akan percaya, segan, takut kepadaku dan akan memujaku.” la akan berusaha ke sana sini untuk dapat menghidupkan orang mati. PadahaI sekolahnya untuk mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat menghidupkan dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. “Celakalah aku nanti. Jika setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari mana-mana pasti akan dibawa kemari semua, dan aku disuruh menghidupkannya. Halaman rumahku pasti akan penuh dengan bangkai anjing, babi hutan dan lain-lain. Mungkin kalau aku dapat mengeluarkan sukma dari badan, aku baru benar-benar bahagia. Aku akan dapat melayang-layang mengelilingi dunia melihat negeri Belanda, negeri Cina, tanpa melakukan perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak kehilangan uang untuk bekalnya.” Ia akan ke sana ke sini berusaha keras supaya bisa melepaskan sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk mempelajarinya belum ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari raganya, ia pun tidak akan benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi. Hatinya berkata “Susahlah aku bila sukma yang acapkali dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Namun manakala aku bisa menghilang, pastilah aku betul-betul bahagia. Aku akan dapat menggaruk uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya, dan tiap kata ada orang sedang menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan tidak usah bekerja, aku dapat memiliki banyak uang, dan apa pun kuhendaki pastilah tercapai”.
Bila ia kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya mulur lagi, sehingga ia ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya. Demikianlah mulurnya keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak dapat ia peroleh, maka susahlah ia. Jadi jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha mencapai semat (kekayaan), derajat (kedudukan), kramat (kekuasaanl, apabila sudah terlaksana pasti akan mulur. Maka senang itu tidak tetap sifatnya.
Mungkret (menyusut)
Demikian pula rasa susah pun tidak tetap. Karena susah itu disebabkan tidak tercapainya keinginan yang berwujud rasa tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret (menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu berkurang baik dalam jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang. Jadi rasa susah itu tidak tetap.
Bila keinginan yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti ia akan mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila dapat terpenuhi keinginan itu. Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu terpenuhi dan timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap adanya.
Misalnya orang lapar ingin makan, tentu dipiiihnya lauk-pauk yang serba lezat, seperti daging, telur dan sebagainya. Tetapi bila keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret, sehingga makan nasi dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam pun tidak diperolehnya pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga makan ketela bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh, pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja, cukup sejuklah lidahnya.
Contoh yang makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin mempunyai seorang isteri, maka dipilihnya tentu yang cantik, masih perawan, kaya, keturunan priyayi, cerdas, berbakti, cermat, cinta suami dan seterusnya. Bila keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun tidak benar-benar celaka, melainkan susah sebentar, kemudian senang kembali. Oleh karena keinginannya mungkret, maka rasanya, “Walaupun syarat pilihanku tidak terpenuhi semua, asal saja cantik wajahnya bolehlah” Jika yang cantik pun tidak diperolehnya, tentu keinginannya mungkret lagi: “Walaupun tidak cantik asal saja masih perawan” Bila ini pun tidak berhasil, Ki Ageng Suryomentaram 11 mungkret lagi keinginannya “Walaupun seorang janda asal saja belum punya anak.” Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti keinginannya mungkret lagi: “Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia sehat” Bila keinginan ini pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi keinginannya: “Walaupun cacad, asalkan berwujud orang” Padahal mencari isteri dengan syarat asal berwujud orang saja, pastilah tidak sukar, maka ia lalu merasa senang lagi. Dari sebab itulah penderita-penderita cacad, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang bersuami/isteri. Sebab satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret keinginannya. Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diinginkan itu tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap.
Jadi jelaslah bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai ini mesti mulur sehingga yang diinginkan tidak mungkin tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai ini mesti mungkret sehingga apa yang diinginkan itu mungkin tercapai, maka akan tercapailah keinginan itu dan rasa senang timbul, jadi keinginan itu bila mungkret akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa yang diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret. Mungkret, tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tereapai, susah, mungkret lagi. Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda sehingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
BAGIAN II
Rasa Sama
Manusia itu mempunyai keinginan, yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Sifat ini yang menyebabkan rasa hidup orang sejak kecil sampai tua, pasti bersifat sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Siapa saja dan di mana saja rasa hidup orang tentu bersifat sebentar senang, sebentar susah, karena semuanya mempunyai keinginan. Jika tidak mempunyai keinginan, maka ia bukanlah manusia, dan tiap keinginan pasti bersifat seperti di atas tadi.
Jadi rasa hidup manusia sedunia ini sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Sekalipun orang kaya, miskin, raja, kuli, wali (aulia), bajingan, rasa hidupnya sama saja, ialah sebentar senang, sebentar susah. Yang sama adalah rasanya senang-susah, lama-cepatnya, berat-ringannya. Sedang yang berbeda adalah halnya yang disenangi/disusahi.
Umpama orang kaya senang dapat mendirikan pabrik dan orang miskin senang dapat mendirikan kendil (periuk nasi). Kesenangan kedua orang tadi pada hakekatnya sama. Seorang raja merasa senang bahwa ia dapat menyerbu sebuah kota lawannya, dan memboyong (membawa pulang) puteri. Sedangkan seorang kuli kereta-api merasa senang bila dapat menjelajahi gerbong-gerbong dan memboyong (mengangkat-angkat) koper. Kedua orang itu sama di dalam merasa senang. Seorang wali (orang sakti) merasa senang bila dapat terbang di angkasa, sedangkan seorang bajingan merasa senang pula dapat mencopet barang, kedua-duanya sama di dalam merasa senang.
Tetapi seorang miskin sering beranggapan bahwa orang kaya itu tidak pernah susah. Anggapan demikian itu keliru, sebab diri orang kaya pun berisi keinginan yang bila tercapai pasti mulur. Misalnya seorang kaya raya, memiliki perusahaan kendaraan bis. Walaupun sudah mempunyai beratus-ratus bis, keinginannya tentu mulur. Ia tentu ingin mempunyai kereta api. Setelah mempunyai kereta api, pasti keinginannya mulur lagi, ia ingin mempunyai kapal laut. Sebelum keinginan mempunyai kapal laut tercapai, tiba-tiba ia menghadapi masalah berdirinya perusahaan bis baru sehingga ia merasa susah karena khawatir kalau disaingi. Maka Ki Ageng Suryomentaram 12 orang kaya bagaimanapun, rasa hidupnya tentu sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
Demikian pula seorang wali (aulia) sering dikira tidak pernah susah. Perkiraan demikian itu keliru, karena wali pun berisikan keinginan. Misalnya seorang wali yang sakti, seperti dalam dongengnya Sinuhun Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Ia raja dan juga wali dan ketika ia hendak pergi ke Banten dengan jalan terbang, dan itu terlaksana, maka senanglah ia. Tetapi ketika hendak pulang ke Mataram, juru tamannya meninggalkannya, maka rontoklah bulu sayapnya, hingga susahlah ia. Jika wali yang bagaimana pun, rasa hidupnya pasti sebentar senang, sebentar susah. Apabila mengerti bahwa rasa orang di dunia sama saja, yakni sebentar senang, sebentar susah, bebaslah kita dari penderitaan neraka iri hati dan kesombongan.
Iri – Sombong
Iri adalah merasa kalah terhadap orang lain, dan sombong adalah merasa menang terhadap orang lain. Iri dan sombong inilah yang menyebabkan orang berusaha keras, mati-matian, berjungkir balik, untuk memperoleh semat (kekayaan), derajat (kedudukan) dan kramat (kekuasaan). Hatinya berkata: “Sebaiknya kucari uang sebanyak-banyaknya agar menjadi kaya seperti orang itu, dan jangan sampai miskin seperti orang ini; agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek orang itu. Dan kuharus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti orang itu, dan jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti orang itu, dan tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari kramat (kekuasaan) yang besar, supaya berkuasa dan dapat menaklukkan orang itu. Jangan sampai lemah dan ditaklukkan orang ini.” Begitu hebat usahanya, hingga ia merasa “lebih baik mati jika tidak tercapai”
Perasaan “lebih baik mati jika tidak tercapai” itu bila sering terlintas dalam pikiran, dapat membangunkan tekad yang aneh-aneh dan bertapa yang aneh-aneh. Orang yang sedang dihinggapi iri-sombong ini cenderung mencari guru-guru atau dukun-dukun. Pada guru atau dukun itu dimintanya petunjuk: “Bagaimana kyai, hidupku ini mengapa senantiasa susah. Apakah memang nasibku harus dibenci orang? Bagaimana baiknya?” Jika guru atau dukun itu mengatakan: “Sanggupkah anda bertapa secara ditanam selama empat puluh hari? Itu memang berat tetapi bila dikurniakan, tentu nasibmu akan lebih baik.” Makin gelap pikirannya namun karena terbenam dalam rasa iri-sombong, ia akan menyanggupinya: “Baiklah saya bersedia ditanam, asal dapat kurnia. Andaikata aku gagal dan mati, itu pun justru lebih baik dari pada hidup sekali saja menjadi buah ejekan tetangga-tetangga, kesana diejek, kesini diejek.” Bilamana benar-benar digali lobang untuknya dan ia memeriksanya serta menengok ke kanan ke kiri, tiba-tiba ia merasa ngeri: “Kyai, jika penguburan diriku ditangguhkan saja sampai setelah tanggal dua saja, bagaimana?”
Bila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia itu sama, teranglah pandangannya. Kemudian ia tahu bahwa orang yang ditanam selama empat puluh hari, pasti akan mati karena tidak dapat bernapas. Mengingat bahwa jika dibungkam selama dua menit saja, orang sudah kehabisan napas, bagaimanakah bila ditanam empat puluh hari?
Idam-idaman orang yang iri hati atau sombong ialah asal dapat melebihi orang lain dalam segala hal. Dalam hal makanan, pakaian, perumahan, keluarga, anak-anak dan sebagainya, ia ingin melebihi orang lain. Sedangkan orang-orang lain pun ingin menyaingi atau melebihi orang lain lagi. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah satu sama lain bersaingan sehingga semuanya jatuh ke bawah.
Bila dalam usahanya untuk melampaui orang lain ia sering tergelincir bahkan ia justru dilampaui orang lain, maka kesallah hatinya, “Baik, sekalipun aku kalah asal saja tetanggaku itu hidupnya merana, maka senanglah hatiku.” Sedangkan tetangganya pun berusaha menyusahkan orang lain. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah saling menyusahkan.
Bila dalam usahanya menyusahkan orang lain, sering berbalik menyusahkan diri sendiri maka ia masih tinggal dapat mengumpat orang lain. Sedangkan orang lain Ki Ageng Suryomentaram 13 pun mengumpat orang lain lagi. Maka beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dihinggapi iri-sombong, tindakannya hanya saling mengumpat. Bahkan tiap kali bercakap-cakap dengan suami/isterinya tidak lain hanya menjelekkan tetangganya, sampai pada soal yang kecil-kecil, misalnya: “Sesungguhnya si anu itu kan sudah payah betul. Lihat saja surat gadainya sudah daluwarsa; pohon-pohon kelapanya sudah digadaikan dan ia hanya kebagian yang hanya cukup untuk dimakannya sendiri.”
Padahal untuk melebihi seseorang saja sudah susah-payah, memaksakan diri bertirakat sampai luar-batas, Nglawet (nama tempat bertapa), Gua Langse (di pantai Parangtritis, Yogya) dan Gedancer (tempat bertapa). Bila ia telah dapat melebihi seseorang, ia akan melihat bahwa ada orang lain lagi yang melebihinya. Sedangkan jumlah orang yang melebihinya tidak terhitung banyaknya.
Apalagi untuk melebihi orang lain dalam hal perincian, pastilah tidak akan berhasil, sekalipun sudah bertirakat segala. Misalnya orang melebihi orang Iain dalam kekayaannya, tetapi kalah dalam kedudukannya, lalu berusaha keras untuk melebihi kedudukannya. Kalau sudah melebihi kedudukannya, tetapi kalah kekuasaannya, ia akan berusaha keras untuk melebihi kekuasaannya. Kalau sudah melebihi kekuasaannya, tetapi kalah tampan wajahnya, ia akan berusaha keras untuk melebihi ketampanannya. Misalkan ia sudah menang dalam hal ketampanan wajahnya, tetapi kalah muda dalam usia, ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih muda tampaknya. Karena dalam janggrungan, pesta dengan tarian dimana penari wanita menari bersama dengan tamu laki-laki, orang-orang muda dipersilakan masuk gelanggang untuk menari lebih dulu. Akan tetapi bila ia lebih muda ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih tua, karena orang-orang tua itu dalam pesta-pesta makan selalu dipilihkan makanan yang serba empuk.
Perasaan orang yang irihati-sombong ini, tiap kali menyumpahi orang, jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Bila melebihi, dalam hatinya mengejek, “Lihat si Anu itu akhirnya celaka, karena tidak mau percaya padaku, tidak mau meniru jejakku, tentu saja celaka.” Tetapi bila diungguli ia merasa penasaran: “Tidak heran si Anu itu kaya, karena bukan main kikirnya. Bila ia buang air kedapatan kacang kedele dalam kotorannya, maka kedele itu dikorekinya dari kotorannya.”
Padahal tiap kali orang ke luar rumah pasti ia bertemu orang yang jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Maka hidup orang sedari kecil sehingga tua, bila dihinggapi iri-sombong, hanya merasa mengejek dan diejek orang.
Jika orang hendak mengetahui rasa iri-sombong atau lebihnya sendiri, yang jelas dalam pergaulan, maka hal itu dapat ia jalankan bila sedang nonton pasar malam, menghadiri pesta perjamuan dan sebagainya. Bila di situ orang merasa kalah baik sarungnya ia akan meraba-raba ikat kepalanya dan berkata: “Ikat kepalaku lebih baru.” Bila ikat kepalanya dirasakannya masih kalah, diangkatlah dadanya dan diperlihatkan bajunya “Bajuku memang baik.” Bila ia merasa kalah, diangkatlah sarungnya dan diperlihatkan celana dalamnya, “Celanaku menang lebar.” Bila toh masih merasa kalah, jengkellah ia, maka dikeluarkan pipanya, “Tetapi pipaku menang panjang.”
Pandangan orang yang iri-sombong terhadap semua keadaan dan kejadian di dunia, terbalik-balik, tidak benar. Misalkan orang ingin memiliki sepeda, dari kerasnya keinginannya ia merasa “Benar-benar aku menderita bila tidak memiliki sepeda, kalau barang-barang lainnya tidak kuhiraukan.” Maka jika dijumpainya seorang mengendarai sepeda, apalagi jika pengendara itu tetangganya yang dibencinya dan hendak dilebihinya, dan justru dirinya kini jatuh dikalahkan maka begitu ia mendengar suara “kring” bel sepeda itu, terkejutlah ia serentak. Pulang rumah dengan gelisah tidak bisa tidur, hatinya penasaran dan dijelekkannya lawannya, “Tidak heran si Anu itu memiliki sepeda, karena hidupnya tidak lumrah (lazim), bermuka tebal. Lain dengan aku ini yang tidak tega hati menyikut orang.” Demikian pandangan orang terbalik-balik disebabkan rasa iri-sombong. Benarkah orang mengendarai sepeda itu sengaja membuatnya terkejut, gelisah? Tentu tidak!
Dari sangat hebatnya pandangan terbalik-balik itu sehingga membikin orang, sehabis memandang perempuan cantik atau laki-laki tampan, maka membenci suami/isterinya. Hatinya mengomel, “Bila kurasakan, suami/isteriku ini memang Ki Ageng Suryomentaram 14 sungguh-sungguh jelek, ya rupanya, ya jelek hatinya. Kalau sampai menjadi jodohku ini pasti tidak melalui jalan sewajarnya. Dulunya pasti aku diguna-guna sehingga aku terpikat kepadanya.” Demikianlah terbalik-baliknya pandangan orang yang iri-sombong. Padahal wanita cantik atau laki-laki tampan pastilah tidak sengaja membikin ia benci pada suami/isterinya.
Tenteram
Apabila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia sama saja, bebaslah ia dari penderitaan neraka irihati-sombong, kemudian bisa masuk sorga ketenteraman. Artinya dalam segala hal bertindak seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya. Ia akan dapat merasakan rasa hidup yang sebenar-benarnya, yaitu mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
Sebab ketika dihinggapi iri-sombong, orang tidak dapat merasakan rasa hidup yang sebenarnya. Dalam hal makan misalnya, walaupun setiap hari makan, orang tidak merasakan makanannya, tetapi yang dirasakan hanyalah makanan tetangga-tetangganya. Kemudian mengeluhlah ia, “Kalau si Anu itu memang senang hidupnya, makannya terjamin tiga kali sehari, sepiring penuh, lauk-pauknya enak-enak; berganti-ganti telur daging. Lain dengan diriku ini serba celaka, makannya tidak menentu, lauk-pauknya tidak lain tidak hanya garam sambel, paling mujur tempe. Bila ingin daging ayam, hanya mendapat pekerjaan membubuti (mencabuti) bulunya dan membersihkan isi perutnya.”
Bilamana bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk ke dalam sorga ketenteraman, ia akan dapat menasihati dirinya sebagai berikut, “Lho, bagaimana ini, orang mau makan kok menggerutu. Makannya enak atau tidak, jika enak teruskanlah, jika tidak enak hentikanlah.” Teranglah pandangannya, maka mengerti mgksud tujuan orang makan yaitu enak (lezat) dan kenyang. Maksud tujuan ini sudah tercapai, karena tiap kali merasa lapar, makanlah segala apa yang lazim dimakan orang, maka pasti enak, dan kalau banyak jumlahnya pasti kenyang. Maka tenaga kaki-tangan berkelebihan untuk mencari makanan yang enak serta mengenyangkan itu.
Jadi rasa hidup yang sebenarnya sebentar senang, sebentar susah, dalam hal makan pasti sebentar enak, sebentar tidak enak, sebentar kenyang, sebentar lapar. Tetapi bila dihinggapi iri-sombong, orang tidak memperdulikan enak atau kenyang, melainkan berusaha melebihi orang lain. Jika hendak mengetahui iri-sombong atau keinginannya sendiri untuk melebihi orang lain, yang jelas bila kebetulan sedang bersama orang banyak dalam kedai makanan. Baru saja datang orang segera berteriak “Godog!” (minta direbuskan suatu makanan). Kemudian baru saja masakan tadi disodorkan, ia sudah minta lagi “Goreng! Cabenya biar banyak!” Bila dilihatnya tamu lain memegang telur, ia pun mengambil ayam goreng, dipegangnya dengan kedua tangannya. Jika toh masih merasa kalah, hatinya penasaran diangkat kakinya keatas meja sembari bersiul, sekalipun tidak bersuara.
Oleh karena dihinggapi iri-sombong sehingga gelap pandangannya, maka walaupun sudah beranak-cucu, orang tidak dapat merasakan rasa bersuami/isteri. Setiap kali menjumpai suami/isterinya, yang dirasakan suami/isteri orang lain, “Si Anu itu hidupnya memang enak lantaran mempunyai suami/isteri yang menyenangkan, perhatiannya besar, lagi setia. Lain dengan diriku ini serba celaka, mempunyai suami/isteri rewel sekali, sedikit-dikit marah, sedikit-dikit marah.”
Bila sudah bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk sorga ketenteraman, orang lalu dapat menasihati dirinya: “O, bagaimana ini, orang bersuami/isteri kok mengomel. Sesungguhnya perkawinannya enak atau tidak, jika enak diteruskan, jika tidak enak ya diceraikan saja.” Maka tenanglah pandangannya dan mengerti bahwa rasa bersuami/isteri itu nikmat.
Bila ingin mengerti kenikmatan bersuami/isteri, ialah pada waktu malam hari udara dingin, lagi turun hujan, berdesak-desak dengan suami/isteri pun hangat. Bila pinggangnya kaku pun lantas lemas, tidurnya pulas, bangun pagi merasa segar, bekerja penuh semangat. Kebalikannya jika tidak bersuami/isteri tidak demikian Ki Ageng Suryomentaram 15 nikmat. Pada malam yang dingin, apalagi turun hujan, badannya benar-benar dingin. berdesak-desak hanya dengan balai-balai, pinggangnya kaku tetap kaku, ingin tidur tidak dapat memejamkan mata, dari pukul sembilan hingga pukul tiga malam belum juga pulas karena memikirkan suami/isteri orang lain. Maka pada duda, janda, jejaka, gadis, bila dijangkiti iri-sombong, seringkali betah bergadang. Tetapi bila tidak, hanyalah sekali tempo saja.
Jadi rasa hidup yang sebenarnya ialah mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Dalam perkawinan tentu sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat, sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat. Bila keluar dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman, orang akan bebas dari kewajiban yang berat-berat. Kebiasaan orang itu mewajibkan dirinya sendiri: “Orang hidup itu harus begini, makannya harus begini, pakaiannya harus begini, rumahnya harus begini, tindak tanduk terhadap tetangga, suami/isteri serta anak-anaknya harus begini.” Semua keharusan-keharusan itu adalah hal-hal yang berat sehingga tidak dapat dilaksanakan, karena bertentangan antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain.
Sebagai contoh, misalnya orang menerima undangan dari tetangganya yang punya hajat pesta mengawinkan anaknya. Ia akan mewajibkan dirinya untuk datang hadir dengan pakaian baru, serta membawa uang cukup untuk menyumbang dan main kartu domino. Tetapi keadaannya tidak memungkinkannya untuk mempunyai pakaian baru dan uang, oleh karena itu ia merasa susah. Hendak datang hadir takut, dan hendak tidak hadir pun takut.
Bila lepas dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman ia akan dapat menasihati dirinya “Lho, bagaimana langkahku ini, mau datang takut, mau tidak datang pun takut. Apakah harus setengah datang dan setengah tidak datang? Lalu bagaimana wujud tindakan setengah datang dan setengah tidak datang itu? Apakah melongok-longok di depan pagar saja, ataukah terus menerobos masuk ke dapur, membantu cuci piring?” Dengan kesadaran di atas, pandangannya semakin terang: “Sudahlah, jika mau datang, ya datang saja, jika tidak mau datang, ya tidak usah datang. BiIa tidak punya pakaian baru, pakailah pakaian lama, hal itu sudah sebenarnya. Bila tidak punya uang, maka tidak dapat menyumbang dan main domino, pun sudah selayaknya.” Jadi rasa hidup yang benar adalah sebentar senang, sebentar susah, yang dalam hal menentukan kewajiban mesti suatu waktu begini, suatu waktu tidak begini.
Bila orang mengerti bahwa rasa hidup manusia sedunia sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, bebaslah ia dari neraka iri-sombong dan masuklah dalam surga ketenteraman. Kemudian dalam usahanya mencari kekayaan, kedudukan, kekuasaan, dengan cara seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya, sebenarnya, yaitu hidup tenteram.
BAGIAN III
Rasa Abadi
Keinginan itu bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret, rasanya sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Pada hakekatnya keinginan itu langgeng (abadi), artinya sejak dulu sudah ada, kini pun ada, kelak pun selalu ada.
Ketika orang masih dalam kandungan ibunya, keinginannya sudah ada, walaupun tidak disadarinya. Seperti halnya bayi menangis berkeinginan menyusu, Ketika masih sebagai darah pun sudah tumbuh keinginan yang menumbuhkan badan, kepala, tubuh, tangan, kaki dan sebagainya. Ketika belum ada dalam kandungan dan masih ada pada ayah dan ibunya pada waktu ayah dan ibunya saling mengungkapkan rasa suka sama suka, hal itu merupakan gejala keinginan manusia yang hendak lahir.
Demikian keinginan itu tidak berawal, ketika bumi dan langit belum ada, keinginan sudah ada. Demikian pula keinginan tidak berakhir, bila nanti orang sudah mati, Ki Ageng Suryomentaram 16 badannya rusak, busuk, keinginan masih ada saja. Bila nanti bumi dan langit tidak ada, keinginan masih tetap ada. Jadi keinginan itu tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh karenanya keinginan itu abadi, Sebab keinginan itu barang asal. Barang asal itu tidak ada asalnya, tetapi justru berupa asal, dari itu abadi. Keinginan ialah asal dari pada hidup, benih hidup, yang menyebabkan hidup, oleh karenanya abadi.
Seperti juga asal semua barang jadi itu bersifat abadi. Wujud barang jadi (bahasa Jawa: dumadi) itu seperti rokok, korek api, cangkir, piring, rumah, dunia, bintang, bulan, matahari dan sebagainya. Asal barang jadi misalnya rokok, adalah abadi, tidak berubah tidak berkurang atau bertambah. Bila rokok itu dibakar, rokok itu hanya menjadi abu; sedang asal dari pada rokok masih tetap ada, tidak kurang, hanya wujudnya kini abu. Bila abu itu nanti ditumbuk, hanyalah menjadi tumbukan abu, sedang asal rokok masih tetap, tidak kurang tidak lebih, yang kini berwujud tumbukan abu. Sekalipun tumbukan abu ini nanti dibuang ke luar dunia, asal rokok itu masih tetap ada tidak kurang tidak lebih, hanya kini ada di luar dunia.
Demikian pula keinginan, bagaimanapun dihancurkannya melalui kesusahan, penderitaan malu, tidak akan berubah bersama sifat-sifatnya. Sebab barang abadi itu pasti bersifat abadi pula. Keinginan itu bersifat sebentar mulur sebentar mungkret, sebentar mulur sebentar mungkret dan rasanya sebentar senang sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Sedang rasa manusia pun sebentar senang sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Jadi keinginan itu adalah manusia, maka manusia itu abadi (lestari), sebentar senang sebentar susah. Bila keabadian manusia ini dimengerti, orang akan bebas dari penderitaan neraka penyesalan dan kekhawatiran.
Sesal – Kuatir
Menyesal ialah takut akan pengalaman yang telah dialami. Khawatir ialah takut akan pengalaman yang belum dialami. Menyesal dan khawatir ini yang menyebabkan orang bersedih hati, prihatin, hingga merasa celaka.
Menyesal ini rasanya: “Andaikata dulu aku bertindak demikian, bahagialah sudah aku ini, tidaklah celaka begini.” Menyesal ini ialah takut akan pengalaman masa lampau yang menyebabkannya jatuh celaka, susah selamanya dalam keadaan miskin, hina, lemah.
Bila orang mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya sebagai berikut: “Walaupun dulu bagaimana saja, pasti rasanya sebentar senang sebentar susah.” Kemudian lenyap penyesalan semacam tadi. Tetapi jika tidak dimengerti, penyesalan itu berlarut-larut hingga takut akan hal yang aneh-aneh, seperti takut terkutuk, takut durhaka, rasanya: “Dulu andaikata aku tidak terkutuk oleh si Anu, tidak durhaka, tentu aku sudah bahagia dan tidak celaka.” Kalau mengerti maka orang dapat menyadari, “Walaupun dulu terkutuk durhaka atau tidak durhaka, rasanya tentu sebentar senang sebentar susah,” dan lenyaplah penyesalan semacam itu tadi.
Berlarut-larutnya penyesalan ini sampai menimbulkan ketakutan pada hal yang makin aneh ialah takut hidupnya tersesat. “Andaikata dulu tidak menjadi anak ibu dan ayah ini, pasti aku bahagia, dan tidak celaka seperti ini.” Tetapi bila mengerti babwa manusia itu abadi, ia dapat menasehati dirinya sendiri: “Walaupun dulu menjadi anak ibu-ayah ini atau tidak, tentu rasanya sebentar senang sebentar susah”, maka lenyaplah penyesalan tadi.
Ketakutan hidup tersesat di atas perinciannya sampai pada takut tersesat mempunyai suami/isteri dan anak si Anu, rasanya: “Andaikata dulu aku tidak salah memperoleh suami/isteri dan anak si kunyuk (si dogol) itu, pastilah aku bahagia dan tidaklah celaka.” Tetapi bila ia mengerti bahwa orang itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: “Walaupun dulu aku mempunyai suami/isteri dan anak seperti kunyuk-kunyuk itu atau tidak, rasaku tentu sebentar senang, sebentar susah,” maka lenyaplah penyesalan tadi.
Demikian pula kekhawatiran yang berupa takut akan pengalaman yang belum dialami, kalau-kalau jatuh celaka, susah selamanya, dalam keadaan miskin, hina, lemah. Rasanya: “Bagaimanakah nanti akhirnya bila aku tidak mencapai Ki Ageng Suryomentaram 17 kebahagiaan yang kucita-citakan, tetapi tetap celaka seperti sekarang ini?” Tetapi jika orang mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: “Walaupun kelak akan terjadi apa saja, misalkan bumi dan langit merapat, rasanya pasti sebentar senang sebentar susah,” maka lenyaplah kekhawatiran tadi.
Jika tidak dimengerti, kekhawatiran itu berlarut-larut sehingga takut akan hal yang aneh-aneh seperti takut kuwalat, takut durhaka. Padahal apakah kuwalat dan durhaka itu saja tidak dimengerti. Namun ditakuti juga, aneh bukan? Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: “Mana ada orang kuwalat atau durhaka? Kalau toh ada, rasanya pasti hanya sebentar senang sebentar susah. Katanya orang kuwalat itu kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Kalau begitu malah bisa merasakannya. Sebab yang sudah dialami berpuluh-puluh tahun hidup dengan kepala di atas dan kaki di bawah ternyata tidak enak. Seperti pada waktu cekcok dengan suami/isterinya atau tetangganya. Lihatlah orang-orang dengan kepala di atas, kaki di bawah itu.” Dan lenyaplah kekhawatiran di atas tadi.
Berlarut-larutnya kekhawatiran itu sehingga takut akan hal yang semakin aneh seperti mati tersesat. Alangkah anehnya orang mati bisa tersesat. Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya: “Bagaimana mungkin orang mati itu tersesat. Kalau tersesat tentu ke arah hidup yang pernah dialami ini. Lagi pula jika ada mati tersesat tentu ada pula hidup tersesat. Padahal ketika hendak hidup tanpa bertanya kepada siapa pun, tanpa bekal apa-apa, ia menjelma tepat dengan hidung di atas mulut, kuping di kedua sisi, kepala di atas, kaki di bawah dan sebagainya, melalui jalan yang benar.” Kemudian lenyaplah kekhawatiran yang aneh tadi.
Khawatir takut mati tersesat ini perinciannya hingga takut setelah mati akan menjelma sebagai babi-hutan. Alangkah anehnya! Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, orang dapat menasehati dirinya: “Bagaimanakah orang mati dapat menjelma menjadi babi-hutan. Andaikatapun benar, maka orang justru dapat merasakan bagaimana hidup sebagai babi-hutan. Pasti hanya berdengus-dengus mencari ubi. Dan pastilah tidak takut dihentikan dari pekerjaan, melainkan takut di semak-semak hutan. Sedangkan yang dialami berpuluh-puluh tahun hidup sebagai manusia pun tidak enak. Misalnya ketika mencari pinjaman tidak berhasil, atau ditagih hutangnya tidak sanggup membayarnya. Enakkah hidup sebagai orang?” Kemudian lenyaplah kekhawatiran tadi.
Menyesal dan khawatir ini mengandung anggapan atau pendapat bahwa orang itu dapat memperoleh senang atau susah yang abadi. Maka dengan dikejar secara mati-matian rasa senang itu dan ditolaknya secara mati-matian rasa susah itu, menimbulkan ketahayulan pada dirinya yang mengakibatkan penderitaan. Tahayul itu ialah menghubung-hubungkan sebab dan akibat yang tidak ada sangkut-pautnya. Sebagai contoh, misalnya orang berdagang sedang sial, tidak berani dagang, maka berkatalah: “Kesialan ini tentu lantaran aku tidak membakar kemenyan dan tidak bersembahyang pada malam menjelang hari Jumat yang lalu, sehingga daganganku tidak laku.” Jelaslah membakar kemenyan dan bersembahyang itu tidak ada sangkut paut dengan kesialan dagangan tidak laku. Namun orang yang bertahayul itu menghubung-hubungkan juga.
Contoh lain yang lebih jelas, misalnya seorang anak tengah bermain, tiba-tiba sakit kejang-kejang, maka orang berkata: “Anak itu pasti dijegal oleh syaitan penunggu jalan perempatan itu, oleh karena itu kejang-kejang badannya.” Padahal jelas anak sakit kejang tidak bersangkut-paut dengan syaitan penunggu jalan. Untuk menerangkan syaitan itu apa, orang tidak tahu. Apakah syaitan itu berkaki dua atau empatkah, bertelur atau menyusuikah, orang tidak tahu. Namun orang bertahayul menganggapnya bisa menjegal.
Contoh yang lebih jelas lagi, tatkala gunung Merapi meletus, orang bertahayul menghubungkannya begini: “Peristiwa itu adalah pernyataan Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan) yang marah lantaran gagal dalam mencari korban untuk pesta perkawinan putra/putrinya, sehingga diletuskannya gunung Merapi, beledar-beledur-beledar-beledur.” Jelaslah Kanjeng Ratu Kidul tidak ada sangkut-paut dengan letusan gunung Merapi. Karena siapakah dan apakah Kanjeng Ratu Kidul itu saja, Ki Ageng Suryomentaram 18 orang tidak tahu. Namun orang bertahayul memaksa menghubung-hubungkannya demikian.
Ketahayulan itu menyebabkan orang bertapa dan berpantang yang aneh-aneh, seperti merendam diri selama satu jam dalam tempo empat puluh hari, dengan pendapat bahwa: “Jika setiap malam merendam diri sambil mengucapkan mantera-mantera ini, daiam waktu empat puluh hari pasti aku akan memperoleh karunia dan senangiah aku selama-lamanya.” Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya dan tahulah bahwa hasil orang merendam diri selama itu, hanyalah menggigil kedinginan semata-mata. Bahkan isterinya terlanjur kesepian kedinginan tidak dapat tidur sebab menunggu-nunggunya. Dalam pada itu mertuanya pun membenci karena melihat anaknya tidak dilayani sewajarnya melainkan ditinggalkannya tiap malam hanya untuk merendam diri.
Tindakannya berpantang yang aneh-aneh itu seperti pantang makan dan pantang tidur. Padahal orang lapar itu enaknya kalau makan dan orang mengantuk itu enaknya kalau tidur. Jadi orang itu memantang hal-hal yang enak-enak, namun mengeluh bahwa tidak pernah mengalami keenakan dalam hidupnya. Tetapi jika mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti bahwa hasil berpantangan makan dan tidur itu lapar dan kantuk belaka.
Pantangan aneh-aneh itu kalau berlarut-larut sehingga berpantang berdekatan dengan suami/isteri sendiri, enakkah rasa yang berpantang dan yang dipantang itu? Pastilah tidak. Itu pun belum tentu ia dapat bertahan dalam pantangannya. Nanti baru berjalan seminggu saja, bila tidak diawasi, diam-diam, sudah menyerobot. Setelah itu saling menyesali: “Orang sudah dipesan sedemikian rupa! Orang sedang prihatin bertapa supaya memperoleh kurnia! Mengapa kamu pun masih mau saja dan kini semua usahaku batal, dan untuk mulai lagi aku tidak sanggup.”
Tetapi jika orang mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti bahwa hasil berpantang isteri sendiri adalah tidak betah. Demikian sifat katahayulan yang mendorong orang bertapa dan berpantang yang bukan-bukan, karena berpendapat bisa senang atau susah selama-lamanya.
T a b a h (Bhs.Jawa: Tatag)
Apabila kita mengerti bahwa menusia itu abadi, keluarlah orang dari neraka menyesal-khawatir dan masuk surga ketabahan. Ini berarti berani menghadapi segala hal. Berani menjadi orang kaya atau miskin, menjadi raja atau kuli, menjadi wali (orang suci) atau bajingan. Karena ia mengerti bahwa kesemuanya itu rasanya pasti sebentar senang, sebentar susah. Teranglah pandangannya dan mengerti bahwa semua pengalaman itu tidak ada; yang mengkhawatirkan atau yang sangat menarik hati.
Pada pokoknya yang ditakuti itu adalah kesusahan, padahal orang tentu mampu menderitanya. Sudah terbukti beribu-ribu kesusahan yang dialami, ia mampu menderitanya. Kesusahan yang paling hebat adalah merasa sangat malu atau menderita sakit sangat berat. Sedangkan jika hanya sangat malu dan sangat sakit saja, pasti orang mampu menderitanya. Walaupun ia selalu mengeluh: “Rasa malu kali ini benar-benar melukai hatiku, aku tidak kuat menanggungnya. Itu lain dengan pengalaman-pengalaman yang lampau!” Tetapi bila lepas dari neraka menyesal-khawatir dan masuk surga ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri sendiri yang sering bohong. “Malu yang mana yang kau tidak kuat menanggungnya? Kenyataan yang tengah dialami ini, benar menimbulkan rasa malu, benar-benar menyebabkan kau meringis sehingga kau benar-benar tidak berani keluar rumah menemui orang. Namun meskipun demikian kau tetap kuat menanggungnya juga.”
Demikian pula di waktu sakit, orang mengeluh: “Sakitku kali ini benar-benar berat, benar-benar aku tidak kuat menanggungnya. Lain dengan sakit yang lampau!” Tetapi bila lepas dari sesal-khawatir serta masuk surga ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri-sendiri yang biasa membohong: “Sakit yang manakah yang kau tidak kuat menderitanya? Kenyataan yang sedang dialami ini benar-benar sakit berat sehingga kau benar-benar merintih, namun meskipun demikian tetap kuat menanggungnya. Padahal betapapun hebatnya orang menderita sakit ia hanya Ki Ageng Suryomentaram 19 berakhir dengan mati. Sedangkan kalau cuma mati saja ia mesti kuat menjalaninya, dan itu telah dialami oleh beribu-ribu orang yang mati. Kalau aku mati, pasti perjalananku sama dengan orang-osang yang telah mati itu.”
Oleh karena itu bila orang kuat menanggung semua pengalaman dan dapat mencukupi apa yang diperlukannya maka tumbuhlah rasa kaya. Tiap kali merasa malu, asal saja meringis sudah cukup. Artinya orang tidak kehabisan rasa meringis bila mendapat malu dan tidak kekurangan rintihan bila menderita sakit. Dan menjelang saat kematian, asal saja berdiam diri sudah cukup.
Pada pokoknya yang diinginkan adalah rasa senang dan rasa senang ini pasti tercapai. Di mana saja, kapan saja, bagaimana saja, arang mesti mengalami senang. Misalnya orang menderita susah karena terbakar habis rumahnya. Bila ia menemukan sebuah celananya saja yang tidak turut terbakar, ia tetap bisa merasa senang. “Wah, untunglah celanaku tidak terbakar.” Misalnya orang menderita susah karena terlindas mobil kakinya hingga putus. Pada waktu sadar dari pingsannya ia pun masih dapat merasa senang. “Wah, untunglah kepalaku tidak terlindas sekalian.” Bila kepalanya pun kelindas hingga mati, masih ia bisa senang, “Wah, untunglah isteriku tidak ikut terlindas.”
Apabila orang mengerti bahwa semua peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang mengkhawatirkan dan tidak ada pula yang sangat menarik hati, maka teranglah pandangannya, serta bebaslah ia dari barang-barang di atas bumi dan di kolong langit ini. Karena ia mengerti bahwa barang-barang di atas bumi di kolong langit itu tidak dapat menyebabkan orang bahagia atau celaka. Juga tidak dapat menyebabkan orang senang atau susah.
Karena pada hakekatnya, yang menyebabkan senang itu ialah keinginannya tercapai, dan yang menyebabkan susah itu ialah keinginannya tidak tercapai. Tetapi bukanlah barang-barang yang diinginkannya.
Misalnya bila hujan dianggap menyenangkan, maka tiap kali turun hujan orang mesti senang. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Bagi orang yang sedang menyelenggarakan pertunjukan ketoprak (sandiwara jawa), bila hujan turun maka ia merasa susah. Kebalikannya, bila hujan dianggap menyusahkan, tiap kali hujan turun orang mesti merasa susah. Kenyataannya pun tidak demikian. Bagi petani yang sedang menanam padi, bila hujan turun maka ia merasa senang.
Contoh lain yang lebih gamblang dan terang. Bila orang bersuami/isteri yang mempunyai anak dianggap senang, maka setiap orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap senang saja. Padahal yang sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercekcok dengan suami/isterinya, dan anak-anaknya rewel, orang pasti merasa susah. Kebalikannya, jika bersuami/isteri dan beranak itu dianggap susah, maka setiap orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap susah saja. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercumbu-mesra dengan suami/isteri dan menimang-nimang anaknya, pasti orang merasa senang.
Jadi jelaslah bahwa barang-barang itu tidak menyebabkan orang senang atau susah. Oleh karena itu, di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang-barang yang pantas dicari, ditolaknya atau dihindari secara mati-matian.
BAGIAN IV
Mengawasi Keinginan
Manusia itu semua sama yakni abadi, rasanya sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah, demikian seterusnya. Bila kebenaran itu dimengerti, keluarlah orang dari penderitaan neraka iri-sombong, sesal-khawatir yang menyebabkan prihatin, celaka, dan masuklah ia dalam surga tenteram dan tabah yang menyebabkan orang bersuka-cita, bahagia.
Setelah bersuka-cita dan bahagia, maka dapatlah orang menyadari dirinya sendiri sewaktu timbul keinginan apa-apa. Setiap keinginan itu pasti mengandung rasa takut kalau-kalau tidak tercapai. Keinginan inilah yang segera diyakinkannya: “Keinginan itu jika tercapai tidak menimbulkan bahagia, melainkan senang sebentar yang kemudian akan susah lagi. Dan bila tidak tercapai pun tidak menyebabkan Ki Ageng Suryomentaram 20 celaka, hanyalah susah sebentar yang kemudian akan senang lagi.” Maka ia bisa menantangnya: “Silakan keinginan, berusahalah mati-matian mencari senang-senang abadi, dan berdayalah mati-matian menolak susah abadi, pastilah tidak berhasil. Kamu (keinginan) tidak mengkhawatirkan lagi”.
Bila orang dapat meyakinkan keinginannya sendiri demikian, lenyaplah rasa prihatin. Berbareng lenyapnya prihatin, tumbuhlah si pengawas keinginannya sendiri yang mengerti keinginannya sendiri.
Benih Pengetahuan
Si pengawas keinginannya sendiri ini ialah rasa aku, rasa ada. Orang itu tentu berasa aku, tidak bisa tidak berasa aku. Setiap berasa aku tentu berasa ada. Berasa aku tetapi tidak berasa ada, tidaklah demikian.
Si pengawas itu abadi karena ia itu barang asal. Barang asal itu tidak ada asalnya untuk membuatnya, tetapi malahan sebagai asal dari semua barang dan hal. Ia itu asalnya rasa aku-senang, aku-susah. Si pengawas ini abadi dalam mengawasi keinginannya sendiri yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret dengan rasa sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Rasa abadi yang mengawasi keinginannya sendiri itu, ialah abadi senang dan abadi bahagia.
Ketika si pengawas belum timbul, orang merasa “akulah berkeinginan, aku senang, aku susah.” Ia itu masih sebagai benih pengetahuan yang mengetahui tindak-tanduk manusia, serta belum timbul rasa senang dan bahagia. Wujudnya si pengawas ketika itu belum timbul, tetapi masih sebagai benih ialah seperti contoh berikut ini. Misalnya orang ingin buang air, dalam diri orang itu ada yang mengetahui dan mengerti “Aku ini tergesa-gesa menuju ke kakus, pastilah ingin buang-air.” Yang mengerti bahwa dirinya ingin buang air ini, tidaklah ikut berkeinginan buang air, akan tetapi hanya mengerti kehendaknya saja, yaitu si pengawas ketika belum tumbuh tetapi masih sebagai benih pengetahuan.
Contoh lain yang lebih jelas ialah orang yang makan cabe merasa pedas. Dalam diri orang itu ada yang mengetahui dan mengerti “Aku ini megap-megap mencari minuman, tentulah kepedasan.” Yang mengerti bahwa dirinya kepedasan ini tidaklah turut kepedasan, melainkan mengerti bahwa dirinya kepedasan, yaitu ketika si pengawas belum timbul tetapi masih sebagai benih pengetahuan.
Contoh lain yang lebih dekat, misalkan orang merasa malu, dalam diri orang itu tentu ada yang mengetahui dan mengerti: “Aku ini pasti mendapat malu, karena meringis-ringis dan tidak berani keluar rumah.” Yang mengerti dirinya memperoleh malu ini, tidaklah turut merasa malu, melainkan mengertinya saja, yaitu ketika si pengawas belum timbul, tetapi masih sebagai benih pengetahuan. Dan orang merasa “Akulah berkeinginan, yang senang, yang susah, yang malu, yang kepedasan, yang ingin buang air, adalah aku.”
Bila si pengawas sudah timbul, lenyaplah rasa prihatin, kemudian orang merasa “Aku bukanlah keinginan”, dari sini ia akan merasa “Yang senang dan susah bukanlah aku”, dari sini ia merasa “Yang malu, yang kepedasan, yang ingin buang air bukanlah aku.”
B a h a g i a
Maka orang akan merasa “Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia.” Bila orang sudah mempunyai rasa “Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia”, maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri, ia merasa “Itu bukanlah aku.” Begitu juga dalam menanggapi dunia dengan segenap isinya dan semua kejadian-kejadian, orang pun merasa “Itu bukanlah aku.”
Demikian rasa aku itu bahagia dan abadi. Karena itu, di mana saja, kapan saja, bagaimana saja, bahagialah orang itu. Demikianlah pengetahuan orang hidup bahagia.
PENUTUP
Ki Ageng Suryomentaram 21
Demikian keseluruhan rasa-rasa manusia. Rasa-rasa yang diterangkan di sini hanyalah yang pokok-pokok saja. Adapun kefaedahannya hanyalah sebagai batu loncatan untuk mempelajari perincian rasa-rasa sendiri.
Yang menjadi penghalang untuk mengetahui perincian rasanya sendiri ialah cita-cita dalam arti umum. Wujud cita-cita itu adalah: “Mencari senang abadi”, seperti yang telah dibahas dalam buku ini. Bila diteliti sampai benar-benar jelas cita-cita itu lenyap, artinya orang akan berasa bahwa “Cita-cita ini bukanlah aku.”
Bila cita-cita itu telah diketahui, dapatlah orang mengetahui perincian rasa-rasanya sendiri. Ternyata bekerjanya (prosesnya) rasa-rasa itu menurut hukum alam. Bila hukum alam itu diketahui, orang akan bertindak sesuai hukum alam itu dan merasa bahagia
Mawas diri
Orang sering merasa kesulitan karena tidak mengerti diri sendiri. Kesulitan tersebut dapat dipecahkan bila orang mengerti diri sendiri. Maka mengetahui diri sendiri dapat memecahkan berbagai macam kesulitan.
Pengertian diri sendiri ini disebut “pangawikan pribadi” atau “pengetahuan diri sendiri.” Oleh karena orang itu terdiri atas jiwa dan raga, sedangkan yang dibicarakan di sini hanya mengenai jiwa saja. Jadi pengetahuan diri sendiri atau pangawikan pribadi di sini dimaksudkan pengetahuan hal jiwa.
Meskipun jiwa itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera, tetapi orang merasa bahwa jiwa itu ada, maka jiwa adalah rasa. Jadi pangawikan pribadi berarti pengertian terhadap rasanya sendiri.
Pribadi yang dimaksudkan di sini bukanlah pribadi yang muluk-muluk tetapi pribadi yang merasa apa-apa, yang memikir apa-apa dan yang ingin apa-apa. Pribadi diri kita sendiri ini terjadi dari rasa-rasa banyak sekali dan rasa-rasa tersebut ada yang dangkal, ada yang dalam, dan ada yang dalam sekali. Tentu saja mengetahui diri sendiri, rasa-rasa sendiri ini, lebih dahulu mengetahui rasa-rasa sendiri yang dangkal, sebab rasa-rasa yang dangkal lebih mudah diketahui dari pada rasa-rasa yang dalam.
Jika orang sudah biasa mengetahui rasa sendiri yang dangkal dapatlah orang mulai mengetahui rasa sendiri yang dalam. Meskipun rasa sendiri yang dangkal itu mudah diketahui tetapi orang sering tidak mengetahui. Maka banyak kesulitan-kesulitan yang dapat dipecahkan oleh karena dapat mengetahui rasa sendiri yang dangkal.
Marilah saudara-saudara saya ajak bersama-sama mengetahui diri sendiri yang dangkal. Diri kita sendiri ini dapat mencatat atau memotret. Orang melihat sesuatu itu berarti memotret sesuatu tersebut. Misalnya orang melihat meja, artinya orang tersebut memotret meja dan di dalam rasa orang tersebut lalu ada potret meja atau gambar meja.
Potret meja tersebut bukanlah meja. Meja dan potret meja tersebut merupakan dua benda yang terpisah, tidak ada sangkut pautnya.
Demikian juga orang mendengar sesuatu, misalnya mendengar lagu, orang itu memotret lagu. Dalam rasa orang itu lantas ada potret lagu dan potret lagu tersebut bukanlah lagu. Demikian juga orang dapat memotret dengan indera yang lain yaitu pembau, peraba dan perasa.
Kecuali memotret barang-barang yang dapat ditangkap oleh panca indera, orang dapat pula memotret rasa. Jika orang merasa sesuatu misalnya merasa haus orang tersebut memotret rasa haus, lalu di dalam rasa ada potret rasa haus. Potret rasa haus tersebut bukanlah rasa haus.
Mengetahui diri sendiri dapat memotret itu adalah mengetahui diri sendiri yang paling dangkal. Selanjutnya dapat mengetahui diri sendiri yang lebih dalam, Maka mengetahui diri sendiri itu berurutan mulai dari yang dangkal sampai pada yang dalam.
Kecuali dapat memotret orang dapat pula menggagas atau mengarang. Misalnya ia mengarang kuda berkepala orang lantas ada gambar kuda berkepala orang dalam rasa orang tersebut. Gambar kuda berkepala orang tersebut bukanlah potret tetapi karangan sebab barangnya yang dipotret tidak ada.
Ki Ageng Suryomentaram 22
Gambar kuda berkepala orang tersebut bahannya diambil dari potret kuda dan orang. Potret kuda dihilangkan kepalanya dan diganti dengan kepala orang.
Kecuali dapat menggagas, orang dapat pula mencipta, misalnya mencipta payung. Sebelum orang mencipta payung orang berpikir lebih dahulu bagaimana caranya melindungi badan agar supaya tidak basah pada waktu kehujanan. Bila pemikiran telah selesai terciptalah barang yang disebut payung.
Maka barang-barang bikinan orang adalah ciptaan orang. Ciptaan dapat diwujudkan menjadi barang sedangkan gambar tidak dapat diwujudkan menjadi barang. Jadi mencipta dan menggagas itu berlainan.
Kecuali menggagas barang-barang, orang dapat pula menggagas rasa, misalnya menggagas rasa susah selamanya. Bila gagasan rasa itu dikira potret rasa maka akan timbul kesulitan. Banyak sekali gagasan-gagasan rasa yang dikira potret rasa.
Maka orang banyak mendapatkan kesulitan sebab gagasan dikiranya potret. Bila gagasan tersebut diketahui, kesulitan karena hal tersebut akan hilang.
Orang miskin merasa dirinya celaka lalu menggagas bila ia menjadi orang kaya maka ia akan merasa bahagia. Bahagia tersebut bila diteliti berarti senang terus menerus atau selamanya. Jadi bahagia tersebut adalah gagasan bukan potret.
Orang kaya itu memang ada dan dapat dipotret. Pengalaman (lelakon) orang kaya itu ada dan dapat dipotret. Tetapi kebahagiaan orang kaya itu tidak ada, maka tidak dapat dipotret. Jadi kebahagiaan seperti di atas adalah gagasan.
Misalnya orang merasa celaka (malang nasibnya) dan segala usaha untuk mencari kebahagiaan sudah tidak dapat, orang lantas menggagas, nanti sesudah mati akan mendapat kebahagiaan. Kebahagiaan nanti sesudah mati itu adalah gagasan. Bila gagasan tersebut diketahui maka gagasan tersebut akan lenyap sehingga tidak lagi menimbulkan kesulitan.
Biasanya orang menggagas kebahagiaan sesudah mati itu demikian: Orang mati itu yang rusak raganya sedang jiwanya atau sukmanya tidak rusak. Jadi gagasan akan mendapat kebahagiaan sesudah mati itu berarti yang bahagia adalah sukmanya.
Salah satu gagasan mendapat kebahagiaan sesudah mati itu demikian: Sukma tersebut menjelma menjadi orang lagi yaitu menjadi orang kaya, mulia dan berkuasa. Sedang gagasan bahagia yang lain demikian: Sukma tersebut bersatu dengan Hyang Sukma. Jadi gagasan itu berbeda-beda sebab orang menggagas itu bebas dan dapat sekehendaknya sendiri.
Oleh karena gagasan itu berbeda-beda maka orang menjadi bertengkar. Bila orang yang mempunyai gagasan yang sama itu menggerombol, maka gerombolan tersebut akan berperang dengan gerombolan lain yang mempunyai gagasan yang berlainan. Jadi gagasan itu menimbulkan perpecahan dan peperangan.
Meskipun yang menimbulkan peperangan itu hanya gagasan, tetapi tembak menembaknya sungguh-sungguh bukan gagasan. Demikianlah gagasan itu bila tidak diketahui akan menimbulkan kesulitan.
Misalnya orang merasa celaka (malang nasibnya) dan segala usahanya untuk mendapat kebahagiaan sudah tidak dapat, lantas menggagas demikian: Kalau negara diatur “begini” maka orang akan bahagia. Ada orang lain lagi memikir bahagia demikian: Kalau negara diatur “begitu” maka orang akan bahagia, Padahal “begini” dan “begitu” tersebut berbeda maka orang akan bertengkar. Jika orang yang mengatakan “begini” atau “begitu” tersebut menggerombol maka akan terjadilah peperangan. Peperangan tersebut terjadi oleh karena undang-undang yang ditempeli gagasan bahagia. Demikianlah gagasan itu bila tidak diketahui dapat menimbulkan perang.
Ada lagi gagasan menimbulkan kesulitan. Yaitu anggapan bahwa teh enak, kopi enak dan limun enak. Minuman terasa enak itu bagi orang yang merasa haus, sedangkan yang diminum itu teh, kopi atau limun bukanlah soalnya.
Jadi teh enak, kopi enak dan limun enak adalah gagasan, bukan potret. Jika gagasan itu dianggapnya potret orang akan berebutan teh, kopi dan limun. Demikianlah gagasan itu menimbulkan pertikaian.
Ada lagi gagasan yang menyebabkan timbulnya pertengkaran yaitu: baju-sutera-baik dan baju-belaco-jelek. Potret rasa yang sebenarnya demikian: Orang merasa dingin kemudian memakai baju sehingga merasa enak dan baik. Apakah bajunya Ki Ageng Suryomentaram 23 dari bahan sutera atau belaco bukanlah menjadi soal. Gagasan sutera baik sedangkan belaco jelek tersebut menyebabkan orang berebutan sutera sehingga menimbulkan peperangan. Demikianlah gagasan dapat menimbulkan peperangan.
Ada lagi gagasan yang menimbulkan pertengkaran, yaitu gagasan orang tampan dan orang cantik yang dihubungkan dengan perkawinan. Potret keindahan seperti hidung mancung atau pesek dan kulit kuning atau sawo matang itu memang ada tetapi keindahan tersebut tidak ada hubungannya dengan perkawinan. Orang cantik dan tampan dalam perkawinan yang berasal dari rasa hidup untuk melangsungkan jenis itu berasal dari rasa butuh. Jika sedang butuh, orang akan kelihatan cantik atau tampan dan apabila orang sedang tidak butuh, tidak kelihatan cantik atau tampan. Apabila gagasan orang cantik atau tampan tersebut diketahui, orang tidak berebutan wanita cantik atau pria tampan dan tidak lagi bersaingan merasa lebih cantik atau lebih tampan.
Demikian gagasan menimbulkan pertikaian dan peperangan. Jadi diri sendiri dapat memotret dan menggagas. Banyak persoalan dapat dipecahkan dengan cara membedakan potret dan gagasan.
Apabila orang sudah jelas dengan gagasannya orang dapat melanjutkan meneliti diri sendiri yang lebih dalam yaitu “si tukang menggagas”. Mengapa diri sendiri selalu menggagas? Diri sendiri selalu menggagas karena diri sendiri merasa celaka.
Tukang menggagas
Orang miskin merasa celaka lalu menggagas kebahagiaan orang kaya, Orang yang rendah derajatnya menggagas tinggi derajatnya, orang yang tidak berkuasa menggagas berkuasa, jelek menggagas baik, curang menggagas jujur, pemarah menggagas sabar, pemalas menggagas rajin dan sebagainya. Jadi yang menggagas itu “si-merasa-celaka”.
Gagasan itu cita-cita meskipun yang di cita-citakan itu bermacam-macam, tetapi pada pokoknya mencari kebahagiaan. Jadi si-merasa-celaka mencari kebahagiaan.
Si-merasa-celaka itu menelorkan bermacam-macam rasa yang saling berlawanan. Bahagia dan celaka, baik dan buruk, ingin dan menahan keinginan, sabar dan pemarah. Rasa-rasa yang berlawanan tersebut menimbulkan pertentangan dalam batin sehingga menyebabkan orang merasa tidak tenteram.
Dalam pertentangan rasa yang berlawanan tersebut oreng sering membela salah satu. Bila yang dibela kalah, orang merasa menyesal. Misalnya bila orang membela si jujur dalam pertengkarannya dengan si curang.
Apabila si curang yang menang sehingga perbuatan curang terlaksana, orang merasa menyesal. Demikian pula jika membela si jujur sehingga perbuatan jujur terlaksana orangpun merasa menyesal.
Pada waktu orang membela salah satu rasa berlawanan tersebut orang menyatukan dirinya dengan salah satu rasa. Pada waktu orang menyatukan dirinya dengan rasa curang, orang merasa “aku si curang”, dan pada waktu orang menyatukan dirinya dengan rasa jujur, orang merasa “aku si jujur”. Oleh karena pertentangan rasa berlawanan tersebut, orang sering menjadi bingung sehingga punya pendapat bahwa pertentangan rasa berlawanan tersebut merupakan ujian hidup. Jika lulus, orang akan mendapat karunia.
Demikian jika orang tunduk kepada rasa berlawanan. Apabila orang tidak menyatukan dirinya dengan salah satu, orang akan dapat meneliti rasa berlawanan tersebut sampai kepada sumbernya yaitu si-merasa-celaka. Si merasa celaka itulah si tukang menggagas bahagia.
Pada waktu orang akan meneliti rasa celakanya sendiri, orang akan bertemu dengan rasa benci terhadap rasa celakanya sendiri. Bila benci kepada rasa celakanya sendiri, orang akan menutupi rasa celakanya sendiri tersebut dengan mengidam-idamkan kebahagiaan. Bila usaha untuk menutupi tersebut diketahui, rasa benci akan lenyap sehingga tidak akan menutupi lagi. Bila rasa benci sudah lenyap orang akan bertemu dengan rasa senang terhadap celakanya sendiri, yang menutupi untuk dapat melihat rasa celakanya sendiri dan membela rasa senangnya itu. Dalam hatinya berkata:
Ki Ageng Suryomentaram 24
Jika orang tidak merasa celaka itu tidak ada kemajuannya, maka orang itu harus berprihatin.”
Jika rasa senang terhadap celakanya sendiri yang menutupi itu diketahui, rasa senang tersebut lenyap sehingga orang dapat melanjutkan meneliti rasa celakanya sendiri. Kemudian orang akan bertemu dengan rasanya sendiri yang akan berusaha mengubah rasa celakanya sendiri. Selama ada usaha untuk mengubah, orang tidak akan mengetahui rasa celakanya sendiri yaitu si-tukang-menggagas.
Bila diketahui bahwa usaha mengubah rasa celakanya sendiri itu menutupi, usaha itu akan lenyap sehingga orang akan jelas melihat rasa celakanya sendiri yaitu “Aku Kramadangsa celaka”.
Kramadangsa itu rasa namanya sendiri. Kalau namanya Suta, orang merasa aku si Suta dan jika namanya Naya, orang merasa aku si Naya. Apabila orang sudah merasa “Aku Kramadangsa celaka,” maka dapatlah orang meneliti rasa eelakanya sendiri.
Kemudian orang dapat menelusuri dirinya sendiri mencari rasa celakanya. Apakah melarat itu celaka? Dan bagaimanakah celakanya orang melarat? Apakah orang yang berpangkat rendah itu celaka? Apakah merasa curang itu celaka? Apakah merasa pemarah itu celaka? Dengan diteliti cara demikian rasa celakanya sendiri tidaklah ketemu.
Bila diteliti lebih mendalam lagi, akan diketemukan bahwa rasa celaka tersebut hanyalah rasa yang tidak mau dalam keadaan lahir atau batin yang sewajarnya, sekarang, di sini. Misalnya diri sendiri sekarang di sini melarat, tetapi tidak mau, maka celakalah rasanya. Sekarang diri sendiri pemarah, tetapi tidak mau, maka celakalah rasanya. Sekarang diri sendiri curang, tetapi tidak mau, maka celakalah rasanya. Jadi celaka itu hanyalah: “Sekarang di sini begini, aku tidak mau.”
Jadi bahagia itu hanyalah: “Sekarang di sini begini, aku mau.” Jika sekarang di sini melarat atau kaya, aku mau, bahagialah orang itu. Jika sekarang di sini merasa curang atau jujur, aku mau, bahagialah orang itu. Jadi bahagia dan celaka itu tergantung pada diri sendiri.
Di sini akan menimbulkan kesulitan yang berupa pertanyaan: “Jika demikian orang tidak mau berusaha.” Kesulitan tersebut timbul hanyalah karena kurang telitinya orang menelusuri diri sendiri.
Untuk jelasnya demikian. Kesulitan tersebut timbul dari gagasan, yang menganggap bahwa orang dapat lepas dari berusaha. Jika gagasan tersebut diketahui orang dapat melihat bah*a orang tidak mungkin lepas dari berusaha. Maka lenyaplah kesulitan tersebut.
Jika orang mengerti bahwa bahagia atau celaka itu hanyalah tergantung pada diri sendiri, orang akan dapat meneliti gagasan-gagasan celaka yang masih hidup dalam diri sendiri dan dapat mengganti gagasan tersebut menjadi potret. Misalnya gagasan demikian: “Isteriku ini memang cerewet.” Gagasan tersebut dapat diganti potret demikian: “Isteriku ini memang setia kepada suami, meskipun aku sudah diberhentikan dari jabatanku, ia tidak minta cerai, tapi hanya cukup sering mengomeliku saja.” Jika gagasan sudah diganti potret, orang merasa enak sebab gagasan itu rasanya tidak enak sedangkan potret rasanya enak.
Bahagia dan celaka itu hanyalah soal mau atau tidak mau. Agar lebih jelas perlu diberi contoh. Misalnya ada dua orang berjalan bersama-sama dalam keadaan kehujanan. Yang satu mau, maka rasanya bahagia sedangkan yang lain tidak mau, maka rasanya celaka. Jadi meskipun dua orang tersebut dalam keadaan yang sama, tetapi yang satu menanggapi dengan mau dan yang lain tidak mau. Maka bahagia dan celaka itu hanyalah persoalan mau tidak mau.
Rasa mau sekarang di sini itu adalah rasa abadi. Di sini ada kesulitan yaitu tentang rasa abadi dan pengertian abadi. Jika kesulitan ini belum terpecahkan orang tidak dapat merasakan rasa abadi.
Pengertian abadi itu ialah; dahulu ada, sekarang ada dan nanti pun tetap ada. Dahulu begitu, sekarang begitu dan nanti pun tetap begitu. Waktu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu waktu luar dan waktu dalam (waktu jiwa). Waktu luar itu wujudnya seperti satu menit, dua menit, setahun, dua tahun dan sebagainya. Ki Ageng Suryomentaram 25 Waktu jiwa itu wujudnya; tadi, kemarin, besok, dahulu dan nanti. Kramadangsa hidup dalam waktu jiwa yaitu dahulu dan nanti. Maka Kramadangsa tidak berani melihat diri sendiri sekarang di sini begini.
Kramadangsa tua itu biasanya sering hidup dalam waktu dahulu, rasanya demikian. “Dahulu waktu aku masih muda dapat begini-begini.” Maka bila ditanya oleh cucunya: “Sekarang bagaimana mbah?” Jawabnya mencari-cari alasan begini: “Kalau sekarang aku sudah bobrok dan takut kedinginan.” Demikianlah Kramadangsa tua hidup dalam waktu dahulu.
Kramadangsa muda itu biasanya hidup dalam waktu nanti, rasanya demikian: “Aku nanti akan begini begitu dan akan hebat.” Maka bila ditanya oleh neneknya, jawabnya mencari-cari alasan begini: “Kalau sekarang jamannya memang tidak baik.” Demikianlah Kramadangsa muda hidup dalam waktu nanti.
Rasa abadi itu rasa sekarang-disini-begini, tidak bercampur dengan rasa kemarin, besok, dahulu dan nanti. Misalnya orang sedang berjalan di jalan besar dan akan ketabrak mobil, kemudian melompat menghindari. Orang tersebut hanyalah merasa “Sekarang di sini aku melompat,” tidak dicampuri rasa kemarin atau besok.
Orang tersebut tidak sengaja merasa abadi, hanyalah terpaksa oleh keadaan, yang harus diselesaikan tanpa berpikir panjang. Bila rasa abadi tersebut diteliti maka akan diketemukan perhatian terpusat hanya terhadap satu hal yaitu melompat. Perhatian terpusat itu adalah perhatian bebas, maka rasa abadi adalah perhatian bebas terhadap salah satu hal tidak tercampur dengan perhatian lain.
Bila mengerti bahwa merasa abadi itu dari rasa bebas, dapatlah orang dengan sengaja merasa abadi. Tiap memusatkan perhatian terhadap sesuatu, tentu merasa abadi meskipun yang diperhatikan tersebut barang yang dapat dilihat ataupun dirasa. Rasa abadi dapat menghilangkan kesulitan yang berwujud menyesal dan khawatir.
Bila rasa menyesal diperhatikan sepenuhnya dan diteliti, tanpa senang dan benci, tanpa berusaha untuk mengubah, maka dapatlah orang merasakan rasanya sehingga terlihat kejadiannya dan terlihat pula sebabnya. Sesal adalah gagasan luka dalam hati, bila diperhatikan sepenuhnya sampai selesai, sesal tersebut lenyap dan luka dalam hati akan sembuh.
Demikian pula rasa khawatir bila diperhatikan sepenuhnya dan diteliti, tanpa senang dan benci, tanpa berusaha untuk merubah, lenyaplah rasa khawatir tersebut. Jadi rasa abadi dapat melenyapkan rasa sesal dan khawatir.
Kebalikan dari perhatian terpusat adalah perhatian terpencar. Contoh perhatian terpencar misalnya, ketika sedang bepergian yang diperhatikan rumahnya dan setelah di rumah yang diperhatikan tempat lain. Perhatian terpencar itu menyebabkan orang tidak dapat selesai memikir salah satu persoalan.
Yang menyebabkan perhatian tidak terpusat atau tidak bebas adalah kesulitan yang belum dapat dipecahkan, meskipun orang itu merasa atau tidak merasa. Kesulitan yang belum dipecahkan tersebut sering muncul untuk minta diperhatikan. Maka orang yang mempunyai banyak kesulitan yang tidak terpecahkan, perhatiannya selalu ditarik ke sana ke mari.
Kesulitan yang tidak terpecahkan itu adalah suatu penyakit jiwa. Bila penyakit tersebut berat, menyebabkan orang tidak dapat menerima pembicaraan orang lain. Jadi penyakit jiwa tersebut, menyebabkan orang merasa sepi.
Bila kesulitan diperhatikan dengan sepenuhnya dan diteliti sampai selesai, orang lantas merasa bebas perhatiannya, artinya orang dapat memilih apa yang akan diperhatikan dengan bebas. Keadaan rasa bebas memilih tersebut sehingga datangnya kesulitan baru. Jadi di antara selesainya kesulitan dan datangnya kesulitan ada waktu yang kosong.
Dalam waktu tersebut orang dapat melihat hal yang sesungguhnya atau keadaan sejati. Misalnya melihat burung terbang, orang merasakan keindahannya, melihat rumput yang hijau merasa indah, melihat gunung yang besar merasa agung dan sebagainya.
Kebalikannya, bila ada kesulitan yang belum selesai orang tidak dapat melihat hal yang sesungguhnya. Misalnya melihat burung terbang merasa iri, melihat gua ingin Ki Ageng Suryomentaram 26 digunakan untuk bersembunyi, bertapa dan sebagainya. Jadi waktu kosong antara dua kesulitan merupakan pengalaman perhatian bebas.
Demikianlah “pangawikan pribadi” atau “pengetahuan diri sendiri” dapat digunakan untuk memecahkan kesulitan. Demikian pula orang dapat mengetahui diri sendiri mulai yang paling dangkal sampai kepada yang dalam. Cara latihan untuk mengetahui diri sendiri tersebut akan dlpaparkan pada halaman berikutnya.
Latihan
Orang itu baru merasa ada bila berhubungan, baik berhubungan dengan benda, orang lain maupun dengan rasanya sendiri. Dalam berhubungan itulah orang baru dapat mengetahui diri sendiri. Maka berhubungan itu dapatlah dimisalkan sebagai cermin.
Tiap tindakan selangkah, ucapan sekata dan gerak hati sedetik, tentulah orang berhubungan. Tiap berhubungan selalu ada diri sendiri dan yang dihubungi. Jadi bila berhubungan dengan orang, berhubungan tersebut mengandung diri sendiri dan orang lain.
Maka dari itu tindakan selangkah, ucapan sekata dan gerak hati sedetik mengandung diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri sangat sukar diketahui sebab diri sendiri bersembunyi atau disembunyikan. Diri sendiri disembunyikan karena diri sendiri itu jelek dan memalukan.
Meskipun bersembunyi, tetapi bila dengan tekun orang meneIiti, diri sendiri akan ketemu pada waktu berhubungan. Misalnya diri sendiri mengatakan demikian: “Isteriku cerewet.” Dalam ucapan tersebut diri sendiri bersembunyi atau disembunyikan, yang terlihat di sini hanyalah cerewet isterinya.
Bila ucapan tersebut dirasakan tanpa rasa senang dan benci, tanpa usaha untuk mengubah, mulailah diri sendiri terlihat.
Yang mengatakan: “Isteriku cerewet” itu adalah diri sendiri. Jadi kalimat tersebut tidak lengkap dan kurang jelas. Lengkapnya kalimat tersebut demikian: “Aku mengatakan bahwa isteriku cerewet.” Sekarang sudah jelas diri sendiri berhubungan dengan isterinya. Jadi diri sendiri yang mengucapkan dan isterinya yang diucapkan.
Selanjutnya orang dapat meneruskan meneliti diri sendiri yang sudah terlihat tersebut. Cerewet adalah suatu perbuatan tidak baik atau cacat. Jadi ucapan tersebut menunjukkan cacad isterinya.
Jadi bi]a diteliti ucapan tersebut lengkapnya demikian: “Aku mengatakan cacad isteriku dengan menunjukkan cerewetnya.” Kalimat tersebut menunjukkan diri sendiri makin jelas. Bila kalimat tersebut dirasakan benar-benar dan diteliti tanpa senang dan benci dan tanpa usaha untuk mengubah, diri sendiri makin terlihat jelas. Mengatakan cacad orang lain itu namanya menjelekkan. Kalimat tersebut bisa diteliti tanpa rasa senang dan benci dan tanpa usaha untuk mengubah, agar diri sendiri makin terlihat lebih jeias lagi. Maka kalimat tersebut dapat dibuat lebih jelas lagi demikian: “Aku menjelekkan isteriku dengan mengatakan cacadnya yaitu cerewetnya.”
Selanjutnya orang dapat meneruskan meneliti diri sendiri dengan bertanya, bagaimanakah rasa hatiku bila dijelekkan? Tentu saja diri sendiri akan menjawab: “Bila aku dijelekkan hatiku merasa sakit.” Jadi menjelekkan itu menyakitkan hati.
Menyakitkan hati orang lain namanya bertindak sewenang-wenang. Kalau begitu, diri sendiri itu sewenang-wenang. Jadi kalimat tersebut lebih jelasnya demikian: “Aku bertindak sewenang-wenang menyakitkan hati isteriku dengan menjelekkan dan menunjukkan cacadnya yaitu cerewetnya.”
Demikian orang dapat melihat diri sendiri yang bertindak sewenang-wenang. Di sini ada kesulitan yang berupa pertanyaan: “Apakah tindakan sewenang-wenang itu sudah menjadi sifat seseorang atau hanya kadang-kadang saja?” Kramadangsa itu sifatnya pribadi. Pribadi itu selalu mencari enak sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Maka Kramadangsa itu selalu mencari enak pribadi tidak mempedulikan orang lain, inilah yang menyebabkan sewenang-wenang. Demikian itu jelasnya.
Jadi Kramadangsa itu tiap berhubungan dengan orang lain tentu bertindak sewenang-wenang. Orang biasanya takut untuk melihat kesewenangannya sendiri, Ki Ageng Suryomentaram 27 sebab sudah terkenal bahwa bertindak sewenang-wenang itu jelek. Malahan ada ajaran kuno yang mengatakan: “Cintailah sesamamu”
Bila orang berusaha untuk melihat kesewenangannya sendiri, orang akan menjumpai rasa bencinya sendiri terhadap perbuatannya itu. Rasa benci ini timbul karena mengerti bahwa tindakan sewenang-wenang itu hasilnya tidak enak. Maka orang lalu ingin mencapai kasih.
Cita-cita kasih itu bukanlah kasih. Cita-cita kasih itulah anak dari tindakan sewenang-wenang yang takut akan akibatnya. Maka cita-cita kasih itu, kesewenangannya masih sama saja dengan bapaknya. Bedanya hanyalah bila bapaknya itu bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain, tetapi anaknya bertindak sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri. Bila diri sendiri marah, ditahannya atau diperanginya marahnya itu. Sering-sering orang memerangi kesewenangannya sendiri itu dengan jalan mencegah makan, mencegah tidur dan sebagainya.
Rasa sewenang-wenang itu berkelahi dengan cita-cita kasih dan saling bergantian kalah atau menang. Maka perkelahian tersebut sering dianggapnya ujian hidup, bila cita-cita kasih yang menang orang akan mendapat karunia dan bila kalah orang akan mendapat hukuman.
Demikianlah rasa bencinya sendiri menutupi untuk melihat kesewenangannya. Bila diketahui bahwa rasa bencinya sendiri itu menutupi, lenyaplah rasa benci tersebut. Selanjutnya orang dapat melihat kesewenangannya dan akan menjumpai rasa senang terhadap kesewenangannya sendiri.
Rasa senang tersebut menyebabkan ia membela terhadap kesewenangannya sendiri. Kata hatinya demikian: “Jika orang tidak bertindak sewenang-wenang, orang akan disewenang-wenangi oleh orang lain.” Cara membela kesewenangannya sendiri tersebut bermacam-macam, ada yang berkedok undang-undang ada yang berkedok tata cara, ada yang berkedok filsafat, ada yang berkedok aliran dan ada yang berkedok ajaran. Oleh karena rasa senang itu sangat erat hubungannya dengan rintangan untuk melihat kesewenangannya sendiri, maka di sini cara membela kesewenangannya sendiri tersebut akan diterangkan secara terperinci.
Misalnya seorang laki-laki memarahi isterinya yang tidak mandi dan menyisir rambutnya pada sore hari, caranya demikian: “Wanita yang demikian itu tidak setia kepada suaminya.” Demikian orang membela kesewenangannya dengan kedok ajaran-ajaran; misalnya orang kaya mengomeli orang miskin oleh karena pinjam baju tidak dikembalikan, caranya demikian: “Aturannya orang pinjam itu harus mengembalikan.” Demikian pula orang membela kesewenangannya dengan kedok undang-undang. Misalnya orang mengadakan pesta mengawinkan anaknya, karena hanya mendapat sumbangan sedikit, mengomeli tetangga-tetangganya demikian: “Tetangga-tetanggaku itu memang keterlaluan, tidak punya rasa gotong-royong sama sekali.” Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok tata cara.
Misalnya orang kaya, mulia dan berkuasa menyalahkan orang miskin, yang rendah derajatnya dan tidak berkuasa, caranya demikian: “Orang miskin, rendah derajatnya dan tidak berkuasa itu salahnya sendiri, karena tidak mengetahui aturan alam. Siapa yang kuat makan yang lemah.” Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok filsafat. Misalnya orang menggedor orang kaya, hatinya mengatakan demikian: “Orang kaya itu merusak dunia dan harus dilenyapkan, sebab menimbulkan kemelaratan orang banyak.” Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok aliran.
Bila timbulnya semua rasa senang terhadap kesewenangannya sendiri sudah diketahui, maka rasa senang tersebut yang merintangi untuk melihat kesewenangannya sendiri akan diketahui. Bila dapat diketahui maka lenyaplah rintangan itu.
Bila orang akan melanjutkan untuk mengetahui kesewenangannya sendiri, tentu akan berjumpa dengan rasa sendiri yang akan mengubah kesewenangannya sendiri. Tiap ada maksud untuk mengubah, orang tidak dapat melihat rasanya sendiri. Jadi niat mengubah itu merupakan rintangan untuk mengetahui kesewenangannya sendiri. Ki Ageng Suryomentaram 28 Bila diketahui rintangan tersebut akan lenyap. Demikian banyak sekali rintangan yang menutupi pandangan untuk melihat kesewenangannya sendiri. Jika semua rintangan yang menutupi tersebut diketahui dengan teliti, maka lenyaplah rintangan tersebut, sehingga orang melihat diri sendiri, kesewenangannya sendiri tanpa tirai, yaitu: “Aku Kramadangsa bertindak sewenang-wenang.”
Bila rasa kesewenangannya sendiri ketahuan sebelum terjadi perbuatan sewenang-wenang itu, maka rasa sewenang-wenang tersebut tidak lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang. Sebab bila orang melihat rasa sewenang-wenangnya sendiri tanpa maksud untuk mengubah, artinya Kramadangsa diam atau mati.
Bila Kramadangsa mati, kesewenangannya ikut mati pula. Jika Kramadangsa mati, timbullah rasa kasih tanpa syarat. Kasih tanpa batas itu berarti terhadap siapa saja kasih dan terhadap apa saja juga kasih, malahan kepada kesewenangannya sendiri pun kasih. Tanpa syarat artinya, biarpun dibenci atau dikasihi akan tetap kasih. Kasih tanpa batas dan tanpa syarat bukanlah Kramadangsa, Kramadangsa tidak pernah kasih dan Kramadangsa selalu bersifat sewenang-wenang. Maka lahirnya kasih itu bila Kramadangsa mati.
Kasih itu rasanya enak atau bahagia. Bukan rasa enak karena kehendaknya tercapai, bukan karena mendapat harta benda banyak, bukan karena mendapat kekuasaan, bukan karena mengalahkan musuh dan sebagainya. Rasa yang lahir tersebut akan dicatat oleh Kramadangsa. Jika sudah mencatat rasa kasih tersebut Kramadangsa hidup lagi.
Catatan rasa kasih itu bukanlah kasih. Dari catatan rasa kasih tersebut Kramadangsa akan mengejar kasih, setiap mengejar rasa kasih, Kramadangsa tidak dapat berhasil sebab selama hidupnya Kramadangsa tidak dapat kasih. Agar supaya rasa kasih itu lahir, Kramadangsa haruslah mati dahulu.
Padahal matinya Kramadangsa itu bila diketahui kesewenangannya tanpa maksud untuk merubah. Bila ada maksud untuk merubah berarti Kramadangsa maslh hidup, sebab yang bermaksud untuk merubah adalah Kramadangsa.
Bila sudah mencatat rasa kasih, Kramadangsa lalu hidup lagi. Demikian seterusnya. Jadi lahirnya rasa kasih itu tidak terus menerus, tetapi terputus-putus pada tiap kali perbuatan.
Meskipun kasih itu barang kuno dan abadi tetapi kasih tersebut bagi Kramadangsa seperti barang baru. Sebab kasih itu memperbarui Kramadangsa. Maka kasih itu dapat disebut barang abadi baru.
Faedah kelahiran rasa kasih itu adalah penting di dalam pergaulan sehari-hari. Padahal rasa kasih itu lahir biia orang melihat kesewenangannya sendiri. Maka melihat kesewenangannya sendiri itu penting di dalam pergaulan sehari-hari.
Di sini perlu diberi contoh dalam kejadian pergaulan sehari-hari di mana orang dapat melihat kesewenangannya sendiri. Ada seorang yang mempelajari ilmu jiwa sedang naik kereta api dan duduknya membelakangi pintu kereta, oleh karena orang tersebut tidak tahan angin, ditutupnya pintu kereta. Kemudian ada orang lain lewat masuk melalui pintu tersebut, tetapi tidak menutupnya lagi. Orang yang tidak tahan dingin tersebut merasa marah, tetapi tidak lahir menjadi perbuatan marah. Orang tersebut mengetahui marahnya sendiri, dalam hatinya berkata demikian, “Lho, aku ini orang yang berbuat sewenang-wenang, mengapa aku marah kepada orang yang tidak mau menutup pintu, padahal yang butuh menutup pintu itu aku sendiri, tetapi ogah-ogahan. Aku lebih suka memarahi orang lain daripada menutup pintu. Demikian ini adalah perbuatan sewenang-wenang.”
Hasil melihat kesewenangannya sendiri yang belum lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang, orang tersebut segera bertindak menutup pintu kereta api, dengan merasa damai dan bahagia. Rasa marah yang ketahuan demikian, tidak meninggalkan bekas atau dendam untuk dia, orang yang dimarahi tersebut sudah menjadi orang baru, artinya bukan orang yang dimarahi lagi.
Contoh lain lagi di mana orang dapat melihat kesewenangannya sendiri. Ada orang belajar ilmu jiwa. Pada suatu saat orang tersebut naik kereta api. Kemudian ada pedagang burung perkutut masuk dalam gerbong kereta api dan meletakkan sangkar burung di tengah jalan di dalam kereta api, sehingga sangkar tersebut menutupi orang yang akan lewat. Banyak orang-orang yang lewat terpaksa Ki Ageng Suryomentaram 29 melompati sangkar itu. Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut merasa marah, kata hatinya demikian: “Pedagang perkutut itu tidak mengerti peraturan kerata api, ia menaruh sangkar burung merintangi orang-orang yang akan lewat.”
Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut mengetahui marahnya sendiri, kesewenangannya sendiri, kata hatinya demikian: “Lho aku ini berbuat sewenang-wenang, yang menaruh sangkar mau dan yang melompati mau juga, mengapa aku marah?” Tidak berapa lama kondektur lewat dan juga melompati sangkar tersebut dan tidak meIarang kepada yang punya sangkar. Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut menjadi lebih jelas dan mengetahui kesewenangannya sendiri dan kata hatinya demikian: “Lho, aku ini jelas berbuat sewenang-wenang, mengapa aku marah kepada pedagang perkutut, meskipun marahku tidak lahir menjadi perbuatan marah, sedangkan kondektur yang punya kereta api tidak marah.”
Demikian orang melihat diri sendiri, kesewenangannya sendiri. Jika ketahuan sebelum lahir menjadi perbuatan, rasa sewenang-wenang tidak lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang. Jikalau orang menjadi biasa melihat kesewenangannya sendiri yang kasar-kasar, kemajuannya orang akan dapat melihat kesewenangannya sendiri yang halus-halus, yang belum menjadi rasa marah.
Misalnya orang menyuruh membuat air minum kepada isterinya, tetapi isterinya tidak mau. Pada waktu menyuruh membuat air minum dan isterinya mau, orang yang menyuruh tersebut tidak tampak kesewenangannya, sebab kesewenangannya tidak lahir menjadi rasa marah. Bila isterinya disuruh tidak mau, rasa sewenang-wenangnya akan lahir menjadi marah.
Jadi apabila orang menyuruh kepada isterinya dan mengetahui kesewenangannya sendiri, dan isterinya tidak mau disuruh, orang tcrsebut tidak marah sebab rasa sewenang-wenang bila diketahui sebelum jadi rasa marah, rasa sewenang-wenang tersebut tidak lahir menjadi rasa marah. Jadi rasa marah itu adalah tindakan rasa sewenang-wenang.
Unsur-unsur kramadangsa
Bila Kramadangsa mati, orang akan mengetahui unsur-unsur Kramadangsa. Kramadangsa itu terjadi dari catatan-catatan: harta benda, pekerjaan, kehormatan, kekuasaan, keluarga, gerombolan, bangsa, jenis, kepandaian, kepercayaan, rasa hidup dan sebagainya. Jadi bila Kramadangsa mati orang akan dapat mempelajari unsur-unsur Kramadangsa tanpa senang dan benci dan tanpa rasa ingin mengubah.
Catatan-catatan yang menjadi unsur-unsur Kramadangsa tersebut hidup, karena itu gerak dan diam dan perlu makan. Unsur-unsur Kramadangsa itulah yang mendorong dan menggerakkan Kramadangsa. Oleh karena itu bila orang tidak mengerti unsur-unsur Kramadangsa, sering terkejut akan perbuatan sendiri yang tidak diduga-duga, misalnya: bercerai dengan isterinya, menyumpahi dan mengusir anaknya, bertengkar dengan tetangga dan sebagainya.
Catatan harta benda wujudnya: catatan rumah, halaman, sawah, harta dan sebagainya. Catatan harta benda tersebut hidup, oleh karena itu ingin kelangsungan hidupnya, dan catatan tersebut dapat pula mati.
Seperti benda hidup lainnya catatan harta benda itu ada rasanya. Catatan harta benda itu rasanya lemah sekali. Misalnya rumah itu dapat bocor, lapuk dan dapat rusak.
Oleh karena merasa lemah, catatan harta benda berusaha agar menjadi kuat. Usaha untuk menjadi kuat itu menumbuhkan Kramadangsa. Jadi Kramadangsa itu pesuruh dari unsur-unsurnya.
Kramadangsa itulah yang berusaha agar harta benda menjadi kuat. Kramadangsa itu mengerti tentang aturan terjadinya benda (barang dumadi), tetapi catatan harta benda tidak. Maka Kramadangsa itu hidup dalam ukuran ketiga, sedang catatan harta benda hidup dalam ukuran kedua.
Andaikata diserang atau dirugikan, catatan harta benda tentu akan membela diri tanpa berpikir. Bila rasa membela diri itu muncul dalam perasaan, Kramadangsa akan memikir bagaimana untungnya membela diri. Jadi Kramadangsa itu adalah alat dari catatan harta-benda agar menguntungkan dan menolak bila dirugikan.
Ki Ageng Suryomentaram 30
Demikian pula unsur-unsur yang lain menggunakan Kramadangsa untuk membela diri. Antara unsur-unsur Kramadangsa itu sering bertentangan antara satu dengan yang lain, sehingga menyebabkan orang menemui kesulitan.
Misalnya harta benda seseorang dihabiskan oleh anaknya. Anak adalah unsur dari Kramadangsa dan harta bendapun unsur dari Kramadangsa. Jadi dua unsur saling berselisihan.
Perselisihan antara unsur-unsur itulah yang menyebabkan orang menemui kesulitan. Bila kesulitan itu diteliti, akan ketemu, bahwa catatan-catatan yang menjadi unsur Kramadangsa itu ada yang salah. Jadi catatan itu dapat benar dan dapat pula salah.
Catatan benar rasanya enak, sedangkan catatan salah rasanya tidak enak. Bila orang mengerti bahwa catatan itu dapat benar dan dapat pula salah, dapatlah orang meneliti catatan salah untuk dibetulkan. Sebagai petunjuk yang jelas bahwa catatan itu salah bila sudah terjadi kesulitan.
Catatan benar dan catatan salah
Catatan harta benda sering salah. Harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan hidup yaitu: makan, pakaian dan tempat tinggal. Jika keliru, harta benda itu dipergunakan untuk mencari kehormatan dan kekuasaan. Padahal kehormatan dan kekuasaan itu kebutuhan jiwa. Apabila harta benda digunakan untuk mencukupi kebutuhan jiwa, orang merasa tidak cukup, walaupun orang mempunyai berapa banyaknya harta benda, sehingga orang akan berebutan harta benda.
Bila kita mengerti bahwa harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan raga atau hidup, orang akan tenteram, karena mengerti bahwa kebutuhan raga itu sedikit sekali. Harta benda untuk kebutuhan jiwa tanpa batas, sebab untuk bersaingan. Bersaingan itulah yang menyebabkan orang menjadi sewenang-wenang.
Bila harta benda digunakan untuk kebutuhan jiwa, maka pekerjaan pun salah bila digunakan untuk bersaingan sehingga menyebabkan adanya pekerjaan yang dianggap rendah, tinggi, halus dan kasar. Jadi bila terjadi salah anggapan tentang pekerjaan maka akan ada pekerjaan bahagia dan celaka dan ada tingkat (pangkat) pekerjaan.
Pekerjaan yang tingkatnya rendah disebut pekerjaan celaka dan yang tingkatnya tinggi disebut pekerjaan bahagia. Itulah yang menyebabkan orang berebutan tingkat tinggi. Demikian bila pekerjaan digunakan untuk kebutuhan jiwa menyebabkan orang berebutan pekerjaan tinggi sehingga menimbulkan perselisihan.
Bila orang mengerti bahwa pekerjaan itu digunakan untuk kebutuhan raga, maka orang akan merasa tenteram. Bila rasa celaka muncul dalam perasaan, orang akan melihat bahwa rasa celaka demikian adalah keliru, maka lenyaplah rasa celaka tersebut. Demikian selanjutnya bila rasa celaka muncul kembali.
Tiap kali celaka muncul, catatan salah tentang pekerjaan yang menimbulkan rasa celaka tersebut menjadi benar. Bila catatan pekerjaan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, Kramadangsa tidak lagi merasa lebih tinggi atau kurang tinggi dengan orang lain dalam hal pekerjaan. Apabila pekerjaan sudah tidak dibandingkan dengan orang lain, orang akan merasa tenteram.
Catatan kehormatan menyebabkan orang marah bila dihina dan tertawa bila dihormati. Jika orang tidak mengerti sifat unsur kehormatan tersebut, orang akan mengharapkan tidak marah bila dihina, sebab marah itu menyebabkan berselisih bila lahir menjadi perbuatan. Harapan agar tidak marah tersebut menjadi menahan marah.
Marah yang ditahan itu tidak hilang marahnya, tetapi hanya berganti rupa yang berwujud menggerutu, membicarakan orang lain dan sebagainya. Orang sering lupa dengan marahnya sendiri yang sudah berganti rupa. Bila orang tidak lupa dengan marahnya sendiri yang sudah berganti rupa dapatlah melanjutkan meneliti marahnya sendiri sampai kepada sumbernya yaitu unsur kehormatan yang dihina.
Catatan kehormatan sering pula salah. Wujudnya berupa pengertian demikian: “Dihormati itu rasanya enak.” Catatan kehormatan yang salah tersebut menyebabkan orang berusaha mati-matian agar supaya dihormati. Inilah yang menyebabkan orang berebutan kehormatan.
Ki Ageng Suryomentaram 31
Catatan kehormatan benar, berwujud pengertian demikian: “Hormat itu rasanya enak.” Hormat itu rasanya enak, baik hormat itu dari diri sendiri kepada orang lain maupun dari orang lain kepada diri sendiri.
Bila mengerti bahwa hormat itu rasanya enak, orang tidak usah menunggu dihormati oleh orang lain tetapi cukuplah menghormati orang lain. Meskipun lahir atau tidak lahir menjadi perbuatan, menghormati itu rasanya enak. Jadi enak dalam kehormatan itu pada diri sendiri tidak pada orang lain.
Bila catatan kehormatan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, orang dapat melihat dan tidak lupa kepada rasanya sendiri, bila rasa minta dihormati muncul dalam perasaan. Bila rasa minta dihormati itu ketahuan, tidak akan lahir menjadi perbuatan minta dihormati. Mengetahui diri sendiri minta dihormati itu menyebabkan rasa tenteram. Mengetahui diri sendiri minta dihormati itu berbeda dengan menahan diri, agar tidak kelihatan minta dihormati. Menahan diri itu rasanya gelisah, takut dan tidak enak, sedangkan mengetahui itu rasanya tenteram, tabah dan enak. Jadi menahan diri itu mengandung rasa takut sedangkan mengetahui itu mengandung rasa tabah.
Catatan kekuasaan yang menjadi unsur Kramadangsa dapat-pula benar dan salah. Bila catatan tersebut benar rasanya enak, sedangkan Bila salah rasanya tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang akan dapat melihat unsur kekuasaan tersebut.
Unsur kekuasaan ini menyebabkan orang menjadi benci bila diganggu dan menjadi senang bila dibantu. Bila orang tidak mengerti unsur kekuasaan tersebut orang akan mencari kekuasaan dalam masyarakat, sehingga timbullah berebutan kekuasaan dalam masyarakat.
Cita-cita untuk mencari kekuasaan akan lahir menjadi usaha agar ditakuti dalam masyarakat. Bila merasa ditakuti, orang merasa berkuasa dan puas, sehingga orang berebutan agar ditakuti dan menakut-nakuti dalam masyarakat.
Cita-cita mencari ditakuti di dalam masyarakat dianggap cita-cita luhur. Anggapan terhadap hal tersebut dinyatakan dalam ungkapan sebagai berikut: “Orang baru akan memperoleh kewibawaan bila disegani aleh orang lain.” Dalam ungkapan tersebut mengandung arti bahwa kewibawaan seseorang itu bila dapat ditakuti atau menakut-nakuti orang lain.
Demikianlah wujud catatan unsur kekuasaan bila diteliti. Bila penelitian dilanjutkan, akan terlihat bahwa catatan tersebut salah. Untuk jelasnya seperti di bawah ini. Rasa mencari kekuasaan itu lahir menjadi keinginan diturut atau dipercaya oleh orang lain. Orang menurut itu terdorong oleh rasa takut ancaman atau harapan akan kebahagiaan. Maka usaha untuk diturut atau dipercaya itu berupa ancaman atau janji yang berupa harapan bahagia, sehingga timbullah dalam masyarakat ancaman-ancaman dan janji-janji. Untuk menguatkan ancaman danjanji-janji tersebut orang mengadakan kelompok-kelompok yang berselisih satu sama lain. Inilah yang menyebabkan peperangan.
Demikian catatan unsur kekuasaan yang salah menyebabkan tidak enak. Jika orang mengerti catatan tersebut salah, orang akan dapat membetulkan seperti berikut: Orang ingin merasa enak dan menolak rasa tidak enak. Tiap orang yang merasa tidak enak dan tidak mengerti bagaimana caranya mendapatkan enak, akan bertanya kepada orang lain yang dianggap dapat. Maka bila ada orang yang dianggap oleh orang banyak dapat mengenakkan orang lain dalam salah satu hal, orang tersebut akan dipercaya oleh orang banyak. Misalnya dukun, dokter, ahli negara, ahli jiwa dan sebagainya. Jadi dipercaya orang lain itu, karena dapat mengenakkan. Catatan demikian itu benar. Maka untuk dipercaya orang, hanyalah dengan mengenakkan orang lain.
Bila catatan unsur kekuasaan tersebut sudah benar, orang dapat mcngetahui rasanya sendiri, rasa ingin dipercaya orang lain yang tidak dengan cara mengenakkan orang lain pada waktu muncul dalam perasaan. Bila rasa ingin dipercaya orang lain tersebut ketahuan sebelum lahir menjadi perbuatan, rasa tersebut tidak akan lahir menjadi perbuatan. Kemudian orang akan melihat apa yang harus dilakukan seketika itu, tanpa memikir panjang. Tindakan demikian itu hasilnya sama enaknya.
Ki Ageng Suryomentaram 32
Catatan keluarga yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar, rasanya enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati orang akan dapat melihat unsur keluarga tersebut.
Keluarga itu terdiri dari suami/isteri, anak yang belum berkeluarga dan orang tua jompo yang jadi tanggungannya. Unsur keluarga ini menyebabkan orang marah bila diganggu dan tertawa bila dibantu. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri tentang hubungannya dengan anggota keluarga lain, catatan keluarga tersebut salah.
Catatan keluarga salah menyebabkan perselisihan dalam keluarga. Perselisihan dalam keluarga itu wujudnya ialah, orang bertengkar atau bercerai dengan suami/isterinya, memarahi anaknya dan sebagainya. Jadi heboh dalam keluarga itu disebabkan dari tidak mengerti rasanya sendiri atau dirinya sendiri.
Jadi ketenteraman keluarga itu tergantung kepada pengertiannya tentang diri sendiri. Pengertian diri sendiri dalam keluarga adalah mengetahui hubungan diri sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Bila orang mengetahui hubungannya dengan anggota keluarga lainnya, catatan keluarga menjadi benar.
Orang sering ditipu oieh diri sendiri yang merasa cinta kepada suami/isterinya. Rasa cinta di sini dimaksudkan cinta tanpa syarat dan tanpa batas, sebab cinta yang bersyarat dan berbatas adalah bukan cinta. Jadi orang sering merasa cinta kepada suami/isterinya tanpa syarat dan tanpa batas. Rasa cinta tersebut dapat diteliti demikian. Jika orang membelikan baju isteri/suaminya, tetapi isteri/suaminya masih cemberut, apakah orang masih terus mencintai isteri/suaminya? Tentu saja tidak, tetapi menjadi marah.
Jadi orang membelikan baju isteri/suaminya itu mengharapkan senyum. Jadi baju ditukar dengan senyum, demikian itu sama dengan jual beli. Jadi orang tidak mencintai isteri/suaminya, tetapi jual beli.
Demikianlah orang dapat meneliti rasanya sendiri. Bila penelitian dilanjutkan, orang akan melihat rasanya sendiri pada waktu mencari pasangan, rasanya demikian: “Jika dia menjadi suami/isteriku, aku senang sekali.”
Dalam ungkapan tersebut menunjukkan bahwa orang hanyalah memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan calon pasangannya. Jadi orang menghargai suami/isterinya hanyalah sebagai kesenangan belaka, seperti kesenangan yang lain, misalnya burung perkutut, gamelan, kucing dan sebagainya. Rasa menghargai seperti itu adalah sewenang-wenang. Jadi orang itu berbuat sewenang-wenang kepada suami/isterinya.
Bila orang mengerti kesewenangannya kepada suami/isterinya, maka catatan keluarga yang merupakan unsur Kramadangsa bagian suami/isteri menjadi benar. Bila rasa sewenang-wenang muncul dalam perasaan dalam hubungannya dengan suami/isterinya diketahui, tidak akan lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang.
Demikian pula orang sering merasa sayang kepada anaknya. Bila diteliti akan diketemukan bahwa diri sendiri menghargai anaknya hanyalah untuk kehormatan. Jika anak itu membuat bangga orang tuanya, akan disayangi, tetapi bila memalukan akan dibenci.
Rasa yang sering disebut sayang kepada anak itu adalah rasa hidup untuk kelangsungan jenis, yang wujudnya memelihara anaknya pada waktu kecil. Rasa hidup tersebut bukanlah kasih. Oleh karena itu setelah anak itu menjadi besar akan berselisih dengan orang tuanya.
Oleh karena orang menghargai anaknya hanyalah untuk kehormatan, maka orang itu berbuat sewenang-wenang kepada anaknya. Bila orang mengerti kesewenangannya kepada anaknya maka catatan keluarga yang merupakan unsur Kramadangsa bagian anak menjadi benar. Bila rasa sewenang-wenang muncul dalam perasaan dalam hubungannya dengan anak diketahui, tidak akan lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang.
Catatan gerombolan atau golongan, yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan tersebut benar rasanya enak, bila salah tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang akan mengetahui unsur tersebut.
Golongan tersebut dapat merupakan golongan filsafat, ilmu jiwa, partai politik, kebatinan dan sebagainya. Unsur golongan menyebabkan orang menjadi benci bila golongannya diganggu dan senang bila dibantu. Bila orang tidak mengerti rasanya Ki Ageng Suryomentaram 33 sendiri dalam hubungannya dengan anggota-anggota golongan tersebut, catatan golongan akan salah.
Catatan golongan salah menyebabkan perselisihan dalam golongan tersebut. Perselisihan tersebut sering berwujud perebutan harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Jadi heboh dalam golongan disebabkan oleh karena tidak mengerti rasanya sendiri.
Jadi ketenteraman golongan itu hanyalah tergantung kepada pengertian diri sendiri. Bila orang mengerti bagaimana orang menghargai anggota golongan lain, catatan golongan akan benar.
Dalam golongan, orang mempergunakan kawan segolongannya untuk kepentingan sendiri yang seolah-olah untuk kepentingan golongannya. Kepentingan sendiri tersebut berwujud mencari harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Kepentingan sendiri itulah yang menyebabkan perselisihan.
Jika kepentingan sendiri diteliti, akan terlihat bahwa kepentingan-kepentingan sendiri itu banyak sekali yang bertentangan dengan kepentingan kawan-kawan yang lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan tersebut menyebabkan kesulitan. Bila kesulitan tersebut tidak dipecahkan, tentulah dikemudian hari akan terjadi perselisihan.
Bila kesulitan tersebut dapat diselesaikan, maka catatan menjadi benar, orang akan mengetahui bila rasa mencari keuntungan dari golongannya tersebut muncul dalam perasaan. Bila ketahuan, tidak akan lahir menjadi perbuatan. Mengetahui hal tersebut rasanya tenteram.
Catatan bangsa yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila benar rasanya enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati, orang akan melihat unsur bangsa tersebut.
Bangsa adalah kumpulan orang-orang dalam satu negara. Unsur bangsa itu menyebabkan orang marah bila diganggu dan tertawa bila bangsanya dibantu. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dalam satu bangsa, maka catatan bangsa akan salah. Catatan bangsa salah menyebabkan pertikaian dalam bangsa itu. Pertikaian tersebut sering berwujud pertikaian filsafat, ilmu jiwa, dan aliran. Apabila pertikaian itu berkembang, maka akan menjadi perang saudara.
Bila rasanya sendiri diteliti, orang dapat melihat bahwa di belakang filsafat, ilmu jisva atau aliran tersebut mengandung rasa perebutan harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Bila rasa tersebut ketahuan orang akan mengerti bahwa pertikaian filsafat, ilmu jiwa dan aliran tersebut hanyalah merupakan sandiwara diri sendiri yang akan mengejar harta benda, kehormatan dan kekuasaan. lnilah yang menyebabkan huru-hara dalam bangsa.
Bila rasa diri sendiri tersebut diketahui, catatan bangsa yang menjadi unsur Kramadangsa menjadi benar. Bila rasa tersebut muncul dalam perasaan, orang akan mengetahui, sehingga tidak lahir menjadi perbuatan.
Catatan ilmu kebatinan yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar rasanya enak dan bila salah tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang akan dapat melihat unsur ilmu kebatinan tersebut.
Unsur ilmu kebatinan itu menyebabkan orang menjadi benci bila ilmu kebatinannya disalahkan dan senang bila dibenarkan. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya dengan catatan ilmu kebatinan tersebut, catatan ilmu kebatinan tersebut salah. Catatan ilmu kebatinan salah menyebabkan perselisihan.
Rasanya sendiri yang berhubungan dengan ilmu kebatinannya sendiri itu adalah rasa senangnya sendiri. Orang senang sebab mendapat keuntungan dari ilmu kebatinan tersebut. Keuntungan tersebut berupa harta benda, kehormatan dan kekuasaan.
Bila orang tidak melihat senangnya sendiri, orang tidak akan dapat meneliti benar atau salahnya ilmu kebatinan tersebut. Bila mengetahui rasa senangnya sendiri, orang akan melihat benar atau salahnya ilmu kebatinannya sendiri. Jadi catatan ilmu kebatinan menjadi benar.
Bila catatan ilmu kebatinan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, bila ilmu kebatinannya disalahkan atau dijelek-jelekkan orang lain, orang akan mengerti bahwa yang dijelek-jelekkan itu orangnya, bukan ilmu kebatinannya. Dan orang lalu Ki Ageng Suryomentaram 34 mengerti bahwa orang lain yang menjelek-jelekkan tersebut benci kepada orangnya tetapi tidak kepada ilmu kebatinannya. Orang benci kepada orang lain tentulah mencari sebab untuk menjelek-jelekkan.
Orang akan mengerti kepada diri sendiri, bila diri sendiri membenci kepada orang lain tentulah juga mencari sebab untuk menjelek-jelekkan. Jadi diri sendiri itu rasanya sama dengan orang lain. Mengetahui demikian rasanya damai dan tenteram.
Kepandaian-kepandaian dan ilmu pengetahuan adalah merupakan unsur Kramadangsa. Ilmu pengetahuan itu ada pada orang berupa kepandaian. Oleh karena itu di sini hanya akan diterangkan tentang kepandaian saja.
Catatan kepandaian yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar rasanya enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati orang akan melihat unsur kepandaian tersebut.
Unsur Kramadangsa kepandaian itu menyebabkan orang menjadi benci bila dijelekkan dan senang bila dipuji. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri yang berhubungan dengan kepandaiannya sendiri, catatan kepandaian tersebut salah. Catatan kepandaian salah menyebabkan orang membangga-banggakan kepandaian dan bersaing-saingan kepandaian, sehingga terjadi pertikaian.
Rasa sendiri yang berhubungan dengan kepandaian sendiri itu rasanya bangga. Bila mengetahui rasa bangganya sendiri orang akan dapat mengetahui rasa bangga orang lain dalam hal kepandaian. Orang dapat membuat kapal terbang rasanya bangga, anak dapat bermain gundu bangga pula rasanya.
Malahan rasa bangga dalam kepandaian itu tidak terbatas pada orang tetapi juga pada hewan. Gangsir ngentir (berbunyi) rasanya bangga dan burung dapat terbang di angkasa pun rasanya bangga. Jadi rasa bangga diri sendiri sama dengan rasa bangga orang lain dan sama pula dengan rasa bangga hewan dalam hal kepandaian.
Bila orang mengerti dengan rasa sama tersebut, catatan kepandaian yang menjadi unsur Kramadangsa menjadi benar. Catatan benar rasanya cnak. Bila rasa bangga sendiri muncul dalam perasaan, diri sendiri akan mencari bahwa rasa bangga tersebut sama dengan rasa orang yang menciptakan lagu atau sama dengan rasa seorang panglima perang yang dapat menciptakan siasat perang, sama pula dengan rasanya seekor gangsir yang sedang berbunyi.
Demikianlah unsur-unsur Kramadangsa yang dapat menggerakkan Kramadangsa. Bila unsur-unsur Kramadangsa sudah diketahui, orang tidak akan lupa dengan sikapnya sendiri menghadapi perbuatannya. Demikian cara mempelajari ilmu jiwa.
Filsafat Rasa Hidup
Filsafat ialah pengetahuan tentang segala apa yang ada. Filsafat memberi jawaban atas pertanyaan “Apakah hakikatnya segala yang ada di atas bumi dan di kolong langit?”
Segala apa yang ada ini dapat dibagi dua bagian, yaitu benda hidup dan benda tidak hidup. Benda tidak hidup berupa cangkir, piring, meja, kursi, batu dan sebagainya. Benda hidup berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia. Jadi segala apa yang ada hanya terdiri dari benda hidup dan benda tidak hidup, selain itu tidak ada.
Benda tidak hidup tidak bergerak, kecuali bila digerakkan oleh benda lain. Sedangkan benda hidup bergerak walaupun tidak digerakkan oleh benda lain. Dengan demikian maka hidup itu bersifat gerak pribadi (dapat bergerak sendiri).
Gerak dan diam ialah sifat laku (bhs. Jawa: lelampahan). Diam ialah tetap pada tempatnya, dan bergerak ialah berpindah tempat, walaupun yang bergerak hanya bagian benda itu. Jadi hidup itu bersifat gerak. Yang bergerak ialah satu persatu benda jadi. Wujud satuan benda jadi ialah hewan, manusia, meja, kursi dan Ki Ageng Suryomentaram 35 sebagainya. Wujud manusia sebagai benda disebut badan (raga). Raga manusia senantiasa dapat bergerak sendiri. Kalau raga itu tidak dapat lagi bergerak sendiri, maka raga itu disebut mati. Jadi mati ialah tidak lagi dapat bergerak sendiri.
Kalau kita mengerti bahwa hidup ialah laku, maka orang bebas dari anggapan bahwa hidup ialah benda. Anggapan bahwa hidup itu benda, menimbulkan persoalan yang berupa pertanyaan sebagai berikut, “Bila orang telah meninggal, maka akan ke manakah hidupnya?”. Teranglah pertanyaan ini menanyakan tempat benda, yaitu si hidup yang dianggapnya benda.
Yang memerlukan tempat ialah benda, tetapi gerak tidak memerlukan tempat. Misalnya duduk ialah suatu gerak, dan oleh karena itu tidak memerlukan tempat. Yang membutuhkan tempat ialah raga yang duduk; seperti halnya si Dadap duduk di kursi. Jadi yang memerlukan tempat di kursi ialah raga si Dadap.
Laku dapat dibagi-bagi menurut artinya. Bagian-bagian laku merupakan rentetan kejadian yang saling kait-mengait dalam hubungan sebab dan akibat, yang berlangsung di dalam waktu (jaman). Maka laku memakan waktu.
Benda hidup dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Benda hidup yang dinamakan manusia, ia merasa hidup. Jadi manusia mempunyai rasa hidup. Rasa hidup inilah yang mendorong manusia bergerak.
Di sini perlu diselingi keterangan, bahwa tindakan manusia itu terdorong oleh perasaannya. Orang mencari minum karena terdorong oleh rasa haus, dan orang ingin tidur karena terdorong oleh rasa kantuk.
Bahkan bukan saja gerak manusia, tetapi gerak semua benda hidup, tumbuh-tumbuhan atau hewan, juga didorong oleh rasa hidup. Karena gerak benda hidup terdorong oleh rasa hidup, maka maksud gerak semua benda hidup ialah supaya hidupnya berlangsung terus. Maka rasa hidup menolak kematian.
Sebagai contoh, misalnya pohon mangga itu bergerak, dan akar-akarnya masuk ke dalam tanah mencari makanan, tentu dengan maksud agar hidupnya berlangsung walaupun tidak disadari. Setelah besar (dewasa) pohon mangga itu tidak berhenti di situ saja, tetapi tentu akan berbunga, dan bunga ini menjadi putik yang kemudian menjadi buah. Buah mangga itu setelah masak akan jatuh di tanah, yang kemudian tumbuh menjadi pohon mangga lain lagi. Maka bila pohon yang tua mati, yang muda akan menggantikan hidupnya.
Keadaan seperti di atas yang melangsungkan jenis pohon mangga, karena pohon muda itu pun bila sudah dewasa akan berbuah, dan demikian seterusnya. Jadi selain melangsungkan hidupnya, gerakan pohon mangga itu pun melangsungkan jenisnya.
Di sini jelaslah bahwa gerak pohon mempunyai dua macam maksud, yakni agar dapat melangsungkan hidupnya dan melangsungkan jenisnya. Demikian juga maksud gerak hewan dan manusia. Maka maksud gerak bagi pohon, hewan dan manusia ialah sama, yaitu supaya dapat melangsungkan hidup dan jenisnya.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan hidupnya seperti makan, berpakaian, bertempat tinggal (bhs. Jawa: pangan, sandang, papan) disebut memenuhi kebutuhan hidup (bhs. Jawa: pangupa jiwa). Bila tidak makan, manusia akan menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka makan ialah kebutuhan hidup. Kegunaan pakaian ialah untuk melindungi badan dari hawa panas atau dingin. Karena bila terserang panas atau dingin yang hebat, badan menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka pakaian merupakan kebutuhan hidup. Kegunaan tempat tinggal ialah untuk beristirahat atau tidur. Bila tidak tidur orang menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka tempat tinggal atau perumahan merupakan kebutuhan hidup.
Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan jenisnya berupa perkawinan. Bila tidak kawin, orang tidak dapat beranak-cucu, hingga habislah jenis manusia. Maka perkawinan merupakan kebutuhan hidup.
Demikianlah, “pangupa jiwa” dan perkawinan menjadi kebutuhan hidup. Bila kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi maka orang akan mati atau tidak akan berketurunan. Oleh karena itu, bila kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, orang merasa senang dan bila tidak, orang merasa susah. Maka rasa hidup ini menimbulkan takut mati dan takut tidak berketurunan, dan mendorongnya untuk menghindari apa yang dapat menyebabkan ia mati atau tidak mempunyai keturunan. Ki Ageng Suryomentaram 36 Penyakit, kelaparan, ketelanjangan, tidak bertempat tinggal dan sebagainya, merupakan sebab kematian. Yang menyebabkan tidak berketurunan, ialah tidak dapat jodoh, perceraian, mandul, dan sebagainya. Jadi takut mati dan takut tidak mempunyai keturunan, menurut rasa hidup ialah wajar.
Bila jiwa mengalami kelainan, sering orang melakukan pantang makan, pantang tidur, pantang istri/suami dan sebagainya. Kelainan jiwa ini disebabkan karena keinginan memperoleh keunggulan dalam suatu hal (bhs. Jawa: linangkung) atau karunia dari Yang Mahakuasa. Menolak kebutuhan hidup demikian itu tidak wajar.
Menolak kebutuhan hidup menimbulkan perang batin. Padahal perang batin mengakibatkan penderitaan. Maka menolak kebutuhan hidup berarti mengalami penderitaan jiwa (bhs. Jawa: cilaka).
Bagaimanakah perang batin itu timbul? Seseorang yang pantang makan tentu akan merasa lapar. Di situ rasa ingin makan bertentangan dengan rasa pantang makan, maka terjadilah perang batin. Dalam perang batin kadang-kadang diri sendiri menjadi “yang ingin makan”, dan kadang-kadang menjadi “yang pantang makan”. Ketika menjadi “yang ingin makan”, rasanya “aku ingin makan”. Ketika menjadi “yang pantang makan”, rasanya “aku pantang makan”. Akulah yang menguasai nafsuku, dan yang ingin makan ialah godaan. Seolah-olah dirinya sendiri pecah menjadi dua. Demikian kebingungan seorang bila timbul perang batin, sehingga sangat sukar untuk mengatakan yang manakah dirinya sendiri.
Apabila orang menyadari kelainan dalam jiwanya, yang berupa keinginannya memperoleh keunggulan atau karunia, perang batin itu sirna. Lenyapnya perang batin, membangunkan rasa tenteram.
Kebudayaan
Semua gerak tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia, didorong oleh rasa hidup dengan maksud yang sama, yakni supaya berlangsung hidupnya dan jenisnya. Tetapi cara manusia bergerak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Cara bergerak tumbuh-tumbuhan dan hewan berlangsung tanpa pengertian, karena mereka tidak memiliki pikiran. Sedangkan cara bergerak manusia berlandaskan pengertian, sebab manusia memiliki pikiran. Jadi perbedaan antara manusia dan benda hidup yang bukan manusia, hanya terletak pada kenyataan, bahwa yang satu mempunyai pikiran, sedang yang lain tidak mempunyainya.
Jika seseorang memakai pikirannya untuk berpikir, maka ia akan mendapat pengertian. Jumlah pelbagai pengertiannya ini merupakan ilmu. Maka tindakan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya perlu berlandaskan ilmu, karena tanpa ilmu ia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Benda hidup lain, kecuali manusia, dapat bertindak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa ilmu. Misalnya telur itik yang menetas langsung menjadi anak itik. Anak itik itu walaupun baru sehari umurnya, bila terjun ke air sudah pandai berenang. Sedang manusia yang belajar berenang dalam tiga bulan lamanya, masih kalah pandainya dari anak itik. Dalam usahanya mencari makanan, anak itik tidak pernah mendapat didikan dari induknya, namun ia tidak pernah salah menelan pecahan kaca.
Demikianlah tindakan hewan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dapat terlaksana tanpa pengertian. Sebaliknya bayi berusia satu tahun, bila tidak dijaga oleh pengasuhnya sering menelan batu kerikil, karena ia tidak mengerti. Tetapi karena bayi itu anak manusia, seharusnyalah ia mengerti. Maka supaya tidak bertindak keliru bayi itu perlu diawasi oleh pengasuhnya. Karena itu manusia memerlukan pendidikan.
Jadi tindakan hewan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tidak bisa keliru. Seekor kucing tidak pernah keliru menerkam ketimun, sedang manusia bisa salah menelan asap tembakau. Kambing tidak pernah menggantung diri, tetapi manusia acapkali menggantung diri. Hewan tidak pernah menyimpang dari maksud tujuan gerak hidup, tetapi manusia bisa menyimpang dari maksud tujuan gerak hidup.
Ki Ageng Suryomentaram 37
Dari itu bila manusia bertindak tanpa ilmu pengetahuan, maksud tujuan tindakannya tidak akan tercapai. Umpamanya orang menanak nasi, bila tanpa pengetahuan, berasnya tidak bisa menjadi nasi. Bagi manusia, ilmu pengetahuan ialah syarat mutlak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dalam masyarakat terdapat banyak ilmu pengetahuan guna mencukupi kebutuhan masyarakat dan perorangan. Macam-macam ilmu itu ialah ilmu pertanian, peternakan, pertukangan, sosial, ekonomi, perkawinan, politik, filsafat, ilmu jiwa dan sebagainya. Jumlah semua ilmu yang ada di masyarakat itu dinamakan kebudayaan.
Dengan semua ilmu itu, lahirlah barang-barang buatan manusia, sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena pikiran bila diolah bisa mengalami kemajuan, maka cara manusia untuk mewujudkan barang-barang bisa mengalami kemajuan juga.
Dalam usaha memenuhi kebutuhan makan, manusia mula-mula mengambil hasil hutan dan memburu hewan, kemudian maju dengan bercocok tanam dan memelihara ternak. Demikian pula dalam hal pakaian, dari hanya memakai kulit kayu atau kulit hewan yang diikatkan pada badannya, kemudian maju memintal benang dan menenun kain. Dalam hal tempat tinggal, dari hanya berdiam di gua, kemudian maju membuat rumah bambu, rumah kayu, rumah gedung dan seterusnya.
Sebaliknya karena hewan tidak mempunyai pikiran, maka alat-alatnya tidak mengalami kemajuan. Misalnya pembuatan sarang burung tempua (manyar). Walaupun sarang itu indah mungil, tetapi seratus tahun yang lampau dan seratus tahun yang akan datang, sarang itu tetap serupa. Ada sejenis hewan yang dianggap lebih maju dari jenis lainnya, tetapi karena alat-alat jenis hewan ini pun tidak mengalami kemajuan, maka apa yang dihasilkan oleh hewan ini tiada pula mengalami kemajuan.
Ada lagi perbedaan antara manusia dan hewan, yakni dalam bidang kesenian. Manusia membutuhkan keindahan yang dirasakan melalui pancainderanya. Kebutuhan tadi diwujudkan dalam bentuk barang yang dapat memenuhi kebutuhan jiwa melalui pancaindera. Barang itu berwujud pelbagai macam seni rupa, seni bangunan, seni gerak dan seni tari yang indah, seni suara, dan macam-macam seni lainnya yang dapat dinikmati melalui hidung, lidah dan alat peraba.
Ada lagi perbedaan antara manusia dan hewan dalam hal rasa, yang disebabkan ada dan tidak adanya pikiran. Hewan hanya mempunyai rasa senang dan susah, tetapi tidak mempunyai rasa bahagia dan derita. Sedang manusia, selain mempunyai senang dan susah, juga mempunyai rasa bahagia dan derita. Karena manusia mempunyai pikiran, maka ia mempunyai cita-cita. Bahagia bila cita-citanya tercapai dan derita bila cita-citanya tidak tercapai.
Cita-cita inilah yang dapat menyelewengkan tindakannya dari tujuan hidup, yaitu kelangsungan hidup pribadinya dan jenisnya. Bila cita-citanya gagal, orang sering bersikap nekad, bahkan bersedia untuk bunuh diri, Ini jelas bertentangan dengan tujuan hidup. Jadi cita-cita itu menyebabkan orang tergelincir dari rel tujuan hidup.
Apabila orang mencita-citakan sesuatu, tetapi tidak mengerti cara bagaimana mencapainya, sering ia berpantang tidur atau berpantang hubungan istri/suami. Padahal semua yang dipantangnya merupakan kebutuhan hidup. Maka pantangan tadi ialah tindakan menyimpang dari jalan tujuan hidup.
Dalam masyarakat terdapat banyak macam ilmu untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jumlah ilmu itu dinamakan kebudayaan. Jadi dalam masyarakat terdapat kebudayaan.
Masyarakat dunia terdiri dari bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa itu mendiami tanah yang berbeda-beda keadaannya, ada tanah datar dan ada tanah pegunungan; ada yang hawanya dingin dan ada yang panas. Karena itu, alat-alat untuk mencukupi kebutuhan hidup pun berbeda bagi masing-masing bangsa. Perbedaan alat-alat itulah yang menyebabkan corak kebudayaan masing-masing bangsa berbeda-beda pula.
Perbedaan corak kebudayaan ini sering dipakai sebagai senjata untuk saling mengejek. Ejek-mengejek ini kerap kali menimbulkan peperangan.
Ki Ageng Suryomentaram 38
Jadi tiap-tiap bangsa, masing-masing mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Ada yang terbelakang dan ada yang maju. Pada umumnya, terbelakang atau majunya kebudayaan suatu bangsa, digunakan sebagai ukuran bagi rendah atau tingginya derajat bangsa itu. Maka bangsa yang tinggi kebudayaannya, dianggap tinggi derajatnya.
Bagian-bagian kebudayaan suatu bangsa, ada yang terbelakang dan ada yang sudah maju. Suatu bangsa, yang cara menggarap sawahnya dengan bajak ditarik hewan, dianggap lebih rendah daripada bangsa lain yang cara menggarap sawahnya dengan mesin. Jadi bajak ditarik hewan, dianggap lebih rendah dari mesin, dalam arti kebudayaan.
Bangsa yang bagian kebudayaannya rendah, dapat belajar dari bangsa lain. Sedang bangsa yang bagian kebudayaannya tinggi, dapat menyumbang pada bangsa lain. Demikianlah bangsa-bangsa dapat saling memperoleh faedah dalam kebudayaan, dan ini memungkinkan terwujudnya kesejahteraan bersama lahir dan batin.
Masyarakat
Ada dua cara hidup hewan, yang satu menyendiri seperti tokek, gangsir (semacam cengkerik), dan yang lain berkelompok seperti lebah dan sebagainya. Cara hidup demikian sesuai dengan hukum alam, karenanya tidak dapat diubah. Lebah jika dipisahkan pasti mati. Sebaliknya gangsir, jika dikelompokkan pasti mati. Sebab dalam kelompok, gangsir selalu berkelahi. Maka bila diubah cara hidupnya, hewan tersebut tidak dapat melangsungkan hidup pribadinya dan jenisnya.
Manusia termasuk jenis yang cara hidupnya berkelompok, jadi serupa dengan jenis lebah. Dalam kelompok, orang saling memberi dan mengambil kefaedahan masing-masing. Tindakan tersebut dinamakan gotong royong atau kemasyarakatan. Adapun cara bertindak untuk saling memberi dan mengambil faedah masing-masing ialah sebagai berikut: Misalnya tukang besi, pekerjaannya tidak lain hanya memukuli besi. Namun ia makan nasi walaupun tidak menanam padi. Ini hanya mungkin karena adanya saling memberi dan mengambil faedah masing-masing, antara pak tani dan si tukang besi. Tukang besi memperoleh padi dari pak tani dan pak tani memperoleh pacul dari tukang besi. Saling memperoleh kefaedahan di atas, memungkinkan masing-masing pihak merasa cukup dan enak.
Ada contoh lain yang lebih jelas lagi. Misalnya ada nasi sepiring, orang bertanya, “Siapakah yang mengadakannya?” Bila dijawab bahwa pak tanilah yang mengadakannya karena ia yang menanam padi, maka jawaban itu kurang tepat; karena pak tani tidak dapat menanam padi tanpa pacul, garu dan bajak. Bajak dibuat oleh tukang kayu. Karena itu tukang kayu pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Bajak tanpa mata-bajak tidak dapat dipakai. Karena mata-bajak dari besi itu dibuat oleh tukang besi, maka tukang besi pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Apabila pembagian aliran air untuk sawah tidak teratur, maka padi tidak akan tumbuh. Karena itu, pengatur (bhs. Jawa: ulu-ulu) aliran air pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Apabila di antara petani timbul perselisihan dan tidak ada yang mendamaikan, maka mereka tidak sempat menanam padi. Dalam perselisihan itu jaksalah yang mendamaikan mereka. Ini berarti, jaksa pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Apabila tidak diatur pamong praja, pak tani akan saling berebut batas dan pematang (bhs. Jawa: galengan), sehingga pak tani tidak sempat menanam padi. Jadi pamong-praja pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Demikian pula halnya dengan polisi dan tentara yang menjaga keamanan dan pertahanan, mereka pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Dengan demikian maka pekerjaan masing-masing orang itu saling berhubungan sehingga setiap orang berhubungan dengan semua orang. Hubungan semacam itu disebut masyarakat.
Agar hidup manusia dapat berlangsung, caranya ialah dengan jalan bermasyarakat. Bila hidup menyendiri, yakni tanpa berhubungan dengan orang lain, orang tentu mati, karena tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Jadi hidup ialah berhubungan.
Apabila menyendiri, orang ingin memakai celana saja tidak mungkin, karena ia harus menanam kapas sendiri, memberantas hama kapas sendiri, memintal dan membuat Ki Ageng Suryomentaram 39 alat pintal sendiri, membuat paku, menenun dan membuat alat tenun sendiri, yang kesemuanya itu tentu tidak mungkin.
Jadi, nilai pekerjaan setiap orang bagi masyarakat ialah sama. Pekerjaan memotong rumput dan membikin arang, pekerjaan sebagai polisi, tentara atau pamong praja, sama nilainya bagi masyarakat. Karena bila salah satu macam pekerjaan tidak lagi berhubungan dengan masyarakat, maka roda masyarakat tidak dapat berputar secara beres. Andaikata tidak ada orang membuat arang, tukang besi tidak akan dapat membuat pacul, pak tani tidak dapat menanam padi, dan semua orang kelaparan. Demikian halnya dengan lokomotif, yang tidak akan dapat berjalan bila dicabut sebuah sekrupnya. Demikianlah ketergantungan satu orang dengan yang lain.
Apabila seseorang mengerti bahwa kelangsungan hidupnya tergantung pada masyarakat, maka orang akan mengerti bahwa apabila ia mengganggu orang lain, ia akan mengganggu masyarakat. Mengganggu masyarakat berarti pula mengganggu diri sendiri. Jadi mengganggu orang lain sama dengan mengganggu diri sendiri.
Jadi jelaslah bahwa masyarakat ialah diri sendiri. Karena itu, membangun masyarakat ialah membangun diri sendiri, dan membangun diri sendiri ialah membangun masyarakat. Kesadaran akan inilah yang disebut rasa bersatu dengan masyarakat.
Pergaulan
Cara hidup berkelompok ini mengharuskan orang bergaul dengan orang lain. Selain bergaul dengan orang lain, orang pun bergaul dengan benda-benda. Maka dalam pergaulan itu orang bergaul dengan orang lain dan dengan benda-benda.
Karena orang memiliki pikiran, ia akan merasa enak dalam pergaulan bila ia mengerti sifat dari pihak yang diajak bergaul. Bila ia mengerti sifat-sifat dari sesuatu yang dihubunginya, ia akan merasa enak, karena tindakannya benar. Tetapi bila ia tidak mengerti sifat tersebut, ia akan merasa tidak enak karena tindakannya yang salah. Jadi rasa enak atau tidak enak, dalam hubungan ini hanyalah berpangkal pada persoalan mengerti atau tidak mengerti.
Misalnya, bila orang mengerti sifat api, ia akan merasa enak dan bebas berhubungan dengan api, karena ia dapat bertindak benar. Bila tidak disengaja, ia tiba-tiba memegang api sehingga terbakar tangannya, orang pun merasa enak. Rasa enak di sini tidak berarti enak terbakar. Rasa terbakar tentu saja sakit. Tetapi enak di sini berarti rasa tidak menyalahkan api. Jadi mengerti itu menimbulkan rasa merdeka.
Manusia hanya dapat menguasai benda-benda yang ia ketahui dan mengerti sifat-sifatnya. Dengan mengerti angin berikut sifat-sifatnya, orang dapat mempergunakannya untuk menjalankan perahu layarnya, dan sebagainya. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa jenis manusia itu merajai dunia.
Begitu juga dalam hubungan dengan orang lain, orang akan merasa enak bila ia mengerti sifat orang lain itu. Untuk mengerti orang lain, lebih dulu. ia harus dapat menjawab pertanyaan, “Manusia itu apa?” Manusia ialah benda hidup yang mempunyai rasa. Rasa ini penting sekali bagi manusia, dan benda-benda hanyalah untuk mengenakkan rasanya. Maka rasa itu ialah hakikat manusia. Bila ada sesosok tubuh dengan kepala, badan, tangan, kaki, telinga, hidung, dan lain-lain, tetapi tanpa rasa, maka itu bukan manusia lagi melainkan mayat.
Walaupun manusia memiliki banyak macam rasa, namun pada umumnya rasa itu dapat dibagi atas dua macam yang pokok, yakni rasa enak dan tidak enak. Supaya enak dalam hubungan dengan orang lain, orang perlu mengetahui rasa orang lain. Karena manusia selain berhubungan dengan benda juga berhubungan dengan rasa, maka bila ia tidak mengerti rasa orang lain, ia tidak akan merasa enak dalam pergaulan hidup.
Hubungan yang tidak enak ini berupa perselisihan. Perselisihan secara berkelompok akan menyebabkan perang. Jadi tidak mengerti rasa orang lain ini menyebabkan perang. Cara perang itu bermacam-macam, tembak-menembak, maki-memaki, ejek mengejek, saling membusukkan dan saling berprasangka buruk. Maka perang itu tidak hanya tembak-menembak. Sebelum pecah perang, terlebih dulu orang saling memaki, saling mengejek, saling membusukkan dan saling berprasangka buruk. Jadi perang ialah perkembangan prasangka buruk. Dalam hal rasa, tembak-menembak Ki Ageng Suryomentaram 40 dan saling berprasangka buruk itu sama. Jadi saling berprasangka buruk sama dengan tembak-menembak. Demikian macam-macam peperangan atau perselisihan. Perang itu mutlak keliru dan jahat. Menang atau kalah, perang tetap keliru dan jahat, karena manusia perlu melangsungkan hidupnya, sedangkan perang yang berwujud tembak-menembak berarti bunuh-membunuh. Maka perang bertentangan dan berdosa terhadap rasa hidup.
Bila diselidiki dalam rasa kita sendiri, dapat ditemukan bahwa orang hidup tidak menginginkan perang. Meskipun demikian, toh terjadi juga perang. Maka perang itu timbul dari kebodohan, yang menyebabkan tidak terlaksananya tujuan hidup.
Kecuali berdosa terhadap rasa hidup, perang juga berdosa terhadap pergaulan. Tujuan pergaulan ialah untuk dapat merasakan enak bersama, tetapi perang menimbulkan rasa tidak enak bersama. Maka perang berdosa pada rasa hidup dan pergaulan.
Perang atau perselisihan itu disebabkan karena orang tidak mengerti rasa orang lain dalam pergaulan. Bila orang mengerti rasa orang lain, perselisihan atau perang akan lenyap. Jadi memberantas perang atau perselisihan harus dengan mengetahui atau mengerti rasa orang lain.
Untuk mengetahui dan mengerti rasa orang lain, rasa diri sendirilah yang menghalang-halangi. Bila rasa diri sendiri yang menghalang-halangi itu tidak diketahui, orang tidak mungkin mengetahui rasa orang lain. Jadi supaya bisa mengetahui rasa orang lain, terlebih dulu orang harus mengetahui rasa diri sendiri yang menghalanginya untuk mengetahui rasa orang lain.
Mengetahui rasa diri sendiri ini dinamakan pengetahuan atau pengertian pribadi (bhs. Jawa: pangawikan pribadi). Pribadi atau diri sendiri di sini, dimaksud bukan pribadi yang muluk-muluk, tetapi pribadi/diri sendiri yang merasa apa-apa, menginginkan apa-apa, dan berpikir apa-apa. Jadi memberantas perang atau perselisihan harus dengan pengetahuan/pengertian diri sendiri.
Pengetahuan Diri Sendiri
Orang baru dapat mengenal diri sendiri setelah berhubungan dengan benda-benda, orang lain dan gagasannya, atau dengan rasanya sendiri. Orang hidup tentu berhubungan dengan sesuatu, karena dalam hubungan itu ia baru merasa bahwa ia ada. Rasa ada ini senantiasa merasakan segala apa yang ada. Maka rasa ada itu boleh dikatakan sama dengan hubungan atau bergaul.
Pergaulan itu pasti mencakup diri sendiri dan apa yang bukan diri sendiri. Setiap tindakan, setiap kata dan setiap keinginan, tentu berhubungan dengan sesuatu; yang mencakup diri sendiri dan apa yang bukan diri sendiri. Dalam tindakan, ucapan dan keinginan sendiri inilah orang dapat mengetahui diri sendiri.
Mengenal diri sendiri itu sulit, karena orang tidak biasa berusaha mengenal diri sendiri. Orang hanya biasa merasakan diri orang lain. Bila orang bertengkar dengan istrinya, biasanya ia hanya menyalahkan istrinya, dan tidak berusaha untuk mawas diri. Dalam hatinya ia berkata, “Wah, istriku ini sebentar-sebentar berlaku begini, begitu, begini, begitu, sehingga malanglah nasibku.” Tetapi bila orang itu ditanya kembali, “Memanglah istrimu itu begini, begitu, begini, begitu, tetapi bagaimanakah dengan kamu sendiri?” Orang tadi akan terperanjat dan mengaku bahwa dirinya sendiri tidak ditelitinya. Demikian pula dalam hubungan dengan anak dan tetangganya, orang itu tidak memeriksa atau meneliti dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa orang tidak biasa meneliti diri sendiri.
Kedudukan diri sendiri dalam hubungan itu ialah, sebagai pihak yang menyambut atau menanggapi. Bila berhubungan dengan benda-benda, diri sendiri itu menanggapi benda-benda. Sedangkan kalau berhubungan dengan orang lain, gagasan, atau rasa sendiri, ia pun menanggapi orang lain, gagasan atau rasa sendiri itu. Tegasnya, diri sendiri merasa sesuatu dalam hubungan itu. Bila melihat atau mendengar sesuatu, diri sendiri tentu ikut merasakan sesuatu. Jadi yang merasakan sesuatu, ialah dirinya sendiri dalam menyambut sesuatu yang dilihatnya atau didengarnya.
Ki Ageng Suryomentaram 41
Demikian pula apabila kita berjumpa dengan orang lain, maka dirinya sendirilah yang merasakan sesuatu. Yang merasakan sesuatu inilah diri sendiri dalam menanggapi orang lain. Demikianlah, diri sendiri dalam menanggapi dunia luar.
Yang lebih sukar, ialah untuk mengetahui rasa diri sendiri dalam menanggapi gagasan atau rasanya sendiri. Karena gagasan atau rasa hati itu tidak terlihat oleh mata dan tidak tertangkap oleh pancaindera. Maka gagasan atau rasa hati dianggap seolah-olah diri sendiri. Yang seharusnya dilihat, dianggap sebagai yang melihat atau yang berkuasa. Pada umumnya gagasan atau rasa hati sendiri itu dianggap sebagai yang berkuasa, sehingga sukar untuk dikuasai.
Agar mudah dipahami, di sini perlu diberi contoh secara terperinci, bagaimana orang menanggapi sesuatu yang dihadapinya. Yang menanggapi sesuatu itu, menanggapinya dengan rasa suka dan benci. Misalnya pada waktu orang hendak membaca buku, ia akan menanggapi lampu terang dengan rasa senang, karena lampu itu memenuhi kebutuhannya. Karena itu, lampu terang dianggap baik. Sebaliknya, pada waktu ia hendak tidur, ia menanggapi lampu terang itu dengan rasa benci. Karena lampu terang menyilaukan matanya dan tidak memenuhi kebutuhannya. Orang yang hendak tidur, tidak membutuhkan lampu yang terang. Demikianlah, orang dapat menanggapi sebuah lampu terang dengan rasa senang atau benci, sesuai dengan kebutuhannya sesaat.
Kita menanggapi orang lain juga dengan rasa senang atau benci. Kalau ia seorang sahabat, kita akan menanggapinya dengan rasa senang. Tetapi kalau ia seorang musuh, kita menanggapinya dengan rasa benci. Bahkan orang yang sama, sering kita tanggapi, dengan senang dan benci, sesuai dengan kebutuhan kita sesaat. Hal inilah yang menyebabkan orang cekcok dengan suami atau istrinya. Terhadap suami atau istri, orang terkadang merasa senang, terkadang benci. Maka suami-istri itu selain menjadi kawan dalam hal-hal tertentu, juga dapat menjadi kawan bercekcok.
Lebih sukar lagi untuk mengetahui rasa senang dan benci, yang menanggapi gagasan atau rasa sendiri, karena gagasan atau rasa itu sering menjadi satu dengan senang dan benci. Sehingga sukar memisahkan gagasan dengan rasa suka dan benci.
Misalnya gagasan tentang permainan “jaelangkung”, yakni sebuah keranjang yang dimasuki sukma orang mati. Rasa senang atau benci yang menanggapi “jaelangkung” itu berubah rupa menjadi percaya atau tidak percaya. Bila perubahan itu tidak disadari, orang tidak mengerti bahwa percaya atau tidak percaya itu berasal dari rasa senang atau bencinya.
Demikian pula kesukaran untuk mengetahui rasa senang atau benci yang menanggapi rasanya sendiri. Misalnya dalam menanggapi rasa marahnya sendiri; rasa senang atau benci itu akan berganti rupa, menjadi rasa membela marah atau menahan marah.
Jadi mengetahui dirinya sendiri dalam pergaulan, berarti mengetahui rasanya sendiri yang senang atau benci dalam menanggapi sesuatu yang digauli. Tetapi kalau hal ini tidak disadari, maka kita akan menemui kesukaran berupa perselisihan dalam hubungan kita dengan orang lain.
Misalnya kita mendengar gamelan, kemudian mendengar musik. Kalau kita mendengarkan gamelan dengan rasa senang, dan mendengarkan musik dengan rasa benci, dan tanggapan kita ini tidak kita ketahui, berarti kita tidak menikmati lagu gamelan dan musik, melainkan menikmati hafalan dari lagunya. Kenikmatan semacam itu ialah kenikmatan seorang pemain gamelan atau musik, dan bukan kenikmatan seorang seniman yang dapat menyatukan dirinya dengan lagu.
Kalau hal ini tidak disadari maka ia akan hanyut dalam rasa senang atau bencinya, sehingga yang senang gamelan berselisih dengan yang senang musik. Bahkan ada kalanya, ia mengajak orang-orang lain untuk berselisih beramai-ramai.
Untuk mengetahui rasa senang kita terhadap gamelan, maka kita harus menelitinya sebagai berikut, “Aku ingin menikmati lagu, akan tetapi mengapa aku senang gamelan, sehingga tidak dapat menikmati lagu?” Bila diketahui demikian, rasa senang itu akan lenyap, yang berarti rasa senang itu tidak lagi menghalangi untuk menikmati lagu. Orang akan mengerti bahwa kenikmatan lagu tidak terbatas oleh gamelan atau musik.
Ki Ageng Suryomentaram 42
Demikian pula untuk mengetahui rasa benci kita, kita dapat menelitinya sebagai berikut, “Aku benci akan musik itu, hanyalah karena aku tidak hafal sehingga tidak dapat mengikuti lagunya.” Jadi sebenarnya aku tidak hendak menikmati lagu, tetapi hanya ingin mengikuti lagu. Bila diketahui demikian, benci itu sirna, yang berarti rasa benci itu tidak menghalangi keinginan menikmati lagu. Jadi senang atau benci terhadap musik atau gamelan, bergantung pada kegemaran kita.
Dalam bergaul dengan orang, tanggapan kita pun berupa rasa senang atau benci. Rasa ini bila tidak diketahui dapat menimbulkan perselisihan. Misalnya kalau kita mendengar kabar ada seorang laki-laki berpoligami. Kalau yang menanggapi kabar itu rasa benci kita, maka kita akan mencelanya, “Laki-laki yang kawin dengan lebih dari satu perempuan, tidak memberi kesempatan kepada orang lain.” Tetapi bila rasa senang kita yang menanggapi kabar itu, maka kita membelanya, “Sedang yang memadu itu senang dan yang dimadu pun tidak berkeberatan, mengapa mereka dipersoalkan.” Bila hal ini tidak kita pahami, maka kita akan mengajak orang lain untuk membenci atau menyetujui bersama, yang akhirnya akan menjadi kelompok-kelompok pembela dan penentang poligami yang saling bermusuhan. Perkembangan permusuhan semacam ini bisa berkembang menjadi saling tembak-menembak.
Bila tanggapan kita yang berupa rasa suka atau benci yang menghalangi itu diketahui, maka kita akan dapat mengetahui atau mengerti rasa orang berpoligami, yang serupa benar dengan rasa kita sendiri. Cara untuk mengetahuinya sebagai berikut, “Aku ingin mengetahui rasa orang berpoligami, tetapi karena senang atau benci poligami, maka aku tidak dapat mengetahuinya. Sebab dua macam rasa itu menghalangiku.” Bila diketahui demikian, rasa senang atau benci akan lenyap. Artinya tidak lagi mengalaminya. Barulah kita mengetahui rasa orang berpoligami, yang serupa benar dengan rasa kita sendiri.
Adapun tindakan seseorang, tentu terdorong oleh rasanya. Mencari minuman terdorong oleh rasa haus, ingin tidur terdorong oleh rasa kantuk. Tindakan orang berpoligami ialah terdorong oleh rasanya, yang menghendaki wanita yang bukan istrinya. Setelah rasa orang berpoligami itu diketahui, maka kita dapat meneliti diri kita sendiri dengan pertanyaan berikut, “Apakah aku juga menginginkan wanita yang bukan istriku?” Untuk menjawab pertanyaan di atas, sering kita merasa malu. Sebab keinginan semacam itu kita anggap jelek, karena kita mengira bahwa yang memiliki keinginan semacam itu hanya kita sendiri atau beberapa orang saja. Maka penelitian terhadap diri sendiri dapat dimulai dengan berpikir seperti di bawah ini.
Laki-laki walaupun sudah amat tua, bila melihat wanita cantik tentu merasa senang. Rasa senang ini jika dikupas berisikan keinginan. Padahal wanita cantik itu bukan istrinya. Jadi orang tua itu pun menginginkan wanita yang bukan istrinya. Demikian pula wanita, walaupun sudah amat tua, bila melihat laki-laki yang tampan, tentu merasa senang. Rasa senang ini bila diteliti berisikan keinginan. Padahal laki-laki itu bukan suaminya. Jadi wanita itu pun menginginkan laki-laki yang bukan suaminya.
Teranglah bahwa diri sendiri dan semua orang, mempunyai rasa mengingini orang yang bukan suami atau istrinya. Jika keinginan itu tidak sampai terlaksana, hal itu disebabkan hanya karena keadaan, kemiskinan atau kekhawatiran terhadap anak-anaknya, dan sebagainya. Jadi rasa ingin berpoligami bagi semua orang sama.
Bila kita mengetahui bahwa rasa orang berpoligami ialah serupa benar dengan rasa kita sendiri, maka kita akan damai dengan orang lain tadi. Rasa damai ini berarti tidak menyetujui atau membenci, tidak memuji atau mencela, yaitu berselisihan. Rasa damai itu sama dengan damai terhadap kenyataan, bahwa matahari terbit di sebelah timur.
Orang menanggapi rasanya sendiri, juga dengan rasa senang atau bencinya. Misalnya, bila ia menanggapi amarahnya dengan rasa benci, maka rasa marah itu ditekannya, sehingga ia tidak mengerti makna amarahnya. Menahan amarah itu rasanya sebagai berikut, “Kalau amarahku ini menjadi perbuatan, maka tidak enaklah akibatnya.” Menahan marah berarti mendambakan kesabaran. Kalau rasa benci ini tidak diketahui, ia akan menimbulkan perang batin, yaitu perang antara amarahnya dan angan-angannya untuk kesabaran.
Apabila yang menanggapi amarahnya sendiri itu rasa senangnya, ia akan membela amarahnya demikian, “Kalau saya tidak marah, maka saya akan senantiasa dihina.” Ki Ageng Suryomentaram 43
Dengan demikian ia tidak akan mengetahui arti amarahnya. Kalau tanggapan rasa senang atau benci itu diketahui, maka orang akan mengetahui arti amarahnya sendiri.
Adapun penelitian rasa senang dan benci dapat dilakukan sebagai berikut,”Aku ingin tahu arti amarahku, tetapi karena aku benci atau senang akan amarah itu, maka aku tidak dapat mengetahui arti amarahku.” Kalau hal ini disadari, maka rasa senang atau benci itu segera lenyap, yaitu tidak menutupi lagi. Barulah orang mengetahui arti amarahnya.
Marah itu berarti membela hal yang dianggap penting untuk diri sendiri. Jika kepentingannya sendiri diganggu orang, ia lantas marah. Wujud kepentingan manusia itu ada berbagai macam, seperti harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, kelompok, kebangsaan, jenis kelamin, ilmu kebatinan, kepandaian, ilmu, dan lain-lain. Setiap orang berbeda-beda dalam menilai kepentingannya sendiri. Salah satu kepentingannya dinilai lebih tinggi dari yang lain. Jadi kepentingan-kepentingan ini ada yang dinilai nomor satu, nomor dua dan seterusnya. Berat ringannya kemarahan tergantung pada tinggi rendahnya penilaian itu. Jika orang diganggu kepentingannya yang nomor satu, ia akan marah sekali.
Bila rasa senang atau benci dalam menanggapi rasa sendiri senantiasa diketahui, maka orang akan dapat mempelajari apa yang menjadi kepentingannya melalui pengetahuan tentang diri sendiri (pangawikan pribadi). Bila pengertian diri sendiri ini makin dalam dan luas, orang akan mengerti bahwa dasar landasan kepentingannya itu keliru. Landasan keliru inilah yang menimbulkan rasa tidak enak dalam pergaulan.
Apabila kepentingan harta benda itu landasannya keliru, maka ia akan merupakan keserakahan. Padahal kegunaan harta benda hanyalah sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan hidup. Maka keserakahan berarti mempergunakan harta benda secara salah.
Apabila kepentingan kehormatan itu landasannya keliru, maka ia akan menjadi gila hormat. Padahal rasa hormat itu mengandung kenikmatan, baik bila diri sendiri menghormati orang lain, maupun bila orang lain menghormati dirinya. Jadi gila hormat (minta dihormati) berarti mempergunakan kehormatan secara salah.
Apabila kepentingan kekuasaan itu landasannya salah, maka ia akan merupakan hasrat menguasai orang lain. Padahal orang berkuasa atau dipercaya itu disebabkan karena ia mengenakkan orang lain. Jadi ingin menguasai orang lain tanpa mengenakkan orang lain, berarti mempergunakan kekuasaan secara salah.
Demikianlah seterusnya, untuk mengetahui kepentingan kita yang dipergunakan secara salah. Bila diketahui, maka landasan kepentingan yang salah itu akan menjadi benar. Demikian faedahnya mengetahui rasa senang dan benci kita dalam tanggapan kita terhadap rasa kita sendiri.
Bila rasa senang dan bencinya itu diketahui, orang lantas merasa enak dalam pergaulannya dengan benda-benda, dengan orang lain dan dengan rasanya sendiri.
Pengetahuan tentang senang dan bencinya sendiri ini, dinamakan pengetahuan diri sendiri (pangawikan pribadi). Jadi pengetahuan diri sendiri ialah syarat untuk membangkitkan rasa enak dalam pergaulan.
ILMU JIWA KRAMADANGSA
BAGIAN I
Ki Ageng Suryomentaram 44
(Bagian pertama dan kedua dibawakan oleh Ki Pronowidigdo)
Adapun yang saya ceramahkan malam ini adalah llmu Jiwa Gambar Kramadangsa. Ilmu mengenai jiwa orang, dan jiwa adalah rasa. Rasa itu yang mendorong orang berbuat apa saja. Orang bertindak mencari air minum karena terdorong oleh rasa haus, bertindak mencari bantal untuk tidur karena terdorong oleh rasa kantuk dan seterusnya. Maka rasa itu menandai hidup orang. Kalau hanya ada badan saja tanpa rasa, disebut bangkai. Mempelajari tentang rasa adalah mempelajari tentang orang. Sedangkan kita sendiri pun orang. Jadi mempelajari tentang orang, dapat dikatakan mempelajari diri sendiri atau mengetahui diri sendiri (bhs. Jawa: pangawikan pribadi).
Diri sendiri yang manakah yang dipelajari? Ialah diri sendiri yang diberi dan memiliki nama khusus. Kalau namanya Krama, merasa aku si Krama, atau kalau namanya Suta, merasa aku si Suta. Rasa yang bergandengan dengan namanya itu, saya istilahkan “Kramadangsa”. Kramadangsa ini yang menyahut bila namanya dipanggil orang. Rasa namanya sendiri atau Kramadangsa iniiah yang akan kita teliti. Penelitian itu tidak sukar apabila kita mau, karena rasa itu melekat pada diri kita setiap hari, hingga untuk menelitinya tidak perlu pergi jauh-jauh. Maka dalam mengikuti ceramah ini bila ada sebutan “Kramadangsa”, gantilah dengan nama Anda masing-masing, untuk mencocokkan kebenaran uraian saya ini.
Kramadangsa ini menyatukan diri dengan segala rasa yang timbul dalam dirinya. Misalnya timbul rasa haus, Kramadangsa merasa “aku haus”, atau yang haus adalah “aku”. Jika timbul rasa kantuk, lapar, dirasakannya “aku ngantuk”, “aku lapar” dan seterusnya. Kramadangsa inilah yang merasa beda dari semua orang lain di seluruh dunia. Tegasnya kecuali aku, orang lain diperlakukan sebagai “kamu”.
Sekarang marilah kita mulai meneliti, bagaimana kelahiran dan perkembangan rasa Kramadangsa dalam diri kita masing-masing.
Ketika kita masih sebagai bayi, kita bertindak sebagai juru catat, yang mencatat segala hal yang berhubungan dengan diri kita. Misalkan sebagai bayi kita melihat sesuatu, mendengar sesuatu, menjilat dan merasakan sesuatu, sesuatu itu kita catat. Seperti saya melihat lampu ini, lantas saya mencatatnya.
Catatan lampu dan lampunya yang dicatat, adalah dua barang terpisah, yang tidak bersangkutan. Umpama lampu yang dicatat itu pecah, catatan lampu yang ada dalam diri saya, tidak turut pecah. Sebaliknya, bila saya tiba-tiba mati, catatan lampu yang ada dalam diri saya rusak, tapi lampu yang dicatat itu, tidak turut rusak.
Untuk melihat catatan-catatan itu harus memakai mata batin, tidak dapat memakai mata kepala. Seperti saya sekarang di Jakarta, dengan mata terpejam melalui mata batin, dapat melihat catatan rumah saya di Yogyakarta, jelas sekali.
Dengan perantara pancaindera, kita mencatat segala rupa penglihatan, suara, rasa dan sebagainya; yang berjuta-juta jumlahnya, tidak kunjung penuh. Maka isi catatan kita itu, lebih besar jumlahnya dari pada isi dunia. Karena rasa sendiri, yang tak ada di dunia luar, ada dalam catatan.
Pemisahan catatan dari hal yang dicatat sebagai berikut, misalnya saya berkata: “Kemarin saya minum air kelapa muda, segar rasanya.” Pada waktu saya berkata itu, rasa segar sudah tidak ada, tapi saya dapat mengatakannya, karena melihat catatan rasa segar yang masih ada dalam ingatan saya.
Ki Ageng Suryomentaram 45
Peranan kita sebagai juru catat ini, boleh dikatakan hidup dalam ukuran kesatu, seperti cara hidup tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya tidak lain hanya mencatat, dan bila berhenti mencatat, matilah juru catat itu. Hasil pekerjaan mencatat, ialah berupa bermacam-macam catatan yang berjuta-juta jumiahnya.
Catatan-catatan itu barang hidup, yang hidup dalam ukuran kedua, seperti kehidupan hewan. Maka sebagai barang hidup, catatan itu bila dapat makanan cukup, suburlah hidupnya, tapi bila kurang makanan ia menjadi kurus, kemudian mati. Makanan catatan-catatan itu berupa perhatian. Jika memperoleh perhatian besar, catatan-catatan itu hidup subur, tapi jika tidak dapat perhatian, catatan-catatan akan mati.
Sebagai contoh, kita kaum laki-laki, barangkali masih ingat bahwa di masa kanak-kanak kita suka bermain gundu, gasing, layang-layang dan sebagainya. Mengapa sekarang setelah dewasa kita tidak melakukannya lagi, padahal catatan permainan-permainan itu masih terdapat dalam ingatan kita? Karena catatan itu sudah lama tidak mendapat perhatian, sampai menjadi kurus dan akhirnya mati; maka sudah tidak menarik si Kramadangsa lagi.
Seperti halnya benda-benda hidup lain, catatan ini pun pada saat terakhir mengalami sekarat (ulmaut). Seperti lampu minyak yang habis minyaknya, pada saat terakhir menyala besar, lalu padam.
Tetapi kalau catatan masih hidup, ia masih menarik diri kita. Umpama catatan berjudi, yang masih hidup dalam ingatan saya, menggerakkan hati dan badan saya, ketika saya melihat orang-orang berjudi dalam suatu pesta. Walaupun mengalami kekalahan dan habis uang, saya telah bersumpah tidak akan berjudi lagi. Tetapi bila nanti memegang uang lagi dan melihat orang berjudi, saya segera mendekatinya untuk turut serta pula.
Jika catatan berjudi itu tidak diberi perhatian, ia akan menjadi kurus kemudian mati. Pada saat mendekati kematiannya, catatan itu mengalami sakarat (ulmaut), berwujud keinginan yang sangat besar untuk berjudi. Jika keinginan yang sangat besar ini pun tidak diperhatikan, matilah catatan itu.
Apabila catatan-catatan itu sudah cukup banyak jumiah dan jenisnya, barulah lahir rasa Kramadangsa. Yaitu rasa yang menyatukan diri dengan semua catatan-catatan, yang berjenis-jenis itu sebagai: harta-bendaku, keluargaku, bangsaku, golonganku, agamaku, ilmuku dan sebagainya. Rasa aku si Kramadangsa ini, bagaikan tali pengikat batang-batang lidi dari sebuah sapu lidi.
Kramadangsa ini pun barang hidup, yang hidup dalam ukuran ketiga, karena tindakannya dengan berpikir. Jadi Kramadangsa ini tukang pikir, memikirkan kebutuhan catatan-catatan di atas tadi.
Supaya jelas, di sini perlu saya ulangi mulai dari asal sampai terjadinya Kramadangsa.
Dimulai dari bayi yang baru lahir, sudah mencatat apa saja yang berhubungan dengan dirinya. Yang dari luar melalui pancaindra dan yang dari dalam melalui rasanya. Misalnya pada waktu lahir bayi itu diterangi dengan lampu, di waktu lampu padam, ia menangis. Disini bayi itu sudah membedakan terang dan gelap, hal itu telah tercatat dalam catatannya. Kemudian ia mencatat benda-benda di bawah cahaya terang. Ia pun mencatat rasa iapar yang timbul dalam dirinya dan rasa enak di waktu diberi air tetek ibunya.
Ki Ageng Suryomentaram 46
Apabila bayi ini makin besar dan makin lengkap catatan-catatannya, ia pun dapat membedakan lelaki dan perempuan, dan mengenali mana ibunya dan yang bukan. Kemudian catatan-catatan itu menjadi dorongan bagi tindakan atau perbuatannya.
Kita orang dewasa pun bertindak atau berbuat terdorong oleh catatan. Misalnya di jalan kita melihat seorang wanita yang mirip dengan isteri kita. Kita tidak berani segera menegur, sebelum mencocokkan wanita itu dengan catatan isteri kita, yang ada dalam diri kita sendiri. Umpama bagian-bagian anggota badannya sama, tetapi rambut ubannya tidak sebanyak uban isteri kita, kita belum berani memanggil. Tetapi bila seluruh wujudnya sama dengan catatan kita, barulah kita bertindak menegur: “Isteriku, kamu hendak ke mana?”
Jadi dalam hal bayi tadi, apabila catatan-catatannya belum cukup dan belum lengkap, ia belum dapat membedakan benda-benda dan menghubungkan sebab dan akibat kejadian-kejadian, karena belum lahir rasa Kramadangsa. Oleh karenanya ia belum dapat memikir. Memikir ialah membedakan pohon waru dengan pohon pisang, menghubungkan sebab terjadinya gelas jatuh, yang mengakibatkan pecah. Setelah bayi itu agak besar, sebagai anak kecil, ia pun belum mengerti hal ruang dan waktu {zaman). Misalkan diperlihatkan bulan, ia berusaha memegangnya, dan bila diberi pakaian baru untuk dipakai pada hari raya, ia menangis minta segera dipakai sekarang juga.
Dapat dilihat lebih jelas lagi, bahwa rasa Kramadangsa anak tadi belum lahir, ialah tiap ia minta makan, ia tidak mengatakan: “Bu, aku minta makan,” tetapi mengatakan namanya: “Bu, Din minta makan,” misalkan nama anak itu si Din. Dan menyebut ibunya tidak sebagai “ibuku”, tetapi sebagai “ibu si Din”.
Bila anak itu sudah berusia tiga tahun ke atas, rasa Kramadangsanya sudah terbentuk, maka bila ia minta makan, dikatakannya “Bu, aku minta makan.” la merasa, kecuali aku si Din, semua orang lain adalah bukan aku. Manakala ia melihat ibunya disandari oleh kakaknya, ia tidak membolehkannya. Karena ia merasa ibuku ialah milikku, bukan milik orang lain. Demikian seterusnya sehingga tua. banyak hal dan benda-benda dinyatakan sebagai miliknya.
Berjuta-juta catatan itu menggerombol, mendekati yang sama sifat coraknya dan menjauhi yang lain. Seperti ayam mendekati kalkun, menjauhi kambing. Dalam gambar Kramadangsa di bawah ini, ada sebelas kelompok catatan.
Kesebelas kelompok catatan tersebut adalah:
HARTA BENDA
KEHORMATAN
KEKUASAAN
KELUARGA
GOLONGAN
KEBANGSAAN
JENIS
KEPANDAIAN
KEBATINAN
ILMU PENGETAHUAN
RASA HIDUP
Perhatikan juga bahwa dari ukuran ketiga (kramadangsa) hendak menuju ke ukuran keempat (manusia tanpa ciri), terdapat simpang tiga. Untuk menuju ke ukuran keempat terdapat penghalang yang berupa PENDAPAT BENAR, yaitu rasa benar sendiri. Pembagian ini dibuat dengan sengaja oleh Ki Ageng Suryomentaram. Orang lain dapat saja membaginya menurut kehendak masing-masing, tidak terikat. Di luar kelompok-kelompok di atas, masih banyak lagi catatan-catatan yang khusus, misalkan ada barang-barang baru, kapal udara dan sebagainya yang tercatat dalam catatan.
Catatan itu hidup dalam ukuran kedua, sama dengan kehidupan binatang. Misalnya seekor anjing sedang menyusui anak-anaknya, tiba-tiba orang datang mengganggunya. Menggonggonglah anjing itu, siap untuk menggigit. Bila merasa menang ia mengejar, dan bila merasa kalah ia lari. Langkah demikian itu bagi semua anjing adalah sama.
Bagi manusia, bila anaknya diganggu orang, ia pun segera marah, karena anak itu termasuk catatan “keluargaku”. Tapi tindakannya tidak seperti anjing, dipikirkan cara melaksanakan amarahnya. Yaitu catatan “keluargaku” memerintah tukang pikirnya, si Kramadangsa. Cara memikir Kramadangsa bagi setiap orang berbeda-beda, disebabkan berbeda-bedanya catatan pengalaman masing-masing orang.
Ki Ageng Suryomentaram 47
Ki Ageng Suryomentaram 48
Sedangkan memikir adalah melihat catatan-catatan itu. Misalnya si Suta, mengetahui bahwa anaknya di sekolah diganggu oleh anak lain. Ia lantas marah dan setelah berpikir kemudian diambilnya keputusan untuk melaporkan pada guru sekolah. Tapi bila hal tersebut terjadi pada si Naya, lain pula tindakannya, mungkin ia akan mengadukan pada polisi, Dan lain lagi bagi si Waru, mungkin didamaikan dengan orang tua anak yang mengganggu. Buah pikiran mereka berlainan karena catatan-catatan pengalaman mereka pun berlainan.
Demikian perbedaan hidup manusia dari binatang, walaupun reaksi rasanya sama, tetapi tindakannya berlainan. Karena manusia punya tukang memikir yaitu Kramadangsa, yang bertindak menurut perintah catatan-catatannya.
Jadi Kramadangsa ini dapat dikatakan, sebagai seorang buruh yang mengabdi pada sebelas orang majikan, yang berwujud sebelas kelompok catatan tadi.
BAGIAN II
Sebagai barang hidup, catatan-catatan itu ingin hidup subur, oleh karena jika diganggu, marah, jika dibantu, senang. Bagi binatang, jika diganggu ia akan menggigit, dan jika disayang, bergoyang-goyanglah ekornya.
Dalam kelompok catatan-catatan itu, yang kesatu ialah catatan “harta benda”, yang berisi perumahan, tanah, hewan peliharaan, harta perhiasan mas intan dan sebagainya. Sifat catatan harta benda, sebagai “harta bendaku”, ini tetap, yakni kalau diambil, dikurangi, akan marah, tetapi kalau dibantu, ditambah, akan tertawa girang.
Kelompok catatan kedua yaitu “kehormatan”, berisi cara-cara memberi hormat seperti, bersalaman, berjongkok, menyembah, mengangguk, membongkok badan, dan sebagainya. Sifat catatan ini pun tetap, jika dihormat orang akan tertawa senang, tetapi jika tidak dihormat akan marah.
Kelompok catatan ketiga yaitu “kekuasaan”, berisi hak atas segala hal atau milik yang dikuasainya; misalkan rumah yang dipagari, ini berarti segala yang ada di dalam lingkungan pagar ini, “aku”lah yang berkuasa. Sehingga jika orang-orang atau benda-benda di daiam lingkungan kekuasaannya itu diganggu, marahlah ia, tetapi jika dibantu, girang dan tertawalah ia. Misalnya ada orang masuk rumahnya tanpa permisi, tentu ia lantas marah, karena merasa dilanggar kekuasaannya.
Kelompok catatan keempat yaitu “keluarga”, yang berisi catatan anakku, isteri/suamiku, keponakanku dan sebagainya. Sifatnya pun tetap sama, bila diganggu marah, bila dibantu ketawa.
Kelompok catatan kelima “golongan”. Cara orang masuk dalam suatu golongan ada dua jalan, yang satu dengan sengaja, dan yang kedua tidak dengan sengaja. Misalnya orang melarat, ia tidak sengaja masuk golongan melarat, tetapi masyarakat atau orang lain mengatakannya, bahwa ia tergolong melarat. Demikian pula golongan kaya, priyayi, tani dan sebagainya, masuk ke dalam golongannya secara tidak sengaja. Tetapi orang masuk suatu golongan agama atau partai, kebanyakan dengan kemauannya sendiri atau dengan sengaja. Catatan golongan ini pun jika diganggu marah, dan jika dibantu ketawa.
Misalnya golongan saya “golongan kawruh jiwa” atau “kawruh rasa” ini. Kalau ada yang mencela: “Lihatlah golongan kawruh jiwa/rasa itu, kerjanya tidak lain hanya ngomong tentang rasa saja. Bila perutnya lapar akan makan rasa pula.” Diejek demikian, saya pun marah. Tetapi bila dipuji orang: “Lihatlah, golongan kawruh jiwa/rasa ini, sudah mencapai ketenteraman, tidak mudah marah.” Maka ketawalah saya karena dipuji.
Kelompok catatan keenam “bangsa”. Pada umumnya, orang masuk salah satu golongan dengan tidak sengaja. Misalkan saya ini, tahu-tahu sudah menjadi bangsa Indonesia. Sifat catatan bangsa ini pun tetap, jika dicela, marah, dan jika dipuji, ketawa. Andaikata dicela: “Wah, kesaktian bangsa Indonesia hanya sebagai kelinci, yakni terus beranak banyak-banyak,” saya segera marah. Tetapi jika dipuji: “Bangsa Indonesia itu halus budi bahasanya” saya segera ketawa.
Kelompok catatan ke tujuh “jenis”. Pada waktu kita bertemu dengan seseorang, walaupun berlainan agama, bangsa dan golongan, tetapi merasa satu jenis, yaitu Ki Ageng Suryomentaram 49
jenis manusia. Sifat catatan ini pun tetap, jika sesama jenisnya diganggu, marah dan jika dibantu, ketawa. Umpama ada seorang sedang beristirahat di atas pohon dalam hutan, sekonyong-konyong dilihatnya seorang lain dikejar oleh seekor babi hutan. Orang itu marah dan ingin membunuh binatang tersebut, karena orang yang dikejar binatang itu, adalah sejenis dengan dirinya, walaupun bukan sebangsa dan sekeluarga.
Kelompok catatan kedelapan “kepandaian”, berisi kepandaian menari, pencak, membuat kecap dan kepandaian-kepandaian lainnya. Sifatnya pun tetap, jika dicela, marah dan jika dipuji, ketawa.
Kelompok catatan kesembilan “kebatinan”, isinya bermacam-macam dan berbeda-beda pada setiap orang. Bahkan “kawruh jiwa” pun ada yang menamakannya kebatinan.
Kelompok catatan kesepuluh “ilmu pengetahuan”, berisi pengetahuan membuat barang-barang seperti tikar, bom-atom dan lain-lain. Sifatnya tetap sama seperti diterangkan di atas.
Terakhir, kelompok catatan kesebelas “rasa hidup”, berisi berbagai-bagai kenangan dan pengalaman yang ditimbulkan oleh rasa hidup. Jadi yang mendorong gerakan manusia, selain catatan-catatan tersebut di atas, ada lagi yaitu rasa hidup. Malahan rasa hidup ini yang mendorong gerakan barang hidup. Barang-barang hidup itu berwujud tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Mereka bergerak sendiri, tak digerakkan oleh barang lain. Barang yang digerakkan oleh barang lain, ialah barang tidak hidup.
Barang hidup bergerak dengan maksud untuk mencukupi dua macam kebutuhan hidupnya. Yaitu untuk melangsungkan hidup raga dan jenisnya. Hal ini adalah hukum alam yang tidak dapat disangkal. Misalnya pohon kelapa, bergerak untuk melangsungkan hidupnya. Setelah dewasa lalu berbunga dan berbuah. Buah itu setelah masak, jatuh ke tanah, kemudian tumbuh sebagai pohon kelapa muda. Dengan demikian bila pohon kelapa yang tua mati, dunia tidak kehabisan jenis pohon kelapa.
Demikian pula manusia yang bergerak, selain didorong oleh catatan, juga didorong oleh rasa hidup untuk melangsungkan hidup raga dan jenisnya. Syarat-syarat untuk melangsungkan hidup raganya ialah makan, pakaian dan tempat tinggal. Lain dari tiga hal itu, bukanlah syarat hidup raga. Sebab badan manusia kalah kuat dibandingkan dengan badan binatang.
Bagi hewan, untuk melangsungkan raganya hanya satu cara yaitu makan. Misalnya kambing, pada saat ia lahir, badannya dapat tahan panas, angin, hujan, tetapi manusia tidak tahan panas atau dingin, hingga perlu memakai pakaian. Sekalipun perutnya kenyang, kalau tidak berpakaian, lama kelamaan ia akan kurus, sakit lalu mati.
Kebutuhan ketiga ialah rumah tinggal. Sebab raga orang, setelah lelah bergerak, butuh istirahat atau tidur. Karena sekalipun kenyang dan berpakaian, tetapi kalau tidak dapat istirahat, ia akan kurus, sakit lalu mati. Dalam hal tidur, manusia pun kalah dengan burung. Burung jika mengantuk bisa tidur di cabang-cabang pohon, walaupun hujan turun dan petir sambar-menyambar. Tetapi manusia bila ingin tidur masih memerlukan tempat yang tidak kepanasan, kehujanan, keanginan, yaitu berupa rumah.
Barang-barang lain yang tidak merupakan syarat hidup, bukanlah kebutuhan hidup. Misalnya barang semacam gamelan, bukanlah kebutuhan hidup, sebab tanpa gamelan orang tetap hidup. Tetapi orang sering salah anggapan, bahwa barang-barang yang bukan kebutuhan hidup dianggapnya sebagai kebutuhan hidup. Dan ini menimbulkan kesusahan dalam mempergunakan. Misalnya seorang laki-laki menganggap sepeda motor sebagai kebutuhan hidup, dan seorang perempuan menganggap perhiasan kalung dan giwang sebagai kebutuhan hidup. Bila mereka terpaksa sampai menjual barang-barang itu, malulah mereka, sehingga tidak berani ke luar rumah. Tetapi jika mereka dapat menganggap barang-barangnya itu sebagai barang kelebihan, sehingga bila terpaksa dijual, tidak menimbulkan malu.
Gerak manusia untuk melangsungkan jenisnya pun tidak dapat dihindarkan. Sama halnya dengan kebutuhan makan untuk melangsungkan raganya. Saudara-saudara Ki Ageng Suryomentaram 50 dipersilakan mengingat-ingat pengalaman sewaktu kanak-kanak. Anak lelaki suka main gundu, gasing, sedangkan anak perempuan suka msin gateng (permainan anak Jawa, menyebar dan meraup biji-biji sawo), main manik-manik dan sebagainya. Kemudian bila sudah dewasa, berganti permainannya. Anak lelaki itu mengganti gundu atau gasingnya yang biasa dengan yang bisa tertawa. Dan anak perempuan yang sudah menjadi remaja, mengganti gateng dan manik-manik yang biasa dengan yang dapat tersenyum. Masa perubahan tadi dapat dinamakan masa birahi. Dari manakah datangnya rasa birahi itu? Tidak dapat diketahui, kecuali tahu-tahu sudah ada, tidak dapat ditolak. Bahkan pada diri saya yang sudah tua, ompong, kadang-kadang masih timbul birahi. Maka para jejaka dan gadis yang sama birahi, kejar-mengejar untuk mencukupi kebutuhannya, yang tidak dapat dicegah. Kalaupun orang berusaha mencegahnya, ini sama dengan mencegah orang lapar tidak boleh makan.
Jadi yang mendorong gerak itu ialah rasa-hidup dan catatan-catatan. Maka rasa-hidup dan catatan-catatan itu adalah bahan adonan Kramadangsa, atau diri-sendiri. Jika bahan adonan itu dipisahkan, hilanglah Kramadangsa. Seperti air teh dalam gelas di depan saya ini. Apabila adonan yang terdiri dari daun teh, air dan gula dipisahkan, air teh ini tidak ada lagi.
Rasa-hidup dan catatan rasa-hidup itu, mendorong gerak manusia. Misalnya saudara, biasa setiap pukul tujuh pagi minum kopi, Pada suatu hari saudara lupa atau tidak sempat melakukan kebiasaan minum kopi itu, sehingga pada waktu pukul sembilan pagi, kepala merasa pusing. Kemudian ingat bahwa pagi itu belum minum kopi, lalu bertindak mencari minuman kopi. Tindakan ini terdorong oleh catatan minum kopi dalam diri-sendiri. Tetapi tatkala pukul dua siang hari, merasa lapar, ia lalu mencari makanan. Tindakan ini terdorong oleh rasa-hidup. Jadi dorongan dari rasa-hidup dan dari catatan rasa-hidup, adalah dua hal yang tidak sama.
Sebagai contoh, orang lapar bertindak mencari makanan, ini terdorong oleh rasa-hidup. Tetapi ketika melihat tak ada bakmi pada hidangan yang disajikan isterinya di atas meja, urunglah ia makan. Tindakan ini terdorong oleh catatan rasa-hidup. Bagi anak kecil yang belum ada catatan bakmi, bila merasa lapar lalu makan apa saja yang diberikan. Demikian orang ditarik dan didorong oleh berbagai-bagai catatan yang sering bertentangan, sehingga menimbulkan kepusingan. Tetapi rasa-hidup yang hanya butuh untuk mencukupi kelangsungan hidupnya, mendorong orang bila ia lapar, untuk makan makanan apa saja dan makanan itu tentu terasa lezat.
Kramadangsa sebagai pengikat dan pemilik catatan-catatan, menilai catatan-catatan itu tidak sama rata. Pada umumnya yang bernilai paling tinggi, ialah catatan harta benda, kehormatan, kekuasaan (bhs. Jawa: semat, drajat, kramat). Penilaian ketiga macam catatan tersebut oleh masing-masing Kramadangsa, juga berbeda-beda. Yang satu menilai harta-benda nomor satu, kehormatan nomor dua, kekuasaan nomor tiga. Yang lain menilai kehormatan nomor satu, kekuasaan nomor dua, harta-benda nomor tiga. Yang lain lagi mempunyai urutan penilaian yang lain pula.
Catatan yang dianggap terpenting itu, makin lama mencengkeram Kramadangsa. Kramadangsa yang dicengkeram oleh salah satu catatan, tindakannya mengabaikan catatan-catatan lain dan diri-sendiri. Misalkan catatan harta-benda yang mencengkeram Kramadangsa, setiap tindakannya pasti ditujukan untuk menambah kekayaannya. Ibaratnya kata sepatah, tindak selangkah, jika tidak menambah kekayaan, tidak akan dilakukannya. Pernah saya melihat seorang kaya yang tercengkeram catatan harta-benda, bila makan puas dengan gudangan mentah (campuran sayur mentah dengan sambal kelapa), bila memasak, mencari sampah tetangganya untuk bahan bakar. Bila nanti mencari menantu, tujuannya pun untuk menambah kekayaan. Sehingga diterimanya pinangan seorang laki-laki yang sudah berusia delapan puluh tahun, untuk gadisnya yang baru berusia enam belas tahun. Bahkan makin hebat cengkeraman catatan tadi, sehingga menyatukan diri dengan harta-bendanya, “harta-bendaku ialah aku”. Pada waktu ia diserbu penggedor (perampok), dia membela harta-bendanya mati-matian, sehingga mengorbankan jiwa-raganya.
Peristiwa semacam itu banyak terjadi pada masa geger-perang yang lalu. Andaikata ia tidak mati, tetapi gagal mempertahankan harta-bendanya hingga rudin/bangkrut, Ki Ageng Suryomentaram 51 orang kaya yang tercengkeram catatan harta-benda itu lalu menjadi malas hidupnya, sebab memikirkan harta-bendanya yang telah amblas. Rasanya, meskipun aku bekerja seratus tahun lagi, tidak mungkin jumiah harta-bendaku yang hilang itu kembali. Orang itu takut hidup akan tetapi takut pula mati. Lama-kelamaan ia malas makan, malas tidur dan malas bernafas, akhirnya menderita TBC atau sakit jiwa. Menderita TBC itu seolah-olah bunuh diri secara lamban. Kalau ia menggantung diri atau mencebur diri ke dalam sumur, maka ia membunuh diri secara cepat.
Karena masing-masing catatan itu minta diperhatikan dan dipentingkan, maka sering timbul pertengkaran, antara catatan yang satu dengan yang lain, yang membuat si Kramadangsa sebagai buruhnya, menjadi kebingungan. Misalkan di kala ia menghadapi anaknya yang menghambur-hamburkan uangnya, maka bingunglah Kramadangsa, karena yang menghamburkan uangnya ialah “anakku” yang harus dipelihara, dididik, disenangkan. Di pihak lain, yang dihamburkan ialah “hartaku” yang harus diamankan dan diperbanyak jumlahnya.
Semakin hebat cengkeraman salah satu catatan, maka kepentingan catatan lainnya siabaikan, membuat Kramadangsa bertindak tanpa menggunakan pikiran, sehingga ia bertindak laksana hewan saja. Misalnya seorang laki-laki, tercengkeram hebat oleh catatan “keluargaku”. Suatu ketika ia pulang ke rumah dan melihat sang isteri berbuat serong dengan laki-laki lain. Tanpa pikir panjang lagi, dicabut pisau dan dibunuhlah laki-laki yang menggendak isterinya itu. Kemudian ketika ia meringkuk dalam penjara, sebagai hukuman atas perbuatannya, catatan-catatan lain mengeroyok dirinya atau Kramadangsanya. Sebagai majikan, catatan-catatan itu menyesalkan perbuatan buruhnya: “Hai Kramadangsa, sekarang kamu berada dalam penjara, lalu siapakah yang akan mengurus sapimu, anak-anakmu? Bahkan bila isterimu bergendak lagi, mana kau tahu?”
Jadi kesimpulannya, dalam diri kita ini terdapat juru catat, yang menghasilkan berbagai-bagai catatan, yang menggerombol menjadi sebelas kelompok. Kelompok-kelompok catatan ini melahirkan Kramadangsa, yaitu rasa aku dengan namanya sendiri. Kramadangsa ini tukang memikir, yang memikirkan kebutuhan catatan-catatan di atas. Dengan kata lain, Kramadangsa sebagai seorang buruh dari sebelas majikan.
BAGIAN III
(Bagian ketiga dan keempat disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram)
Tadi sudah diterangkan bahwa Kramadangsa, rasa nama sendiri, ialah pesuruh catatan-catatan; Maka boleh dikata, Kramadangsa ialah budak dari sebelas orang majikan.
Setiap gerak-hati sesaat (bhs. Jawa: krenteg) yang muncul dalam rasa, tentu berasal dari rasa-hidup atau dari catatan-catatan. Yang berasal dari rasa-hidup itu sedikit dan mudah dimengerti, tetapi yang berasal dari catatan-catatan, sukar diketahui dan dimengerti. Rasa yang muncul itu baik berwujud gerak-hati, maupun ilham, tentu berasal dari catatan-catatan.
Yang mendapat ilham itu pada umumnya mereka yang berprihatin. Orang berprihatin biasanya bertirakat, mengurangi makan, mengurangi tidur, kemudian memperoleh ilham (bhs. Jawa: wisik), dan ilham itu berasal dari catatan-catatan. Jika orang tidak berhasil dalam usahanya, ia lalu prihatin, bertirakat dan akhirnya memperoleh ilham (bisikan hati). Ilham itu pasti berasal dari catatan harta-benda. Biasanya ilham itu mengatakan: “Kamu harus bekerja di bidang ini; harus berdagang barang ini; menemui dukun anu; tirakatlah ke keramat anu; dan sebagainya.” Bisikan hati ini ialah dari catatan harta-benda.
Pada waktu ada rasa muncul dalam diri-sendiri, yang berasal dari catatan-catatan, maka ini berarti bahwa kita berada di jalan simpang tiga. Jalan simpang tiga ini, yang satu menuju ke ukuran ketiga, yakni hidup Kramadangsa, dan yang lain menuju ke ukuran keempat, yakni hidup manusia tanpa ciri.
Jika kita merasa marah, maka kita berada di jalan simpang tiga. Dalam marah itu, bila kita memikirkan bagaimana cara melaksanakan marah, kita menuju ke jurusan ukuran ketiga, yakni Kramadangsa. Hal demikian ini sudah biasa kita lakukan Ki Ageng Suryomentaram 52 sepanjang ribuan tahun. Tetapi bila dalam marah itu, kita tidak memikirkan bagaimana cara melaksanakan marah, melainkan memikirkan si marah, yaitu marah itu apa, bagaimana rupa dan bagaimana arti maksudnya, kita lalu menjurus ke ukuran keempat, manusia tanpa ciri. Kemudian apabila kita berhubungan dengan orang lain, kita merasa damai atau tidak berselisih.
Pada jalan simpang tiga itu, rasa yang timbul hanya dua macam, yaitu rasa suka dan rasa benci. Rasa suka dan benci ini bisa bermacam-macam rupanya. Rasa benci bisa berupa marah, malu, takut, terganggu (bhs. Jawa: risi) dan sebagainya. Rasa suka bisa berupa bangga, senang, gembira dan sebagainya.
Rasa suka dan benci ini berasal dari catatan-catatan, oleh karenanya bermaksud untuk membela diri. Lantaran catatan-catatan itu butuh hidup subur, maka jika diganggu akan marah, jika dibantu akan tertawa senang; sehingga jika dirugikan akan benci, jika diberi keuntungan akan suka. Jadi bila ada rasa muncul, dan rasa itu diteliti, maka kita akan menemukan hanya dua macam hal, yaitu suka dan benci, kedua-duanya itu tentu bersifat membela diri.
Jika anak kita diganggu, maka kita marah. Anak ini termasuk catatan keluarga, yang butuh tetap hidup subur; sehingga tatkala anak kita diganggu, kita akan marah, dan ini berarti bahwa kita membela diri. Begitupun bila kita dibantu dalam mengasuh anak kita, sukalah hati kita. Suka ini pun berarti membela diri, karena memperoleh untung.
Dalam gambar Kramadangsa, pada bagian gambar jalan simpang tiga, terdapat penghalang (bhs. Jawa: aling-aling). Penghalang inilah yang menghalangi kita menuju ke ukuran keempat. Penghalang ini ialah pembelaan diri, yang berwujud anggapan benar. Jadi penghalang yang menghalangi diri-sendiri menuju ke ukuran keempat, berwujud “anggapan’ benar.
Anggapan benar yang ada pada diri-sendiri ini, menimbulkan perselisihan. Dua orang yang berselisih, masing-masing sama-sama beranggapan benar. Misalnya si A berselisih dengan si B, si A merasa benar dan si B juga merasa benar. Maka merasa benar adalah perselisihan, dan orang berselisih karena merasa benar. Apabila merasa benar berarti berselisih, maka damai itu berarti merasa salah. Jadi, di waktu kita berselisih dengan orang lain, dapatlah dimengerti bahwa kita sendiri yang salah, maka carilah kesalahan diri-sendiri itu sampai ketemu. Yakni bahwa kita hanya mengejar kepentingan diri sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Maka kita ini bertindak sewenang-wenang, tukang bertengkar atau juara pertengkaran.
Karena persengketaan itu disebabkan oleh anggapan benar sendiri, sedang kita ini selalu merasa benar, maka kita selalu bersengketa, baik dengan isteri/suami, anak, orang tua, maupun dengan tetangga-tetangga kita.
Yang menjadi penghalang kita menuju ukuran keempat ialah anggapan bahwa kita benar, dan anggapan inilah yang menyebabkan perselisihan. Bila kita berselisih dengan siapa saja, maka kita akan menyadari dan mengerti, bahwa anggapan benar itu salah. Pengertian demikian itu berarti menjebol penghalang di atas. Dan kita menghayati hidup dalam ukuran keempat, yakni sebagai manusia tanpa ciri yang bila bergaul dengan orang lain, selalu merasa damai.
Jadi, rasa yang menanggapi apa saja, tentu hanya rasa suka atau benci. Suka atau benci ini berarti membela diri, yang berwujud anggapan-benar. Oleh karena anggapan-benar ini menyebabkan perselisihan, maka dapat dimengerti bahwa anggapan-benar itu salah. Kesadaran ini berarti jebolnya penghalang jalan hidup, yang menuju ukuran keempat. Maka kita terjun ke dalam hidup ukuran keempat, sebagai manusia tanpa ciri, yang merasa damai bila berhubungan dengan orang lain.
Bersamaan dengan lahirnya manusia tanpa ciri dalam ukuran keempat, si Kramadangsa menjadi tidak berdaya. Dengan demikian dapatlah dilihat kekeliruan dan kesalahan catatan-catatan yang ada dalam diri kita. Catatan-catatan yang mengenai rasa, hampir semua salah, sedangkan yang mengenai wujud barang, banyak yang benar. Misalnya, mencatat wujud meja di depan saya ini, benar, berbentuk persegi panjang; tetapi bila mencatat rasa/tanggapan akan sering kali salah.
Mari bersama-sama kita periksa catatan pertama dalam gambar Kramadangsa itu, yakni catatan harta benda. Kita mencatat harta benda ini salah, jika kita salah Ki Ageng Suryomentaram 53 mempergunakannya. Harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan raga yang berupa makan, pakaian dan tempat tinggal. Karena kebutuhan raga itu pada dasarnya tidak banyak (sederhana), maka orang tidak akan kekurangan, atau kaya, untuk mencukupi kebutuhan raga ini. Tetapi kita sering keliru, mempergunakan harta benda sebagai alat untuk mencari kehormatan dan kekuasaan. Padahal kehormatan dan kekuasaan ini kebutuhan jiwa, bukan kebutuhan raga. Apabila harta benda dipakai untuk kebutuhan jiwa, orang merasa tidak cukup, atau melarat. Walaupun mempunyai berjuta-juta harta benda, masih saja merasa tidak cukup atau kekurangan.
Dalam masyarakat kita, orang kaya lebih dihormati daripada orang miskin. Ini membuktikan bahwa harta benda dipakai untuk memperoleh kehormatan. Begitu pula harta benda sering dipakai untuk memperoleh kekuasaan. Misalkan seorang kaya hendak menguasai pegawainya yang melarat, lalu mengancam: Bila kamu tidak menurut perintah-perintahku kamu akan kupecat. Padahal orang kaya itu pasti menghadapi orang lain, yang melebihi kekayaannya. Maka untuk mempertahankan kedudukannya, ia selalu merasa kekurangan harta bendanya. Jadi jika harta benda dipakai untuk kebutuhan jiwa, maka harta benda selalu menimbulkan rasa tidak cukup.
Tetapi bila orang memakai harta benda untuk mencukupi kebutuhan raga, ia akan merasa cukup, kaya. Misalnya dengan memiliki tiga helai celana, orang sudah serba cukup, kaya. Satu helai dipakai, yang lain dicuci, dan yang lain lagi untuk cadangan bila yang dipakai tiba-tiba kotor. Jadi orang punya tiga helai celana, sudah kaya. Jika ia sampai mempunyai empat helai celana, berarti ia kelebihan sehelai. Barang kelebihan ini, bila hilang tidak akan menjadi soal baginya. Demikian seterusnya, jika ia mempunyai sepuluh helai celana, berarti ia kelebihan tujuh helai sebagai kekayaannya. Sehingga bila hilang kekayaan atau kelebihan itu, tidak akan menjadi soal baginya.
Orang yang mempunyai kelebihan tujuh helai celana, boleh dikatakan merugikan masyarakat, karena tujuh helai celana itu, yang seharusnya tersebar dalam masyarakat, ditimbunnya sendiri. Hal ini memboroskan masyarakat. Maka orang yang menimbun barang adalah orang yang boros. Barang-barang yang dimaksudkan di sini, bukanlah barang dagangan. Oleh karena orang yang menimbun barang-barang itu memboroskan dan merugikan masyarakat, dengan sendirinya ia memperoleh hukuman dari masyarakat. Hukuman masyarakat ini, berupa rasa ketakutan akan pencuri. Tetapi bagi orang yang hanya punya sehelai celana, ia tidak takut akan pencuri. Demikian orang yang salah mempergunakan harta benda, sehingga ia bertikai dengan masyarakat.
Kekeliruan dalam menggunakan harta benda, dapat menimbulkan kekacauan dan keributan, sehingga merusak ketenteraman. Supaya lebih jelas, saya beri tambahan contoh pengalaman saya sendiri.
Pada suatu ketika saya mempunyai dua buah rumah, yakni rumah belakang dan rumah depan (pendopo). Pada suatu ketika pendopo itu doyong ke timur, saya tunjang dari timur. Kemudian ketika pendopo itu doyong ke barat, saya tunjang dari barat, lalu ketika doyong lagi ke utara, saya tunjang dari utara. Walhasil rumah itu penuh dengan bambu-bambu penunjang, hingga tidak dapat didiami, dan terpaksalah dirobohkan. Setelah rumah itu roboh, barulah saya merasa kaya. Ketika saya mengerti bahwa rumah yang roboh itu adalah barang kelebihan, maka hal itu tidak menimbulkan persoalan bagi saya lagi. Saya bersama keluarga lalu tinggal di rumah belakang, terhindar dari panas, hujan dan angin. Dan waktu itu juga, saya merasa kaya karena memiliki kayu bakar yang lumayan banyaknya; sehingga selama dua bulan tidak perlu membeli kayu bakar. Jadi bila harta benda dipergunakan untuk kebutuhan raga, orang merasa cukup, malah merasa kaya. Kedua, kelompok catatan kehormatan. Dalam diri kita ada catatan kehormatan yang berupa tata-cara menghormat, dengan bersenyum, manggut, bersalaman, menunjuk ke langit dan sebagainya. Kelompok catatan ini pun dapat keliru; jelasnya sebagai berikut.
Kita merasa nikmat, bila orang lain menghormati kita. Dan kita mengira bahwa rasa nikmat itu berasal dari penghormatan, yang diberikan oleh orang lain. Maka kita Ki Ageng Suryomentaram 54 berusaha keras agar dihormati oleh orang lain, sehingga berebut kehormatan atau gila hormat. Hal itu salah, sedangkan yang benar ialah dalam hormat terdapat nikmat. Tegasnya, baik hormat orang lain terhadap diri-sendiri, maupun hormat diri-sendiri terhadap orang lain rasanya nikmat. Jadi, dihormati itu nikmat, menghormati pun juga nikmat.
Jika kita mengerti bahwa hormat adalah nikmat, bilamana kita ingin merasa nikmat dari hormat, cukuplah dengan bertindak menghormat orang lain. Dengan demikian kita tidak perlu berebut kehormatan.
Ketiga, kelompok catatan kekuasaan, ini pun dapat keliru. Kuasa itu berarti dipercaya oleh orang lain. Dipercaya oleh orang lain itu, rasanya nikmat. Bila kita tidak mengerti apa sebab hingga dipercaya dan berkuasa, kita lalu berusaha membabi-buta mencari kekuasaan, berebut kekuasaan dan gila kekuasaan, yang pada akhirnya menjadi perkelahian.
Padahal orang berkuasa atau dipercaya itu adalah karena ia mengenakkan orang lain. Umpama seorang dokter, setiap mengobati orang sakit selalu berhasil menyembuhkan. Sudah tentu beribu-ribu orang minta pertolongan dan percaya akan nasehatnya. Dokter itu dipercaya oleh orang banyak, dan ia merasa berkuasa dan nikmat. Jadi orang berkuasa atau dipercaya itu, karena ia mengenakkan orang lain. Maka bila kita ingin berkuasa dan dipercaya, kita harus bertindak mengenakkan orang lain.
Tetapi jika kita tidak mengerti bahwa berkuasa atau dipercaya itu adalah karena mengenakkan orang lain, maka kita justru mencari kekuasaan atau kepercayaan tanpa mengenakkan orang lain.
Dipercaya oleh satu orang atau oleh orang banyak, rasa nikmatnya sama saja. Saudara-saudara dapat mencoba sendiri. Saudara-saudara kaum lelaki yang biasanya tidak pernah mengambil air dari sumur (bhs. Jawa: ngangsu), besok pagi-pagi bangun tidur, saudara segera mengambil air. Yang biasanya tidak pernah menyapu lantai rumah, lakukanlah pekerjaan itu. Pasti saudara segera dipercaya oleh isteri saudara. Sang isteri itu belum diperintah, sudah mendahului minta diperintah, “Mas, kau ingin kubuatkan apa?” Hal itu dapat saudara buktikan sendiri.
Maka bila mengerti bahwa berkuasa itu disebabkan mengenakkan orang lain, orang lalu merasa kaya akan kekuasaan dan tidak berebut kekuasaan.
Keempat, catatan keluarga, ini pun dapat keliru. Dalam catatan itu yang penting ialah suami/isteri, anak-anak. Jadi kita seringkali keliru mencatat tanggapan terhadap suami/isteri dan anak-anak kita. Dalam hubungan suami-isteri, kita merasa bahwa kita mencintai satu sama lain. Padahai kenyataannya tidak demikian.
Mari saudara-saudara saya ajak bersama-sama meneliti diri sendiri masing-masing. Apakah kita ini mencintai pasangan kita atau tidak? Saudara-saudara, baik laki-laki maupun perempuan, cobalah meneliti diri sendiri, ketika memilih jodoh, apakah kita berniat membahagiakan calon pasangan kita? Jika calon pasangan kita itu menolak untuk diperisterikan atau dipersuamikan, apakah kita masih tetap ingin membahagiakannya? Tentu saja tidak. Padahal rasa ingin membahagiakan itu, lahir dari rasa cinta. Jadi kita tidak lagi mencintai, karena kehendak kita ditolaknya, bahkan kita lalu membencinya.
Mari saudara-saudara saya ajak mengingat-ingat rasa sendiri, ketika kita memilih pasangan. Rasa yang paling baik: “Bila aku memperoleh dia, aku akan senang sekali.” Sedang rasa yang jelek: “Kalau enak diteruskan, kalau tidak enak diceraikan.” Jadi rasa yang terbaik itu, ialah semata-mata memikirkan kesenangan diri-sendiri, dengan tidak mempedulikan pihak calon pasangannya. Rasa demikian itu bukanlah cinta, melainkan mengejar kesenangan sendiri. Jadi kita menghargai pasangan kita, sebagai barang kesenangan belaka. Sama dengan barang-barang kesenangan lain, seperti burung perkutut, kucing dan dengkek (nama salah satu kartu judi).
Orang yang senang memelihara perkutut, bila burung itu bersiul bagus “hoorketekung,” burung itu lalu dirawat baik-baik, dikerek tinggi, dimandikan, ditambah makanannya. Tetapi jika perkutut itu berbunyi ‘hoorketekek” jelek, maka akan dibantingnya, karena tidak menyenangkan. Demikian pula ia bertindak terhadap pasangannya, yang tidak menyenangkan atau “hoorketekek”, juga Ki Ageng Suryomentaram 55 dibantingnya. Bedanya, pada perkutut yang dibanting raganya, sedang pada suami/isteri, yang dibanting rasanya.
Contoh “hoorketekek bagi manusia, misalnya seorang laki-laki yang sangat merosot penghasilannya, karena semula bekerja tetapi kini dipensiun. Penghasilan kurang inilah “hoorketekek”, tegasnya tidak menyenangkan isterinya. Maka sang isteri membantingnya; hanya saja yang dibanting bukan raganya, tetapi perasaan hatinya. Caranya dengan menghidangkan “gudangan mentah” (daun daun sayur mentah dengan sambal kelapa). Di pihak lain, sang suami yang baru dipensiun itu, sering lupa, sehingga tatkala menghadapi hidangan “gudangan mentah” itu, merasa ogah-ogahan makannya. Ogah-ogahan ini pun rasa hoorketekek lagi, maka sang isteri membanting pula dengan berkata: “Orang sudah dipensiun, masih tetap minta lauk pauk telur?” Demikian orang menghargai suami/isteri hanya sebagai barang kesenangan belaka.
Melihat kenyataan bahwa dirinya sesungguhnya tidak mecintai isterinya, laki-laki itu takut melihat keadaan diri-sendiri yang sebenarnya. Ketakutan itu mendorongnya untuk menutupi dirinya sendiri demikian: “Tetapi aku ini berbeda dengan laki-laki lain. Aku benar-benar mencintai isteriku, buktinya ia kubelikan rumah, pakaian, perhiasan mas-intan yang bagus-bagus.
Mari saudara-saudara saya ajak bersama meneliti diri-sendiri masing-masing. Rasa apakah yang mendorong kita, memberi sesuatu kepada suami/isteri; rasa cintakah atau dengan maksud lain? Hal ini bagi kaum laki-laki atau perempuan sama saja.
Umpama seorang laki-laki pulang dari perjalanan ke Singapura, ia membawa oleh-oleh kain baju untuk isterinya. Pada waktu menyerahkan, rasanya: “Isteriku, ini kuberi oleh-oleh kain baju. Walaupun kamu tidak memesan, namun kubelikan; ini sebagai bukti dari cintaku kepadamu”. Apakah membelikan kain baju dapat diartikan cinta? Sehingga sebuah baju sama dengan satu cinta, dua buah baju sama dengan dua buah cinta? Kalau bajunya satu lemari, apakah cintanya pun satu lemari? Jika demikian halnya, orang-orang kaya itu kaya dengan cinta, karena mereka mampu memberi delapan lemari berisi penuh dengan kain baju, yang berarti delapan lemari penuh cinta kepada isterinya. Sementara orang-orang miskin tidak dapat mencintai suami/isterinya karena tidak punya baju berlemari-lemari.
Demikian orang itu tidak dapat mencintai suami/isterinya. Rasa yang ada dalam hubungan suami-isteri hanyalah rasa saling memanfaatkan, untung-menguntungkan. Maka bila dirasakan masih seimbang, memadai, perkawinan masih dapat dipertahankan, tetapi bila tidak, lalu bercerai.
Demikian juga catatan “anak” pun keliru. Orang mencatat bahwa dirinya mencintai anak-anaknya, padahal sebenarnya tidak. Yang sering dianggap cinta itu, hanyalah rasa hidup untuk mempunyai keturunannya. Wujud rasa hidup tersebut, berupa asuhan kepada anak kecil, supaya raganya berlangsung hidup. Tetapi setelah anak itu dewasa, kita ajak bertengkar, dan pertengkaran bukanlah cinta.
Kecuali rasa hidup untuk melangsungkan keturunan, yang mendorong kita untuk memelihara anaknya, kita menganggap anak kita hanyalah sebagai cadangan dana pensiun dan alat kebanggaan. Anggapan itu dapat diungkapkan sebagai berikut: “Anakku ini kudidik rajin bersekolah, agar berilmu dan berijazah serta mendapat jabatan tinggi dengan penghasilan besar. Nanti kalau saya sudah tua dan tidak dapat bekerja tetapi masih butuh makan dan pakaian, maka anakkulah yang akan memberi pensiun padaku. Bahkan keinginan jaminan pensiun ini bisa makin jauh, rasanya: “Apabila anakku berpenghasilan besar, sedangkan aku sudah tua dan tidak bekerja, tetapi masih butuh tambah atau ganti isteri/suami, maka anakkulah yang nanti harus mengawinkan aku.”
Kecuali untuk cadangan pensiun, kita menghargai anak kita sebagai alat kebanggaan, rasanya: “Untuk mencari kebanggaan, aku sendiri sudah tidak mungkin. Tetapi kuharapkan anakku memperoleh pangkat tinggi, sehingga derajatku pun turut naik tinggi.” Maka apabila anak kita yang bersekolah tidak naik kelas, kita jadi marah, anak dipukul, kadang-kadang sampai hati pula mengusirnya. Hal ini menyebabkan pada setiap kali masa ujian terakhir, ada pelajar yang bunuh diri. Karena pelajar itu telah mengecewakan harapan orang tuanya. Demikian kekeliruan catatan keluarga itu.
Ki Ageng Suryomentaram 56
BAGIAN IV
Catatan-catatan yang lain pun semua dapat keliru, tetapi tidak akan saya terangkan satu persatu, karena akan makan banyak waktu. Selanjutnya saudara-saudara dapat meneliti bersama-sama kawan-kawan lain, atau dengan saudara-saudara yang baru mendengarkan sekarang.
Jadi catatan-catatan yang berjuta-juta banyaknya dalam diri kita sendiri dapat keliru. Bila catatan keliru itu sudah diketahui, maka akan ada catatan baru yang benar. Kemudian catatan lama yany keliru bertarung dengan catatan baru yang benar. Jika dalam perkelahian itu, catatan lama (yang keliru) kalah, matilah catatan lama itu. Catatan yang mati itu tidak mengganggu kita lagi.
Jadi bila rasa-rasa yang muncul dari dalam diri kita, diteliti sehingga selesai, penghalang yang berupa anggapan benar itu jebol. Barulah kita mengetahui kekeliruan catatan-catatan itu, dan rasa aku si Kramadangsa diam atau mati. Bersamaan dengan itu lahirlah rasa manusia tanpa ciri.
Ukuran keempat ialah sifat manusia tanpa ciri, dan ukuran ketiga ialah sifat Kramadangsa, atau manusia memakai ciri-ciri. Ciri-ciri itu dapat diibaratkan ekor, yang berupa jenis dan golongan; seperti: laki-laki, perempuan, tua, muda, kaya, miskin, pangkat tinggi, pangkat rendah dan sebagainya. Segala apa yang membedakan seseorang dengan seseorang lain ialah ciri atau ekor. Ciri-ciri atau ekor-ekor inilah yang menyebabkan orang, pada waktu berhubungan dengan sesama orang, tidak dapat bertemu sebagai manusia dengan manusia tanpa ciri. Tetapi yang bertemu hanyalah ciri-ciri atau ekor masing-masing. Oleh karenanya mereka pasti berselisihan.
Misalnya seorang kaya berjumpa dengan seorang miskin, yang berjumpa ialah rasa kaya di satu fihak dan rasa miskin di fihak lain. Maka mereka pasti bertikai dan ejek mengejek. Si kaya mengejek si miskin: “Ah, orang melarat ini, biasanya semula bicara baik-baik, lama kelamaan pasti minta berhutang”. Si miskin pun mengejek si kaya: “Ah, orang kaya ini, bicara baik-baik, ujung-ujungnya hanya akan menyuruh saja. Pukul tiga dini hari membangunkan orang tidur hanya untuk menyuruh. Mentang-mentang banyak uang. Tapi akau kok mau juga disuruh-suruh.
Demikianlah, Kramadangsa atau manusia berciri atau berekor, bila bergaul tidak dapat bertemu secara manusia dengan manusia, melainkan sebagai ekor dengan ekor, maka itu mereka berselisih.
Demikian pula bila seorang wali (orang sakti, aulia) bertemu dengan seorang bajingan, mereka tidak dapat berbicara sebagai manusia dengan manusia. Tetapi sebagai wali dan bajingan, yaitu ekor masing-masing. Si Wali mengejek si bajingan: “Ah, bajingan ini biasa, diajak bicara baik-baik, tapi begitu kita lengah sedikit, segera ia mencopet”. Dan si bajingan pun mengejek si Wali: “Ah, Wali ini biasa, diajak bicara baik-baik, begitu kita lengah, ia segera mengutuk”. Demikianlah Kramadangsa atau rasa kita sendiri yang berciri dan berekor, tidak dapat bergaul secara manusia dengan manusia.
Jadi tumbuhnya jiwa manusia tanpa ciri dalam diri kita, bila kita mengetahui ciri-ciri kita. Ciri-ciri itu berpusat pada aku Kramadangsa, yang muncul sebagai tanggapan rasa suka atau benci. Bila ciri-ciri itu diketahui, Kramadangsa mati dan lahirlah manusia tanpa ciri. Manusia tanpa ciri ini bila berhubungan dengan orang lain akan damai, karena ia merasa sama. Perbedaannya hanya pada ciri cirinya.
Ciri atau ekor orang itu mudah diketahui sewaktu ia berada dalam pergaulan umum, misalnya dalam bis, kereta api, bioskop dan sebagainya. Umpama si Kramadangsa, yakni manusia pakai ciri atau ekor, sedang di dalam kereta api, duduk berdampingan dengan seorang yang belum dikenalnya. Bila ia ingin berbicara, tentu dimulai dengan meraba-raba ekornya dan ditanyanya: “Saudara pergi ke mana? Dari mana? Menjabat apa? Anak saudara berapa? Yang sudah kawin berapa? Saudara masuk agama apa dan masuk partai apa? Kalau pertanyaan-pertanyaan itu sudah dijawab, baru mereka melihat ekor masing-masing. Kemudian berjumpalah ekor dengan ekor, bercakap-cakap dengan tak putus-putus. Apabila bicara, ekor itu menggunakan dirinya sendiri sebagai patokan, supaya ditiru oleh semua orang. Semboyannya; Ki Ageng Suryomentaram 57 “Kalau saya…” Maka ekor dengan ekor itu, dalam pembicaraan memakai semboyan “Kalau saya…” “Kalau saya begini…..” Dan pihak satunya menjawab: “Wah, kalau saya … begini,” yang akan dijawab “Ah tidak, kalau saya begini…!” Kadang-kadang ekor dengan ekor sampai semalam suntuk saling memamerkan “Kalau saya” nya masing-masing.
Contoh lain, ada seorang laki-laki duduk dalam kereta-api. Sebenarnya ia sudah mengantuk, tetapi tatkala melihat seorang wanita cantik memasuki gerbong itu, mendadak kantuknya hilang. Tiba-tiba ia bangun dan memperlihatkan seluruh kepandaiannya, yang merupakan ekornya. Ia membuka dompet dan menghitung uangnya, meskipun bukan milik sendiri. Karena ia pandai bersiul, bersiullah ia lagu Indonesia Raya. Ia mulai mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris, meskipun ia takut berbicara pada orang Inggris. Demikian ciri sendiri atau ekor-ekor sendiri, dengan jelas dapat diketahui dalam pergaulan umum.
Kadang permasalahan yang timbul dalam diri seseorang, dikaitkan dengan ekornya. Atau dengan kata lain, masalahnya dikurung dalam cirinya sendiri. Misalnya seorang isteri bertengkar dengan suaminya. Ia marah dan mengeluh: “Kaum laki-laki selalu mau menang sendiri, mereka diperbolehkan berpoligami. Sebaliknya, kaum perempuan tidak diperbolehkan berpoligami.” Padahal keruwetan suami-isteri adalah masalah perkawinan. Padahal yang menderita kesusahan dalam perkawinan tidak hanya orang perempuan saja, tetapi orang lelaki juga. Jadi masalah perkawinan adalah masalah manusia, bukan masalah golongan. Bila soal perkawinan dikaitkan dengan ciri buntutnya sendiri, usaha bersama untuk memecahkan persoalan menjadi gerakan golongan. Yakni gerakan golongan wanita berkelompok menentang golongan laki-laki untuk menuntut hak sama, dalam contoh ini, untuk diperbolehkan berpoligami.
Akan tetapi bila diteliti, bahwa permasalahan suami-isteri itu adalah masalah perkawinan. Sedangkan masalah perkawinan adalah masalah semua manusia, maka permasalahan tadi jadi terurai. Yang masih ada hanyalah permasalahan manusia dalam perkawinan. Bila kita ingin memecahkan bersama, usaha kita menjadi gerakan manusia. Dan dalam gerakan manusia ini tidak ada golongan lain yang ditentang.
Sebagai hasil mempelajari ilmu jiwa ini, seharusnya jiwa kita menjadi sehat. Jadi mempelajari ilmu jiwa adalah salah satu usaha untuk menyehatkan jiwa. Dalam berusaha menyehatkan jiwa, seharusnya terlebih dahulu kita mengetahui penyakit jiwa. Sama halnya bila kita berusaha menyehatkan raga, terlebih dahulu kita harus mengetahui penyakit raga. Perbedaan sakit jiwa dan sakit raga, ialah pada sakit raga, cara mengobatinya dapat dengan minta bantuan orang lain, tetapi pada sakit jiwa, mengobatinya tidak dapat minta bantuan orang lain. Umpama sakit gigi, orang dapat minta bantuan seorang dokter gigi untuk mencabutnya. Tetapi dalam hal sakit jiwa, si penderita sendirilah yang dapat mengobatinya. Sakit raga dan jiwa ini bisa ringan dan bisa berat. Raga mungkin menderita sakit ringan atau berat, begitu pun jiwa mungkin menderita sakit ringan atau berat.
Perbedaaan lain antara sakit raga dan sakit jiwa ialah, sakit raga mudah dirasakan karena ada ukuran yang dipakai untuk menetapkannya. Ukuran itu ialah bila orang tidak dapat melakukan pekerjaan sehari-hari, lalu merasa sakit dan berusaha mengobatinya. Tetapi, daiam hal sakit jiwa, orang tidak mudah merasakannya, karena tidak mempunyai ukuran; ukuran untuk menetapkan sehat atau sakit jiwanya. Semakin ringan sakitnya semakin sukar dirasakan, karena tidak ada ukurannya. Malahan seorang sakit jiwa yang sudah hebat, dan sedang dirawat di rumah sakit, masih belum merasa bahwa dirinya menderita sakit jiwa. Malahan ia menganggap orang lainlah yang sakit jiwa. Dalam hati ia berkata: “Eeee, dokter rumah sakit jiwa itu gila. Aku tidak gila mengapa dianggap gila.” Demikianlah kesukaran penderita sakit jiwa untuk merasakan sakitnya, karena itu ia tidak berusaha untuk mengobatinya. Lebih-lebih sakit jiwa yang ringan, yang sebenarnya masih mudah diobati, tetapi jadi semakin sukar karena tidak dirasakannya.
Karena untuk mengobati penyakit jiwa, orang harus mengetahui sakitnya, padahal ukuran untuk menetapkannya tidak ada; maka di sini saya sengaja membuat ukuran Ki Ageng Suryomentaram 58
untuk menetapkan jiwa sehat atau jiwa sakit. Ukuran itu berupa gambar jiwa sehat seratus persen.
Saya sengaja membuat gambar jiwa sehat seratus persen, meskipun dalam kenyataan tidak ada. Sama dengan ahli kesehatan raga, bisa membuat gambar raga sehat seratus persen, meskipun kenyataannya tidak ada. Umpama raga yang sehat seratus persen ialah yang keadaan jantungnya begini, ginjalnya begitu, hatinya begini, ususnya demikian dan sebagainya. Adapun gambar jiwa sehat seratus persen ialah bila juru catat dalam diri kita, setiap kali mencatat apa saja, pasti sama persis antara catatan dan yang dicatatnya. Juru catat ini umumnya dalam mencatat barang yang berwujud (kasat mata) sering kali benar, tetapi bila ia mencatat rasa sering salah, catatan dan yang dicatat tidak sama tepat.
Di sini juru catat itu saya ganti istilahnya dengan juru potret, karena lebih tepat. Jadi gambar ukuran jiwa sehat 100% ini, ialah bila juru potret memotret rasa, dan hasilnya atau potretnya sama persis dengan yang dipotret. Bila hal itu terjadi maka berarti kita mengetahui rasa, baik rasa sendiri maupun rasa orang lain. Tetapi bila junu potret memotret rasa, dan hasilnya tidak sama persis, berarti kita belum mengetahui rasa orang lain atau rasa kita sendiri. Kita hanyalah mengira tahu rasa-rasa itu.
Junu potret ini sering kali gagal, yakni hasil potretannya tidak sama dengan yang dipotretnya. Seperti halnya dengan alat potret yang lazim, ia harus memakai film. Film negatif ini, bila sudah dipakai (berisi potretan), lalu digunakan memotret lagi, hasil potret itu bertindihan tidak jelas. Maka agar yang dipotret persis dengan potretnya, alat potret itu harus memakai film negatif yang belum terpakai (belum ada gambarnya), yang masih bersih.
Begitu pula denganjuru potret dalam diri kita ini, bila hasil potret rasa sendiri atau rasa orang lain ternyata tidak bisa persis, itu tentu dikarenakan filmnya kotor atau sudah berisi potretan. Maka juru potret itu belum pernah berhasil memotret rasa dengan tepat, persis sama dengan yang dipotret. Sehingga meskipun sudah mempunyai anak cucu, namun belum juga mengetahui rasa suami/isterinya. Bila ditanya: “Bagaimanakah rasa suami/isterimu?” Tentu kita tidak dapat menjawabnya secara tepat: “Ya, bagaimana ya?” Kadang-kadang kita menetapkan: “Suami/isteriku ini galak!” Jawaban ini tercampur tanggapan kita sendiri atas omelan suami/isteri kita. Ada kalanya kita menjawab: “Suami/isteriku sangat terbuka!” Jawaban ini pun tercampur tanggapan kita atas perhatian suami/isteri kita. Jadi rasa suami/isteri kita yang sesungguhnya, tanpa campuran rasa diri-sendiri, belum pernah kita ketahui walaupun sudah punya anak-cucu. Demikianlah juru potret itu, tiap kali memotret rasa sendiri atau rasa orang lain, tidak pernah berhasil tepat, karena filmnya kotor atau sudah berisi gambar lain sehingga hasil pemotretan rasa itu bertindihan, tidak jelas, membuat diri-sendiri tidak dapat melihat rasa.
Supaya juru potret berhasil memotret rasa dengan persis, maka terlebih dahulu kita perlu membersihkan filmnya. Kotoran dalam film yang menghalangi juru potret itu adalah Kramadangsa dan catatan-catatan. Apabila Kramadangsa, atau manusia yang berciri dan berekor ini diketahui, maka ia tidak menghalang-halangi juru potret lagi. Catatan-catatan salah yang memerintah Kramadangsa pun dapat diketahui. Jika catatan-catatan itu diperiksa hingga tuntas, maka film negatif menjadi bersih, tidak lagi berisi gambar potretan lama. Setelah itu, barulah juru potret dapat memotret rasa dengan hasil potretan yang tepat sama dengan yang dipotretnya. Artinya, kita mengetahui rasa sendiri maupun rasa orang lain, yang sesungguh-sungguhnya.
Rasa orang lain yang diketahui itu, pasti tepat sama dengan rasa kita sendiri. Kalau tidak demikian, berarti kita belum mengetahui rasa orang lain. Begitu pula rasa sendiri yang diketahui, pasti sama dengan rasa semua orang. Kalau tidak demikian, berarti kita belum melihat rasa kita sendiri.
Sekarang bagaimanakah caranya membersihkan film? Di sini saya beri contoh pengalaman saya. Pada suatu waktu, tatkala saya pulang dari bepergian, saya menjumpai anak perempuan saya sedang bertengkar dengan ibunya. Melihat kedatangan saya, isteri saya segera menyerang dengan omelan: “Lihatlah anakmu ini, ia menolak kusuruh pergi mencari pinjaman uang. Tabiatnya ini ialah hasil didikanmu yang sukar diperintah. Sekarang silakan kamu menasehatinya.
Ki Ageng Suryomentaram 59
Gunakanlah ilmumu, manusia tanpa ciri atau Kramadangsa! Aku ingin mengetahui khasiatnya”. Sudah tentu, karena dimarahi, saya lalu membalas marah. Pada saat itu saya sedang berada di jalan simpang tiga, yaitu saya Suryomentaram atau Kramadangsa, marah, akibat dimarahi oleh orang lain. Bila kemarahan itu tidak saya ketahui, saya tidak dapat melihat rasa anak dan isteri saya. Maka ketika saya melihat marah saya, lalu menelitinya hingga tuntas. Penelitian rasa ini bisa selesai dalam satu detik, satu menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, atau bisa tetap tidak selesai. Saat itu, penelitian saya atas marah saya, selesai dalam satu detik. Penelitian saya itu sebagai berikut:
Ketika saya dimarahi, Iantas saya marah, marah saya itu saya rasakan; dan saya merasa bingung, tidak mengerti apa yang harus saya lakukan. Kebingungan itu disebabkan pertengkaran anak dan isteri saya, yang keduanya saya cintai. Selanjutnya timbullah keinginan saya untuk melerai mereka. Tetapi bagaimanakah cara melerai orang yang sedang bertengkar? Kalau caranya sudah diketemukan mudah saja melakukannya. Ternyata cara orang melerai pertengkaran hanyalah dengan membenarkan atau menyalahkan salah satu pihak. Kalau kita membenarkan ibunya berarti mengeroyok anaknya, kalau membenarkan anaknya berarti mengeroyok ibunya. Jadi melerai orang bertengkar itu, berarti turut mencampuri pertengkaran. Maka saya berpendapat bahwa orang tidak mungkin melerai pertengkaran. Bahkan setelah diteliti lagi saya mengetahui bahwa rasa ingin melerai pertengkaran di atas, adalah rasa pura-pura mencintai anak dan isteri.
Padahal rasa pura-pura cinta itu bukanlah cinta, melainkan selubung rasa cinta. Setelah rasa selubung cinta ini diketahui, barulah saya melihat rasa saya yang sebenarnya, yang mendorong saya untuk melerai pertengkaran antara anak dan isteri saya. Rasa tersebut ternyata bukan cinta melainkan rasa terganggu {bhs. Jawa: risi) sewaktu saya melihat orang bertengkar. Jadi tiap kali melihat orang bertengkar, pasti merasa terganggu. Tetapi jika dirinya sendiri yang bertengkar, sama sekali tidak merasa terganggu.
Setelah rasa terganggu ini diketahui, saya segera dapat melihat rasa anak saya tanpa dirintangi rasa selubung cinta. Rasa selubung cinta tadi ialah reaksi marah saya. Marah itu adalah salah satu wujud dari rasa benci. Setelah rasa benci ini diketahui, saya melihat rasa anak yang vertengkar itu sebagai berikut: Anakku itu menolak perintah ibunya, berarti anak itu sukar diperintah. Padahal tabiatnya itu adalah hasil didikanku. Jadi didikanku menghasilkan tabiat sukar-diperintah. Bila yang dididik sukar diperintah, yang mendidik pasti juga sukar diperintah. Buktinya aku sendiri sukar diperintah. Aku lebih suka memerintah daripada diperintah.
Mengetahui rasa yang sama demikian itu, menimbulkan rasa damai. Tidak suka dan tidak benci, tidak memuji dan tidak mencela. Tegasnya, saya tidak dapat memarahi anak saya, karena ia dan saya sama-sama sukar diperintah. Bagaimana harus memarahinya? Apakah demikian: “Kamu ini, janganlah terlalu sama denganku”?
Kemudian saya meneliti rasa ibunya, yaitu isteri saya. Ibu menyuruh anaknya tetapi anaknya tidak mau menurut, lalu ia marah. Maka ibunya pun termasuk orang yang sukar diperintah. Jika ia mudah diperintah, cukuplah ia pergi sendiri dan urusan selesai. Kemudian saya melihat rasa yang sama antara isteri saya yang sukar diperintah dan saya yang juga sukar diperintah. Jadi, sudah menjadi jodoh, sama-sama sukar diperintah. Bila salah seorang ingin menyuruh yang lain, timbullah pertengkaran, yaitu jodoh yang sama-sama senang bertengkar. Mengetahui rasa yang sama ini, menimbulkan rasa damai, tidak berselisih.
Waktu itu anak saya segera pergi, dan ketika saya melihat kemarahan isteri saya agak reda, lalu saya katakan: “Bu, memang anakmu itu sukar diperintah. Itu hasil didikanku. Maka anakmu itu mewarisi sifatku, sama-sama sukar diperintah. Aku sendiri belum pernah mau engkau suruh. Bila aku segera melakukan perintahmu, itu hanya karena ingin dipuji, bukan karena rajin.” Melihat rasa yang sama demikian itu, menimbulkan rasa damai, tidak berselisih.
Rasa damai itu menghapuskan bekas-bekas luka hati. Bila pertengkaran di atas tadi tidak diteliti sampai tuntas, pasti akan meninggalkan bekas luka yang tergores di hati kita, dan menjadi dendam. Maka bila rasa tanggapan yang muncul dalam pertengkaran itu tidak diteliti dengan tuntas, pasti akan menghasilkan dendam.
Ki Ageng Suryomentaram 60
Parut bekas luka ini akan muncul lagi, bila suatu hari suami/isteri itu bertengkar lagi: “Nah, ini dia, yang mencaci-maki aku kemarin!”
Bila dilakukan penelitian dengan tuntas, tidak akan ada parut bekas luka atau dendam. Parut pada diri saya hilang, menular ke anak dan isteri saya. Seakan-akan pertengkaran tadi tidak pernah terjadi. Ini dapat dilihat ketika anak saya berjumpa lagi dengan ibunya, seolah-olah tidak pernah bertengkar.
Demikianlah contoh cara membersihkan film. Bila film telah bersih, rasa yang muncul bisa diketahui, yakni Kramadangsa atau catatan-catatan. Juru potret kemudian memotret rasa, dan hasilnya bisa persis sama dengan yang dipotret.
Apabila Kramadangsa diketahui, ia akan segera mati, dan dengan matinya Kramadangsa, lahirlah manusia tanpa ciri, yang merasa damai bila berhubungan dengan orang lain. Juru catat lantas mencatat manusia tanpa ciri. Catatan manusia tanpa ciri ini memerintah Kramadangsa, sehingga Kramadangsa hidup lagi dan berbuat sewenang-wenang seperti biasanya. Tetapi jika Kramadangsa itu diketahui, ia pun mati lagi, diiringi lahirnya manusia tanpa ciri. Demikianlah proses ini berlangsung terus, kematian Kramadangsa diiringi kelahiran manusia tanpa ciri.
Jadi lahirnya manusia tanpa ciri ini tidak berlangsung terus-menerus, tetapi hanya pada setiap kejadian, satu peristiwa demi satu peristiwa, atau satu masalah demi satu masalah. Setiap ada kesulitan, bila diteliti sehingga tuntas, maka lahir/timbul manusia tanpa ciri, yang kemudian tenggelam lagi. Demikian seterusnya. Jadi lahir/timbulnya manusia tanpa ciri itu tidak terus menerus.
Sebagai penutup, saya ulangi bahwa dalam batin kita sendiri terdapat juru catat, catatan-catatan, kelompok-kelompok catatan, Kramadangsa dan manusia tanpa ciri. Sekianlah ceramah llmu-Jiwa tentang Kramadangsa.
MENYEMBAH YANG KUASA
Pengantar
Orang sering ingin menyembah dan merasa sudah menyembah pada Yang Kuasa. Hal itu terdorong oleh berbagai ajaran yang diperolehnya. Salah satu ajaran menerangkan bahwa rumah itu ada pembuatnya yakni manusia, maka bumi dan langit dengan semua isinya pasti ada juga pembuatnya, yaitu Yang Kuasa. Ia dinamakan Yang Kuasa sebab ia kuasa membuat apa saja yang tak mungkin dibuat oleh manusia. Bahkan Yang Kuasa itu pun memberikan hidup serta penghidupan jiwa dan raganya. Malah, anak, istri, dan suaminya juga pemberian Yang Kuasa. Angin, hujan, matahari dan lain-lain termasuk pemberian Yang Kuasa.
Oleh karena Yang Kuasa itu yang memberikan segala sesuatu, maka pantas sekali jika orang memohon dan menghaturkan terima kasih kepadanya. Andaikata ia tidak diberi matahari, betapa besarnya biaya langganan listrik Aniem (nama perusahaan listrik zaman kolonial Belanda) yang harus dibayarnya. Oleh karenanya orang lalu menyembah dan memohon kepada Yang Kuasa.
Ki Ageng Suryomentaram 61
Adapun cara menyembahnya berbagai macam. Ada yang dengan membakar dupa/kemenyan di depan pohon besar. Ada yang memberi sesajen di jalan perempatan (simpang empat). Ada yang memuja sesuatu dan sebagainya.
Menyembah Yang Kuasa dengan menghaturkan terima kasih tidak selalu dapat dijalankan, karena pada waktu orang menderita sakit atau mengalami kesusahan, ia tidak yakin bahwa sakitnya dan kesusahannya itu pemberian Yang Kuasa, sehingga ia mengurungkan niatnya. Pikirnya, mustahil Yang Kuasa memberikan sakit dan kesusahan pada umatnya. Perbuatan itu bertentangan dengan kekuasaannya yang bisa dianggap sewenang-wenang.
Apabila timbul masalah seperti di atas, orang lalu diberi penjelasan, bahwa pemberian yang lebih baik dari Yang Kuasa ialah setelah orang meninggal dunia. Apabila ia menyembah dengan sungguh hati, ia akan memperoleh kemuliaan abadi setelah mati.
Di sini maksud menyembah sudah berubah. Kalau maksud semula untuk menghaturkan terima kasih, sekarang untuk memperoleh kemuliaan setelah mati, dengan kata lain sebagai sogokan. Lagi pula orang menderita kesusahan pada waktu sekarang, sabarkah ia menanti kemuliaan setelah mati. Tentu tidak, sebab daya upayanya mengatasi kesusahan belum habis.
Dalam persoalan di atas kepada orang itu diajarkan lagi, apabila ia benar-benar memohon sepenuh hati kepada Yang Kuasa, pasti akan dikabulkan keinginannya dalam hidupnya sekarang. Peribahasanya: siapa patuh akan dikaruniai.
Hal tersebut jika dipikirkan, jelas tidak nalar. Karena kalau semua permohonan bisa dikabulkan, jagat dengan semua isinya menjadi kacau. Misalnya petani mohon hujan, sedang pemain ketoprak mohon cuaca terang. Sulitlah dua macam permohonan yang bertentangan itu dilaksanakan. Maka menyembah demikian itu tidak masuk di akal.
Jadi, menyembah dengan maksud menghaturkan terima kasih, tidak dapat dilakukan bila orang sedang sakit atau susah. Menyembah dengan maksud memperoleh kemuliaan setelah mati, orang pasti tak sabar menanti. Menyembah dengan maksud agar dikabulkan permohonannya, pasti tidak dapat terkabul semua.
Adapun cara menyembah yang masuk di akal, ialah apabila orang mengerti:
Yang menyembah itu apa
Yang disembah itu apa
Bagaimana cara menyembah
Supaya jelas, ketiga hal tersebut perlu diteliti.
1. Yang Menyembah
Tanpa meneliti dengan cermat, orang menyatakan, bahwa yang menyembah adalah orang. Pernyataan tersebut tidak jelas, karena jika yang diartikan orang, ialah setiap orang yang berwatak menyembah, maka kita tidak perlu lagi bersusah payah, dengan sendirinya sudah menyembah. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Kenyataannya yang menyembah adalah orang yang sedang malang hidupnya. Karena kalau ia sedang mujur, beruntung, ia tidak menyembah. Jadi yang menyembah ialah yang merasa sial nasibnya.
Di sini timbul dua macam pertanyaan. Pertama bagaimanakah orang merasa sial? Dan kedua, apa pula yang menyebabkannya merasa sial?
Orang merasa sial tatkala mendapat kesulitan, dan merasa tak mungkin terlepas dari kesulitan itu. Sedangkan ia selalu berusaha melepaskan dan menolak kesulitan itu namun tak berhasil. Jadi sial itu sama dengan keinginan tidak tercapai.
Sebagai contoh, orang yang sedang menikmati hidupnya yang sejahtera, merasa umurnya semakin tua, mendekati saat ajalnya tiba. Menurut keinginannya, jangan sampai ia menjadi tua dan mati. Maka ia merasa sial karena keinginannya tak tercapai.
Padahal kesialan itu disebabkan kurangnya pengertian akan kesulitan. Kesulitan adalah akibat dari suatu sebab. Apabila penyebabnya lenyap, akibatnya pasti turut lenyap. Orang yang mengerti demikian itu tidak merasa sial. Ia lalu mencari tahu Ki Ageng Suryomentaram 62 sebab-musababnya kesulitan. Kurangnya pengertian akan kesulitanlah yang menyebabkan kesulitan.
Jadi yang menyembah ialah yang merasa sial. Yang merasa sial ialah keinginan yang tak tercapai. Dengan kata lain yang menyembah ialah keinginan yang tak tercapai.
Padahal yang menyebabkan orang merasa sial ialah kurangnya pengertian akan kesulitan. Maka bila ia mengerti akan kesulitan, sebab rasa sial itu sirna. Dan bila sebabnya sirna, akibatnya, yakni rasa sial, pasti sirna.
Tadi sudah dikatakan bahwa yang menyembah ialah yang merasa sial. Maka kalau yang merasa sial sirna, berarti yang menyembah sirna. Demikianlah bila mengerti sebabnya kesulitan, yang menyembah pun sirna. Dan bila yang menyembah sirna, yang disembah pun turut sirna. Namun perlu dijabarkan apakah yang disembah itu.
2. Yang Disembah
Menurut keterangan di atas jelas, bahwa bila yang menyembah, yang merasa sial atau yang keinginannya tak tercapai, maka yang disembah tentulah yang merasa berkuasa atau yang keinginannya tercapai.
Misalnya seorang yang sedang memiliki banyak harta benda, ia merasa berkuasa, lalu berhenti menyembah. Malah sebaliknya, ia disembah oleh orang yang keinginannya tak tercapai. Orang berkuasa itu disodori makanan, pakaian, dengan hormat sekali. Lebih-lebih kalau ingin meminjam uang darinya.
Di sini akan saya terangkan proses rasa sial yang mengadakan barang yang disembah. Kalau kita mengerti yang menyembah rasa sial, maka yang disembah ialah yang merasa berkuasa.
Tatkala orang menderita kesusahan, dan ingin menolaknya, ia tidak mencari tahu sebab-musabab kesusahannya, sehingga usahanya menolak kesusahan pun sia-sia. Lalu ia merasa sial, celaka. Rasa sial itu mendorongnya untuk minta pertolongan Yang Kuasa. Dicarinya dukun-dukun atau guru-guru yang dapat menunjukkan jalan untuk menemui Yang Kuasa.
Gambarannya tentang Yang Kuasa ialah sesuatu yang dapat menolongnya menghindari kesulitan. Dibayangkannya bahwa Yang Kuasa itu akan menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi permohonannya. Dan Yang Kuasa dapat mencipta sesuatu yang tidak ada, menjadi ada, dan yang ada, menjadi tidak ada. Misalnya Gunung Merapi yang ada dapat dicipta lenyap. Maka orang menggunakan kekuasaan Yang Kuasa untuk memperoleh yang dimintanya.
Yang diminta orang ialah menghindari kesulitan. Kalau kesulitannya berupa utang yang tak dapat ia bayar, ia memohon kepada Yang Kuasa agar utangnya dicipta menjadi lunas. Kalau kesulitannya berupa rindunya terhadap seseorang, ia mohon kepada Yang Kuasa agar orang yang dicintai berbalik mencintai dirinya. Namun yang sering terjadi si pemohon semakin tergila-gila, lupa daratan. Jadi yang dianggapnya Yang Kuasa adalah anggitan si orang yang merasa sial itu.
3. Menyembah
Sebagaimana telah diterangkan bahwa yang menyembah ialah yang merasa sial atau celaka, dan yang disembah adalah gambaran pikirannya sendiri dalam usahanya mencari kuasa. Maka jelas bahwa menyembah adalah tindakan si sial, mencari kuasa atau minta pertolongan pada gambarannya Yang Kuasa. Gambaran Yang Kuasa itu bermacam-macam sehingga bermacam-macam pula cara menyembahnya.
Salah satu gambar Yang Kuasa ialah yang membuat semua benda di atas bumi dan di kolong langit, yang menggerakkan matahari dari timur ke barat, yang menghembuskan angin dan menjatuhkan hujan dan yang menumbuhkan tetumbuhan dan lain sebagainya. Melihat gambaran pikirannya semacam itu, orang lalu merasa dirinya kecil sekali, lemah dan sial. Oleh karenanya ia lalu menyembahnya. Namun bilamana ia mengalami nasib malang, ragu-ragulah hatinya, “Kalau benar-benar berkuasa, mengapa membuat orang bernasib malang.” Ada lagi gambaran Yang Kuasa yang mencipta manusia berikut ajaran baik dan buruk. Bila Ki Ageng Suryomentaram 63 orang berlaku baik, sesuai dengan ajarannya, nanti setelah mati akan memperoleh kemuliaan. Sebaliknya bila ia berbuat buruk, berdosa, nanti setelah mati akan disiksa. Kalau timbul niat jahat datangnya dari godaan, kalau niat baik datangnya dari Yang Kuasa. Apabila orang kerap melakukan dosa yang membuatnya putus harapan, lalu diadakan peleburan dosa, yakni orang yang banyak berdosa mohon pengampunan dari Yang Kuasa. Tetapi karena seringnya ia berbuat dosa, lalu ditimbunnya dosa yang bertumpuk itu untuk sekaligus dimintakan pengampunannya. Demikian menyembah yang tidak benar.
Menyembah yang benar ialah berdasarkan penelitian dan pengertian. Penelitian itu menunjukkan kepada kita tentang rasa manusia yang menimbulkan rasa enak. Menyembah berdasarkan hasil penelitian itu sebagai berikut. Manusia itu sial atau malang dalam memenuhi keinginannya. Misalnya ia kini muda belia, tidak ingin menjadi tua, namun terpaksa ia harus mengalami tua. Maka siallah baginya dalam menolak usia tua.
Misalnya kini ia hidup tidak ingin mati. Namun terpaksa ia mengalami mati. Maka siallah baginya dalam hal menolak kematian. Misalnya kini ia kaya, memiliki banyak harta dan rumah, dan tidak ingin harta bendanya musnah. Namun ia tidak tahu apakah harta kekayaannya itu bisa lestari. Siapa tahu dalam waktu dekat datang bencana, rumah dan kekayaannya terbakar habis. Maka siallah manusia karena tidak dapat mengetahui kelestarian harta bendanya. Misalnya kini ia berkedudukan tinggi dengan penghasilan besar, tidak ingin kemerosotan keadaannya. Namun siapa tahu bulan mendatang ia dipecat dari pekerjaannya. Maka malanglah manusia untuk mengetahui keadaannya kemudian hari. Misalnya kini ia mempunyai anak dan istri/suami yang serasi dan tidak ingin berpisahan. Tetapi siapa tahu, hari-hari mendatang ia bertengkar dengan istri/suaminya hingga bercerai. Sementara anaknya meninggal dunia. Maka siallah manusia yang tak dapat menjamin kelestarian kerukunan rumah tangganya. Misalnya kini ia punya sahabat karib yang tak ingin terpisahkan. Tetapi siapa tahu esok lusa timbul percekcokan sehingga kawan menjadi lawan, sahabat menjadi musuh. Maka siallah orang yang tak dapat mengetahui kelangsungan persahabatan yang akrab. Misalnya ia kini sehat walafiat, ingin mempertahankan kesehatan itu. Namun siapa tahu esok lusa ketabrak mobil dan patah kakinya. Siallah manusia yang tidak dapat mengetahui nasibnya yang akan datang. Bahkan kesialannya meliputi ketidaktahuannya dan ketidakmengertiannya akan tercapai tidaknya idam-idamannya yang beraneka warna. Andai kata, tak tercapai, apakah tak membuatnya kecewa? Andaikata tercapai, apakah tidak membuatnya khawatir kalau-kalau terlepas lagi? Kalau idam-idaman yang telah dicapai hilang lagi, apakah tidak membuatnya menyesal, sedih, dan takut? Maka setiap orang di mana saja, kapan saja dan bagaimana saja selalu malang sifatnya.
Apabila kita mengerti watak manusia itu sial, maka kita tidak lagi mencari kuasa. Karena kita mengerti, walaupun andaikan kita berhasil menemukan Yang Kuasa, kita sendiri tetap sial, tak berkuasa.
Apabila orang sudah tidak mencari kuasa, ia lalu merasa berkuasa. Kemudian dapat mengerti bahwa rasa sial itu disebabkan oleh rasa butuh. Watak rasa butuh adalah sial. Jadi saban butuh pasti sial. Maka berkuasa itu kalau tidak butuh. Jadi kalau tidak butuh kuasa lalu merasa berkuasa
Jelas penelitian di atas menerangkan bahwa sifat semua manusia selamanya sial. Kesadaran tersebut mengakibatkan kita tidak mencari kuasa. Setelah tidak mencari kuasa, lalu kita merasa berkuasa. Maka buah penelitian tersebut adalah rasa berkuasa. Rasa berkuasa adalah rasa enak.
Jadi menyembah Yang Kuasa yang benar adalah hasil penelitian bahwa sifat manusia itu sial. Sehingga kita tidak mencari kuasa, oleh karenanya lalu merasa berkuasa. Maka menyembah di atas melahirkan rasa berkuasa.
Di sini bersatulah yang menyembah dan yang disembah atau sirnalah yang menyembah dan yang disembah. Yang menyembah ialah yang disembah dan yang disembah ialah yang menyembah. Peribahasa Jawanya, Sirnaning kawula Gusti, atau Loro-loroning atunggal (dua menjadi satu).
Ki Ageng Suryomentaram 64
Jadi menyembah ialah mengerti bahwa watak manusia itu sial, lalu tidak mencari kuasa yang menimbulkan rasa berkuasa. Maka menyembah adalah merasa berkuasa. Menyembah demikian adalah yang benar.
Maka ada menyembah yang benar dan ada pula yang tidak benar. Menyembah yang tidak benar ialah tatkala orang merasa sial lalu bertindak mencari kuasa yang rasanya tidak enak. Menyembah yang benar yaitu merasa berkuasa.
Di sini timbul masalah dalam menanggapi rasa sial dan rasa kuasa, yang sering diartikan keliru. Rasa sial diartikan keinginan yang tak tercapai dan rasa berkuasa diartikan keinginan yang tercapai, sehingga orang berusaha keras mencari kuasa atau Yang Kuasa. Yakni keinginan yang tercapai.
Pada hakikatnya, rasa sial adalah rasa butuh dan rasa kuasa adalah rasa tidak butuh. Maka itu butuh ialah sial, tidak butuh ialah berkuasa. Jadi rasa berkuasa adalah rasa tidak butuh kuasa, karena mengerti bahwa watak manusia itu sial. Dari itu menyembah yang benar ialah mengerti dan mengawasi sialnya sendiri dengan senang hati.
Setelah berkuasa orang akan senantiasa menyembah secara mengetahui dan menertawai kesialannya sendiri dengan senang hati.
Umpama kita mengetahui diri sendiri sangat takut menjadi tua-renta, padahal mau tidak mau pasti mengalaminya. Kita senang melihat kenyataan manusia itu sial.
Kita mengetahui diri sendiri sangat takut mati, padahal tak dapat menolaknya. Kita senang membuktikan bahwa manusia itu sial.
Kita mengetahui diri sendiri terus-menerus dirundung kekhawatiran dalam usahanya yang keras untuk mempertahankan kejayaannya yang tak terjamin kelestariannya. Melihat kenyataan manusia yang sial itu menimbulkan rasa senang.
Kita mengetahui diri sendiri berkedudukan tinggi dan berpenghasilan besar, lalu berusaha keras untuk mempertahankan keadaan itu. Padahal kita tidak tahu apakah usaha tersebut akan berhasil. Kita senang melihat kenyataan bahwa manusia memang sial.
Kita hidup bahagia bersama anak dan istri dan lalu berusaha keras untuk melestarikannya. Namun kita tidak tahu apakah usaha kita itu akan berhasil. Kita dapat menertawai diri sendiri, lihatlah manusia itu sial.
Kita mempunyai sahabat karib dan berusaha melestarikannya, namun tidak ada jaminannya. Kita dapat menertawai diri sendiri sebagai manusia yang sial.
Kita dalam keadaan sehat walafiat dan berusaha agar keadaan ini tetap. Namun siapa tahu penyakit menyerang sewaktu waktu. Maka diri kita ini sebagai manusia memang sial.
Kita mengidam-idamkan sesuatu, kita tidak tahu apakah idam-idaman itu bisa tercapai atau tidak. Kalau tercapai, kita takut terlepas lagi, kalau tidak tercapai membuat hati merana. Manusia memang sial.
Demikian rasa berkuasa membikin orang selalu bersenang-senang menyembah.
Akan tetapi orang bisa salah menangkap arti wejangan di atas. Ketika diberi tahu bahwa dirinya sebagai manusia bersifat sial, ia lalu merasa sial. Kemudian ia mengira bahwa yang memberi tahu ialah yang berkuasa dan ditanyakan, “Bagaimana jalannya agar berkuasa?” Yang ditanya pun mengajarkan berbagai pertapaan, tirakatan yang sulit dan aneh, untuk memperoleh kekuasaan. Di bawah ini disebutkan beberapa contoh.
Orang merasa sial karena takut menjadi tua dan mati, sedangkan ia tidak dapat mengelakkannya. Oleh gurunya diajarkan agar ia bertapa yang aneh-aneh supaya mendapat karunia awet muda dan setelah mati bisa hidup langgeng.
Orang merasa sial karena ingin mempertahankan keadaannya yang serba kecukupan namun tidak tahu jalannya. Oleh sang guru diajarkan bertapa yang aneh-aneh. Ada yang disuruh memuja Dewi Sri, ada pula yang disuruh mengumpulkan emas dan lain-lain. Kalau taat dalam pertapaannya dan dianugerahi, harapannya dapat dipenuhi, yakni hidupnya akan kecukupan selamanya.
Orang merasa sial karena tidak tahu bagaimana jalannya untuk melestarikan pangkat dan kedudukannya. Oleh gurunya diajarkan agar tirakat yang aneh-aneh. Bila dimarahi oleh majikannya atau pemimpinnya, supaya mengucapkan mantra, Suk Mum Bu Mum, sembari menggenggam kedua ibu jarinya. Dalam hati Ki Ageng Suryomentaram 65 mengatakan, “Aku tidak menggenggam jempol melainkan menutup mulut majikanku.” Dan bila dianugerahi ia akan dapat bertahan dalam kedudukannya.
Orang merasa sial karena tidak tahu bagaimana melestarikan kemesraan hubungan dengan keluarganya. Gurunya lalu mengajarkan tirakat yang aneh-aneh, seperti Aji Jaran Goyang, Rejuna Jalur, Ati Kitab Jusuf, agar supaya dicintai oleh suami/istrinya.
Atau orang merasa sial karena tidak tahu bagaimana melestarikan persahabatannya. Oleh gurunya diajarkan supaya setiap malam membaca mantra agar dikasihi banyak orang. Orang merasa sial karena tidak tahu bagaimana menjaga badannya agar tetap sehat. Ia lalu diajar yang aneh-aneh, yakni supaya minta bantuan saudaranya yang disebut “kakang kawah adhi ari-ari” (lendir dan ari-ari yang menempel pada bayi waktu dalam kandungan) untuk menjaga kelestarian kesehatannya.
Orang merasa sial karena tidak tahu apakah cita-citanya akan berhasil. Ia lalu diajar yang aneh-aneh seperti bersemadi dengan menutup sembilan lubang panca indera, mencari tahu arti isyarat-isyarat, bisikan hati, ilham dan sebagainya. Bila dianugerahi ia dapat meramalkan berhasil atau gagalnya cita-citanya, sehingga ia dapat meneruskan atau menghentikan usahanya menuntut cita-citanya
Orang merasa sial karena gagal dalam usaha meraih cita-citanya. Ia lalu diajar supaya ingat akan percobaan Yang Kuasa, dan supaya sabar serta rajin memohon ampun. Kalau dianugerahi ia akan memperoleh kemuliaan besar setelah mati. Ia lalu berbuat yang aneh-aneh.
Orang merasa sial karena takut kalau-kalau hasil usahanya akan musnah kembali. Ia lalu diajar supaya berterima kasih kepada Yang Kuasa yang telah memberinya. Sehingga kalau dikaruniai, Yang Kuasa akan melindunginya.
Orang merasa sial karena kecewa bahwa idam-idamannya yang telah tercapai hilang lagi. Ia lalu diajar supaya tidak menyesali hal tersebut dan percaya kepada nasib. Nasibnya sudah ditetapkan di atas papan tulis sebelum ia lahir. Maka ia harus rajin-rajin memohon kepada yang menentukan nasib. Kalau permohonannya diterima ia akan memperoleh ganti berlipat ganda, setelah mati.
Demikianlah, apabila wejangan salah diterima, menyebabkan orang bertindak yang aneh-aneh. Kekeliruan itu disebabkan adanya rasa yang tidak jelas. Bahwa manusia itu sial, ini sudah jelas. Tetapi apakah sial itu keadaan atau sifat, ini belum jelas. Kalau sial itu keadaan, ia dapat berubah. Tetapi kalau sial itu sifat, ia tak dapat berubah, yakni berubah menjadi kuasa.
Apabila orang mengira sial sebagai keadaan, anggapan itu keliru. Ia lalu berusaha keras mencari kuasa di dalam ruang dan waktu. Kalau ia mencari kuasa dalam ruang, ia lalu belajar “ngraga sukma” yakni mengeluarkan jiwanya dari raganya, agar jiwanya dapat terbang di angkasa, mengitari dunia, dan kemudian dapat meramalkan kejadian di tempat jauh, walaupun jika meramalkan kejadian pada dirinya sendiri yang dekat tak pernah tepat dan mengecewakannya. Lagi pula mata jiwa berbeda dengan mata raga (mata kepala). Kalau jiwa melihat rumah, tentu rumah bagi jiwa, bukan rumah untuk raga. Kalau jiwa makan nasi, tentu nasi untuk jiwa, bukan nasi untuk raga. Kalau ia mencari kuasa dalam waktu, ia lalu belajar bersemedi agar dapat mengetahui kejadian yang sudah dan yang belum terjadi. Dianggapnya bahwa peristiwa yang telah dan yang belum terjadi itu ditulis di atas papan angkasa, yang dapat dibaca oleh mata batin yang melek, sehingga dapat dipakai untuk meramal, walaupun kalau ia meramalkan kejadian pada dirinya sendiri yang sekarang sedang tergila-gila kepada seseorang tidak pernah tepat, sehingga ia kecewa. Demikian wejangan yang salah ditangkap, menyebabkan orang berlaku yang tidak wajar.
Maka apabila rasa sial dianggap sebagai sifat, anggapan itu benar. Walaupun penjabarannya masih bisa keliru, sehingga orang mencari Yang Kuasa dan melakukan hal yang aneh-aneh yang tak enak rasanya. Kekeliruan itu disebabkan tidak jelasnya rasa berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh.
Jadi bila kita mengerti bahwa sifat manusia itu sial karena butuh, lalu tidak mencari kuasa. Dengan sendirinya kita lalu berkuasa karena tidak butuh kuasa. Kemudian kita dapat menertawai kesialan kita sendiri. Demikian itu menyembah yang benar.
Ki Ageng Suryomentaram 66
Rasa kuasa ialah rasa enak, maka wejangan tersebut membikin orang merasa enak. Apabila orang menanggapi wejangan dengan tepat, ia merasa berkuasa, enak, yakni hasil wejangan yang semestinya.
SEBAB DAN AKIBAT.
Sebab dan akibat merupakan kelanjutan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain yang berurutan dalam dimensi waktu. Peristiwa yang pertama disebut sebab, dan peristiwa berikutnya disebut akibat. Jadi peristiwa pertama dianggap menimbulkan peristiwa berikutnya. Misalnya cangkir jatuh lalu pecah. Jatuh dinamakan sebab, sedangkan pecah dinamakan akibat. Jadi si jatuh dianggap menimbulkan si pecah.
Sebab dan akibat adalah sesuatu yang abstrak, artinya tidak dapat ditangkap oleh pancaindera. Yang dapat ditangkap oleh pancaindera adalah si jatuh dan si pencah. Jadi sebab dan akibat tidak terdapat dalam barang (benda), tetapi terdapat dalam pengertian atau rasa.
Oleh karena yang dapat mengerti dan merasa adalah orang, maka sebab dan akibat terdapat dalam orang. Jadi sebab dan akibat adalah rasa orang yang menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Jadi sebab dan akibat adalah tindakan orang yang menyatukan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. Jika demikian sebab dan akibat merupakan satu hal tetapi wujudnya dua kejadian. Agar lebih jelas diberikan contoh sebagai berikut:
Misalnya buah mangga jatuh di tanah kemudian tumbuh jadi pohon mangga. Melihat kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam buah mangga tersebut sudah ada benih pohon mangga. Jika di dalam buah mangga tidak ada benih pohon mangga, maka buah mangga tidak akan tumbuh menjadi pohon mangga. Pohon mangga jika sudah dewasa menghasilkan buah mangga. Melihat kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam pohon mangga sudah ada benih buah mangga. Jika di dalam tidak ada benih buah mangga, pohon mangga tidak dapat berbuah mangga.
Dalam peristiwa tersebut di atas terjadi peristiwa silih berganti antara buah mangga, pohon mangga, buah mangga, pohon mangga dan seterusnya. Apabila sebab dan akibat dikira dua hal akan timbul pertanyaan, “Manakah yang lebih dulu buah mangga atau pohon mangga?”
Jika orang mengerti bahwa sebab dan akibat itu merupakan satu hal, maka dua kejadian tersebut, yaitu buah mangga dan pohon mangga merupakan dua wujud yang sebetulnya satu hal yaitu sebab dan akibat.
Jika sebab dan akibat dikira merupakan dua hal, orang akan bingung, sebab orang akan menjadi senang kepada akibatnya tetapi benci kepada sebabnya atau benci akibatnya tetapi senang akan sebabnya.
Misalnya bab kaya. Kaya yang dimaksud di sini bukan karena mendapat undian uang banyak atau mendapat warisan banyak dari orang tua, tetapi dari hasil usaha sendiri. Kaya adalah akibat yang disebabkan oleh karena rajin dan hemat.
Jika sebab dan akibat dikira merupakan dua hal, maka orang akan senang menjadi kaya tetapi benci kepada rajin dan hemat, atau mengejar kaya tetapi menghindari rajin dan hemat.
Mengejar kaya tetapi menghindari rajin dan hemat adalah cita-cita yang tidak mungkin tercapai, sama halnya dengan kucing yang mengejar ekornya. Sama pula halnya dengan benci dan menghindari miskin, tetapi senang dan mengejar malas dan boros. Malahan malas dan boros itu menjadi cita-cita.
Cita-cita malas itu dalam hatinya berkata, “Kalau aku kaya tidak akan bekerja.” Rasa demikian itu adalah rasa miskin. Meskipun kerja keras, tetapi jika rasanya malas, orang hanya akan mengejar akibat, yaitu kaya dan merasa tidak senang kerja keras.
Demikian pula jika boros menjadi cita-cita. Boros adalah kebalikan dari hemat. Hemat berarti memelihara barang-barang kebutuhan hidupnya dengan baik sedang boros berarti memelihara barang-barang kebutuhan hidupnya kurang baik.
Ki Ageng Suryomentaram 67
Rasa hemat disebabkan karena mengerti kebutuhan hidup. Meskipun kaya, orang sering tidak mengerti akan kebutuhan hidupnya sehingga salah menggunakan kekayaannya yaitu dipergunakan untuk mencari kehormatan dan kekuasaan.
Jika barang-barang digunakan untuk kehormatan dan kekuasaan, orang tidak merasa cukup dan merasa miskin sebab orang akan berebutan barang-barang untuk kehormatan dan kekuasaan. Jadi apabila barang-barang digunakan untuk kebutuhan hidup, kebutuhan raga (jasmani), orang akan merasa cukup dan apabila digunakan untuk kebutuhan jiwa, kehormatan dan kekuasaan, tidak akan merasa cukup.
Jadi rajin adalah rasa senang bekerja tanpa mengharapkan akibatnya, sebab orang sudah jelas akan akibatnya seperti seorang tukang kayu yang membuat meja dari kayu. Jika semua sarana dan pengetahuannya sudah siap, tukang kayu tersebut segera bekerja tidak mengharapkan akibatnya, sebab mengerti bahwa akibat dari perbuatannya, meja tersebut tentu akan jadi.
Jika mengerti bahwa sebab dan akibat merupakan satu hal, orang akan bebas dari rasa mengejar akibat, seperti halnya orang makan tidak mengejar kenyang, sebab sudah mengerti bahwa kenyang tentu akan terjadi jika makan banyak. Jadi kebebasan tersebut terjadi karena mengerti.
Bebas dari rasa mengejar akibat, menyebabkan orang melihat rasa sendiri yang mengejar akibat dalam berbagai macam hal. Padahal rasa mengejar akibat tersebut menimbulkan perang batin. Oleh karena itu perang batin akan lenyap jika rasa mengejar akibat ketahuan sebelumnya.
Orang ingin damai dan tidak bertengkar dengan orang lain. Jika tidak mengerti rasa bertengkar atau rasa damai dan jika tidak mengerti bahwa sebab dan akibat merupakan satu hal, orang akan mencari damai dengan cara kekerasan.
Mencari damai dengan kekerasan inilah yang menyebabkan orang memaksa anaknya agar senang damai dengan cara dimarahi atau dipukul, atau orang yang ingin damai dengan orang lain dengan cara mengejek orang lain, atau golongan yang satu ingin damai dengan golongan yang lain dengan cara mengancam, atau bangsa yang ingin damai dengan bangsa lain dengan cara mengebom. Padahal memarahi, memukul, mengejek, mengancam ataupun mengebom adalah bertengkar, bukan damai.
Demikianlah juga orang bertengkar dengan pendapatnya sendiri atau yang dinamakan perang batin.
Ukuran Keempat
Ada empat jenis ukuran yakni ukuran kesatu, kedua, ketiga, dan keempat. Wujud ukuran kesatu ialab garis, ukuran kedua berwujud dataran yang mengandung panjang dan lebar, ukuran ketiga berbentuk benda yang mengandung panjang, lebar dan tebal, dan ukuran keempat adalah benda hidup yang mengandung rasa. Jadi ukuran-ukuran tersebut mempunyai wujud dan rasa.
Wujud keempat ukuran-ukuran itu semua terdapat di dalam rasa manusia, dan tidak di luar rasa manusia. Anggapan bahwa wujud ukuran-ukuran itu terdapat di luar rasa manusia adalah keliru. Penjelasannya ialah sebagai berikut.
Ukuran kesatu yang berwujud garis, terdapat di dalam perasaan orang. Bila garis itu diperkirakan terdapat di luar rasa orang, garis itu digambarkan sebagai sejumlah titik secara berjajar. Gambaran itu menimbulkan pertanyaan: “Apakah antara titik-titik itu terdapat jarak atau tidak?”
Jika antara titik-titik itu tidak ada jaraknya maka ini berarti bahwa garis itu merupakan sebuah titik. Padahal titik bukanlah garis. Jadi pendapat bahwa titik-titik mewujudkan garis itu keliru.
Ki Ageng Suryomentaram 68
Sekarang timbul pertanyaan: “Apakah ada jarak di antara titik-titik yang mewujudkan garis itu?” Bila di antara titik-titik itu dibayangkannya ada jarak, maka bisa ditanyakan: “Apakah wujud jarak itu?” Sudah tentu jawabannya ialah jarak itu berwujud titik. Jawaban di atas tentu saja menimbulkan pertanyaan lagi. “Ada apakah antara jarak titik dengan jarak titik lainnyaP” Jawabnya tentu saja: “Ya titik lagi.” Jadi jarak titik yang satu dengan yang lain tidak ada batasnya, sehingga bila sebuah anak panah, bertolak dari satu titik ke titik lain, setelah berjalan berjuta-juta tahun pun panah itu tidak akan mencapai titik yang dituju karena jaraknya tidak terhingga panjangnya. Padahal kenyataannya tidak demikian. Maka pendapat bahwa garis itu terdiri dari sejumlah titik itu keliru.
Yang benar ialah bahwa garis itu perasaan orang dalam menanggapi wujud ukuran kesatu. Setiap orang menanggapi wujud ukuran kesatu sebagai garis. Jadi garis itu dicipta oleh rasa manusia sendiri.
Wujud ukuran kedua ialah dataran. Patokan untuk meneliti dataran ini serupa dengan patokan untuk garis, karena dataran ini digambarkan sebagai sejumlah garis-garis yang berjajar. Maka dataran pun adalah ciptaan rasa orang dalam menanggapi wujud ukuran kedua.
Wujud ukuran ketiga ialah wujud benda yang mengandung panjang. lebar dan tebal. Wujudnya sebagai cangkir, piring, rumah, gunung, sungai, dunia, bintang, bulan, matahari dan sebagainya. Wujud benda ini terdapat dalam perasaan manusia.
Jika benda itu dikira terdapat di luar rasa manusia, maka perkiraan itu keliru. Benda itu, selain digambarkan sebagai sejumlah dataran berjajar, juga digambarkan sebagai sesuatu yang terdapat dalam ruang. Semua benda dibayangkan sebagai sesuatu yang mengambil dan diliputi ruang. Padahal ruang adalah rasa orang dalam menanggapi adanya benda itu.
Bila ruang diperkirakan di luar rasa manusia, maka sifatnya hanyalah dua macam, berbatas atau tanpa batas. Bila ruang itu berbatas, tentu timbul pertanyaan: “Apakah di luar batas tidak ada ruang lagi?” Bila orang hendak menjawab pertanyaan di atas, tentu jawabnya ialah bahwa di luar batas tadi terdapat pula ruang. Jadi pendapat bahwa ruang itu berbatas, adalah keliru.
Sekarang tinggal meneliti pertanyaan: “Apakah ruang itu tanpa batas?” Tanpa batas ini bukanlah jumlah dari bagian-bagian ruang, bukan jumlah satu meter kubik dengan dua meter kubik, atau satu dunia dengan dua dunia, sebab jumlah itu merupakan batas. Jadi tanpa batas ini berarti tidak dapat ditanyakan berapa banyaknya, karena jumlah itu berbatas.
Diteliti secara di atas, maka terlintas dalam pikiran kita bahwa memanglah ruang itu bersifat tanpa batas. Namun bila sifat ruang itu tanpa batas, maka ini berarti bahwa setiap ruang itu tidak berbatas. Jadi ruang jarak satu benda dengan benda lain tidak berbatas. Sehingga bila orang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, beribu-ribu tahun tidak akan tiba pada tempat yang ditujunya.
Demikianlah maka pendapat bahwa ruang itu terdapat di luar perasaan manusia itu keliru. Yang benar ialah bahwa ruang itu rasa manusia dalam menanggapi adanya benda. Jadi benda itu terdapat di dalam rasa manusia.
Wujud ukuran keempat pun ada dalam rasa manusia. Penjelasannya lebih jauh akan diberikan di belakang. Sementara ini akan diterangkan bagaimanakah hidup manusia dalam berbagai ukuran itu. Manusia itu hidup dalam ukuran kesatu, kedua, ketiga dan keempat.
Hidup manusia dalam ukuran kesatu ialah sebagai hidup seorang bayi yang baru lahir beberapa hari. Bayi itu sudah merasakan sesuatu, tetapi badan dan bagian-bagiannya belum dapat digunakan untuk mengikuti perasaannya. Misalnya bila bayi itu digigit nyamuk maka dapat dimengerti bahwa bayi itu merasa sakit. Tetapi tangan bayi itu belum dapat dipergunakan untuk menghalau nyamuk. Hidup dalam ukuran kesatu ini sama dengan hidup tanaman.
Hidup dalam ukuran kedua ialah sebagai hidup anak-anak yang badan dan bagian badannya sudah dapat mengikuti perasaannya, tetapi anak tadi belum mengerti sifat hukum benda-benda. Oleh karenanya dalam hubungannya dengan benda, ia sering keliru. Sebagai contoh misalnya seorang anak melihat api bercahaya, maka senanglah ia dan dipegangnya api itu.
Ki Ageng Suryomentaram 69
Ini mengakibatkan tangannya terbakar. Anak itu merasakan sesuatu, yakni rasa senang, dan tangannya sudah dapat dipakai untuk mewujudkan perasaan senangnya, yakni memegang api. Tetapi ia belum mengerti hukum alam benda, bahwa api dapat membakar tangan yang memegangnya. Hidup dalam ukuran kedua ini sama dengan kehidupan hewan.
Hidup dalam ukuran ketiga ialah hidup manusia yang merasakan sesuatu dan badannya sudah dapat dipergunakan menurut perasaannya serta ia sudah mengerti sifat hukum alam benda. Oleh karenanya dalam hubungannya dengan benda-benda yang dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia tidak sering keliru. Sebagai contoh misalnya seorang merasa haus, maka diambilnya air dari tempayan, dan diminumnya. Orang itu merasa sesuatu, yakni haus, dan mengerti hukum alam benda, kemudian mengerti caranya minum dengan mengambil air dari tempayan. Maka tindakan orang itu adalah tepat.
Hidup dalam ukuran keempat ialah hidup manusia dalam hubungannya dengan benda. Benda hidup ini mempunyai perasaan. Jadi hidup dalam ukuran keempat ialah hidup manusia dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan.
Dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan itu dapat timbul pelbagai kesukaran. Kesukaran dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan disebabkan karena ia tidak mengerti tentang perasaan. Serupa halnya kesukaran dalam hubungannya dengan suatu benda, karena ia tidak mengerti tentang sifat benda itu. Jadi kesukaran dalam kedua hal di atas disebabkan karena ketidakmengertian.
Ukuran keempat ialah salah satu alat manusia. Manusia memiliki berbagai alat seperti tangan, kaki, mata, kuping dan sebagainya. Alat-alat itu ada yang harus dididik agar berkembang, dan ada pula yang tidak perlu pendidikan. Alat-alat yang tidak mesti dididik berupa mata, kuping dan sebagainya. Mata untuk melihat rupa dan kuping untuk mendengar suara. Mata dan kuping ini sekalipun tidak dididik, bila tidak mengalami cedera, perkembangannya akan berlangsung secara wajar.
Tetapi alat-alat yang perlu dididik, bila tidak dididik maka perkembangannya tidak akan wajar. Wujud alat-alat yang perlu dididik ialah hati, pikiran dan ukuran keempat. Hati ialah alat untuk merasakan rasanya sendiri, pikiran ialah alat untuk memikir dan ukuran keempat ini ialah alat untuk merasakan rasa orang lain. Alat-alat inilah yang menyebabkan orang membutuhkan pelajaran, tidak hanya yang bersifat ketrampilan, akan tetapi juga yang dapat mengembangkan hati, pikiran, dan ukuran keempatnya.
Hati sebagai alat untuk merasakan rasa sendiri, bila tidak cukup pendidikannya, tidak akan dapat berkembang secara wajar, sehingga untuk merasakan rasa sendiri sering keliru. Rasa orang dapat dibagi dua, yaitu rasa enak dan rasa tidak enak. Bila hati tidak cukup terdidik, ia sering keliru untuk merasakan rasa sendiri yang enak dan tidak enak, yakni enak dianggapnya tidak enak, sedang tidak enak dianggapnya enak. Sering kekeliruan tadi diketahui kemudian berupa penyesalan.
Kekeliruan-kekeliruan itu disebabkan karena bercampurnya pelbagai rasa secara tidak teratur; misalnya bercampurnya rasa enak dan tidak enak dalam suatu tindakan. Maka memisah-misahkan rasa yang bercampur secara tidak teratur itu, adalah salah satu latihan untuk mendidik hati.
Misalnya orang berjudi atau main ceki; ketika menang merasa enak dan senang. Tetapi rasa senang ini bercampur rasa gelisah, rasa takut kalau kalah dan dia bernafsu untuk mempertahankan kemenangannya. Dan main kartu ceki dengan kegelisahan, karena takut kalah disertai nafsu menang, merupakan rasa tidak enak yang mencampuri rasa senang dalam kemenangannya.
Adapun main kartu ceki tanpa rasa gelisah dan tanpa nafsu menang tentu saja tidak mengganggu rasa senang. Adanya rasa itu menimbulkan rasa susah dan celaka yang kedua-duanya tidak enak. Jelasnya sebagai berikut. Rasa susah ialah rasa keinginan yang tidak tercapai, maka tidak berlangsung iama. Tetapi rasa celaka (malang) itu ialah idam-idaman yang ditakutkan akan gagal dan yang disebut prihatin, dan oleh karena itu berlangsung lama. Rasa prihatin tetap ada pada waktu orang merasa senang.
Rasa prihatin adalah tetap tidak enak. Tatkala belum tercapai, idam-idaman itu menggelisahkan, maka rasanya tidak enak, prihatin. Ketika idam-idaman itu gagal Ki Ageng Suryomentaram 70 maka timbul rasa sedih, yang rasanya tidak enak. Sekalipun idam-idaman itu tercapai, namun tetap timbul kekhawatiran kalau-kalau ia terlepas lagi, maka rasanya tidak enak. Jadi main kartu ceki bila menjadi idam-idaman, tidaklah enak rasanya.
Contoh rasa enak yang dianggap tidak enak, ialah bila orang berbuat baik kepada orang lain, namun akhirnya dibalas dengan kejahatan, maka menyesallah ia atas perbuatan baiknya tadi. Penyesalan itu disebabkan karena tercampurnya rasa enak dan tidak enak. Berbuat baik terhadap orang lain itu enak rasanya, dan dibalas dengan kejahatan oleh orang lain, tidak enak rasanya. Jadi berbuat baik terhadap orang lain tetap enak rasanya. Maka penyesalan di atas berarti menyesal akan rasa enak yang diperolehnya. Apabila orang sering menyesal atas keenakannya, akhirnya ia akan jemu merasa enak. Demikianlah kekeliruan yang sering terjadi dalam mempergunakan hati untuk merasakan rasanya sendiri.
Pada hakikatnya tindakan manusia semata-mata menurut bagaimana ia menanggapi rasanya. Bila penanggapannya sering keliru, tindakannya pun sering keliru. Jadi dasar tindakan manusia adalah bagaimana ia menanggapi rasanya.
Oleh karena itu, mula-mula hati ini harus dilatih untuk menanggapi pelbagai rasanya sendiri yang pokok, agar dapat memisahkan rasa suka dan duka (susah), dengan bahagia dan derita. Setelah itu maka dengan mudah hati dapat digunakan untuk menanggapi perincian rasa sendiri. Demikianlah cara mendidik hati.
Pikiran ialah untuk memikir. Bila tidak cukup terdidik pikiran tidak akan memperoleh kemajuan yang wajar, sehingga pemikirannya sering keliru. Hal-hal yang dipikirkan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu benda dalam arti umum dan benda secara terperinci. Yang pertama ialah jawaban atas pertanyaan: “Apakah yang terdapat di atas bumi dan di kolong langit?” Yang kedua adalah benda-benda satu persatu serta gerak-geriknya.
Memikirkan masalah benda dalam arti umum, harus dijalankan tanpa bertanya berapa, bagaimana, di mana dan bilamana. Benda dalam arti umum tidak ada jumlahnya tidak dapat dilihat dan tidak bergantung pada tempat dan waktu. Maka kelirulah bila memikirkan benda dalam arti umum, dengan menggunakan empat macam pertanyaan tersebut.
Memikirkan benda secara terperinci, harus menggunakan pertanyaan berapa, bagaimana, di mana dan bilamana. Karena benda terperinci itu mempunyai jumlah yang dapat dilihat dan tergantung pada tempat dan waktu. Maka kelirulah bila memikirkan benda terperinci tanpa menggunakan empat macam pertanyaan tersebut.
Benda terperinci ialah benda berwujud serta gerak-geriknya (Bhs. Jawa: lelampahan). Memikirkan benda berwujud, ialah membeda-bedakan dan menyama-nyamakan benda yang satu dengan lainnya, menurut jumlah, bentuk, tempat, dan zamannya. Hasil pemikiran demikian itu merupakan pengertian.
Memikirkan cara gerak-geriknya ialah membedakan dan menyamakan gerak-geriknya satu persatu dan meneliti sebab dan akibatnya. Gerak gerik itu merupakan pergeseran jumlahnya, perubahan bentuknya dan pergantian waktunya. Hasil pemikiran demikian itu merupakan pengertian.
Apa yang dipikirkan, bagaimanakah sifat-sifatnya dan apakah faedahnya, semua ini harus jelas, agar kita dapat berpikir benar. Pemikiran yang tidak jelas, disebabkan tidak terpenuhinya tiga syarat tersebut. Jadi untuk berpikir dengan jelas itu perlu menjawab tiga pertanyaan, yaitu apa yang dipikir, bagaimana sifatnya dan apa gunanya.
Dalam pergaulan, banyak perselisihan disebabkan oleh kekeliruan dalam berpikir. Misalnya, ada yang berpikir bahwa Nyai Rara Kidul (Ratu Laut Selatan dalam mitos/dongeng Jawa) ialah penyebar penyakit; sedangkan ada pula yang berpikir, bahwa Nyai Rara Kidul ialah penyembuh penyakit. Dua macam eara berpikir yang bertentangan di atas menyebabkan perselisihan. Tetapi pemikiran di atas akan menjadi jelas bila disertai pertanyaan: “Yang dipikir itu apa? bagaimana? dan apa faedahnya?” Misalnya pertama, Nyai Rara Kidul itu apa? Jawabnya, Nyai Rara Kidul itu sebuah dongeng, dan dongeng itu ialah cerita yang tidak bersangkutan dengan kenyataan. Kemudian pertanyaan kedua, bagaimanakah Nyai Rara Kidul itu?
Ki Ageng Suryomentaram 71
Penyebar atau penyembuh penyakit? Dongeng itu diceritakan oleh dua orang yang masing-masing tidak berhubungan, maka sewajarnyalah bila dongeng tersebut berbeda-beda. Akhirnya, apakah faedahnya dongeng itu? Jawabnya, faedah dongeng adalah untuk hiburan atau untuk memasukkan pelajaran kebatinan dan sebagainya. Setelah jelas demikian, dongeng Nyai Rara Kidul itu tidak lagi menyebabkan perselisihan.
Hal-hal yang dipikir pun dapat dipisah menjadi dua, yakni benda dan rasa. Sering cara memikir rasa dikacaukan dengan cara memikir benda, sehingga mengakibatkan kesulitan. Untuk memikir rasa, terlebih dahulu harus memisahkan rasa dari benda. Rasa yang bersumber pada keinginan, pada pokoknya ialah senang dan susah. Senang ialah rasa tercapainya keinginan, dan susah ialah rasa tidak tercapainya keinginan. Jadi senang dan susah itu rasa, bukan benda.
Yang menyebabkan senang ialah keinginan tercapai, dan yang menyebabkan susah ialah keinginan tidak tercapai, tetapi bukanlah benda-benda yang diinginkan. Agar jelas perlu diberi contoh di sini. Misalnya banyak orang mengadakan pertemuan di malam hari, mereka membutuhkan lampu yang terang. Bila memperoleh lampu terang, senanglah mereka itu. Tetapi tatkala hendak tidur mereka perlu lampu yang tidak sebegitu terang, sehingga mereka merasa susah kalau lampu itu terang. Jadi lampu terang itu semula disenangi, kemudian tidak disenangi.
Jadi benda itu tidak menyebabkan senang atau susah. Bila sudah terpisah cara memikir benda dan memikir rasa, orang dapat menelaah pokok kebutuhannya yang semula ruwet. Setelah dimengerti, maka lenyaplah kesulitan yang bersumber pada tercampurnya memikir benda dan memikir rasa.
Rasa orang pun dapat dibagi dua bagian, sebagai rasa yang dihayati dan rasa yang menghayati. Rasa yang dirasakan yaitu senang, susah, sakit, sembuh dan sebagainya. Dan rasa yang menghayati ialah “aku”, merasa, mengerti, pribadi, dan sebagainya. Jadi rasa yang menghayati bukanlah rasa yang dihayati. Bila dalam memikirkan dua macam rasa itu bercampur-baur, sering orang keliru dalam merasakan sesuatu. Misalnya bila orang sedang sakit, ia merasa “aku sakit”. Memikir rasa demikian itu keliru.
Sakit adalah rasa yang dihayati, bukanlah rasa yang menghayati. “Aku” adalah rasa yang menghayati bukanlah rasa yang dihayati dan oleh karena itu tidak dapat sakit, melainkan dapat merasakan sakit. Jadi yang sakit bukanlah “aku”.
Setelah rasa yang dirasakan dan rasa yang merasakan terpisah maka rasa orang itu benar, yaitu “yang sakit bukanlah aku”. Bila kesadarannya sudah tepat, orang akan dapat meneliti dan mempelajari rasa-rasa sendiri yang bermacam-macam itu. Demikianlah cara memisahkan rasa yang dihayati dan rasa yang menghayati.
Jadi membina pikiran dapat dijalankan dengan memisahkan pemikiran benda dalam arti umum dan pemikiran benda terperinci, memisahkan pemikiran benda dari rasa, dan untuk memisahkan pemikiran rasa yang dihayati dengan rasa yang menghayati.
Adapun ukuran keempat ini adalah alat untuk merasakan rasa orang lain. Bila tidak cukup pembinaannya, ia tidak akan memperoleh kemajuan yang wajar. Sehingga di dalam menghayati rasa orang lain, sering salah.
Manusia itu dapat menghayati rasa sendiri dan rasa orang lain. Rasa sendiri dan rasa orang lain ini kedua-duanya terdapat dalam rasa sendiri. Jadi rasa manusia itu berisi rasa sendiri dan rasa orang lain. Bila rasa sendiri dan rasa orang lain dalam diri sendiri tercampurbaur, orang sering keliru menghayati rasa orang lain. Contohnya, orang kaya yang sering keliru menghayati rasa orang miskin. Orang kaya itu mengira bahwa orang miskin itu celaka dan susah selama-lamanya. Perasaan demikian itu, bercampur dengan rasa takut kemiskinan yang akan menimpanya. Bila rasa takut jatuh miskin itu terpisah, orang kaya itu dapat menghayati rasa orang miskin, yaitu bahwa si miskin tidak selamanya susah. Demikianlah cara memisahkan rasa sendiri dari rasa orang lain.
Orang miskin pun sering salah dalam menghayati rasa orang kaya. Ia mengira bahwa orang kaya itu bahagia dan senang selamanya. Cara mengira demikian itu tercampur dengan keinginan sendiri untuk menjadi kaya. Bila rasa ingin kaya ini terpisah maka ia dapat menghayati rasa orang kaya, yaitu bahwa si kaya tidak Ki Ageng Suryomentaram 72 senang selamanya. Demikianlah cara memisahkan rasa sendiri dari orang lain. Jadi yang merintangi untuk menghayati rasa orang lain, ialah kepentingan sendiri.
Di sini perlu diberi contoh lain. Ayam (hewan) ialah benda yang memiliki rasa. Bila orang terpengaruh oleh kepentingannya sendiri, ia tidak dapat menghayati rasa hewan itu. Biasanya bila orang melihat seekor ayam maka kepentingan sendiri muncul. “Gemuk benar ayam ini, bila dipelihara akan banyak bertelur, bila digoreng enak pula rasanya dan bila dijual bisa laku sekian rupiah,” demikian perasaannya. Padahal bukanlah kehendak ayam untuk digoreng. Demikian kepentingan sendiri merintangi orang untuk menghayati rasa orang lain.
Contoh yang lebih terang lagi, ialah bila seorang laki-laki bepergian beberapa hari lamanya. Ketika pulang ditemukan istrinya menderita sakit perut. Laki-laki itu merasa kecewa, dan rasa kecewa inilah yang menyebabkan ia tidak dapat menghayati rasa sakit perut istrinya. Demikian kepentingan sendiri merintangi orang untuk menghayati rasa orang lain.
Perselisihan yang disebabkan orang keliru menghayati rasa orang lain
Dalam pergaulan banyak terjadi perselisihan yang disebabkan kekeliruan orang dalam menghayati rasa orang lain. Bahkan sering makin rapat pergaulannya makin hebat pula perselisihannya, seperti halnya dalam pergaulan antara suami-istri.
Bahkan pokok rasa yang dipakai untuk landasan berkeluarga saja sudah salah. Landasan rasa itu ialah: “Bila orang itu menjadi suami/istriku, pasti akan senang sekali.” Rasa demikian itu pada hakekatnya tidak memperhatikan rasa calon suami/istrinya. Tidak dipertimbangkan apakah mereka akan senang atau tidak sebagai suami/istrinya. Ia semata-mata mengejar kenikmatannya sendiri.
Dalam pada itu calon suami/istrinya pun hanya mengejar kenikmatan sendiri. Sudah tentu suami-istri yang berbekal rasa mencari enaknya sendiri-sendiri merasa tidak aman dan kecewa. Bekal rasa inilah yang menyebabkan perceraian dan perpisahan sementara. Suami-istri tadi tidak dapat menghayati rasa pihak lain, karena tertutup oleh kepentingannya masing-masing, sehingga mengakibatkan perselisihan dan perpisahan. Hal inilah yang menimbulkan anggapan bahwa suami-istri adalah musuh sebantal.
Pokok rasa untuk landasan bersuami-istri yang enak, ialah keinginan untuk mengenakkan suami/istrinya. Perkembangan bekal rasa itu membangkitkan ikhtiar mencari keenakan calon jodohnya. Usaha tersebut cepat atau lambat akan ditemukannya, akan tetapi mungkin juga ia akan gagal.
Kramadangsa *) memiliki keistimewaan masing-masing, yang lain daripada yang lain. Perbedaan ciri-ciri Kramadangsa itu menyebabkan perbedaan dalam penilaian orang per orang atas benda dan keadaan. Yaitu dalam keadaan yang sama ada orang yang merasa susah dan celaka, dan ada pula yang merasa senang dan bahagia.
Misalnya, orang yang tidak rukun dalam perkawinannya, akan menganggap bahwa jika ia berganti suami/istri ia akan bahagia, walaupun hal itu baru dikhayalkan saja. Tetapi bagi seseorang yang jujur, berganti suami/istri itu ialah perbuatan yang tercela. Jadi langkah pertama untuk membahagiakan suami/istri ialah mengetahui keistimewaan Kramadangsanya (kepribadiannya). Jadi keenakan dalam hubungan yang rapat, harus terlebih dahulu mengetahui Kramadangsa (pribadi) pihak yang dihubungi. Berdasarkan inilah orang dapat bertindak untuk mengenakkan pihak yang dihubunginya, dan menghindari tindakan yang tidak mengenakkannya. Jadi hubungan yang tidak enak itu disebabkan karena tidak adanya penghayatan sifat khusus Kramadangsa pihak yang dihubunginya.
Kepentingan diri-sendiri yang menutupi rasa orang lain, berupa catatan-catatan lama yang senantiasa berpautan dengan diri-sendiri. Bila catatan lama itu dipelajari, sehingga dihayati sebagai “itu bukan aku”, catatan lama itu mudah disisihkan dan tidak menutupi lagi. Jadi catatan yang menutupi ialah catatan yang diakui “inilah aku”.
Wujud ukuran keempat itu ialah sebagai berikut. Walaupun tidak disengaja sering orang merasakan rasa orang lain atau rasa hewan, tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Seperti orang tidak sampai hati untuk menyaksikan ayam disembelih, Ki Ageng Suryomentaram 73
meskipun ia suka makan dagingnya; tidak sampai hati karena ia dapat menghayati rasa ayam yang tidak mau disembelih.
Ada lagi suatu contoh tentang orang yang dapat menghayati rasa hewan, yakni bila orang merasa gembira ketika mendengar burung berkicau gembira. Kegembiraan burung itu menular kepada orang yang mendengarnya, dan ini menyebabkan orang senang memelihara burung.
Bila orang mengerti bahwa tanpa disengaja ia dapat menghayati rasa hewan, maka orang pun akan dapat mempelajarinya dengan sengaja. Oleh karena sederhana maka rasa hewan ini lebih mudah dipelajari, daripada rasa manusia yang sangat banyak seluk beluknya dan liku-likunya. Maka sebelum berlatih untuk menghayati rasa orang, terlebih dahulu berlatih untuk menghayati rasa hewan; dan setelah berhasil menghayati rasa seekor hewan, lebih mudahlah orang berusaha menghayati dan mempelajari rasa hewan lainnya. Misalnya menghayati rasa seekor “gangsir” (semacam cengkrik) yang sedang “nyentir” (berbunyi), gembira dan bangga. Hewan itu tengah membanggakan kesaktiannya. Demikian wujud ukuran keempat.
Menghayati rasa dengan sengaja dapat menjadi pengetahuan (Bhs. Jawa: kawruh). Tetapi bila tidak disengaja, maka tidak akan menjadi pengetahuan. Pengalaman yang menjadi ilmu pengetahuan ini mudah dimanfaatkan oleh yang mengalami dan oleh orang lain.
Rasa orang lain yang dipelajari timbul dalam rasa orang yang mempelajari, pada awalnya seakan-akan adalah rasa orang yang mempelajari tersebut. Bila rasa tadi dipelajari sehingga yang mempelajari merasa “rasa ini bukan aku”, ia akan dapat membedakan dan menyamakan rasa itu dengan rasanya sendiri, yang juga “bukan aku”. Demikian cara merasakan rasa orang lain sehingga menjadi ilmu.
Bila ukuran keempat ini makin berkembang, orang dapat berusaha menghayati rasa kanak-kanak. Rasa kanak-kanak ini, karena lebih sederhana daripada rasa orang dewasa, juga lebih mudah dipelajarinya. Dengan mulai mempelajari rasa kanak-kanak, maka lebih mudahlah kita kemudian mempelajari rasa orang dewasa.
Kaum ibu dapat menghayati rasa anak kecilnya. Tetapi penghayatan ini sering tanpa disengaja, sehingga pengalaman itu tidak menjadi ilmu.
Bagi anak kecil, proses hidup yang wajar akan dialaminya, selalu menjadi idam-idaman. Misalnya, anak yang dapat merangkak dalam beberapa bulan, tentu mengidamkan akan dapat berdiri. Maka anak yang dapat berdiri pertama kali, merasa gembira dan bangga, bagaikan “gangsir nyentir” kedua-duanya bangga akan kepandaian masing-masing.
Bila ukuran keempat makin berkembang, maka orang dapat menghayati rasa anak yang telah dewasa, seperti jejaka atau gadis. Rasa jejaka yang mudah dipelajari ialah ketika habis mandi kemudian bercermin dan membuat belahan rambutnya dengan sisir. Ia pun merasa gembira dan bangga seperti “gangsir nyentir”, kedua-duanya sama memperlihatkan kepandaiannya. Demikian pula rasa gadis yang mudah dipelajari, ialah pada waktu ia sedang bercermin sambil menggosok giginya, ia memandang bayangan cermin lebih dua puluh kali. Rasa gadis itu pun gembira dan bangga seperti “gangsir nyentir” itu.
Semakin ukuran keempatnya berkembang, orang dapat menghayati rasa mempelai baru, yang merasa gembira dan bangga karena memperoleh kepandaian baru, sama dengan “gangsir nyentir”.
Bila ukuran keempat semakin maju lagi, orang dapat menghayati rasa yang lebih rumit, tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Misalnya kita mendengarkan seseorang berbicara, kita dapat menghayati rasa orang yang sedang berbicara, walaupun rasa itu tidak diungkapkan dengan kata-kata.
Sering dalam mendengarkan orang berbicara, kita bersitegang (ada desakan, merasa tidak sabar — ed.) ingin segera mengutarakan tanggapan kita terhadap pembicaraan itu. Bila kita setuju dengan pembicaraan itu, kita bersitegang ingin mengutarakan ketidaksetujuan kita. Bila keinginan bersitegang itu berhenti/hilang dan perhatian kita tetap pada rasa orang yang berbicara, maka kita dapat menghayati rasa orang yang berbicara itu secara tenang.
Bila ukuran keempat semakin berkembang, pada waktu orang membaca buku atau karangan dalam surat kabar, ia dapat menghayati rasa pengarangnya tanpa Ki Ageng Suryomentaram 74 dirintangi oleh kepentingan sendiri. Kepentingan sendiri yang merintangi itu adalah rasa suka atau benci terhadap pengarangnya. Bila rasa suka-benci berhenti/hilang, sedang perhatiannya tetap pada rasa si pengarang, ia dapat menghayati rasa pengarangnya.
Demikian ukuran keempat sebagai alat manusia untuk merasakan rasa orang lain. Alat ini jika tidak cukup terdidik, tidak akan mencapai perkembangan yang semestinya. Adapun cara pendidikannya ialah sebagai berikut ini.
RASA BEBAS
Rasa bebas adalah rasa tidak bertentangan (konflik). Apabila orang melihat sesuatu dan mengerti sifatnya, ia akan merasa bebas; yakni tidak berselisih dengan sesuatu yang dilihat dan dimengerti. Melihat dan mengerti itu tidak hanya melalui panca indera, tetapi juga dengan rasa hati dan pikiran.
Bila melihat dan mengerti dalam diri orang itu terpisah, hal itu tidak dapat menimbulkan rasa bebas. Misalnya seorang digigit nyamuk malaria. Ia memperoleh keterangan, bahwa nyamuk malaria itu, setelah menggigit orang yang menderita sakit malaria, ia tentu mengandung kuman-kuman penyakit, dan akan menularkan penyakit pada orang lain yang digigitnya. Mendengar keterangan semacam itu, orang dapat mengerti, tetapi tidak melihat prosesnya. Maka tatkala ia menderita sakit malaria dan makan obat malaria, namun penyakitnya tidak sembuh, berselisihlah ia dengan penyakit malaria, maka ia merasa tidak bebas. Demikian bila orang mengerti, tetapi tidak melihat, sehingga ia tidak bebas.
Sebaliknya, walaupun melihat, kalau tidak mengerti, orang pun tidak akan bebas. Umpama, kita melihat bola lampu di atas ini, yang bentuknya bulat dan cahayanya terang. Tetapi bila kita tidak mengerti bagaimana cara memadamkan atau menyalakannya, jikalau bola lampu itu tiba-tiba padam, kita menjadi bingung, lantas bertengkar dengan bola lampu itu, sehingga tidak bebas.
Jadi rasa bebas atau tidak berselisih itu timbul, jika kita serentak melihat sesuatu dan mengerti sifatnya. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa api itu bila dipegang dapat membakar tangan. Maka kita merasa bebas dan tidak bertengkar dengan api. Artinya, kita tidak berusaha mengubah sifat api itu, sehingga tidak membakar tangan yang memegangnya. Rasa bebas ini melahirkan perbuatan yang pasti benar. Tegasnya kita tidak akan berbuat, tanpa sengaja memegang api.
Supaya lebih jelas, saya beri contoh lain lagi. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa ular belang itu berbisa, ia dapat membinasakan orang yang dipagutnya. Maka bebaslah kita untuk tidak menentang ular itu. Tegasnya, kita tidak perlu berusaha mengubah sifat ular belang itu supaya tidak berbisa. Tindakan kita yang tepat dalam menghadapi ular itu, ialah menyingkiri atau mengusirnya.
Melihat dan mengerti terhadap rasa batin (emosi} pun dapat menimbulkan rasa bebas atau tidak berselisih, antara batin yang melihat dan batin yang dilihatnya. Sebaliknya, bila melihat dan mengerti terhadap rasa-rasa itu terpisah, hal itu tidak menimbulkan kebebasan, melainkan perselisihan. Misalnya kita sedang marah, kita menyadari kemarahan itu. Tetapi kita tidak mengerti makna marah kita itu. Karena itu kita menentang kemarahan kita, yang berwujud perbuatan menahan marah. Pertentangan itu merupakan perang batin, dalam mana pada suatu saat kita merasa “aku marah”, pada saat kemudian kita merasa “aku menahan marah”. Sehingga kita bingung untuk menentukan diri kita sendiri ini yang mana. Yang marah, atau yang menahan marah. Kita mengira bahwa kedua rasa itu, berasal dari dua unsur yang berlainan. Padahal, rasa yang marah dan rasa yang menahan marah itu sebenarnya adalah sama sifatnya. Pada waktu kita marah, kita merasa bahwa kemarahan itu akan menimbulkan tindakan yang berakibat tidak enak. Untuk menghindari hal itu kita lalu berusaha menahan marah, atau dengan kata lain, menentang marah. Jika diteliti rasa menahan atau menentang marah itu, ternyata juga rasa marah; yakni marah terhadap diri-sendiri. Kalau semula kita marah terhadap orang lain, kini kita marah terhadap diri sendiri. Jadi yang yang menahan marah adalah si marah, yang Ki Ageng Suryomentaram 75 masih bersifat sama. Pengertian di atas itu melahirkan kesadaran bahwa diri-sendiri si-marah tidak dapat mengubah kemarahan sendiri.
Dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa diri-sendiri “si marah”, tidak dapat mengubah sifat dirinya. Setiap kali kita berusaha mengubah diri sendiri, selalu tidak berhasil, melainkan berganti rupa. Yaitu si marah menjadi si menahan marah. Bila kita sudah mengerti bahwa kita tidak dapat mengubah diri-sendiri, maka kita tidak ingin mengubah. Bila kita, dalam keadaan perang batin itu tidak ingin mengubah diri-sendiri, maka diri-sendiri lalu ‘diam, tidak bergerak’. Dengan kata iain, berarti diri-sendiri ‘mati’. Sudah tentu yang mati bukan raga kita, melainkan rasa “aku” kita, atau rasa “aku” si Kramadangsa. “Kramadangsa” ini adalah rasa “aku”, identik dengan namanya sendiri-sendiri. Orang itu mempunyai nama sendiri-sendiri, dan merasa “aku” dengan namanya sendiri-sendiri. Jika ia bernama Suta, ia merasa aku si Suta, jika ia bernama Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa aku identik dengan nama sendiri ini, saya beri istilah “Kramadangsa”.
Jadi yang marah itu adalah diri-sendiri yang merasa aku si Kramadangsa, dan yang menahan marah pun si Kramadangsa. Jika Kramadangsa ini mati, tentu perbuatan marahnya tidak terlaksana. Mengerti atas kemarahan sendiri demikian itu, kita bebas dari kemarahan kita sendiri. Artinya kita tidak bertentangan dengan marah kita. Kebebasan ini, pasti melahirkan perbuatan benar, yang tidak mungkin salah. Bila kita bergaul dengan orang lain, kita dapat mengetahui rasa orang itu. Mengetahui rasa orang lain pun, menimbulkan rasa bebas, yang tidak berselisih dengan orang lain. Tidak berselisihan ini, berarti tidak menabrak rasa orang lain, oleh karenanya damai dalam hubungannya.
Rasa yang perlu dilihat dan dimengerti itu, ialah rasa kita sendiri. Karena meskipun kita mengetahui banyak macam barang-barang, tetapi bila kita tidak mengetahui diri kita sendiri, pasti berselisihan dengan diri-sendiri, dan timbulah perang batin (konflik). Tetapi kita takut melihat diri-sendiri dan kita berusaha menutupi diri-sendiri, supaya tidak tampak seperti diri-sendiri. Bila diri-sendiri sudah kelihatan tidak seperti diri-sendiri, barulah kita puas. Jadi kita tidak puas hanya sebagai mana adanya diri-sendiri. Sekarang, mari kita teliti rasa kita sendiri, yang takut melihat diri-sendiri ini.
Terlebih dahulu saya jelaskan dalil saya, ialah bahwa kita takut melihat diri-sendiri ini adalah sama dengan setiap orang. Tetapi kita takut melihat kenyataan, bahwa diri kita itu sama dengan orang lain. Maka kita cari tutupnya, untuk menutupi diri-sendiri, supaya tidak sama dengan setiap orang. Sehingga kita berusaha mati-matian mencari kekayaan, kedudukan dan kekuasaan (bhs. Jawa: semat, drajat, kramat) untuk menutupi diri-sendiri, agar supaya tidak tampak keadaan yang sesungguhnya. Kekayaan atau harta benda, kecuali untuk kebutuhan penghidupan, kita pakai untuk menutupi diri kita. Misalnya kita memakai pakaian baru yang mahal dan bagus, kita lantas congkak dan sombong. Rasa congkak dan sombong ini jika diteliti, berarti kita merasa beda dari keadaan kita yang sebenarnya, yaitu kita sudah merasa lain dari pada setiap orang.
Bila kita melihat dan mengerti bahwa diri kita adalah sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti diri-sendiri sebagai berikut: “Saya memakai baju baru mengapa menjadi congkak, sombong, ini karena apa? Apakah kalau bajuku baru, diriku pun turut menjadi baru? Sudah barang tentu sifat diriku yang sebenarnya, masih tetap sama seperti yang kemarin itu.” Demikian kita menutupi diri-sendiri namun tidak mengubah keadaan yang sesungguhnya.
Kedudukan pun dipakai untuk menutupi diri kita sendiri. Misalnya kita baru saja memperoleh kenaikan pangkat, lantas kita merasa congkak, sombong. Bila kita mengerti bahwa diri-sendiri sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti kecongkakan dan kesombongan kita demikian: “Aku dapat kenaikan pangkat, mengapa menjadi congkak, sombong ini karena apa? Apakah kalau pangkatku tinggi, sifat batinku pun menjadi tinggi? Sudah tentu sifat diriku yang sebenamya masih sama saja seperti yang kemarin itu.”
Bila kita memeluk salah satu agama, agama ini pun kita gunakan untuk menutupi diri kita sendiri, supaya tidak kelihatan keadaan yang benar, dan kita dapat menyombongkan diri. Memang agama itu baik karena ia mengajarkan: “Janganlah Ki Ageng Suryomentaram 76 berdusta.” Tetapi apakah kita dengan menganut pelajaran itu, lantas menjadi baik dan tidak berdusta? Sudah barang tentu sifat batin kita yang sesungguhnya, masih tetap seperti kemarin ini. Demikian kita berusaha menutupi diri, namun kita tetap sebagaimana adanya.
Umpama kita masuk suatu kelompok ideologi yang bersemboyan: “Sama Rata Sama Rasa”. Semboyan itu pun kita pakai untuk menutupi diri kita. Sehingga kita sombong dan merasa sudah berbeda dari kita sendiri. Padahal sifat kita masih tetap sama, yaitu kita masih suka menyembunyikan uang isteri kita dan tidak berlaku sama rata sama rasa. Demikian itu kita berusaha mati-matian mencari tutupnya, untuk menutupi supaya tidak tampak seperti kita sendiri.
Ada lagi tutup yang berupa nama-nama dari orang-orang termashur. Misalnya yang kita pakai nama-nama jalan, seperti jalan Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain. Hal mana mencerminkan bahwa kita berpegangan pada orang-orang ternama.
Misalnya kita mengandal pada Prabu Joyoboyo yang di dalam dongeng kesohor, karena ia dapat meramalkan masa tujuh ratus tahun yang akan datang. Orang ternama itu, sering kita pergunakan untuk menakuti isteri kita sendiri, demikian: “Lihatlah Prabu Joyoboyo ini, ternama, hal-hal yang akan terjadi tujuh ratus tahun kemudian, ia sudah mengetahuinya. Apakah kamu tidak takut?” Biasanya isteri kita menjawab: “Kalau terhadap Prabu Joyoboyo, aku takut. Tetapi terhadap kamu, tidak!” Demikian kita mati-matian mencari tutup, yang berupa orang-orang termashur, untuk menutupi diri kita, agar tidak tampak keadaannya yang asli.
Sekarang marilah kita teliti, bagaimana sifat kita yang sama dengan setiap orang itu? Kita masing-masing merasa pribadi, yaitu merasakan apa saja secara sendiri, tidak dapat mewakilkannya kepada orang lain. Umpama saya menderita sakit gigi, dan saya minta saudara saya untuk mewakili penderitaan itu. Dapatkah sakit gigi itu dipindahkan kepada orang lain, pastilah tidak mungkin. Mau tidak mau, harus saya derita sendiri. Demikian rasa pribadi, yang berarti menanggung sendiri segala perasaan kita.
Oleh karena setiap orang itu merasa pribadi, maka kita masing-masing mencari enak (senang) sendiri (pribadi); dengan tidak mempedulikan orang lain. Meskipun orang lain itu terdiri dari anak atau isteri kita. Maka kita ini sebenarnya tidak mencintai anak-isteri kita, melainkan pura-pura mencintai mereka. Demikian kita menutupi diri supaya tidak kelihatan sifat kita yang sebenarnya.
Mari saudara-saudara saya ajak bersama-sama meneliti diri kita sendiri. Apakah kita, benar-benar mencintai suami/isteri kita? Ingatlah akan maksud kita pada waktu kita memilih calon suami/isteri kita. Apakah benar-benar kita ingin membahagiakan mereka sebagai manusia? Kaiau kita ingin membahagiakan manusia saja, ada ribuan manusia yang bersedia untuk dibahagiakan. Tetapi kita hanya ingin membahagiakan satu orang saja, yaltu calon suami/isteri kita. Maka jelaslah keinginan itu bukanlah cinta kasih, melainkan rindu asmara, mengejar kenikmatan diri-sendiri. Rasa hati kita: “Bila aku berjodoh dengan orang itu, aku akan senang sekali.” Kita semata-mata memikirkan kesenangan diri-sendiri dengan tidak memperdulikan kepentingan calon suami/isteri kita. Jadi menghargai suami/isteri kita, hanyalah sebagai barang untuk kesenangan. Sama dengan barang-barang kesenangan yang berupa burung perkutut, kucing, dengkek (nama kartu ceki, dalam bahasa Jawa) dan sebagainya. Misalnya kita memelihara burung perkutut, bila burung itu bersiul bagus “hoorketekung”, kita akan menambah makannya, air minumnya, dan memandikan serta mengereknya tinggi-tinggi. Tetapi bila burung itu berbunyi buruk “tekekkek”, kita lantas benci dan membantingnya. Demikian juga tindakan kita terhadap suami/isteri kita, bila mereka tidak menyenangkan kita, seperti perkutut yang berbunyi “hoorketekekkek” kita segera membantingnya. Maka dalam setiap pertengkaran antara suami-isteri, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh tindak-tanduk yang tidak menyenangkan satu sama lain, seperti perkutut bersiul “hoorketekekkek” itu.
Oleh karena kita tidak mau melihat diri-sendiri sebagaimana adanya, maka kita lalu menutupi diri sebagai berikut: “Sebetulnya aku ini mencintai isteri, buktinya aku membelikan pakaian dan rumah yang bagus.” Tetapi kalau diteliti, apakah membelikan barang-barang itu berarti cinta? Misalnya seorang suami, tatkala ia Ki Ageng Suryomentaram 77 pulang dari luar negeri, membawa oleh-oleh berupa kain-kain indah untuk isterinya; dengan harapan bahwa sang isteri tentu akan senang dan ketawa bila melihat barang-barang tanda kecintaannya. Tetapi ternyata isterinya tidak ketawa senang, malah mengomeli: “Kamu pergi jauh-jauh ke luar negeri, hanya membawa kain semacam itu, di Jakarta saja banyak yang menjualnya.” Bagaimana tanggapan suami itu, apakah ia masih tetap mencintai isterinya? Tentulah tidak, bahkan sebaliknya, ia akan kecewa dan marah. Maka jelaslah, hal itu bukanlah cinta kasih, melainkan sebagai hal jual-beli, yakni si suami membayar dengan kain untuk membeli tawa si isteri. Demikian dalam hubungan suami-isteri, masing-masing pihak mengharapkan faedah sebanyak-banyaknya, dan memberi faedah sedikit mungkin.
Begitu juga terhadap anak-anak kita, kita pun tidak mencintainya. Yang sering kita anggap sebagai cinta kasih, ialah hasrat hidup untuk melangsungkan keturunan. Misalnya di waktu anak kita masih kecil, kita rawat baik-baik supaya bisa berlangsung hidupnya. Sama halnya dengan kucing atau hewan lain, yang melindungi anaknya yang masih kecil. Tetapi bila anak itu sudah dewasa, kita sering mengajaknya bertengkar. Padahal pertengkaran itu bukanlah cinta kasih.
Di samping untuk melanjutkan keturunan, anak itu kita anggap sebagai dana pensiun dan alat kebanggaan. Kita merasa: “Anakku kudidik demikian rupa, agar ia memperoleh ijazah dan kedudukan baik dengan penghasilan besar. Karena jika saya sudah tua dan tidak kuat lagi bekerja, anakkulah yang memberi pensiun padaku.” Bahkan penilaian ini sering menyeleweng jauh demikian: “Jika anakku berpenghasilan besar, sedang aku sudah tua, tidak bekerja lagi, tetapi masih butuh tambah isteri, maka kuharap ia akan mengawinkan aku lagi.”
Selain untuk cadangan pensiun, kita menilai anak sebagai alat kebanggaan. Maka jika anak tidak membanggakan kita, tetapi mencemarkan nama kita, marahlah kita dan mengusirnya. Demikian persamaan diri kita dengan orang lain, atau setiap orang, yaitu kita sendiri merasa pribadi, mencari enak pribadi, dengan mengorbankan orang lain; walaupun anak-isteri/suami sendiri. Oleh karena itu, kita sendiri bila diganggu atau dirugikan lantas marah, sekalipun yang mengganggu anak-isteri-suami. Jadi sifat kita ini sebenarnya buas, galak. Padahal marah itu tidak mengenakkan, melainkan menyakiti orang lain, maka kita ini suka menyakiti orang lain; ibarat senjata yang ampuh. Jadi dapat dikatakan kita ini buas! galak dan ampuh, yang sama dengan tabiat sewenang-wenang. Maka kesimpulannya sifat kita sendiri ini buas, ampuh, sewenang-wenang, yang sama dengan orang lain atau setiap orang.
Bila kita mengerti bahwa sifat diri-sendiri yang buas, ampuh dan sewenang-wenang ini sama dengan orang lain, kita segera mengerti bahwa tidak ada orang yang baik. Pengertian itu membuat kita tidak lagi dapat dikelabui oleh pernyataan adanya orang baik. Dunia menjadi kacau-balau sekarang ini, karena manusia kena dikelabui oleh pernyataan tentang adanya orang baik. Sering kali dikabarkan bahwa di sana ada orang baik, lantas kita ikut-ikutan menyatakan benar ia baik, dan mempercayainya saja; tetapi pada akhirnya kita kecewa.
Jadi bila kita mengerti bahwa kita sendiri buas, ampuh, sewenang-wenang sama dengan orang lain; kita tidak dapat ditipu oleh pernyataan adanya orang baik, dan tidak dapat menipu pada diri-sendiri, dengan berpura-pura baik. Hal mana berarti kita melihat kenyataan yang ada pada diri-sendiri. Pengertian diri-sendiri inilah, yang seharusnya dipakai sebagai landasan membangun masyarakat.
Pada masa sekarang ini, pembangunan masyarakat kita tidak berdasar atas hal-hal yang nyata, tetapi berdasarkan atas cita-cita yang tidak nyata, yang dapat menimbulkan bentrokan. Membangun masyarakat yang luas itu, harus dimulai dari masyarakat lingkungan kecil; yaitu lingkungan keluarga.
Bila kita mengetahui kenyataan kita sendiri, kita dapat mengetahui pula kenyataan keadaan anak kita. Kalau diselidiki, ternyata anak itu dendam terhadap kita. Mengetahui dendam anak kita itu lebih mudah dari pada mengertinya. Misalnya pada masa kanak-kanak, kita setiap kali menderita susah, kita selalu menyalahkan orang tua kita. “Kalau orang tuaku tidak begini atau begitu, tentu aku tidak akan menderita seperti sekarang.” Kemudian kita dapat pula mengetahui kenyataan isteri/suami Ki Ageng Suryomentaram 78 kita, yang kecewa terhadap kita; karena mereka merasa menjadi korban dari watak sewenang-wenang kita.
Dalam membangun masyarakat, orang sering kali menanyakan: “Apakah seseorang itu diperuntukkan masyarakat, atau masyarakat itu diperuntukkan seseorang?” Pertanyaan tersebut telah lama usianya, dan memperoleh dua macam jawaban. Yaitu yang pertama, bahwa seseorang untuk masyarakat dan yang kedua adalah masyarakat untuk seseorang.
Jawaban bahwa masyarakat itu untuk seseorang, ini berarti yang dipentingkan adalah perseorangan. Masyarakat harus memberi kemerdekaan kepada seseorang. Kemerdekaan yang diberikan kepada setiap orang itu, dipergunakan oleh masing-masing orang, untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, tidak kenal batas. Sehingga menimbulkan bentrokan dengan kepentingan masyarakat. Hal itu kemudian meletus menjadi pemberontakan atau peperangan. Padahal perang adalah bertentangan dengan tujuan hidup. Kalau tujuan hidup ialah untuk melangsungkan kehidupan, sedangkan perang adalah bunuh membunuh. Maka perang, dengan dalih apapun adalah jahat dan keliru.
Jawaban lainnya bahwa seseorang untuk masyarakat, ini pun keliru. Karena pertanyaannya sendiri keliru, maka bila dijawab, jawabannya pasti keliru. Kekeliruan ini terdapat pada kedua pertanyaan, yang berupa pemisah seseorang dari masyarakat. Sedang keadaan yang sebenarnya, seseorang dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu badan kesatuan. Masyarakat itu terjadi dari hubungan seorang dengan seorang, yang diatur dengan peraturan-peraturan, perjanjian-perjanjian atau undang-undang. Undang-undang ini jika ditulis dinamakan tata-negara, jika tidak ditulis dinamakan aturan masyarakat. Undang-undang negara adalah perjanjian dalam hubungan antara warga negara, Undang-undang masyarakat ialah perjanjian dalam hubungan antara perseorangan. Sifat undang-undang atau hubungan Itu tergantung pada sikap jiwa orangnya. Bila jiwa orang yang berhubungan itu tenteram dan damai, maka hubungannya (masyarakat) pun tenteram dan damai. Tetapi bila orangnya gelisah, hubungannya (masyarakat) pun menggelisahkan. Jadi kalau undang-undang atau hubungan itu ibarat asapnya, orangnya adalah sebagai apinya. Maka bila usaha kita hanya menghilangkan asapnya, tanpa memadamkan apinya, usaha itu pasti akan sia-sia saja.
Manusia kerapkali mengalami kesulitan-kesulitan yang berupa pertikaian. Tiap-tiap pertikaian selalu dipecahkan dengan undang-undang, tetapi tidak pernah berhasil. Demikian menurut sejarah, telah terjadi juga di negara kita Indonesia. Pada jaman Majapahit, timbul perselisihan yang mengobarkan perang saudara. Kesudahan dalam perang saudara itu, Majapahit kalah dan berdirilah kerajaan Demak, serta mengganti undang-undang negara. Apakah setelah diadakan undang-undang baru, lantas tidak timbul pertikaian lagi? Tidak, pertikaian berjalan terus, sehingga pecah perang saudara lagi. Perang itu berakhir dengan kerajaan Demak kalah, dan yang menang mendirikan kerajaan di Mataram. Kerajaan baru ini pun mengganti undang-undang lama dengan yang baru. Setelah ada undang-undang baru, apakah tiada perselisihan lagi? Tidak, perselisihan masih saja terjadi, dan mengobarkan perang saudara lagi, dengan kesudahan Mataram kalah. Kemudian datanglah penjajah Belanda, yang menamakan tanah air kita Hindia Belanda, dan mengadakan undang-undang baru. Apakah setelah undang-undang baru pertikaian lantas lenyap? Tidak, pertikaian tetap terjadi. Sampai pada tanggal 17 Agustus 1945, kita memberontak sehingga lenyaplah penjajah itu. Dan lahirlah Republik Indonesia, dengan undang-undang baru yakni undang-undang berdasar Pancasila. Apakah setelah ada undang-undang tdak ada perselisihan? Saudara-saudara dapat membuktikan sendiri, bahwa perselisihan senantiasa ada saja. Jadi jelaslah bahwa kesulitan itu tidak dapat diselesaikan dengan undang-undang.
Kita bangsa Indonesia dalam membangun negara Indonesia kerapkali salah, yaitu yang dibangun bukan negara Indonesia. Misalnya pada jaman Majapahit, terjadi pecah perang saudara yang berakhir runtuhnya kerajaan Majapahit. Keruntuhan Majapahit itu, tidak berarti meruntuhkan negara Indonesia. Maka negara Indonesia ini tidak dapat diketahui sejak kapan adanya. Catatan yang ada dan yang tertulis dibatu-batu pun tidak dapat mengungkapkan, sehingga orang tidak dapat Ki Ageng Suryomentaram 79 menafsirkan kapan mulainya, dan akan berakhirnya negara Indonesia. Oleh karena demikian panjang usianya, maka dapat dikatakan negara Indonesia itu langgeng abadi. Membangun negara Indonesia yang abadi, tidak seperti kerajaan Majapahit yang tidak abadi. Keruntuhan kerajaan Majapahit, tidak berarti keruntuhan negara Indonesia, melainkan keruntuhan golongan pemimpin Majapahit, yang tindakannya sewenang-wenang. Begitu juga kehancuran kerajaan-kerajaan Demak, Mataram, pemerintah Hindia Belanda, tidak berarti kehancuran negara Indonesia, kecuaii kehancuran pemimpin-pemimpinnya yang bertindak sewenang-wenang. Jadi kerajaan Majapahit, Demak, Mataram, Hindia Belanda dan Republik Indonesia itu, bukanlah negara Indonesia yang abadi melainkan sebagai ombak negaranya. Ombak itu kerapkali mengalami pasang-surut. Tatkala kerajaan Majapahit sedang gilang-gemilang, ombak negara Indonesia mengalami pasang. Tetapi ketika kerajaan di atas runtuh, ombak negara Indonesia mengalami surut. Ombak yang pasang-surut itu, tidak mempengaruhi adanya negara Indonesia.
Maka untuk membangun negara Indonesia, terlebih dahulu harus dilihat sebabnya pasang-surut ombak negara Indonesia. Keterangannya sebagai berikut. Setiap negara di mana saja, pada jaman apa saja, selalu dikuasai oleh segolongan warga negaranya, walaupun dalam undang-undang dasarnya, dinyatakan bahwa negara itu harus dikuasai oleh seluruh warganya, pada kenyataannya negara itu hanya dikuasai oleh segolongan warganya. Golongan yang menguasai itu ialah golongan terpelajar. Golongan terpelajar itu, ialah golongan yang mengerti undang-undang negara. Golongan terpelajar jaman dulu dan jaman sekarang tentu saja berbeda, tetapi pada dasarnya adalah sama, ialah yang mengerti undang-undang.
Setiap golongan yang menguasai negara, pasti mabuk kekuasaan, dan mabuk kuasa ini pasti melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang ini, selanjutnya membangkitkan pemberontakan, yang dapat menggulingkan pemerintahan yang ada. Bila kadang-kadang pemberontakan itu gagal, hal mana disebabkan belum matangnya tindakan sewenang-wenang itu. Misalnya pada jaman Majapahit ada pemberontakan yang gagal, yang dilakukan oleh Minakjinggo dan lain-lain. Kegagalan itu disebabkan perbuatan pemimpin-pemimpin Majapahit, yang sewenang-wenang itu, belum matang {belum cukup hebat). Tetapi setelah tindakan sewenang wenang dari pemimpin Majapahit matang, atau sudah sampai batas waktunya, pemberontakan yang timbul itu berhasil, dan mereka itu lalu mendirikan kerajaan Demak. Demikianlah sejarah negara Indonesia, yang hanya berisi segolongan warganya berkuasa, mereka lantas mabuk, dan bertindak sewenang-wenang, yang mengundang pemberontakan. Sehingga kini belum mengalami kemajuan.
Kalau kita hendak membangun negara Indonesia yang abadi, haruslah dicari jawaban atas pertanyaan, “Bagaimanakah caranya, orang berkuasa, tetapi tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Kalau kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini, berarti kita tidak dapat membangun negara Indonesia yang abadi. Sehingga kini, belum ada suatu jaminan untuk menjamin orang yang berkuasa pasti tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang. Yang ada hanyalah baru janji-janji, atau kesanggupan-kesanggupan dari golongan-golongan. Yaitu bila nanti golongannya berkuasa, negara ini hendak diaturnya begini-begitu.
Jaminan satu-satunya agar supaya kita dalam memegang kekuasaan tidak akan mabuk dan tidak akan bertindak sewenang-wenang ialah bila kita yakin bahwa manakala kita berkuasa, pasti mabuk kekuasaan dan pasti berbuat sewenang-wenang. Karena biasanya, belum berkuasa saja, kita sudah merencanakan caranya, bagaimana kita akan mabuk dan sewenang-wenang. Misalnya seorang tua yang giginya ompong, ia merencanakan mabuknya: “Nanti bila aku berkuasa, pasti kubeli gigi palsu.” Jika kita mengerti bahwa diri-sendiri ini buas, ampuh, sewenang-wenang, rencana mabuk di atas dapat kita teliti sebagai berikut: “Aku hendak membeli gigi palsu ini untuk apa? Kalau hanya untuk menggigit uli saja, tidak usah pakai gigi pun dapat.” Jelaslah gigi itu akan dipakai menggigit kulit yang masih ulet.
Jadi untuk membangun negara Indonesia yang abadi itu, kita harus senantiasa mengawasi dan mengerti sifat diri-sendiri, yang galak, ampuh dan sewenang-wenang. Setiap detik langkah kita, tentu berasal dari rasa mabuk kuasa dan watak Ki Ageng Suryomentaram 80 sewenang-wenang. Tetapi sifat mabuk dan sewenang-wenang itu, jika diteliti sedalam-dalamnya sehingga selesai, rasa itu tidak melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Namun setelah penelitian tadi selesai, pada saat berikutnya tentu timbul rasa sewenang-wenang lagi. Dan jika diteliti lagi, segera selesai laqi. Jadi penelitian diri-sendiri itu hendaknya dilakukan setiap detik, pada setiap rasa yang timbul. Demikianlah caranya membangun negara Indonesia yang abadi.
Melihat dan mengerti akan sifat-sifat diri-sendiri, yang sewenang-wenang itu, menimbulkan revolusi jiwa. Revolusi jiwa adalah perubahan jiwa, yang terjadi dalam diri kita sendiri, dan mengakibatkan perubahan sikap kita terhadap diri-sendiri dan orang lain. Melihat sifat kita sendiri yang galak, ampuh, sewenang-wenang, sama dengan setiap orang, maka kita tidak dapat melengahkannya barang sekejap saja. Karena kelengahan terhadap diri kita sendiri barang sedetik saja, cukuplah menyempatkan kita untuk mengganggu orang lain atau diri-sendiri.
Jadi jika kita hendak membangun negara Indonesia yang abadi, kita harus senantiasa mengawasi diri kita sendiri, yang berwatak tetap sewenang-wenang.

Tidak ada komentar: